Anda di halaman 1dari 130

MARKAS BESAR TNI ANGKATAN DARAT

SEKOLAH STAF DAN KOMANDO

SEKOLAH STAF DAN KOMANDO ANGKATAN DARAT

OPTIMALISASI KERJA SAMA ANTAR LEMBAGA


DALAM MENGATASI KEPULANGAN FOREIGN
TERRORIST FIGHTER ASAL INDONESIA GUNA
MEMPERTAHANKAN STABILITAS NASIONAL

KERTAS KARYA ILMIAH PERSEORANGAN (TASKAP)

Nama : Heribertus Purwanto


Nosis : 59188
Dikreg : LIX Seskoad

Diajukan dalam rangka menyelesaikan tugas akhir pendidikan


Sekolah Staf dan Komando TNI Angkatan Darat

Bandung, Oktober 2020


ii

LEMBAR PERSETUJUAN

Judul : OPTIMALISASI KERJA SAMA ANTAR LEMBAGA


DALAM MENGATASI KEPULANGAN FOREIGN TERRORIST FIGHTER
ASAL INDONESIA GUNA MEMPERTAHANKAN STABILITAS NASIONAL

Perwira Siswa : Heribertus Purwanto


Nosis : 59188

Telah disetujui oleh

Menyetujui
Kadep Sostek Seskoad, Perwira Pembimbing,

Suwanto, S.I.P Kukuh Hartono, S.E


Kolonel Inf NRP 32710 Kolonel Inf NRP 32598
iii

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN TASKAP

Oleh : Heribertus Purwanto


Nosis : 59188
Judul Taskap : OPTIMALISASI KERJA SAMA ANTAR LEMBAGA
DALAM MENGATASI KEPULANGAN FOREIGN TERRORIST FIGHTER
ASAL INDONESIA GUNA MEMPERTAHANKAN STABILITAS NASIONAL

Telah dipaparkan dihadapan Dewan Penguji pada:

Hari, Tanggal : Kamis, 12 November 2020


Waktu : Pukul 07.45 – 08.25 Wib
Tempat : Seskoad Bandung

Dinyatakan: Lulus/Tidak Lulus

1. Kolonel Inf Kukuh Hartono, S.E : …………………


(Perwira Pembimbing)

2. Kolonel Inf Junaedi, S.A.P. : …………………


(Penguji 1)

3. Kolonel Inf Sarwo Supriyo, S.I.P. : …………………


(Penguji 2)
iv

PERNYATAAN ORISINALITAS

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa Taskap


saya ini adalah hasil karya pemikiran dan ide sendiri, bukan dari plagiat
(menyalin, menyadur, mencontoh, dan mengkopi) dari karya orang lain
atau pasis sebelumnya. Apabila pada karlismil saya ternyata dikemudian
hari ditemukan bukti – bukti yang mengandung unsur plagiat atau
pelanggaran lainnya (juklak tentang produk pasis), maka saya bersedia
menerima sangsi dari Dewan Kehormatan Akademik sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.

Bandung, November 2020


Perwira Siswa

Heribertus Purwanto
Nosis. 59188
v

ABSTRAK

Nama : Heribertus Purwanto


Nosis : 59188
Judul : OPTIMALISASI KERJA SAMA ANTAR LEMBAGA DALAM
MENGATASI KEPULANGAN FOREIGN TERRORIST
FIGHTER ASAL INDONESIA GUNA MEMPERTAHANKAN
STABILTAS NASIONAL

Dengan fenomena kekalahan ISIS di Timur Tengah khususnya di


wilayah negara Suriah dan Irak, oleh serangan berbagai Negara koalisi
telah mengakibatkan kelompok ISIS ini tercerai berai dan para
simpatisannya mengalami ketidakjelasan tempat tinggal sehingga mereka
menginginkan kembali pulang ke Negara asalnya masing-masing dan hal
ini tentunya telah menimbulkan kekhawatiran dan kecemasan bagi banyak
pemimpin negara dan rakyat di berbagai tempat. Karena, Ancaman yang
telah ditimbulkan ISIS/IS tidak mengenal batas-batas teritorial, waktu, dan
prinsip-prinsip kemanusiaan. Dengan ideologi dan kepentingan global
yang disandang para pengikut, pendukung, dan simpatisannya, ISIS/IS
telah menargetkan sasaran korban yang tidak mengenal batas usia,
jender, dan latar belakang. Sebagai konsekuensinya, perkembangan di
atas telah melahirkan kewaspadaan yang tinggi di berbagai negara, dan
memaksa pemimpin mereka untuk segera meresponsnya dengan cepat
dan efektif, sejak dari hulu hingga hilirnya. Termasuk upaya di bagian
hulunya dalam hal ini adalah pekerjaan penyiapan legislasi, sehingga
dapat memetakan peta permasalahan dan tingkat ancaman yang
diberikan secara komprehensif dan tepat.

Kondisi kerja sama antarlembaga yang berwenang di bidang


Penanggulangan Aksi Terorisme dalam menghadapi kepulangan para
FTF ISIS saat ini masih belum optimal dari pencapaian yang diharapkan.
Maka dari itu, dalam penelitian ini dihasilkan suatu upaya optimalisasi
dalam meningkatkan Kerjasama antarlembaga guna menghadapi
kepulangan para FTF ISIS asal Indonesia. Sehingga, stabilitas nasional
dapat terjaga. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode
kualitatif dengan analisis deskriptif dan analisis SWOT.

Kata Kunci : Optimalisasi, Sinergi, FTF, ISIS, Stabilitas Nasional


vi

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Kuasa


yang telah melimpahkan karunia, berkah dan bimbingan-Nya sehingga
penulis dapat selalu semangat, kuat, dan diberikan kelancaran untuk
dapat menyelesaikan Kertas Karya Ilmiah Perseorangan (Taskap) dengan
judul “Optimalisasi Kerjsa sama Antar Lembaga dalam Mengatasi
Kepulangan Foreign Terrorist Fighter Asal Indonesia Guna
Mempertahankan Stabiltas Nasional” yang merupakan salah satu
persyaratan untuk menyelesaikan Pendidikan Reguler LIX Sekolah Staf
dan Komando Angkatan Darat TA 2020, dapat terselesaikan.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan


penghargaan yang setulus-tulusnya atas segala bimbingan, tuntunan dan
arahan serta bantuan yang sangat berguna dalam penyelesaian Taskap
ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih banyak


terdapat kekurangan dan kelemahan, untuk itu penulis sangat
mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun atas
sempurnanya tulisan ini. Akhir kata penulis berharap semoga Kertas
Karya Ilmiah Perseorangan (Taskap) ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak.

Bandung, November 2020


Perwira Siswa

Heribertus Purwanto
Nosis. 59188
vii

DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN ......................................................................................... i


LEMBAR PERSETUJUAN ...........................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN TASKAP ..................................................iii
PERNYATAAN ORISINALITAS ...................................................................iv
ABSTRAK ...................................................................................................v
KATA PENGANTAR ...................................................................................vi
DAFTAR ISI ................................................................................................
vii
JUDUL ........................................................................................................ix

BAB I PENDAHULUAN
1. Umum ……………………………………………………………..... 1
a. Latar Belakang ……………………………………………. 1
b. Pokok – pokok Permasalahan ………………………..…. 6
c. Kondisi Ideal dan Kondisi Sebenarnya ..……………….. 7
d. Pentingnya Penulisan ……………………………………. 9
2. Perumusan Masalah ……………………………………………..... 10
3. Maksud dan Tujuan .……………………………………………..... 10
4. Ruang Lingkup dan Tata Urut …………………………………..... 11
5. Pendekatan dan Metode …….…………………………………..... 12

BAB II LANDASAN PEMIKIRAN


6. Umum ……………………………….……………………………..... 15
7. Landasan Normatif ……..…….…………………………………..... 16
8. Landasan Teoritis ………………….……………………………..... 20
9. Kerangka Pemikiran ……..…….…………………………………... 34

BAB III GAMBARAN OBJEK PENELITIAN


10. Umum ………………….…………………………………………..... 36
11. Data dan Fakta …….……..…….…………………………………... 37
viii

12. Faktor – faktor yang Berpengaruh .……………………………..... 40


a. Faktor Internal …..…….…………………………………... 41
b. Faktor Eksternal ……….………………………………….. 49

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN


13. Umum ………………….…………………………………………..... 58
14. Analisis dan Pembahasan Peran Masing-Masing Lembaga
Terkait Dalam Mengatasi Isu Terorisme di Indonesia …….…. 60
15. Analisis dan Pembahasan Mekanisme Hubungan Kerja Antar
Lembaga Terkait Penanganan Isu Kepulangan FTF ke
Indonesia …….………………………………….......................... 78
16. Analisis dan Pembahasan Instrumen dan Dasar Hukum
Penanganan Isu Kepulangan FTF Yang Bisa Digunakan Antar
Lembaga ..…….………………………..………........................... 89
17. Gagasan Inovasi …….………………………………………….... 99

BAB V PENUTUP
18. Kesimpulan …………….…………………………………………. 104
19. Saran ………….……….………………………………….……..... 106

DAFTAR PUSTAKA ……….……….…………………………………... 109

DAFTAR LAMPIRAN ……….……….………………….…………….... x


1. ALUR PIKIR ………….…..…….…………………………………. 112
2. DAFTAR RIWAYAT HIDUP ……….…………..……………….. 113
3. DAFTAR TABEL ……….………….……………………………... 114
4. DAFTAR GAMBAR ……….……….…………………………….. 115
5. DAFTAR SINGKATAN …….……….……………………….…… 116
6. PENGERTIAN-PENGERTIAN ……….…..…………………….. 118
ix

JUDUL

OPTIMALISASI KERJA SAMA ANTAR LEMBAGA DALAM


MENGATASI KEPULANGAN FOREIGN TERRORIST
FIGHTER ASAL INDONESIA GUNA MEMPERTAHANKAN
STABILITAS NASIONAL
BAB I
PENDAHULUAN

1. Umum.

a. Indonesia menganut suatu sistem pertahanan yang bersifat


semesta. Sistem ini melibatkan masyarakat Indonesia dalam
berbagai upaya pertahanan. Pada dasarnya sistem pertahanan
semesta tidak sama dengan total war. Sistem ini berfungsi baik
dalam kondisi perang maupun tidak. Di dalam sistem ini ada
kolaborasi antara militer dan sipil, tetapi masing-masing mengemban
peranan yang berbeda. Sistem ini yang menjadi dasar pembentukan
kebijakan pertahanan Indonesia. Lebih lanjut, pertahanan Indonesia
terdiri dari pertahanan militer dan nirmilter. Pertahanan militer
diklasifikasikan menjadi Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi
Militer Selain Perang (OMSP). OMP dilaksanakan dalam
peperangan menghadapi ancaman atau serangan dari Negara lain,
sedangkan OMSP dilaksanakan untuk menghadapi berbagai
ancaman selain perang, termasuk terorisme dan gerakan separatis.
Sementara itu, pertahanan nirmiliter diklasifikasikan menjadi
kekuatan nirmiliter dan pertahanan sipil. Kekuatan militer mengacu
pada pembentukan komponen cadangan dan komponen
pendukung. Pertahanan sipil mengacu pada berbagai kegiatan yang
bertujuan untuk mendukung kekuatan pertahanan negara, seperti
penanganan bencana alam, bantuan sosial, psikologi pertahanan,
dan teknologi. Selanjutnya, dalam masyarakat Indonesia terdapat
pola pikir yang memisahkan antara keamanan (bidang yang
diemban oleh polisi) dan pertahanan (bidang yang diemban oleh
TNI). Pola pikir ini memengaruhi pembagian tugas antara dua aparat
pemerintahan Indonesia yang sebelumnya tergabung dalam
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Selain itu,
2

masyarakat Indonesia juga mempunyai perspektif yang


menyamakan radikalisme dengan terorisme.
Setelah kita mengetahui mengenai kondisi pertahanan dan
keamanan di Indonesia yang mana isu terorisme merupakan salah
satu ancaman yang dapat mengganggu stabilitas keamanan
nasional. Hal tersebut kemudian akan berkorelasi dengan fenomena
kekalahan Islamic States in Irak and Suriah (ISIS) atau al-Dawlah al-
Islamiyah fii’I-Iraki wa-sySyaam (Daesh dalam singkatan bahasa
Arab-nya) di Timur Tengah khususnya di wilayah negara Suriah dan
Irak, oleh serangan berbagai Negara koalisi telah mengakibatkan
kelompok ISIS ini tercerai berai dan para simpatisannya mengalami
ketidakjelasan tempat tinggal sehingga mereka menginginkan
kembali pulang ke Negara asalnya masing-masing dan hal ini
tentunya telah menimbulkan kekhawatiran dan kecemasan bagi
banyak pemimpin negara dan rakyat di berbagai tempat. Karena
ancaman yang telah ditimbulkan ISIS tidak mengenal batas-batas
teritorial, waktu, dan prinsip-prinsip kemanusiaan. Dengan ideologi
dan kepentingan global yang disandang para pengikut, pendukung,
dan simpatisannya, ISIS telah menargetkan sasaran korban yang
tidak mengenal batas usia, jenis kelamin, dan latar belakang.
3

Gambar 1.1
Infografis Kekalahan ISIS1

Sebagai konsekuensinya, perkembangan di atas telah


melahirkan kewaspadaan yang tinggi di berbagai negara, dan
memaksa pemimpin mereka untuk segera meresponsnya dengan
cepat dan efektif, sejak dari hulu hingga hilirnya. Termasuk upaya di

1https://www.matain.id/s/r/read.html?cnm=news&cid=10014&selected=/2019/0328/detail/

&fid=2984983&sid=10002
4

bagian hulunya dalam hal ini adalah pekerjaan penyiapan legislasi,


sehingga dapat memetakan peta permasalahan dan tingkat
ancaman yang diberikan secara komprehensif dan tepat. Serangan
terorisme internasional yang berulang ini mengejutkan pemimpin
negara dan banyak pihak di dunia. Kurang dari sebulan sebelumnya,
kelompok ISIS, telah melakukan 4 kali aksi terorisme internasional di
4 negara, dengan jumlah korban mencapai 500 orang warga sipil
yang tidak terlibat sama sekali dalam perang. Pertama-tama tentu
saja harus dipahami bahwa ISIS merupakan organisasi bawah tanah
(clandestine) atau tandzim siri, yang aktivitas dan operasi
terorismenya bersifat sangat tertutup atau rahasia. Para pengikut
dan aktor terorismenya pun mengisolasikan diri mereka dari
masyarakat. Paling tidak terdapat beberapa kelompok Islam
konservatif atau radikal di setiap negara di kawasan Asia Tenggara,
yang mendukung cita-cita ISIS di pusat, tempat ISIS lahir atau
berasal, yakni di negara-negara Timur-Tengah. Cita-cita tersebut
adalah terwujudnya khilafah global melalui perjuangan jihad dengan
kekerasan dan menghalalkan segala macam cara, termasuk
pembunuhan terhadap kalangan Muslim sendiri, selain kalangan
non-Muslim, termasuk perempuan dan anak-anak. Jadi, walaupun
perjuangan menegakkan khilafah di Malaysia, Singapura dan
Indonesia, dilakukan masing-masing kelompok, namun mereka tetap
memiliki komunikasi dengan pusatnya di Suriah dan negara Timur-
Tengah lainnya, ataupun Filipina Selatan. Sehingga, selalu saja
ditemukan Warga Negara Indonesia, Malaysia, atau lainnya sebagai
foreign terrorist fighter (FTF) dalam serangan terorisme pro-ISIS di
Indonesia, Filipina, dan lain-lain.
5

Gambar 1.2
Teror ISIS di ASEAN2

Dengan berbagai sepak terjang ISIS yang telah dijelaskan di


atas, kita ketahui bahwa ISIS merupakan suatu ancaman yang
serius, bahkan tindakan terorisme merupakan tindak kejahatan luar
biasa sehingga penanganannya harus dilakukan dengan efektif dan
cepat. Ditambah lagi, saat ini simpatisan ISIS/ FTF ISIS asal
Indonesia mendesak dan memaksa ingin pulang kembali ke tanah
air, hal tersebut tentunya akan menimbulkan potensi ancaman yang
besar terhadap stabilitas keamanan nasional Indonesia. Kerja sama
antar lembaga tentunya diperlukan dalam penanganan
permasalahan ini, tidak bisa hanya mengandalkan satu lembaga
saja karena pada pelaksanaannya tidak akan efektif. Sehingga
daripada itu dalam tulisan ini, Pasis mencoba menganalisa lebih
mendalam mengenai kerja sama antar lembaga dalam penanganan

2
https://www.validnews.id/INfografis-Teror-Terkain-ISIS-di-Asean--7j
6

FTF dan adanya ancaman yang akan dihadapi Indonesia apabila


para FTF ini kembali menginjakkan kaki di Indonesia.

b. Indonesia sendiri telah dijadikan sebagai salah satu dari


empat negara sasaran serangan ISIS untuk persiapan pembentukan
kekhalifahannya di Asia Tenggara. Karena itulah, Kapolri dan Kepala
BIN melanjutkan status Siaga I di bulan Desember 2015, pasca-
pelaksanaan Pilkada serentak. Setelah Aman (Oman) Abdurrahman,
pemimpin ISIS Nusantara (Indonesia), pendiri Jamaah Ansharut
Daulah (JAD), ditahan oleh aparat keamanan Indonesia akibat aksi-
aksi terorismenya yang panjang sejak tahun 2003, pimpinan aktivitas
terorisme pro-ISIS diambil alih kaum muda.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Revisi
Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada Bab VIIB tentang
Kelembagaan, Pasal 43e dan 43f menjelaskan bahwa Badan
Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) adalah badan nasional di
bawah presiden yang berwenang untuk menyelenggarakan urusan
di bidang Penanggulangan Aksi Terorisme dan memiliki fungsi untuk
menyusun, menetapkan, serta mengkoordinasikan kebijakan,
strategi, dan program nasional di bidang Penanggulangan Aksi
Terorisme3. Hal ini berarti di luar aspek penindakan melalui proses
penegakan hukum yang menjadi domain Kepolisian Republik
Indonesia (Polri), upaya Penanggulangan Aksi Terorisme juga dapat
dioptimalkan pada upaya pencegahan dengan menggunakan
sumber daya intelijen yang dimiliki oleh Badan Intelijen Nasional
(BIN) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI), serta dengan
memanfaatkan dukungan akses yang dapat disediakan oleh
Kemenkopolhukam.

3Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun


2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
7

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen


Negara dijelaskan bahwa baik TNI, Polri, Penegak Hukum maupun
Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian adalah bagian
dari intelijen negara yang berperan untuk melakukan upaya,
pekerjaan, kegiatan dan tindakan untuk deteksi dini dan peringatan
dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan
terhadap setiap hakekat ancaman yang mungkin timbul serta
mengancam kepentingan dan keamanan nasional4. Maka dari itu,
kerja sama antar lembaga dibutuhkan dalam menghadapi ancaman
FTF asal Indonesia yang akan kembali ke tanah air, dihadapkan
pada kondisi koordinasi antar lembaga saat ini masih belum optimal
karena seperti yang telah diketahui bahwa banyak simpatisan ISIS
yang lolos masuk ke Indonesia dan menebarkan terror dan membuat
kerusakan di Indonesia.

c. Berdarkan beberapa data dan fakta yang disebutkan di atas


sebenarnya hanya sebagian kecil saja dari beberapa peristiwa
penyerangan yang dilakukan oleh teroris di Indonesia, belum lagi
permasalahan yang muncul di awal tahun 2020 dimana para
simpatisan ISIS asal Indonesia meminta dipulangkan kembali ke
tanah air, hal tersebut tentunya akan semakin menambah
permasalahan terorisme di Indonesia. Sehingga idealnya, dalam
upaya Penanggulangan Aksi Terorisme seharusnya dapat berjalan
secara komprehensif melalui kerja sama antar lembaga yang
bertanggungjawab dalam penanganan ancaman nasional berupa
terorisme serta tidak terkungkung pada upaya pendekatan hukum
semata sebagaimana yang terjadi saat ini. Sebenarnya, dalam
menghadapi tren ancaman terorisme yang semakin dinamis,
pemerintah Indonesia telah melakukan upaya dengan menerbitkan

4 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2011 Tentang Intelijen Negara


8

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 sebagai revisi dari Undang-


Undang Anti Terorisme Nomor 15 Tahun 2003. Di mana melalui
undang-undang tersebut, menempatkan BNPT sebagai Lembaga
Negara Non Kementerian yang menjadi leading sector dalam upaya
Penanggulangan Aksi Terorisme, serta mendorong pelibatan TNI di
dalamnya5 dan juga peran aktif dari lembaga-lembaga terkait
lainnya.
Akan tetapi, kenyataannya dapat dilihat bahwa penanganan
terorisme di Indonesia sendiri saat ini masih belum maksimal,
terbukti dengan masih ada saja aksi-aksi yang dilakukan oleh teroris
di berbagai wilayah dan juga masih tersebar berbagai sel teroris di
seluruh Indonesia. Adanya disparitas kewenangan dan dukungan
anggaran serta perbedaan budaya organisasi secara tidak langsung
berpengaruh terhadap tidak optimalnya performa dari masing-
masing lembaga tersebut. Sedangkan menurut Buku Putih
Kementerian Pertahanan disebutkan bahwa terorisme merupakan
salah satu ancaman terhadap keamanan negara yang dalam
penanganannya diperlukan suatu upaya yang bersifat komprehensif.
Konsekuensinya, pelibatan institusi-insitusi pemerintahan yang
terkait dalam menanggapi ancaman yang mengganggu stabilitas
dan keutuhan negara Indonesia perlu diletakkan dalam suatu wadah
kerja sama yang utuh, sehingga beban kerjanya dapat terbagi secara
proporsional sesuai kapasitas dan kapabilitas masing-masing. Pada
akhirnya, seluruh persoalan di atas bermuara pada belum adanya
suatu bentuk kerja sama yang efektif di antara Kemenkopolhukam,
BNPT, BIN, TNI, dan Polri sebagai yang berperan sebagai
stakeholder inti di bidang Penanggulangan Aksi Terorisme di

5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU Nomor 15 Tahun


2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
9

Indonesia, terlebih lagi dalam menghadapi kepulangan para


simpatisan ISIS dari Suriah dan Irak.

d. Pasis ingin mengangkat urgensi dari kerja sama antar


lembaga dalam penanganan serta pencegahan potensi konflik yang
ditimbulkan akibat kepulangan para simpatisan ISIS ke Indonesia.
Hal tersebut dianggap perlu untuk dikaji sebagai bahan
pertimbangan bagi Komando Atas dan juga Pemerintah dalam
penanganan FTF maupun teroris yang sudah berada di Indonesia
kedepannya. Dengan adanya upaya yang maksimal dari lembaga-
lembaga terkait yang memiliki kewajiban untuk menangani
permasalahan teroris ini diharapkan akan memberikan kesiapan
yang lebih matang dalam menghadapi potensi konflik akibat
kepulangan FTF simpatisan ISIS, hal tersebut sejalan dengan
kunjungan Menkopolhukam ke Markas Kopassus pada hari Rabu, 8
Juli 2020 yang mana Menkopolhukam menegaskan bahwa TNI akan
dilibatkan dalam penananganan aksi terorisme. Kerja sama dalam
mengatasi kepulangan FTF asal Indonesia yang efektif dan
komprehensif antarlembaga yang berperan penting dalam
Penanggulangan Aksi Terorisme, yaitu Kemenkopolhukam, BNPT,
BIN, TNI, dan Polri. Oleh karena itu, Pasis berpendapat bahwa kerja
sama antar lembaga sangat penting dalam penanganan terorisme
serta harus segera dikaji dan diimplementasikan, sehingga nilai akhir
dalam tulisan ini akan berguna bagi pemerintah dalam mengatasi
kepulangan FTF asal Indonesia guna mempertahankan stabilitas
pertahanan dan keamanan nasional. Maka dari itu peneliti
bermaksud untuk melakukan kajian yang lebih mendalam (in-deepth
research) melalui penelitian yang berjudul “Optimalisasi Kerja
sama antar Lembaga dalam Mengatasi Kepulangan Foreign
Terrorist Fighter Asal Indonesia Guna Mempertahankan
Stabilitas Nasional”.
10

2. Perumusan Masalah. Berdasarkan hasil penjajakan penelitian yang


telah dilakukan, ditemukan suatu permasalahan yaitu saat ini dunia
dihadapkan pada gelombang kepulangan para FTF ISIS ke berbagai
negara termasuk Indonesia. Hal tersebut tentunya apabila FTF asal
Indonesia berhasil pulang ke tanah air akan berpotensi pada maraknya aksi
teror yang terjadi di Indonesia dan tentunya akan mengancam stabilitas
pertahanan dan keamanan nasional Indonesia. Sehingga, diperlukan kerja
sama yang optimal dari setiap lembaga terkait dalam penanganan
kepulangan para FTF asal Indonesia tersebut. Dengan melihat pada fakta
tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut dan menuangkan
gagasan penelitian dalam rumusan permasalahan dan rumusan masalah
tersebut dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana peran masing-masing lembaga terkait dalam


mengatasi isu terorisme di Indonesia?
b. Bagaimana mekanisme hubungan kerja antar lembaga terkait
penanganan isu kepulangan FTF ke Indonesia?
c. Bagaimana instrumen dan dasar hukum penanganan isu
kepulangan FTF yang bisa digunakan antar lembaga?

3. Maksud dan Tujuan. Berdasarkan latar belakang dan rumusan


permasalahan yang dipaparkan oleh penulis pada halaman sebelumnya,
penulis memiliki maksud dan tujuan penelitian sebagai berikut:

a. Maksud. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan


gambaran tentang bagaimana optimalisasi kerja sama antarlembaga
dalam rangka mengatasi kepulangan FTF asal Indonesia guna
mempertahankan stabilitas nasional.
11

b. Tujuan. Berdasarkan rumusan masalah dan fokus penelitian


yang telah dirumuskan, maka tujuan penelitian ini dilaksanakan
adalah untuk:
1) Mendeskripsikan dan menganalisis peran masing-
masing lembaga terkait dalam mengatasi isu terorisme di
Indonesia.
2) Mendeskripsikan dan menganalisis mekanisme
hubungan kerja antar lembaga terkait penanganan isu
kepulangan FTF ke Indonesia.
3) Mendeskripsikan dan menganalisis instrumen dan
dasar hukum penanganan isu kepulangan FTF yang bisa
digunakan antar lembaga.

4. Ruang Lingkup dan Tata Urut.

a. Ruang Lingkup. Fokus analisis penulis dalam karya tulis ini


adalah mengenai optimalisasi kerja sama antarlembaga Negara
Kementerian dan Non Kementerian dalam mengatasi kepulangan
FTF asal Indonesia guna mempertahankan stabilitas nasional
dengan berlandaskan kepada landasan pemikiran dan teori yang
sesuai agar dapat memahami norma serta ketentuan ideal yang
diharapkan. Pokok bahasan dalam penelitian ini dibatasi pada kerja
sama antarlembaga yang terdiri dari Kemenkopolhukam, BNPT,
BIN, TNI, dan Polri guna mewujudkan kerja sama dalam rangka
mengatasi kepulangan simpatisan ISIS asal Indonesia dari Suriah
dan Irak.

b. Tata Urut. Dalam penulisan Taskap ini, tata urut merupakan


suatu penjabaran secara deskriptif tentang hal-hal yang akan ditulis,
secara garis besar terdiri dari Bagian Awal, Bagian Isi dan Bagian
12

akhir. Adapun tata urut dari penulisan Taskap ini antara lain sebagai
berikut:

1) Pendahuluan
2) Landasan Pemikiran
3) Gambaran Obyek Penelitian
4) Analisis dan Pembahasan
5) Penutup

5. Pendekatan dan Metode.

a. Pendekatan. Penelitian ini menggunakan pendekatan


deskriptif kualitatif, dan jenis penelitian yang digunakan adalah
kepustakaan (library research), yaitu mengumpulkan data atau karya
tulis ilmiah yang berkaitan dengan obyek penelitian atau
pengumulan data yang bersifat kepustakaan. Atau telaah yang
dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah yang pada
dasarnya tertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap
bahan- bahan pustaka yang relevan.

b. Metode. Metode penelitian dengan kajian pustaka atau studi


kepustakaan yaitu berisi teori-teori yang relevan dengan masalah –
masalah penelitian. Menurut M. Nazir studi kepustakaan adalah
teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan
terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporan-
laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan6.
Selanjutnya M Nazir menambahkan bahwa studi kepustakaan
merupakan langkah yang penting, dimana setelah seorang peneliti
menetapkan topik penelitian, langkah selanjutnya adalah melakukan

6
M. Nazir. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hal. 27
13

kajian yang berkaitan dengan teori topic penelitian. Dalam pencaran


teori, peneliti akan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya
dari kepustakaan yang berhubungan. Sumber-sumber kepustakaan
dapat diperoleh dari buku, jurnal, majalah, hasil-hasil penelitian dan
sumber-sumber lainnya yang sesuai.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, oleh karena
itu teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah
pengumpulan data literer yaitu bahan-bahan yang koheren dengan
objek-objek pembahasan yang dimaksud. Data yang ada dalam
kepustakaan tersebut dikumpulkan dan diolah dengan cara7:
1) Editing, yaitu pemeriksaan kembali data yang
diperoleh terutama dari segi kelengkapan, kejelasan makna
dan keselarasan makna antara yang satu dengan yang lain
2) Organizing, yaitu mengorganisir data yang diperoleh
dengan kerangka yang sudah diperlukan
3) Penemuan hasil penelitian, yaitu melakukan analisis
lanjutan terhadap hasil pengorganisasian data dengan
menggunakan kaidah-kaidah, teori dan metode yang telah
ditentukan sehingga diperoleh kesimpulan tertentu yang
merupakan hasil jawaban dari rumusan masalah.

Analisis data dalam penelitian pustaka ini adalah analisis isi


(content analysis) yaitu penelitian yang bersifat pembahasan
mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak. Atau
analisis isi adalah suatu teknik penelitian untuk membuat infrensi-
infrensi yang dapat ditiru dan sahih data dengan memperhatikan
konteksnya8. Adapun tahapan analisis isi yang ditempuh oleh peneliti
adalah dengan langkah-langkah

7
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka
Cipta, 1990. Hal. 24
8
Krippendrof Klaus, “Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi, terj Farid Wajidi”,.
Jakarta: Citra Niaga Rajawali Press, 1993. Hal.15.
14

1) Menentukan permasalahan.
2) Menyusun kerangka pemikiran.
3) Menyusun perangkat metodologi yang terdiri dari
rangkaian metode metode yang mencakup:
a) Menentukan metode pengukuran atau prosedur
operasionalisasi konsep.
b) Menentukan universe atau populasi yang akan
diteliti serta bagaimana pengambilan sampelnya.
c) Menentukan metode pengumpulan data dengan
membuat cooding sheet.
d) Menentukan metode analisis.
4) Analisis data.
5) Interpretasi data.9

9
Bungin Burhan. Metodologi penelitian kualitatif, Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam
Varian Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2004. Hal. 139-142
BAB II
LANDASAN PEMIKIRAN

6. Umum. Berkaitan dengan fenomena kekalahan ISIS di Suriah


dan Irak yang memicu gelombang kepulangan para FTF ke negara asalnya
termasuk Indonesia sehingga akan menimbulkan ancaman terhadap
stabilitas keamanan nasional, tentunya di Indonesia sendiri mempunyai
lima Institusi Kementerian dan Lembaga Non Kementerian Republik
Indonesia yang memiliki peranan penting (major player) di dalam upaya
Penanggulangan Aksi Terorisme, yaitu Kemenkopolhukam, BNPT, BIN,
TNI, dan Polri. Hal ini dilandasi dengan pemahaman bahwa kelima Institusi
tersebut memiliki kapasitas dan kapabilitas yang dibutuhkan untuk
mewujudkan strategi nasional dalam menanggulangi aksi teror
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018.
Namun di sisi lain, mekanisme kerja sama di antara kelima institusi tersebut
masih terbatas dalam bentuk kerja sama dua arah antar instansi dan tidak
bersifat kolaboratif. Saat ini, kerja sama yang terwujud adalah sebatas
antara BNPT dengan Bais TNI yang telah memiliki Memorandum of
Understanding (MoU). Berangkat dari kondisi tersebut, maka akan dibahas
suatu optimalisasi kerja sama antara lembaga terkait guna mewujudkan
Sinergi Operasi Intelijen dan juga dalam Penegakan Hukum guna
menghadapi kepulangan para simpatisan ISIS/ Foreign Terrorist Fighter
asal Indonesia. Paradigma Nasional yang berubah semenjak reformasi,
peraturan perundang-undangan, landasan teori yang berkembang, dasar
pemikiran perumus serta beberapa referensi pustaka menjadi landasan
pemikiran pembuatan karya tulis ini, sekaligus merupakan landasan yang
saling terkait dan mengikat satu sama lain. Maka dari itu, sebagai landasan
pemikiran dalam penelitian ini yang merupakan instrumental input berupa
paradigma nasional, yuridis, doktrin, dan teori-teori yang berkaitan dengan
pemecahan masalah. Landasan pemikiran ini berkaitan dengan
pembahasan latar belakang pada BAB I yang berkaitan dengan judul

15
16

Taskap yang selanjutnya diteliti, yaitu optimalisasi kerja sama antar


lembaga dalam mengatasi kepulangan foreign terrorist fighter asal
Indonesia guna mempertahankan stabilitas nasional.

7. Landasan Normatif.

a. Pancasila. Merupakan dasar negara Republik Indonesia,


baik dalam arti sebagai dasar ideologi maupun filosofi bangsa.
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia (ideologi) dan menjadi
pedoman hidup (way of life), jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia
(Kaelan, 2002, hal. 1).10 Oleh karena itu, melalui pendididkan
Pancasila, peserta didik diharapkan mampu memahami,
menganalisis, dan menjawab masalah yang dihadapi secara
berkesinambungan dan konsisten dengan cita-cita dan tujuan
nasional dalam Pembukaan UUD 1945. Sehingga dengan demikian,
Pendidikan Pancasila bertujuan untuk menghasilkan peserta didik
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia,
mendukung persatuan bangsa, mengutamakan kepentingan
bersama, dan berupaya mewujudkan keadilan sosial dalam
masyarakat. Pancasila terkandung di dalamnya suatu pemikiran-
pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan
komprehensif, sehingga sistem pemikiran ini merupakan suatu
nilai.11 Oleh karena itu, Pancasila memberikan dasar-dasar yang
bersifat fundamental dan universal bagi manusia baik dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bila dijabarkan dalam
kehidupan yang nyata pada masyarakat, bangsa maupun negara
maka nilai tersebut dijabarkan dalam suatu norma-norma yang jelas,
yaitu norma moral dan norma hukum atau sistem perundangan yang

10 Kaelan. Filsafat Pancasila: Pandangan hidup bangsa Indonesia. Yogyakarta:


Paradigma. 2002. Hal. 1
11 Ibid,. Hal.2
17

berlaku di Indonesia. Istilah nilai dalam bidang filsafat dipakai untuk


menunjuk kata benda abstrak “keberhargaan” atau “kebaikan”, dan
kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam
menilai atau melakukan penilaian.12 Lebih lanjut, hal ini berarti
semangat persatuan dalam sila ketiga Pancasila harus menjadi
landasan bagi lembaga-lembaga, dalam hal ini Kemenkopolhukam,
BNPT, BIN, TNI, dan Polri guna mewujudkan sinergi pada Operasi
Intelijen dan Penegakan Hukum dalam Penanggulangan Aksi
Terorisme di Indonesia.

b. Undang-undang Dasar 1945. Merupakan sumber motivasi


dan aspirasi perjuangan serta tekat bangsa Indonesia dan sumber
cita-cita hukum dan cita-cita moral yang ingin ditegaskan oleh
bangsa Indonesia serta sekaligus merupakan dasar dan sumber
hukum dari batang tubuhnya. Pembukaan Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945 alinea keempat menegaskan bahwa "Negara Kesatuan
Republik Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa".
Pernyataan ini menunjukkan komitmen awal para pendiri Bangsa
Indonesia dalam melindungi, mensejahterakan dan mencerdaskan
segenap bangsa Indonesia. Selanjutnya, berdasarkan UUD 1945
pada amandemen yang ke-II sudah secara tegas memasukkan hak
atas rasa aman ini di dalam pasal 28A-28I. Juga diatur dalam Pasal
30 UU HAM yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas rasa aman
dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu.” dan Pasal 35 UU HAM: “Setiap
orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan
yang damai, aman dan tentram yang menghormati, melindungi dan

12Darmodiharjo, D. (1991). Santiaji Pancasila: Tinjauan filosofis, historis dan


yuridiskonstitusional. Surabaya: Usaha Nasional.
18

melaksakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar


manusia sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.”
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa setiap warga
negara indonesia berhak atas rasa aman dari segala bentuk
ancaman. Lebih lanjut, guna memberikan rasa aman kepada
masyrakat, hal tersebut dijelaskan pada isi UUD 1945 Bab IX tentang
Pertahanan Negara dan Keamanan Negara pasal 30 ayat (2),
tersebut bahwa usaha pertahanan dan keamanan negara
dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat
semesta oleh TNI dan Polri sebagai kekuatan utama serta rakyat
sebagai kekuatan pendukung.

c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002


tentang Pertahanan Negara. Sistem pertahanan negara adalah
sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh
warga negara, wilayah dan sumber daya nasional lainnya serta
dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan
secara total, terpadu, terarah dan berlanjut untuk menegakkan
kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan segenap
bangsa dari segala ancaman13. Kerja sama antara
Kemenkopolhukam, BNPT, BIN, TNI dan Polri dalam mengatasi
kepulangan Foreign Terrorist Fighter asal Indonesia sangat
diperlukan untuk melaksanakan tugas sebagai komponen utama
Hankamneg.

d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun


2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam undang-
undang ini dijelaskan bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan
kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang

13 Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Pasal 1 ayat (2)
19

berdasarkan Pancasila dan UUD NKRI Tahun 1945, serta


melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia
dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Selanjutnya tugas pokok tersebut dilaksanakan melalui Operasi
Militer untuk Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang
(OMSP)14. Adapun dalam tugas-tugas OMSP Pada pasal 7 ayat 2b
salah satunya adalah mengatasi aksi terorisme dan membantu Polri
dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang
diatur dalam undang-undang.

e. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018


tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sinergi
kerja sama antar lembaga terkait menjadi kata kunci dalam upaya
mensukseskan implementasi Undang-Undang Anti Teror ini,
khususnya yang terkait peran TNI dan Polri. Penanganan Tindak
Pidana Terorisme merupakan tanggung jawab bersama lembaga-
lembaga terkait, termasuk dalam hal ini Kemenkopolhukam, BNPT,
BIN, TNI, dan Polri. Apabila ditinjau dari sudut pandang hukum yang
berlaku di Indonesia, maka pengertian Terorisme adalah perbuatan
yang menggunakan kekerasan atau ancaman yang menimbulkan
suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat
menimbulkan korban yang bersifat massal, dan atau menimbulkan
kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang
strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional
dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan15

14 Ibid, Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002.


15 Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2018, Loc. Cit, Pasal 1 ayat (2)
20

8. Landasan Teoritis. Analisis SWOT (kekuatan (strengths),


kelemahan (weaknesses), peluang (Oppurtinity), serta Ancaman (threats)
dalam permasalahan penguatan nasionalisme masyarakat disaat pandemi
global. Berdasarkan permasalahan yang terjadi dan dihadapkan kepada
tujuan, sasaran, objek dan subjek yang diteliti maka dapat dilakukan
perumusan pemecahan masalah yang meliputi strategi analisa faktor yang
berpengaruh baik secara internal maupun eksternal, kemudian dilakukan
analisa secara kualitatif serta kuantiatif sehinga dapat ditentukan strategi
dan program yang tepat dalam pemecahan masalah. Adapun dalam
menganalisis permasalahan hasil penelitian ini penulis akan menggunakan
Metode Analisis SWOT. Analisis SWOT adalah analisis kondisi internal
maupun eksternal suatu organisasi yang selanjutnya akan digunakan
sebagai dasar untuk merancang strategi dan program kerja. Menurut
Jogiyanto, SWOT digunakan untuk menilai kekuatan-kekuatan dan
kelemahan-kelemahan dari sumber-sumber daya yang dimiliki perusahaan
dan kesempatan-kesempatan eksternal dan tantangan-tantangan yang
dihadapi.16 Analisis internal meliputi penilaian terhadap faktor kekuatan
(Strengths) dan kelemahan (Weakness). Sementara, analisis eksternal
mencakup faktor peluang (Opportunities) dan tantangan (Threaths). Ada
dua macam pendekatan dalam analisis SWOT, yaitu Pendekatan kualitatif
matriks SWOT sebagaimana dikembangkan oleh Kearns menampilkan
delapan kotak, yaitu dua paling atas adalah kotak faktor eksternal (Peluang
dan Tantangan) sedangkan dua kotak sebelah kiri adalah faktor internal
(Kekuatan dan Kelamahan).17 Empat kotak lainnya merupakan kotak isu-
isu strategis yang timbul sebagai hasil titik pertemua antara faktor-faktor
internal dan eksternal.

16 Jogiyanto, Sistem Informasi Strategik untuk Keunggulan Kompetitif , Yogyakarta : Andi


Offset, 2005, hlm 46
17 Kearns, Kevin P, )“From Comparative Advantage to Damage Control: Clarifying Strategic

Issues Using SWOT Analysis,” Nonprofit Management and Leadership , New York: Henry
HoltUniversity, 1992
21

a. Teori Sinergi. Hubungan atau komunikasi para pihak dalam


mewujudkan suatu tugas bersama akan memunculkan berbagai
macam pola yang berbeda bila dihadapkan elemen kepercayaan
dan kerja sama yang dimiliki oleh pihak masing-masing. Tiga pola
tersebut meliputi18:

1) Defensif. Tingkat kerja sama dan kepercayaan yang


rendah akan mengakibatkan pola hubungan komunikasi yang
bersifat pasif/defensif.
2) Respectful. Tingkat kerja sama dan kepercayaan
yang meningkat memunculkan suatu pola komunikasi yang
bersifat kompromi saling menghargai.
3) Synergistic. Dengan kerja sama yang tinggi serta
saling mempercayai akan menghasilkan pola komunikasi
yang bersifat sinergi (simbiosis mutualisme) yang berarti
bahwa kerja sama yang terjalin akan menghasilkan "Output"
yang jauh lebih besardari jumlah hasil keluaran masing-
masing pihak.

Sinergi adalah bentuk kerja sama win-win solution yang


dihasilkan melalui kolaborasi masing-masing pihak tanpa adanya
perasaan kalah. Menurut Stephen Covey, jika 1 + 1 = 3, maka itulah
yang disebut “Synergy”. Sinergi adalah saling mengisi dan
melengkapi perbedaan untuk mencapai hasil lebih besar daripada
jumlah bagian per bagian. Lebih lanjut menurut Hampden-Turner
(1990) menyatakan bahwa aktivitas sinergi merupakan suatu proses
yang melibatkan berbagai aktivitas, yang berjalan bersama sehingga
menciptakan sesuatu yang baru. Sinergi merupakan hasil dari suatu
relasi dialogik antara berbagai sumber pengetahuan yang berbeda,

18 Teori Sinergi. Diakses dari : http://lib.lemhannas.go.id/public/media/catalog. Pada


tanggal 1 Februari 2018
22

dan merupakan suatu proses yang mengakumulasikan berbagai


macam pengetahuan. Kemudian Hartanto19 menyatakan sinergi
adalah suatu gagasan baru, yang terbentuk dari berbagai macam
gagasan yang diajukan oleh banyak pihak hingga menghasilkan
suatu gagasan baru, yang dilandasi oleh pola pikir atau konsep yang
baru.
Pengertian kualitas sinergi sebagai kualitas hasil kerja sama
yang kritikal adalah senada dengan kualitas kerja sama dalam
proses kolaboratif seperti yang diutarakan oleh Gray (1996), dan
seperti diutarakan oleh Bennis & Biederman (1997) sebagai creative
collaboration, yang menggambarkan kerja sama yang dapat
menghasilkan lebih dari apa yang diperkirakan oleh siapapun.
Sesungguhnya teori sinergi (synergy) mengacu pada gaya
manajemen sinergik dalam organisasi yaitu senantiasa menciptakan
harmonis20.
Oleh karena itu dapat dijelaskan bahwa landasan teori sinergi
dapat digunakan dalam penelitian ini dengan mengacu pada konsep
“togetherness, creating and sustaining performance”, sedangkan
prinsip yang dikembangkan mengacu pada prinsip dasar kompetisi
yang bertumpu pada perkembangan lingkungan strategis. Dalam
istilah manajemen, sinergi diartikan bersaing dengan lebih baik dari
yang diharapkan untuk meraih kebersamaan (togetherness).
Dengan demikian, maka secara langsung sinergi atau kemitraan
kerja antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha akan tumbuh
menjadi wadah sinergi yang efisien; berkualitas; fleksibel dan
inovatif. Oleh sebab itu, wadah sinergi sebagai ciri kerja sama
kemitraan harus senantiasa dikembangkan secara dinamis sesuai

19 Hartanto, F.M. 1996. Kepemimpinan Sinergistik: Membangun Keunggulan Melalui


Kerjasama dan Aliansi Strategik. Studio Manajemen Jurusan Teknik Industri Institut
Teknologi Bandung. Bandung, 2-6.
20 Salusu. Pengambilan Keputusan Stratejik, Edisi 7. Jakarta: Grasindo. 2004. Hal. 24
23

dengan konsep “learning organization” mengikuti trend atau


perkembangan lingkungan strategis (Senge,1996).

b. Teori Kerja sama. Dalam kerja sama tentunya akan merujuk


pada praktik seseorang atau kelompok yang lebih besar yang
bekerja di khayalak dengan tujuan atau kemungkinan metode yang
disetujui bersama secara umum, alih-alih bekerja secara terpisah
dalam persaingan. Kerja sama dapat diartikan sebagai sebuah
pekerjaan/usaha yang dilakukan secara bersama-sama, untuk
memperoleh tujuan bersama dan hasil yang dapat dinikmati
bersama. Kerja sama umumnya mencakup paradigma yang
berlawanan dengan kompetisi. Banyak orang yang mendukung kerja
sama sebagai bentuk yang ideal untuk pengelolaan urusan
perorangan.21 Dengan kata lain, komponen – komponen yang
tampak independen dapat bekerja sama untuk menciptakan suatu
sistem dari bagian-bagian yang sangat kompleks, lebih besar dari
pada jumlah yang ada yang memiliki tujuan yang sama.22
Kerja sama adalah sesuatu yang terjadi secara alami,
kelompok dapat maju dengan baik apabila ada kerja sama yang baik
pula antar sesama anggota kelompok. Kerja sama tersebut tidak
dibuat-buat, melainkan antar anggota kelompok memiliki rasa
tanggung jawab untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini sesuai
dengan pendapat Johnson, Elaine B (2011: 166) yang menyatakan
bahwa setiap bagian kelompok saling berhubungan sedemikan rupa
sehingga pengetahuan yang dipunyai seseorang akan menjadi
output bagi yang lain, dan output ini akan menjadi input bagi yang
lainnya.

21
Heru Puji Winarso. 2005. Sosiologi Komunikasi Massa. Jakarta: Prestasi Pustaka.
22Mobus, G.E. & Kalton, M.C. (2015). Principles of Systems Science, Chapter 8:
Emergence, Springer, New York
24

Berdasarkan pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa


kerja sama adalah terjadi secara alami yang berupa sebuah tindakan
atau sikap mau melakukan kerja sama dengan individu ataupun
kelompok lain dalam mencapai tujuan bersama. Bekerja sama dapat
membuat pikiran seseorang menjadi luas sehingga ia mampu
mengetahui kelemahan yang ada pada dirinya dan mau untuk
menghargai, mendengarkan pendapat orang lain, dan mengambil
keputusan secara bersama.

c. Teori Solidaritas. Solidaritas adalah sesuatu yang sangat


dibutuhkan oleh sebuah masyarakat ataupun kelompok sosial
karena pada dasarnya setiap masyarakat membutuhkan solidaritas.
Kelompok-kelompok sosial sebagai tempat berlangsungnya
kehidupan bersama, masyarakat akan tetap ada dan bertahan ketika
dalam kelompok sosial tersebut terdapat rasa solidaritas di antara
anggota-anggotanya. Sementara Paul Johnson dalam bukunya
mengungkapkan:
Solidaritas menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara
individu dan atau kelompok yang didasarkan pada keadaan
moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat
oleh pengalaman emosional bersama. Ikatan ini lebih
mendasar daripada hubungan kontraktual yang dibuat atas
persetujuan rasional, karena hubungan hubungan serupa itu
mengandaikan sekurang kurangnya satu tingkat/derajat
consensus terhadap prinsip-prinsip moral yang menjadi dasar
kontrak itu.23

Pengertian tentang solidaritas ini selanjutnya lebih diperjelas


oleh Durkheim sebgai berikut: Solidaritas adalah perasaan saling
percaya antara para anggota dalam suatu kelompok atau komunitas.
Kalau orang saling percaya maka mereka akan menjadi
satu/menjadi persahabatan, menjadi saling hormat-menghormati,

23Doyle Paul Johnson, “Teori Sosiologi Klasik dan Modern”. Jakarta : Gramedia Pustaka.
Hlm : 181
25

menjadi terdorong untuk bertanggung jawab dan memperhatikan


kepentingan sesamanya.24
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
solidaritas sosial adalah adanya rasa saling percaya cita-cita
bersama kesetiakawanan, dan rasa sepenanggungan di antara
individu sebagai anggota kelompok karena adanya perasaan
emosional dan moral yang dianut bersama yang dapat membuat
individu merasa nyaman dengan kelompok atau komunitas dalam
masyarakat. Karena sesungguhnya solidaritas mengarah pada
keakraban atau kekompakan dalam kelompok. Dalam perspektif
sosiologi, keakraban hubungan antara kelompok masyarakat tidak
hanya merupakan alat untuk mencapai atau mewujudkan cita-
citanya, akan tetapi keakraban hubungan sosial tersebut juga
merupakan salah satu tujuan utama dari kehidupan kelompok
masyarakat yang ada. Keadaan kelompok yang semakin kokoh
selanjutnya akan menimbulkan rasa saling memiliki dan emosional
yang kuat di antara anggotanya. Solidaritas juga merupakan
kesetiakawanan antar anggota suatu kelompok seperti halnya
kelompok masyarakat yang tengah menghadapi krisis akibat
pandemic global.
Berkaitan dengan perkembangan masyarakat, Durkheim
melihat bahwa masyarakat berkembang dari masyarakat sederhana
menuju masyarakat modern. Salah satu komponen utama
masyarakat yang menjadi perhatian Durkheim dalam perkembangan
masyarakat adalah bentuk solidaritasnya. Masyarakat sederhana
memiliki bentuk solidaritas yang berbeda dengan bentuk solidaritas
pada masyarakat modern. Seperti yang di tulis oleh George Ritzer
dalam bukunnya sebagai berikut: Durkheim paling tertarik pada cara
yang berubah yang menghasilkan solidaritas sosial, dengan kata

24 Soedijati, “Solidaritas dan Masalah Sosial”, Bandung: UPPM STIE Bandung. Hlm 25
26

lain, cara yang berubah yang mempersatukan masyarakat dan


bagaimana para anggotanya melihat dirinya sebagai bagian dari
suatu keseluruhan. Untuk menangkap perbedaan tersebut Emile
Durkheim mengacu kepada dua tipe solidaritas yaitu Mekanik dan
Organik. Suatu masyarakat yang dicirikan oleh solidaritas mekanik
bersatu karena semua orang adalah generalis. Ikatan di antara orang
orang itu ialah karena mereka semua terlibat dalam kegiatan-
kegiatan yang mirip dan mempunyai tanggung jawab-tanggung
jawab yang mirip. Sebaliknya, suatu masyarakat yang dicirikan oleh
solidaritas organik dipersatukan oleh perbedaan perbedaan di antara
orangorang, oleh fakta bahwa semuanya mempunyai tugas-tugas
dan tanggungjawab yang berbeda.25
Dari ungkapan di atas terdapat perbedaan dalam suatu
kelompok masyarakat, karena cara masyarakat sederhana dan
masyarakat modern melihat dirinya dalam suatu kelompok/
komunitas itu berbeda. Masyarakat sederhana merasa dia bersatu
dalam komunitas karena merasa semua orang adalah sama yang
dapat mempersatukan orang-orang dengan sebuah kelompok
adalah karena dia mempunyai sebuah kegiatan yang sama dan juga
mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang sama. Sementara
masyarakat modern merasa bahwa dia bersatu dalam suatu
komunitas atau kelompok dikarenakan ada sebuah pembagian kerja
dimana setiap orang mempunyai posisi yang berbeda dalam suatu
komunitas tetapi mempunyai ketergantungan yang tinggi antar
sesama anggotanya. Untuk melihat perbedaan inilah Durkheim
membagi solidaritas menjadi dua tipe yaitu mekanik dan organik.

d. Konsep Terorisme. Istilah terorisme memang masih


tergolong “baru”, khususnya di Indonesia. Menurut Kacung Marijan,

25George Ritzer, “Teori Sosioogi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir
Post Modern, Yogyakarta : Pelajar Pustaka. Hlm : 145
27

kata teror disebutkan dengan istilah system, regime de terreur yang


kali pertama muncul pada tahun 1789 di dalam The Dictionnaire of
The Academic Francaise. Konteks revolusi Prancis lekat di dalam
penggunaan istilah itu. Karena itu, istilah terorisme pada waktu itu
memiliki konotasi positif, yakni aksi-aksi yang dilakukan untuk
menggulingkan penguasa yang lalim dan aksi-aksi itu berhasil
dilakukan. Namun, praktik-praktik terorisme sudah lama terjadi sejak
sekitar 66 - 67 sebelum Masehi, ketika kelompok ekstrem Yahudi
melakukan aksi teror, termasuk di dalamnya pembunuhan, terhadap
bangsa Romawi yang melakukan pendudukan di wilayahnya (kira-
kira di wilayah yang dipersengketakan oleh Israel dan Palestina
sekarang). Sejak saat itu, aksi-aksi terorisme di berbagai belahan
dunia, yang melibatkan beragam etnik dan agama terus terjadi.
Sedangkan menurut Jainuri (2006), istilah teror dan terorisme telah
menjadi idiom ilmu sosial yang sangat popular pada dekade 1990-
an dan awa1 2000-an sebagai bentuk kekerasan agama. Meskipun
terorisme, sesungguhnya bukanlah sebuah istilah baru. Tindakan
teror telah muncul sepanjang sejarah umat manusia.26
Terorisme merupakan salah satu dari sekian istilah dan
konsep di dalam ilmu sosial yang penuh kontroversi dan perdebatan.
Hal ini tidak lepas dari fakta bahwa upaya untuk mendefinisikan
terorisme itu tidak dapat dilepaskan dari berbagai kepentingan,
termasuk kepentingan ideologi dan politik. Begitu kontroversinya,
Laqueur (1987) sampai berpendapat bahwa sebuah definisi yang
komprehensif mengenai terorisme itu tidak ada atau tidak akan dapat
ditemukan di masa mendatang. Padahal, pendefinisian mengenai
terorisme itu cukup penting, bukan hanya untuk kepentingan
akademik, melainkan juga untuk kepentingan praktis, yakni

26 Zulfi Mubarak, Fenomena Terorisme di Indonesia: Kajian Aspek Teologi, Ideologi dan
Gerakan, Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. Diakses melalui
: http://repository.uin-malang.ac.id/6034/1/6034.pdf
28

bagaimana cara mengatasinya. Memerangi terorisme terorganisasi,


misalnya, harus memiliki kejelasan apakah organisasi yang
diperangi itu termasuk teroris atau tidak. Kejelasan demikian tentu
saja harus berasal dari definisi yang jelas pula. Tanpa adanya
kejelasan, upaya untuk memerangi itu bisa berdampak kontra
produktif. Sebagai sebuah istilah bahasa, terorisme seharusnya
dipahami dengan sangat hati-hati, bukan menjadi instrumen
propaganda. Oleh karena itu, penting untuk memberikan definisi
terorisme yang jelas. Dengan kejelasan definisi ini orang akan
mengerti makna sebenarnya istilah terorisme, dan kemudian
merancang hukuman yang tepat bagi para pelaku teror.
Dalam pandangan Gibbs yang dikutip Asfar (2003),
munculnya kontroversi mengenai pendefinisian terorisme itu tidak
lepas dari fakta bahwa pemberian label terhadap aksi-aksi terorisme
akan merangsang adanya kecaman-kecaman yang keras terhadap
para pelakunya. Upaya untuk mendefinisikannya tidak akan lepas
dari bias politik maupun ideologi. Sementara itu, dalam pandangan
Wardlaw (1989), upaya mendefinisikan terorisme tidak lepas dari
masalah moral. Masalah moral ini berkaitan dengan realitas bahwa
di dalam mendefinisikan terorisme itu tidak lepas dari suatu penilaian
bahwa ada peristiwa-peristiwa kekerasan yang dijustifikasi di satu
sisi, dan ada peristiwa-peristiwa kekerasan yang tidak dijustifikasi di
sisi lain. Karena itu, upaya untuk mendefinisikan terorisme tidak
lepas dari kontroversi.

e. Konsep Foreign Terorrist Fighters. Petarung Teroris Asing


atau Foreign Terorrist Figters (FTF) bukanlah merupakan fenmena
baru dalam konflik kekerasan. Sejak tahun 1980 hingga 1992,
tercatat hinggga 20.000 pejuang asing melakukan perjalanan ke
Afghanistan dan menjadi pejuang ketika berhadapan dengan
Afghanistan. Meskipun demikian arus para petarung asing ke Suriah
29

yang tercatat sejak tahun 2011 dipercaya menjadi arus pejuang


asing terbesar dalam enam tahun terakhir yang mencapai angka
25.000 – 30.000 orang yang berasal dari lebih 100 negara.27
FTF adalah individu yang melakukan perjalanan ke negara
lain dengan tujuan untuk melakukan, merencanakan, menyiapkan,
atau berpartisipasi dalam tindakan terorisme atau menyediakan,
menjalani pelatihan teroris, terutama yang berkaitan dengan konflik
bersenjata. Saat ini sebuah jaringan internasional telah dibentuk oleh
para teroris di negara asal, negara transit, dan negara tujuan. FTF
diyakini dapat meningkatkan intensitas, durasi, dan
keberlangsungan konflik; serta dapat menimbulkan ancaman serius
bagi negara asalnya, negara transit, negara tujuan, serta negara
yang bertetangga dengan zona perang dimana FTF ikut terlibat. FTF
juga dapat mengancam seluruh wilayah serta negara anggota,
bahkan wilayah yang jauh dari zona konflik. Selain itu muncul
kekhawatiran FTF akan menggunakan ideologi ekstrim yang mereka
percayai untuk mempromosikan terorisme. Terdapat pula
kekhawatiran bahwa FTF direkrut oleh dan bergabung dengan ISIS,
Al-Nusra Front (ANF) serta kelompok-kelompok yang berafiliasi
kepadanya, pecahan, atau turunan dari kelompok Al-Qaeda.
Dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB 2178 pada tahun
2014 Foreign Terrorist Fighter didefinsikan sebagai :
1) Warga negara yang melakukan perjalanan atau
berencana melakukan perjalanan ke negara lain, atau individu
lain di wilayah mereka yang melakukan atau berencana
melakukan perjalanan ke negara lain dengan tujuan
merencanakan, mempersiapkan atau terlibat dalam aksi
terorisme, menyediakan atau menerima pelatihan terror.

27The data do reflect that the estimate for the United Kingdom was updated for the
version of ICSR’s dataset published in the 2015 Munich Security Report, released
January 2015.
30

2) Mengumpulkan secara langsung maupun tidak


langsung, pendanaan oleh warga negara mereka maupun
individu lain yang berada di wilayah mereka dengan tujuan
agar dana tersebut digunakan atau diketahui akan digunakan
untuk mendanai perjalanan seseorang ke negara lain untuk
bergabung, merencanakan, mempersiapkan atau terlibat
dalam aksi terorisme atau menyediakan atau menerima
pelatihan terror.
3) Mengorganisir atau memfasilitasi, termasuk
melakukan rekrutmen, oleh warga negara mereka ataupun
individu lain yang berada di wilayah mereka, melakukan
perjalanan seseorang ke negara lain dengan tujuan untuk
bergabung, merencanakan, mempersiapkan atau terlibat
dalam aksi terorisme menyediakan atau menerima pelatihan
terror.
Sebelum dikeluarkan Resolusi 2178, Resolusi DK PBB 1373
pada tahun 2001 menjadi resolusi yang pertamakali menjelaskan
secara langsung mengenai perekrutan teroris. Resolusi ini
mengharuskan setiap negara anggota agar tidak menyediakan
dukungan secara aktif maupun pasif terhadap individu atau
kelompok yang terlibat aksi terorisme, termasuk dengan
menghentikan rekrutmen anggota kelompok teroris di wilayahnya.
Masalah perekrutan teroris kemudian dibahas dalam Resolusi 2178
(2014). FTF didefiniskan sebagai individu yang melakukan
perjalanan ke negara lain dengan tujuan untuk melakukan,
merencanakan, menyiapkan, atau berpartisipasi dalam tindakan
terorisme atau menyediakan atau menjalani pelatihan teroris,
terutama yang berkaitan dengan konflik bersenjata. Kedua resolusi
ini bersifat norm making yang relevan dengan kepentingan
pemerintah Indonesia yang saat ini juga sedang menghadapi
keberangkatan dan kepulangan FTF yang bergabung dengan ISIS
31

atau ANF . Oleh karena itu, negara anggota PBB termasuk Indonesia
perlu pengaplikasian atau penyesuaian aturan-aturan domestiknya
dengan Resolusi 1373 dan 2178 terkait perekrutan teroris/FTF.
Suatu negara harus bekerja sama dalam mencegah
radikalisasi yang mengarah pada terorisme dan rekrutmen FTF,
termasuk rekrutmen anak-anak. Dengan tetap mengacu kepada
ketetapan HAM Internasional, Hukum Pengungsi Internasional, dan
Hukum Humaniter Internasional, Negara harus mencegah dan
menekan rekrutmen anggota teroris di wilayah yurisdiksinya serta
menghentikan mobilisasi mereka. Rekrutmen anggota teroris
umumnya melibatkan pihak-pihak yang melakukan
pengorganisasian, memfasilitasi, menyediakan transport, atau
menyediakan perlengkapan bagi individu yang ingin bergabung
dengan kelompok teroris dan melakukan perjalanan ke negara lain
dengan tujuan untuk bergabung, merencanakan, mempersiapkan,
atau terlibat dalam aksi terorisme, atau menyediakan atau menerima
pelatihan teroris. FTF terkait dengan profil individual teroris yang
terlibat dalam politik dengan prinsip –prinsip moral:
1) Siap untuk menyerahkan hidupnya sendiri untuk suatu
tujuan yang mempunyai nilai transenden.
2) Memiliki dan memenuhi unsur kenabian dan elemen
tetapi untuk merusak diri.
3) Orang – orang yang tidak mempunyai perhitungan
matang.
4) Muda dengan latar belakang keluarga kelas
menengah, biasanya laki-laki yang mempunyai kondisi
ekonomi marjinal.
5) Menggambarkan tugasnya sebagai suatu pengabdian
cenderung melakukan pembunuhan yang sistematis – bukan
pembunuhan biasa.
6) Teroris tidak membedakan berbagai kekerasan.
32

Motivasi keikutsertaan FTF dari 86 negara adalah untuk


mendukung kelompok-kelompok ekstremis di Suriah dan Irak,
terutama dalam mendirikan Negara Islam. Perekrutan FTF secara
global dilakukan di beberapa tempat dengan karakter yang berbeda.
Alasan bergabung seorang FTF dengan Negara Islam bersifat
emosional, dan keterlibatan keluarga atau kenalan dekat dalam
proses radikalisasi merupakan faktor penentu. Di mana satu
bergabung, yang lain adalah lebih cenderung mengikuti. Daerah di
mana ada kelompok-kelompok pemuda yang rentan, tidak
mempunyai tujuan teralienasi terbukti menghasilkan momentum
perekrutan yang menyebar melalui kontak pribadi dari kelompok ke
kelompok.28

f. Konsep Pertahanan Negara. Pertahanan negara adalah


segala usaha untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan
segenap bangsa. Usaha pertahanan negara tersebut dilakukan
dengan mempertimbangkan adanya dinamika bentuk ancaman yang
dihadapi. Perkembangan lingkungan strategis senantiasa membawa
perubahan terhadap kompleksitas ancaman, baik ancaman militer
maupun ancaman nonmiliter. Pertahanan negara berfungsi untuk
mewujudkan dan mempertahankan seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pertahanan.
Pertahanan negara diselenggarakan oleh pemerintah dan
dipersiapkan secara dini dengan sistem pertahanan negara melalui
membangun dan membina kemampuan dan daya tangkal negara
dan bangsa serta menanggulangi setiap ancaman.29

28The Soufan Group, Foreign Fighters : An Updated Assesment


29Menteri Pertahanan, Kebijakan Pengintegrasian Komponen Pertahanan Negara,
diakses melalui: https://www.kemhan.go.id/ppid/wp-
content/uploads/sites/2/2016/10/Permenhan-Nomor-16-Tahun-2012-Lampiran.pdf
33

Kebijakan umum pertahanan negara disusun sebagai satu


kesatuan arah kebijakan yang salah satunya adalah pertahanan
yang terintegratif yaitu kebijakan yang mengintegrasikan pertahanan
militer dan pertahanan nirmiliter. Makna integratif dari pertahanan
negara adalah perwujudan pengintegrasian dan penyinergian
kebijakan pengelolaan dan penyelenggaraan pertahanan negara
dalam bentuk; Pertama, pertahanan militer, diwujudkan dalam
bentuk komponen utama yaitu TNI yang bercirikan komando
gabungan ketiga angkatan (AD, AL dan AU), sehingga
memperlihatkan satu kesatuan utuh, dengan diperkuat komponen
cadangan dan komponen pendukung yang bersumberkan dari
pertahan nirmiliter berdasarkan profesi yang diperlukan komponen
utama. Kedua, pertahanan nirmiliter diwujudkan dalam bentuk unsur
utama oleh kementerian terkait sebagaimana ancaman nonmiliter
yang dihadapi, dan didukung unsur-unsur lainnya dari komponen
bangsa. Sedangkan makna sinergi pertahanan militer dalam
memperkuat partahanan nirmiliter, yaitu mendemobilisasi komponen
cadangan dan komponen pendukung yang terbentuk dalam
pertahanan militer kembali ke institusi kementerian terkait, sebagai
unsur utama dan unsurunsur lainnya. Sedangkan komponen utama
(TNI) berperan sebagai unsur lain dalam memberikan bantuan
kementerian terkait melalui operasi militer selain perang.
Pengintegrasian komponen pertahanan negara dilaksanakan
melalui keterpaduan semua komponen pertahanan baik yang ada
pada pertahanan militer (komponen utama, komponen cadangan
dan komponen pendukung), maupun pertahanan nirmiliter (unsur
utama dan unsur-unsur lainnya), melalui mekanisme kontekstual
ancaman yang dihadapi. Makna pertahanan sebagai bagian dari
fungsi pemerintah yang harus disiapkan sejak dini, maka kerja sama
pengelolaan dan pembinaan komponen pertahanan negara
dilakukan oleh Kementerian Pertahanan dan Kementerian Lainnya
34

serta Lembaga Non Kementerian, oleh karena itu perlu menetapkan


kebijakan pengintegrasian komponen pertahanan negara.

9. Kerangka Pemikiran. Dimulai dengan merumuskan masalah


penelitian, kemudian membaca dan meninjau hasil penelitian terdahulu dan
beberapa buku yang mendukung penelitian serta dokumen lainnya. Tahap
selanjutnya adalah pengumpulan data dengan studi literatur. Setelah
melakukan pengumpulan data, tahap selanjutnya adalah analisis existing
system process dari optimalisasi kerja sama antar lembaga dalam
mengatasi kepulangan foreign terrorist fighter asal Indonesia guna
mempertahankan stabilitas pertahanan dan keamanan nasional.
optimalisasi kerja sama antar lembaga Negara Kementerian dan Non
Kementerian guna mewujudkan Sinergi Operasi Intelijen dan Penegakan
Hukum dengan berdasarkan kepada landasan pemikiran dan teori yang
sesuai agar dapat memahami norma serta ketentuan ideal yang
diharapkan. Pokok bahasan dalam karya tulis ini dibatasi pada penggunaan
kerja sama antarlembaga yang terdiri dari Kemenkopolhukam, BNPT, BIN,
TNI, dan Polri guna mewujudkan Sinergi Operasi Intelijen dan Penegakan
Hukum dalam rangka mengatasi kepulangan FTF asal Indonesia. Untuk
menjelaskan mengenai kerangka pemikiran tersebut, Peneliti akan
menggambarkannya ke dalam sebuah model kerangka pemikiran di bawah
ini.
35

Gambar 2.1.
Model Kerangka Pemikiran

KEPULANGAN FTF
ASAL INDONESIA

METODE
LANDASAN
RUMUSAN MASALAH PENELITIAN
PEMIKIRAN
KUALITATIF

PENGUMPULAN DATA
STUDI LITERATUR

PROSES
ANALISA

S O M

OPTIMALISASI KERJA SAMA ANTAR


LEMBAGA DALAM MENGATASI
KEPULANGAN FTF ASAL
INDONESIA
TUJUAN UNTUK
MEMPERTAHANKAN STABILITAS
NASIONAL DAPAT TERCAPAI
BAB III
GAMBARAN OBJEK PENELITIAN

10. Umum. Seperti yang telah diketahui bersama bahwa,


Indonesia merupakan Negara yang memiliki berbagai agama dan
kepercayaan, sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia
merupakan masyarakat beragama. Sementara agama tidak pernah
mengajarkan ekstrimisme dan kekerasan. Dengan demikian, paham dan
tindakan kekerasan bukanlah berasal dari Indonesia dan bukan pula
merupakan ajaran agama.30 Dengan begitu, maka segenap bangsa
Indonesia berkewajiban mencegah kekerasan dan ekstremisme. Apalagi
dihubungkan dengan kenyataan bahwa salah satu isu yang sangat
mempengaruhi dunia, termasuk Indonesia saat ini adalah permasalahan
pengaruh ISIS dengan Foreign Terrorist Fighter –nya.
Bagi Indonesia, persoalan FTF telah menjadi salah satu isu nasional
karena keselamatan dan stabilitas nasional Indonesia akan terancam
dengan kepulangan para FTF ISIS ini, yang di prediksi akan membawa
pengaruh negatif berupa penyebaran ideologi dan lebih parah lagi ialah
berbagai penyerangan secara langsung kepada seluruh masyarakat
Indonesia dengan melancarkan aksi ”Amaliyah” atau penyerangan kepada
target yang menurut mereka (FTF) menjadi musuh yang harus dihancurkan.
Berangkat dari fenomena tersebut, maka upaya mengatasi kepulangan FTF
asal Indonesia tersebut merupakan kewajiban seluruh masyarakat
Indonesia khususnya lembaga-lembaga yang terkait penanganan
terorisme, karena ini merupakan suatu tugas kebangsaan dan
nasionalisme. Dengan demikian, diperlukan suatu upaya kolektif dan kerja
sama antar lembaga dalam mengatasi kepulangan FTF asal Indonesia,
adapun penjelasan lebih lanjut mengenai hal tersebut akan di uraikan dalam
data dan fakta serta faktor-faktor yang berpengaruh di bawah ini.

30 Harahap, Syahrin. 2017, Upaya Kolektif Mencegah Radikalisme dan Terorisme. Siraja:

Depok.

36
37

11. Data dan Fakta. Di tahun 2017 sebuah lembaga penelitian bernama
The Soufan Center menjelaskan bahwa ada sekitar 600 WNI yang
bergabung dengan kelompok teroris ISIS di Suriah, yang terdiri dari 113
perempuan, 100 anak-anak dan sisanya pria dewasa.31

Tabel 3.1
Daftar FTF dari berbagai negara yang di deportasi32

No Negara Asal Perempuan Anak-anak Total


1 Australia 25 70 165
2 Belgium 85 118 >528
3 Prancis 320 460 1.910
4 Indonesia 113 100 >600
5 Malaysia 12 17 91
6 Rusia - 350 3.417
7 Tunisia >3.000 >100

Lebih lanjut, pada tahun 2018 BNPT menyebutkan terdapat 1.321


WNI yang berusaha bergabung dengan ISIS di Suriah. Sekitar 600 WNI eks
ISIS masih berada di luar negeri. Sejumlah 47 orang di antaranya berstatus
tahanan dan sebagian besar dari 553 WNI lainnya berada di kamp
pengungsian. Jumlah tersebut tidak semua berhasil masuk ke Suriah.
Sebagian dari mereka digagalkan di dalam negeri, dideportasi oleh negara
transit seperti Turki, dan banyak pula yang berhasil memasuki Suriah dan
bergabug dengan ISIS. Jika dibandingkan maka jika jumlah WNI

31 Richard Barrett, 2017, Beyond The Caliphate: Foreign Fighter and the Threat of
Returnees. The Soufan Center. Diakses melalui : https://thesoufancenter.org/wp-
content/uploads/2017/11/Beyond-the-Caliphate-Foreign-Fighters-and-the-Threat-of-
Returnees-TSC-Report-October-2017-v3.pdf
32 Ibid.
38

pendukung ISIS di Suriah dan sekitarnya saat ini adalah 600 orang cukup
realistis. Dari jumlah 600 WNI pendukung ISIS di Suriah tersebut sebagian
besar diperkirakan adalah anak-anak dan perempuan yang menjadi
pengungsi. Untuk pria dewasanya menjadi tahanan di otoritas setempat
karena kasus terorisme. Tidak semua dari 600 WNI tersebut adalah FTF,
ada juga yang hanya simpatisan karena mengikuti suami atau
keluarganya.33
Mengenai permasalahan di atas, Komisioner Komnas HAM Chairul
Anam memberikan pernyataan untuk mendesak pemerintah agar
memulangkan seluruh WNI eks ISIS. Pemerintah tidak mempunyai alasan
secara hukum untuk tidak memulangkan warga negara yang disebut
terpapar paham radikal itu.34 Akan tetapi, rencana pemulangan Warga
Negara Indonesia (WNI) yang terasosiasi dengan konflik di Suriah dan Irak
telah memicu perdebatan di kalangan publik dan pengambil kebijakan. Di
satu sisi, terdapat kekhawatiran bahwa pemulangan para WNI yang
sebagian besar adalah simpatisan ISIS dapat menghadirkan ancaman
keamanan.35 Mereka yang pernah terlibat sebagai kombatan mungkin telah
menguasai kemampuan dan keterampilan yang suatu saat dapat
digunakan dalam aksi teror di dalam negeri. Potensi penyebaran ideologi
radikal yang dianut oleh para simpatisan ISIS menjadi sumber kekhawatiran
yang lain. Di sisi lain, pemulangan WNI simpatisan ISIS dirasa perlu
dilakukan atas nama kemanusiaan. Sebagian besar perempuan dan anak-
anak yang terkait dengan ISIS saat ini berada di tengah kondisi yang
memprihatinkan di kamp-kamp pengungsian di Suriah. Selain itu, dorongan
untuk pemerintah Indonesia memfasilitasi pemulangan WNI simpatisan

33 Adi Briantika, 2019, Potensi Terorisme di Indonesia Tetap Ada meski al-Baghdadi
Tewas, Tirto.id, diakses melalui : https://tirto.id/potensi-terorisme-di-Indonesia-tetap-ada-
meski-al-baghdadi-tewas-ekxs
34 Erlangga Pratama, Penyelesaian Masalah 660 WNI Eks ISIS, Jurnal Intelijen, diakses

melalui : https://jurnalintelijen.net/2020/02/10/penyelesaian-masalah-660-wni-eks-isis/
35 Tim Peneliti The Habibie Center, Tantangan dan Solusi Pemulangan Simpatisan ISIS.

Diakses melalui: https://www.habibiecenter.or.id/contain-news-BicaraTerorisme-


Tantangan-dan-Solusi-Pemulangan-Simpatisan-ISIS_12
39

ISIS juga dilihat sebagai bentuk tanggung jawab negara untuk melindungi
warga negaranya. Kekhawatiran yang dipicu oleh potensi arus balik FTF
tidak hanya dialami oleh Indonesia. Salah satu ciri khas konflik di Suriah
yang tidak ditemukan pada konflik-konflik bernuansa terorisme sebelumya
adalah besarnya jumlah warga negara asing yang datang ke Suriah untuk
bergabung dengan kelompok-kelompok bersenjata di wilayah tersebut.
Sebagian dari warga negara asing ini datang ke Suriah bukan untuk
berperang, melainkan sekedar untuk mewujudkan keinginannya tinggal di
wilayah yang menerapkan hukum Islam secara tegas sebagaimana
propaganda ISIS. Arus balik para simpatisan radikal ini ke negara-negara
asalnya ataupun relokasi ke negara ketiga telah menjadi kekhawatiran
global. Pengalaman dan pilihan kebijakan negara-negara lain ini dapat
menjadi bahan perbandingan dalam pengambilan kebijakan di Indonesia.
Menentukan apakah WNI simpatisan ISIS yang berada di Suriah
harus diterima kepulangannya atau tidak sudah barang tentu bukan pilihan
yang mudah bagi pemerintah Indonesia. Selain potensi ancaman
keamanan, pemerintah juga harus menghitung ketersediaan sumber daya
dan kesiapan infrastruktur legal dan institusional untuk menangani proses
pemulangan. Selain itu, pemerintah juga dihadapkan pada tantangan
kompleksitas politik di Suriah pasca kekalahan ISIS dimana sejumlah
otoritas berebut kekuasaan dan legitimasi di tengah persaingan geopolitik
negara-negara besar.
Sementara itu, kondisi kerja sama antarlembaga yang berwenang di
bidang Penanggulangan Aksi Terorisme dalam menghadapi kepulangan
para FTF ISIS saat ini masih belum optimal dari pencapaian yang
diharapkan. Selain itu juga, terdapat beberapa masalah yang masih
ditemukan antara lain, belum adanya sinkronisasi data yang dimiliki oleh
masing–masing lembaga terkait dalam upaya pencegahan dan penindakan
ancaman terorisme secara optimal, belum ada payung hukum yang jelas
dalam menaungi kegiatan penanggulangan teror yang bersifat kolaboratif
khususnya dalam upaya pencegahan sehingga petugas yang berada di
40

lapangan memiliki Standard Operation Procedure (SOP) yang berkuatan


hukum tetap serta terstandarisasi, serta masih tingginya ego sektoral antar
institusi dan lembaga pemerintahan yang terkait sehingga menjadi
penghambat optimalisasi kegiatan Penanggulangan Aksi Terorisme di
Indonesia. Sebagai dampaknya, kegiatan sharing informasi antar satu
lembaga dengan lembaga yang lain masih menjadi permasalahan yang
lazim ditemui. Selain itu, persoalan tersebut masih dipersulit dengan
adanya pembagian kewenangan dan anggaran yang tidak proporsional di
antara mereka.

12. Faktor-Faktor yang Berpengaruh. Dari data dan fakta mengenai


fenomena yang diangkat oleh peneliti di atas terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi munculnya fenomena terorisme global sehingga
menimbulkan ancaman bagi stabilitas nasional suatu Negara khususnya
Indonesia yang memiliki riwayat dan catatan peristiwa aksi terorisme dalam
negeri yang menimbulkan kekacauan. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa, perkembangan lingkungan strategis memainkan
peranan penting dalam fenomena FTF ini. Perkembangan lingkungan
strategis yang terjadi dewasa ini dirasakan sangat dinamis dan kompleks
serta penuh dengan ketidakpastian, hal ini mendorong lahirnya sejumlah
persepsi tentang konsep geopolitik, baik pada lingkup global maupun
regional yang bertujuan untuk memudahkan proses pemahaman tentang
apa saja pengaruh yang berlaku serta mengidentifikasi berbagai peluang
yang perlu direbut dan tantangan yang harus di antisipasi. Globalisasi dan
kemajuan teknologi telah menyebabkan timbulnya perubahan yang sangat
cepat serta berpengaruh terhadap dinamika politik dan isu keamanan
global, karena berbagai belahan dunia seolah terhubung antara satu
dengan yang lain tanpa batasan ruang dan waktu. Situasi dan kondisi
tersebut berpengaruh terhadap keseimbangan kekuatan serta
perkembangan kualitas dan kuantitas ancaman yang ada di kawasan
41

regional Indonesia, yang akhirnya berpengaruh terhadap kondisi stabilitas


pertahanan dan keamanan bangsa pada lingkup nasional.
Lebih lanjut, bahwa konflik yang terjadi di Timur Tengah kini
dimanfaatkan oleh sisa-sisa kekuatan ISIS melarikan diri ke Asia Tenggara
dan cukup banyak para simpatisan ISIS yang lebih dikenal dengan FTF ISIS
yang berasal dari Indonesia memaksa pulang kembali ke Indonesia dengan
berbagai cara, tentunya hal tersebut mengharuskan pemerintah Indonesia
merumuskan suatu strategi guna menghalau pengaruh FTF yang kembali
ke Indonesia. Kerja sama antar lembaga menjadi kunci utama dalam
menghadapi ancaman para FTF yang memaksa kembali ke Indonesia.
Jika dilihat dari perspektif dalam konteks internal maupun dalam
konteks eksternal terdapat kekuatan-kekuatan yang dapat dioptimalkan
guna meraih peluang yang ada atau sebaliknya. Jika dijabarkan secara
lebih lanjut maka faktor-faktor tersebut dapat diidefinisikan sebagai berikut:
a. Faktor Internal. Kekuatan internal yang dimiliki dapat
dioptimalkan sehingga tujuan dan sasaran optimalisasi kerja sama
antar lembaga dalam mengatasi kepulangan FTF asal Indonesia
dapat terwujud. Sedangkan kelemahan yang ada akan dapat
diminimalisir sehingga tidak menghambat kerja sama antar lembaga
tersebut. Faktor ini berpengaruh terhadap pencapaian sasaran
tugas, sehingga perlu dianalisa secara cermat, yaitu meliputi aspek
kekuatan dan kelemahan, yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Kekuatan. Adapun kekuatan dari faktor internal


sebagai berikut :

a) Komitmen Pemerintah RI. Indonesia senantiasa


berkomitmen dalam upaya penanggulangan terorisme
pada lingkup nasional, regional maupun internasional
yang sering disebut dengan Foreign Terrorist Fighter
(FTF), termasuk diantaranya upaya penanggulangan
42

terorisme di bawah kerangka PBB.36 Dalam kaitan ini,


Indonesia berperan aktif dalam melakukan kerja sama
dengan United Nations Counter Terrorism
Implementation Task Force (CTITF), Terrorism
Prevention Branch-United Nation Office for Drugs and
Crime (TPB-UNODC), dan United Nations Counter-
Terrorism Executive Directorate (UNCTED). Lebih
lanjut, Indonesia melakukan upaya untuk
mengimplementasikan 4 (empat) pilar United Nations
Global Counter-Terrorism Strategy (UNGCTS).
Indonesia berkomitmen untuk mendukung
penanggulangan terorisme, termasuk dalam
penanggulangan pendanaan terorisme. Dalam kaitan
ini, Indonesia berpartisipasi aktif sebagai anggota Asia
Pacific Group on Money Laundering (APG-ML), serta
anggota dari Steering Group mewakili negara-negara
di kawasan Asia Tenggara. Selain itu, atas peran aktif
diplomasi Indonesia, pada Sidang Pleno FATF yang
dilaksanakan di Brisbane, Australia, 21-26 Juni 2015,
Indonesia telah dikeluarkan secara keseluruhan dari
daftar "negara yang memiliki kelemahan strategis
dalam rezim anti pencucian uang dan pemberantasan
pendanaan terorisme" atau dari proses review
International Cooperation Review Group (ICRG) FATF.
Lebih lanjut, Indonesia melalui Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah
menandatangani Nota Kesepahaman dengan
Financial Intelligence Unit (FIU) dari 48 negara untuk

36 Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Indonesia dan Upaya Penanggulangan

Terorisme, diakses melalui:


https://kemlu.go.id/portal/id/read/95/halaman_list_lainnya/Indonesia-dan-. Pada tanggal,
30 Agustus 2020.
43

memperkuat rezim penanganan pencucian uang dan


pendanaan terorisme.

b) Cita-cita Nasional. Stabilitas keamanan


nasional diperlukan demi mencapai tujuan dan cita-cita
nasional Indonesia yang diamanatkan dalam
pembukaan Undang – Undang Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia 1945. Tujuan nasional
tersebut yaitu untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Untuk menjaga dan melindungi upaya mencapai tujuan
nasional tersebut diperlukan suatu kebijakan
keamanan yang bersifat situasional, yaitu kebijakan
yang mendukung penyelenggaraan keamanan
nasional sesuai situasi yang tepat.37 Berdasarkan cita-
cita nasional Indonesia tersebut, termasuk juga
diantaranya ialah kemampuan kuat dari segenap
bangsa Indonesia dalam menghadapi ancaman
terorisme termasuk para FTF asal Indonesia yang
tentunya akan menimbulkan kekacauan dan
mengancam keamanan nasional.
Indonesia memiliki strategi komprehensif dalam
penanggulangan terorisme yang mengkombinasikan
hard dan soft approach. Dalam kaitannya dengan hard

37 Suci Utami,dkk., Making National Security Grand Strategy for Indonesia National

Power Optimization. Universitas Pertahanan, diakses melalui:


http://jurnalprodi.idu.ac.id/index.php/DRK/article/download/444/pdf. Pada tanggal, 30
Agustus 2020.
44

approach, Indonesia telah mengeluarkan Undang-


Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Penanggulangan Terorisme dan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Lebih lanjut, dalam rangka penguatan upaya
penanggulangan pendanaan terorisme, Indonesia juga
telah mengesahkan Peraturan Bersama tentang
Pencantuman Identitas Orang dan Korporasi dalam
Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris dan
Pemblokiran secara Serta Merta atas Dana Milik Orang
atau Korporasi yang Tercantum dalam Daftar Terduga
Teroris dan Organisasi Teroris.38

c) Kemampuan masing-masing lembaga.


Kompleksnya hambatan dan tantangan yang harus
dihadapi kedepan, sinergi antara pendekatan hukum
dan intelijen serta kerja sama yang erat di antara
institusi-institusi terkait didalamnya, menjadi suatu hal
yang tidak dapat dihindari mutlak untuk dilaksanakan
sebagai syarat upaya Penanggulangan Aksi Terorisme
di Indonesia yang efektif. Penggunaan konsep model
kerja sama yang bersifat kolaboratif di antara institusi-
institusi terkait dapat menjadi katalis dalam mencapai
efektivitas penanganan aksi terorisme dan
menurunkan angka kejadian teror di Indonesia. Namun
demikian, hal ini harus harus diakomodir sebagai mana
turunan dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2018

38 Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Indonesia dan Upaya Penanggulangan

Terorisme, diakses melalui:


https://kemlu.go.id/portal/id/read/95/halaman_list_lainnya/Indonesia-dan-. Pada tanggal,
30 Agustus 2020.
45

yang memuat penjelasan teknis tentang mekanisme


kerja sama kolaboratif di antara Kemenkopolhukam,
BNPT, BIN, TNI, dan Polri, sehingga dapat berjalan di
bawah kerangka legalitas yang bersifat mengikat.
Paska timbulnya organisasi ISIS dan
meningkatnya eksistensi mereka di wilayah Asia
Tenggara, dinamika ancaman terorisme di Indonesia
berkembang menjadi semakin kompleks. Dengan
demikian, penanganan terorisme yang melibatkan
unsur kekuatan asing, dinilai harus melibatkan
kekuatan aparat lain di luar Polri. Bahkan, dalam
operasi pengejaran dan penggerebekan terduga
teroris di Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sumatera Utara,
Tangerang dan beberapa wilayah lainnya, yang
notabene merupakan tugas Polri, Kopassus turut
dilibatkan untuk membantu Polri39. Pada tahun 2018
pemerintah pada akhirnya melakukan penerbitan pada
undang-undang anti terorisme dengan memasukkan
unsur TNI untuk bersama-sama dengan Polri sebagai
garda terdepan dalam mengatasi aksi teror. Sehingga,
dapat dilihat bahwa kemampuan lembaga-lembaga
yang terlibat dalam mengatasi teroris termasuk FTF
sudah tidak diragukan lagi kapabilitasnya.

2) Kelemahan. Adapun kelemahan dari faktor internal ini


ialah :
a) Belum ada organisasi terintegrasi. Saat ini
Indonesia dihadapkan pada ancaman kepulangan para

39 Siddiq, taufiq. 16 Mei 2018. Polri Libatkan Kopassus Buru Jaringan Teroris.

https://nasional.tempo. co/read/1089641/Polri-libatkan-kopassus-buru-jaringan-teroris,
pada tanggal 30 Agustus 2020.
46

FTF asal Indonesia yang nantinya ketika mereka


sudah sampai di Indonesia, maka potensi kekacauan
yang akan terjadi ialah aksi penyebaran ideologi
radikal dan juga pengeboman dalam kelompok
maupun lone wolf attack, maka dari itu upaya
penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri harus
dibarengi dengan aktivitas di bidang intelijen guna
mengoptimalkan upaya pencegahan. Segala upaya
yang dilakukan oleh pemerintah tidak ada artinya
ketika korban jiwa sudah berjatuhan akibat kegagalan
aparat dalam mencegah terjadinya aksi terorisme. Di
satu sisi, untuk melakukan operasi intelijen dalam
konteks pencegahan aksi terorisme. Polri selaku
lembaga penegak hukum terbentur aturan di dalam
KUHP yang membatasi kewenangannya di bidang
intelijen. Namun, apabila pihak kepolisian
memaksakan ataupun dipaksakan untuk memperluas
kewenangannya tersebut, maka akan berakibat pada
timbulnya potensi pelanggaran Hukum dan Hak Asasi
Manusia (HAM) yang berbahaya baik bagi institusi
Polri itu sendiri maupun bagi masyarakat.
Menurut penjelasan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2018 sendiri, tidak secara eksplisit dijelaskan
bagaimana mekanisme antara aparat intelijen dengan
dasar undang-undang lain, terdapat lembaga-lembaga
seperti BIN dan TNI yang memiliki fungsi intelijen yang
dapat membantu tercapainya upaya pencegahan aksi
terorisme. Melalui aktivitas intelijen dan kontra intelijen
yang diarahkan terhadap kelompok teroris yang
beroperasi di Indonesia termasuk terhadap jaringan-
jaringan pendukungnya baik yang berada di dalam
47

maupun di luar negeri.40 Belum adanya aturan yang


jelas mengenai integrasi antar lembaga tersebut
mengakibatkan pelaksanaan tugas, fungsi, serta peran
Kemenkopolhukam, BNPT, BIN, TNI, dan Polri di
lapangan masih diwarnai dengan adanya
kompartementasi dan munculnya ego antarlembaga.
Maka dari itu, diperlukan suatu wadah atau organisasi
sementara/ad-hoc untuk mengoptimalkan kerja sama
antar lembaga dalam upaya mengatasi kepulangan
FTF.

b) Belum ada aturan integrasi antar lembaga.


Sampai saat ini aturan hukum yang berfungsi untuk
mengkolaborasikan pelaksanaan tugas dan fungsi
dalam mendukung tercapainya Penanggulangan Aksi
Terorisme secara optimal belum juga tersedia.
Sehingga, wadah atau organisasi maupun satuan
tugas yang bersifat sementara yang bertujuan untuk
mengatasi kepulangan FTF dengan optimal masih
belum ada. Pemerintah harus mengkaji ulang
kewenangan dan peranan masing-masing lembaga
terkait dalam kegiatan kontra terorisme yang
ancamannya bersifat multidimensional. Pemerintah
harus menerbitkan aturan mengenai wadah yang berisi
lembaga-lembaga terkait penanganan terorisme dan
juga di dalamnya harus ada aturan mengenai
pembagian tugas yang proporsional beserta batasan-
batasan tertentu, terkait pelibatan lembaganya dalam

40https://nasional.kompas.com/read/2019/04/02/14333601/pimpinan-jaringan-teroris-
bandung-diduga-terlibat-kasus-bom-surabaya-dan-polres-surakarta. (diunduh pada 9
Agustus 2019)
48

menangani kasus terorisme, seperti sejauh mana;


kapan; dan dalam ancaman atau skenario yang
bagaimana TNI diturunkan, sehingga proses
Penanggulangan Aksi Terorisme tetap berjalan sesuai
koridor hukum yang berlaku. Dengan demikian, kerja
sama antar lembaga-lembaga yang terkait
penanganan FTF dapat berjalan secara optimal dan
mendukung terwujudnya upaya yang bersifat
proporsional, optimal, terintegrasi, dan juga lebih
profesional.

c) Alokasi Anggaran Yang Belum Proporsonal.


Apabila meninjau dari perspektiff pemerintah di dalam
penyelenggaraan upaya Penanggulangan Aksi
Terorisme, dapat terlihat bahwa adanya perbedaan
dukungan anggaran yang diterima oleh masing-masing
lembaga terkait. Pada tahun 2016 sendiri, Densus 88
Polri mendapatkan tambahan anggaran sebesar 1,92
Triliun Rupiah41, dan pada tahun 2018 Polri
mengajukan tambahan anggaran sebesar 44,4 Triliun
Rupiah untuk mengembangkan kekuatan Densus 88 di
tiap-tiap Polda. Sedangkan anggaran operasional
intelijen dalam negeri BIN pada tahun 2018 hanya
mencapai 899 MiIliar Rupiah, dan anggaran
operasional BNPT untuk bidang pencegahan dan
penindakan pada tahun yang sama hanya mencapai
291 Miliar Rupiah42. Sebaliknya, TNI tidak memiliki

41https://www.cnnIndonesia.com/nasional/20160608202757-12-136789/rp192-triliun-
anggaran-tambahan-Polri-untuk-densus-88,( diunduh pada 28 Juni 2019).

42https://nasional.tempo.co/read/1095871/marak-terorisme-Polri-akan-tambah-jumlah-
densus-88-di-daerah/full&view=ok, (diunduh pada 29 Juni 2019).
49

dukungan anggaran khusus dalam rangka mendukung


kesiapan operasional Penanggulangan Aksi
Terorisme, karena hal tersebut sudah termasuk di
dalam tuntutan kesiapan operasional TNI dalam
menjalankan tugas pokoknya yang meliputi
menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan
keutuhan wilayah NKRI, serta melindungi segenap
bangsa dan tumpah darah Indonesia. Dari penjelasan
ini, maka dapat dipahami bahwa selama ini Polri
memperoleh porsi yang paling besar dari aspek
dukungan anggaran terkait upaya Penanggulangan
Aksi Terorisme.43 Apabila dihadapkan dengan
perubahan konsep Penanggulangan Aksi Terorisme
yang ada pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018
serta dinamika ancaman kedepan yang menuntut
peranan dan keterlibatan seluruh lembaga terkait,
maka sudah sewajarnya untuk dilakukan pemerataan
terkait dukungan anggaran guna melaksanakan
kegiatan di bidang pencegahan, dan penindakan aksi
terorisme yang berupa Operasi Intelijen dan
Penegakan Hukum secara terpadu dan komprehensif.

b. Faktor Eksternal. Faktor eksternal merupakan faktor yang


berpengaruh dari luar sistem yang terkait dengan optimalisasi kerja
sama antar lembaga yang terdiri dari peluang dan kendala yang
dapat dimanfaatkan untuk mendukung terlaksananya kerja sama
antar lembaga dalam mengatasi kepulangan FTF asal Indonesia
guna mempertahankan stabilitas nasional, yang berupa:

43 https://indopos.co.id/read/2018/05/17/138353/polri-bin-dan-bnpt-dinilai-kurang-

maksimal-kelola-anggaran/, (diunduh pada 1 Juli 2019)


50

1) Peluang.
a) Perkembangan infrastruktur Indonesia. Salah
satu faktor yang membuat kelompok teroris berhasil
merekrut anggotanya adalah kemiskinan,
pengangguran dan krisis ekonomi serta sosial. Dalam
hal ini kelompok teroris tak segan-segan menawarkan
uang dan gaji bulanan kepada mereka yang bersedia
bergabung. “Yayasan amal” juga menjadi sarana
kelompok teroris internasional untuk memperluas
aktivitasnya dan merekrut para pemuda agar dapat
bergabung menjadi FTF. Oleh karena itu, sekitar dua
dekade terakhir, negara-negara yang dilanda
kekerasan dan radikalisme berusaha mencegah
penyalahgunaan kemiskinan oleh kelompok teroris dan
radikal memajukan ambisinya dengan menerapkan
kebijakan pembangunan dan memulihkan kondisi
ekonomi mereka. Indonesia juga tidak ketinggalan
dalam hal ini. Indonesia menerapkan berbagai
kebijakan dalam koridor pembangunan nasional untuk
memberantas kemiskinan, menciptakan lapangan
pekerjaan dan meningkatkan pendapatan rakyat
khususnya di kawasan terpencil, desa dan daerah
perbatasan.44
Indonesia memiliki berbagai aspek potensial
yang dapat menjadi peluang berupa ‘senjata ampuh’
bila mampu mentransformasikannya menjadi suatu

44 ParsToday, 2017, Pembangunan, Solusi Indonesia Kontrol Radikalisme dan

Terorisme. Diakses melalui:


https://parstoday.com/id/radio/Indonesiai43792pembangunan_solusi_Indonesia_kontrol_r
adikalisme_dan_terorisme
51

potensi yang akan berkonstribusi positip terhadap


pencapaian Indonesia unggul, utamanya dalam
mewujudkan impian besar para pendiri bangsa akan
peningkatan kesejahteraan rakyat dan memberikan
rasa aman terhadap rakyat dari segala bentuk
ancaman. Presiden Jokowi telah berhasil
membangun pondasi yang dipersyaratkan untuk
menuju Indonesia unggul.

b) Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.


Dalam rangka membendung keahlian jaringan
terorisme termasuk di dalamnya FTF yang memaksa
pulang ke Indonesia, salah satu lembaga yang
mempunyai tugas dalam mengatasi terorisme yaitu
dapat mengikuti perkembangan dan kemajuan
teknologi yaitu dalam memanfaatkan teknologi
komunikasi dan mengurangi kerawanan jaringan
komunikasi pemerintahan terhadap upaya
penyadapan, Lembaga Sandi Negara melaksanakan
penyelenggaraan persandian dalam rangka
antiterorisme melalui gelar Jaring Komunikasi Sandi
(JKS) meliputi JKS Very Very Important Person (VVIP),
JKS Intern Instansi Pemerintah, JKS Antarinstansi
Pemerintah, dan JKS Khusus. JKS tersebut berfungsi
mengolah informasi berita rahasia untuk pihak yang
berhak menerima kandungan informasinya. Saat ini,
penggelaran JKS nasional pada tahun 2005—2008
baru tergelar sebanyak 36% pada instansi pemerintah
dan terus dimonitor, dibina, dan ditingkatkan
kemampuannya sehingga kemungkinan terjadinya
penyadapan menjadi minimal. Sampai dengan awal
52

tahun 2008, gelar JKS terbatas tersebut telah terbukti


mampu mengamankan komunikasi berita yang
berklasifikasi rahasia di instansi pemerintahan, dengan
indikasi tidak adanya laporan dan temuan terjadinya
kebocoran dalam pengiriman dan penerimaan berita
yang berklasifikasi rahasia. Melengkapi upaya
perlindungan pasif, Lembaga Sandi Negara mulai
tahun 2008 meningkatkan skala operasi analisis sinyal
komunikasi dalam rangka pengumpulan informasi
keamanan nasional. Untuk keperluan tersebut telah
direvitalisasi Direktorat Analisa Sinyal dengan tugas
pokok melakukan kegiatan kriptonalisis sinyal
komunikasi melalui sumber daya manusia yang
kompeten dan perangkat keras dan lunak teknologi
tinggi. Kegiatan sterilisasi dan pemblokiran frekuensi
komunikasi tertentu terus dilakukan untuk
meminimalkan upaya penyadapan dan mengamankan
jalannya koordinasi institusi keamanan nasional.
Selain itu, di lembaga lain seperti TNI, Polri, dan BIN
juga memiliki satuan siber yang dapat digunakan
sebagai upaya dalam mengatasi serangan-serangan
berdimensi siber dari para FTF ISIS.

c) Tingginya kepercayaan masyarakat terhadap


lembaga terkait. Dalam mengatasi ancaman terorisme,
Indonesia mendapatkan apresiasi dari masyarakat
dunia.45 Dalam berbagai forum internasional,
terungkap beberapa negara sangat mengapresiasi
langkah lembaga-lembaga di Indonesia dalam

45 Aji Amin, Hamidi. 2020, Wajah Baru Terorisme. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.

Hal: 95
53

memerangi terorisme termasuk diantaranya dalam


upaya mengatasi FTF yang seperti diketahui memiliki
jaringan yang kuat di berbagai negara contohnya ialah
ISIS. Bahkan, masyarakat internasional menyatakan
keinginannya untuk bisa belajar dari Indonesia.
Indonesia dianggap telah sukses dalam menangani
terorisme dengan model pendekatanyang khas sesuai
dengan kultur, budaya dan sosial-politik yang
melingkupinya. Bidang yang menarik dan menyita
perhatian masyarakat internasional pada umumnya
adalah “bagaimana Indonesia bisa
mengkombinasikan, mensinkronisasikan, serta
memadukan penegakkan hukum yang simultan dan
sangat keras dengan pendekatan lunak” serta
“bagaimana Indonesia mampu mendeteksi dan
mencegah hampir setiap rencana serangan teroris”.
Para perwakilan negara sahabat tersebut
menyebutnya sebagai “hard approach, preventive
justice versus soft approach”. Kedua pendekatan inilah
yang dipandang sebagai dua entitas yang dikotomik.
Tetapi, inilah justru resep penanganan dan
pencegahan terorisme yang hanya ada di Indonesia.46
Dalam lingkup nasional, masyarakat Indonesia
telah menaruh kepercayaan yang tinggi kepada
lembaga-lembaga terkait dalam mengatasi terorisme
khususnya saat ini kita dihadapkan pada kepulangan
para FTF asal Indonesia. Masyarakat Indonesia
merasa dengan kepulangan FTF tersebut ke Indonesia
akan menimbulkan kekacauan serta dapat

46 Ibid.
54

mengancam keamanan pribadi mereka. Sehingga,


masyarakat Indonesia sangat bergantung pada
kekuatan dari lembaga-lembaga terkait dalam
mengatasi terorisme.

2) Kendala.
a) Kualitas SDM Indonesia. Saat ini populasi
penduduk Indonesia mengalami laju pertumbuhan
kurang lebih 2,5% per tahun menjadikan Indonesia
sebagai salah satu negara yang akan diuntungkan
dengan adanya bonus demografi. Namun di sisi lain,
apabila pemerintah gagal dalam mengelola
keunggulan sumber daya manusia Indonesia, maka
bonus demografi tersebut berpotensi untuk menjadi
beban permasalahan bagi kondisi ekonomi dan
keamanan negara, baik pada tataran pemerintahan
pusat maupun daerah. Lebih lanjut, mengutip
pemaparan dari Mantan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol
Suhardi Alius, bahwa bonus demografi yang dimiliki
Indonesia pada tahun 2020-2030 bisa saja menjadi
suatu masalah, terutama penyebaran paham radikal
apabila pemerintah tidak menyiapkan wadah
penyaluran Sumber Daya Manusia (SDM) yang
mumpuni.47 Dalam bonus demografi, diprediksi bahwa
mayoritas penduduk Indonesia didominasi oleh
angkatan kerja produktif. Apabila SDM usia produktif
tersebut sulit mendapatkan pekerjaan, mereka akan

47 Antara News, 2018, BNPT Sebut Bonus Demografi Terancam Paham Radikal. Diakses

melalui:https://www.antaranews.com/berita/684828/bnpt-sebut-bonus-demografi-
terancam-paham-radikal
55

mengalami frustasi dan paham radikalisme akan


dengan mudah menyusupi pikiran-pikiran mereka.

b) Persepsi negatif. Dengan semakin dilibatkannya


TNI dalam isu terorisme, timbul ketakutan bahwa
pendekatan terhadap teror pun mulai berubah menjadi
war model. Anggapan ini diperkuat dengan adanya
revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, yang
salah satu poin utamanya adalah memberikan
kewenangan kepada TNI agar secara permanen
dilibatkan dalam pemberantasan terorisme sebagai
salah satu satuan pemukul. Ketakutan tersebut
mengacu pada alasan bahwa seharusnya segala
ketentuan yang bertujuan untuk memperluas
kewenangan suatu institusi negara untuk meminta
bantuan institusi lainnya hanya dalam rangka
mendukung upaya penegakan hukum48.

c) Isu HAM. Polisi sudah sepantasnya mendapat


apresiasi setinggi-tingginya dari masyarakat selaku
aparat penegak hukum dengan serangkaian
keberhasilannya. Namun disisi lain kritikan juga
menerpa Polisi jika mengingat pelanggaran HAM yang
dilakukan tatkala melakukan penangkapan atau
penggerebekan teroris (terduga teroris).49 Komnas
HAM mencatat jika kepolisian sebagai pihak yang
paling banyak diadukan pada April 2016 lalu yakni
mencapai 188 pengaduan. Pihak kepolisian diduga

48Djari, Marten Luther. 2013 ; 128-129. Terorisme dan TNI. Jakarta. CMB Press.
49https://www.kompasiana.com/silonews/57983cf15797739326535877/tni-dan-polri-
dalam-ruu-terorisme
56

dalam memperoleh bukti sering menggunakan cara


penyiksaan sehingga muncul pengakuan. Selain itu,
123 kasus pelanggaran HAM sejak tahun 2000-an
terjadi dalam penanggulangan terorisme yang
dilakukan oleh Oknum Densus 88. Masih segar di
ingatan masyarakat Indonesia mengenai kasus Siyono
seorang terduga teroris yang hingga sekarang status
kejelasannya belum bisa dibuktikan. Inilah salah satu
bukti dari kasus pelanggaran HAM yang berujung
kematian,50 yang terus dipertanyakan oleh masyarakat
Indonesia khususnya para pegiat HAM.
Lebih lanjut, Beberapa pihak mengemukakan
pendapat dan argumen masing-masing terkait
keterlibatan TNI dalam mengatasi teroris. Polemik ini
seakan-akan menjadi ajang "Pembenturan Aparat
Keamanan" di negara Indonesia. Di satu sisi, Polisi
bersikukuh untuk menjadi Sutradara Drama
Penanggulangan Terorisme selama ini. Pada Operasi
Tinombala, memberikan gambaran, bagaimana
penggunaan sumber daya TNI dalam mengatasi tindak
pidana terorisme dapat berjalan secara efektif tanpa
mengurangi esensi proporsionalitas penindakan dan
tetap menjunjung tinggi HAM, yang sebagaimana
dikhawatirkan sebelumnya oleh beberapa kalangan, di
mana pelibatan TNI dalam upaya Penanggulangan
Aksi Terorisme dikhawatirkan akan melanggar nilai-

50 Nadia, Ambaranie. 2017. Setahun Berlalu, Kejelasan Kasus Siyono Kembali

Dipertanyakan. Kompas, diakses melalui: Kompas.com


57

nilai HAM51. Maka dari itu, yang diharapkan


masyarakat seluruh Indonesia agar kerja sama antar
lembaga yang memiliki kewajiban dan tugas dalam
mengatasi terorisme tetap kuat karena pada
hakekatnya lembaga lain selain Polri khususnya TNI
juga mempunyai tugas untuk menjaga keutuhan dan
kedaulatan bangsa. Sudah seyogyanya masalah
terorisme menjadi tanggung jawab semua pihak dalam
mewujudkan keamanan negeri ini.

51 Seorang WNI Tewas TenggelambSaat Operasi Pembebasan Sandera, Gatra.


https://www.gatra.com/detail/news/407732-Seorang-WNI-Tewas-Tenggelam-Saat-
Operasi-Pembebasan- Sandera, (diunduh pada 23 Juli 2019)
58
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

13. Umum. Penting bagi pemerintah Indonesia untuk memahami


tidak saja potensi ancaman FTF tapi juga karakteristik ancaman itu sendiri.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hegghammer dan Nesser (2015)
mengumpulkan data terkait jumlah dan karakteristik rencana serangan
yang terkait dengan ISIS di negara-negara Barat – Eropa Barat, Amerika
Utara, Australia – sepanjang periode 2011 hingga 2015.52 Salah satu
temuan dari penelitian tersebut adalah bahwa proporsi antara jumlah FTF
yang kembali dengan jumlah rencana serangan teror di negara-negara
Barat, baik yang berhasil maupun digagalkan (blowback rate), relatif
rendah. Dari 69 rencana serangan terhadap negara-negara Barat, sembilan
di antaranya melibatkan orang-orang yang pernah terlibat di konflik Suriah
(11 orang). Secara statistik, dengan jumlah FTF di Suriah yang berasal dari
Barat mencapai 4.000 orang, hanya 1 dari setiap 360 FTF yang kembali
yang kemudian terlibat dalam serangan teror di negara asalnya. Meskipun
blowback rate rendah, dampak serangan teror yang dilakukan oleh FTF
atau returnee cenderung lebih besar jika dibanding serangan yang
dilakukan oleh mereka yang tidak punya pengalaman berada di Suriah. Dari
sekitar 40 serangan teror yang terjadi di Perancis, Belgia, Jerman, dan
Inggris selama tiga tahun terakhir, misalnya, hanya tiga serangan yang
diduga dilakukan oleh FTF atau returnee. Tiga serangan tersebut
bertangungjawab atas dua pertiga korban dari total keseluruhan serangan.
Dengan kata lain, meskipun peluang FTF atau returnee melakukan aksi
teror kecil, potensi korban jika serangan berhasil dilakukan cenderung lebih
besar.

52 Lihat Thomas Hegghammer and Petter Nesser, “Assessing the Islamic State’s

Commitment to Attacking the West,” Perspectives on Terrorism 9, no. 4 (2015),


http://www.terrorismanalysts.com /pt/index.p hp/pot/article/view/440/html.

58
59

Lebih lanjut, bahwa penulisan ini akan dibangun dengan beberapa


analisa yang berangkat dari fakta-fakta yang telah dijabarkan sebelumnya.
Analisa yang dilakukan adalah dengan mengkaji kerja sama antar lembaga
yang meliputi situasi, kondisi, keadaan, peristiwa, dan tugas. Determinan
tersebut akan menjadi faktor yang menentukan setiap objek kajian yang
dibangun dan menjadi bagian dari saran yang akan diberikan di akhir
tulisan.
Tujuan dari analisa adalah terciptanya optimalisasi kerja sama antar
lembaga dalam mengatasi kepulangan FTF asal Indonesia, sehingga setiap
lembaga terkait harus dapat melaksanakan tugasnya dengan optimal dan
bekerja sama dalam setiap kondisi dan situasi yang terjadi apabila
diperlukan. Dengan dilakukannya penelitian ini, peneliti memiliki sasaran
yaitu agar setiap lembaga terkait dalam penanganan teroris khususnya
dalam mengatasi kepulangan para FTF asal Indonesia dapat bekerja sama
secara optimal. Lebih lanjut, untuk mengkaji optimalisasi kerja sama antar
lembaga dalam mengatasi kepulangan FTF asal Indonesia, penulis
melakukan penelitian melalui Analisa SWOT (Strength, Weakness,
Opportunity and Threat). Analisa SWOT diawali dengan melakukan
identifikasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi baik faktor internal
maupun faktor eksternal. Langkah ini dimaksudkan untuk memaksimalkan
peluang (Opportunity) menjadi kekuatan (Strength), meminimalkan
kelemahan (Weakness) dan bila memungkinkan merubah ancaman
(Threat) menjadi peluang (Opportunity).
Analisis SWOT dimaksudkan untuk mengidentifikasi faktor internal
(kekuatan dan kelemahan), faktor eksternal (peluang dan ancaman) yang
dihadapi, sehingga strategi kebijakan dapat dirumuskan. Analisis ini
didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang,
namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan
ancaman.53

53 Freddy Rangkuti 2008.Analisis SWOT Teknik Membedakan Kasus Bisnis. Jakarta : PT.

Gramedia Pustaka Utama


60

14. Analisis dan Pembahasan Peran Masing-Masing Lembaga


Terkait Dalam Mengatasi Isu Terorisme Di Indonesia.

a. Analisis. Melalui Teori Sinergi, peneliti akan mencoba


menganalisa permasalahan mengenai peran masing-masing
lembaga dalam mengatasi terorisme di Indonesia. Dalam teori
sinergi yang dijelaskan oleh Hartanto dalam bukunya yang berjudul
Kepemimpinan Sinergistik: Membangun Keunggulan Melalui
Kerjasama dan Aliansi Strategik, bahwa sinergi adalah suatu
gagasan baru yang terbentuk dari berbagai macam gagasan yang
diajukan oleh banyak pihak hingga menghasilkan suatu gagasan
baru, yang dilandasi oleh pola pikir atau konsep yang baru. Lebih
lanjut, sinergi atau kemitraan kerja antara pemerintah, akan tumbuh
menjadi wadah sinergi yang efisien; berkualitas; fleksibel dan
inovatif. Oleh sebab itu, idealnya wadah sinergi sebagai ciri
kerjasama kemitraan harus senantiasa dikembangkan secara
dinamis sesuai dengan konsep “learning organization” mengikuti
trend atau perkembangan lingkungan strategis. Sehingga dapat
dilihat bahwa idealnya, peran masing-masing lembaga terkait dalam
penanganan terorisme di indonesia harus bisa menghasilkan suatu
gagasan baru dalam penanganan terorisme dan juga harus bisa
megikuti trend atau lingkungan strategis. Dengan adanya sinergi
antara pemerintah juga, akan tumbuh menjadi wadah sinergi yang
efisien; berkualitas; fleksibel dan inovatif.
Lebih lanjut, kenyataan saat ini bahwa peran lembaga-
lembaga terkait dalam mengatasi aksi terorisme antara lain dapat
dilihat pada penerbitan UU Anti-terorisme tahun 2004 yang
kemudian diikuti dengan pembentukan detasemen khusus anti terror
atau biasa dikenal dengan Densus 88. Pembentukan detasemen ini
dikatakan sebagai wujud penegakan hukum yang dilakukan Negara
dalam kerangka militeristik dan penggunaan senjata. Langkah ini
61

bisa terbilang cukup efektif, banyak teroris yang ditangkap dan


dijebloskan ke penjara. Sebagian bahkan dihukum mati. Namun,
seiring berjalannya waktu upaya tersebut masih belum optimal dan
banyak juga yang mengkritik bahwa langkah ini cenderung represif.
Terbukti dalam beberapa kasus satuan khusus ini melakukan salah
tangkap, dan melakukan tindak kekerasan secara berlebiihan.
Sebagian masyarakat dan pengamat berdalih bahwa langkah
represif terhadap terorisme tidak akan menyelesaikan masalah. Alih-
alih ia melahirkan suatu masalah baru. Diperlukan pendekatan sosial
dengan melibatkan seluruh komponen masyarkat agar kasus serupa
tidak terulang. Di beberapa negara, langkah persuasif terhadap
terorisme justru dianggap lebih produktif. Namun sayangnya,
langkah ini tidak atau belum dioptimalkan oleh pemerintah
Indonesia.54
Peran lembaga-lembaga terkait dalam mencegah dan
menanggulangi terorisme sudah menunjukan keberhasilan yang
cukup berarti, akan tetapi masih banyak peningkatan yang perlu
dihadapi untuk menciptakan perasaan aman di masyarakat dari aksi-
aksi terorisme. Tragedi ledakan bom belum lama ini menunjukan
bahwa aksi terorisme harus terus diwaspadai, yang bentuk gerakan
dan perkembangan jaringannya terus berubah sehingga sukar untuk
dilacak. Sulitnya penyelesaian permasalahan terorisme ini terjadi
karena masih banyak faktor yang menyebabkan terorisme dapat
terus berkembang. Dari faktor perbedaan ideologis dan pemahaman
tentang agama yang berbeda-beda sampai kesenjangan sosial dan
pendidikan yang membuat masyarakat lebih mudah untuk disusupi
oleh jaringan-jaringan teroris. Perlu diketahui juga bahwa jaringan
teroris yang sulit terlacak dan memiliki akses yang luas membuat
permasalahan terorisme sulit untuk diselesaikan. Anggota teroris

54 Jahroni, Jajang. 2016. Memahami Terorisme: Sejarah, Konsep, dan Model. Pusat

Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah : Jakarta. Hal: xx
62

dapat memanfaatkan berbagai kemajuan teknologi global, seperti


internet dan telepon seluler untuk mempermudah berkomunikasi
dengan kelompoknya. Di samping itu, para teroris juga mempunyai
kemudahan untuk melakukan perjalanan dan transportasi lintas
batas negara sehingga sangat sulit untuk memutuskan rantai
jaringan terorisme global tersebut. Pengaruh terorisme dapat
memiliki dampak yang signifikan, baik segi keamanan dan
keresahan masyarakat maupun iklim perekonomian dan parawisata
yang menuntut adanya kewaspadaan aparat intelijen dan keamanan
untuk pencegahan dan penanggulangannya.
Upaya pencegahan terorisme tentunya kita tidak dapat
bekerja sendiri-sendiri. Maka dari itu, adanya sinergi merupakan
suatu keharusan yang bisa merangkul semua lembaga terkait guna
mendapat dukungan penuh untuk menangkal masuknya paham
terorisme di Indonesia. Lembaga-lembaga terkait dapat duduk
bersama membahas sebab musabab dan merumuskan
penanggulangan atau pencegahan paham terorisme dari hulu
sampai ke hilir. Secara konkret, untuk dapat mencegah dan
memberantas tindak terorisme secara maksimal, perlu kerja sama
dan meningkatkan peran antar kementerian, lembaga, dan
Kementerian yang ada di Indonesia.

b. Pembahasan. Ditinjau dari faktor internal dan internal


yang telah peneliti jelaskan pada bab sebelumnya, dapat diketahui
bahwa kondisi kerja sama antarlembaga yang berwenang di bidang
Penanggulangan Aksi Terorisme saat ini masih jauh dari pencapaian
yang diharapkan. Selain itu, terdapat beberapa masalah yang masih
ditemukan antara lain, belum adanya sinkronisasi data yang dimiliki
oleh masing–masing lembaga terkait dalam upaya pencegahan dan
penindakan ancaman terorisme secara optimal, belum ada payung
hukum yang jelas dalam menaungi kegiatan penanggulangan teror
63

yang bersifat kolaboratif khususnya dalam upaya pencegahan


sehingga petugas yang berada di lapangan memiliki Standard
Operation Procedure (SOP) yang berkuatan hukum tetap serta
terstandarisasi, serta masih tingginya ego sektoral antar institusi dan
lembaga pemerintahan yang terkait sehingga menjadi penghambat
optimalisasi kegiatan Penanggulangan Aksi Terorisme di Indonesia.
Sebagai dampaknya, kegiatan sharing informasi antar satu lembaga
dengan lembaga yang lain masih menjadi permasalahan yang lazim
ditemui. Selain itu, persoalan tersebut masih dipersulit dengan
adanya pembagian kewenangan dan anggaran yang tidak
proporsional di antara mereka.
Apabila kita cermati, ancaman teroris pada zaman terdahulu
lebih bersifat lokal. Saat ini, jaringan terorisme telah menampakkan
diri dalam jaringan yang bersifat regional dan bahkan internasional.
Kasus terorisme di Jl. Thamrin pada 14 Januari 2016 maupun kasus
penusukan Mantan Menkopolhukam Wiranto di penghujung tahun
2019 telah terbukti dipengaruhi oleh ISIS Global meskipun saat ini
ISIS telah mengalami kemunduran di Irak dan Suriah, namun
simpatisan-simpatisan mereka yang tersbar di berbagai negara
masih melancarkan aksi ”Amaliyah” yang menargetkan warga sipil,
aparat maupun pejabat negara. Seperti kejadian di Prancis dan
beberapa negara di Eropa dan Amerika juga. Adapula yang
dipengaruhi oleh heroisme maskulinitas55 dengan penyerangan
membabi buta dan ada juga yang terpengaruh mode penerapan
ideologi aplikatif pro-kekerasan seperti yang terjadi di Selandia Baru.
Maraknya aksi teror di Indonesia, seperti yang telah diketahui
bersama bahwa seringkali kelompok teroris ISIS menjadi dalang
dibalik berbagai serangan tersebut. Ada beberapa indikasi yang
mengarah pada temuan bahwa teror tersebut didalangi oleh

55 Amin, Hamidin Aji, 2020. Wajah Baru Terorisme. Gramedia Pustaka : Jakarta. Hlm: 73
64

kelompok ISIS. Salah satunya karena diketahui bahwa penyerangan


tersebut direncanakan oleh Bahrun Naim, warga Indonesia yang
ingin memimpin kelompok ISIS di Asia Tenggara. Selain itu, indikasi
lainnya ialah adanya informasi yang dimiliki oleh kepolisian dari
kelompok peretas (hacker) Anonymous56 yang mengatakan bahwa
Indonesia akan menjadi salah satu target penyerangan kelompok
radikal ISIS. Kelompok peretas Anonymous tersebut menginfokan
bahwa kelompok teroris akan menyerang Indonesia setelah Teror
Paris pada 13 November 2015.57 Disebutkan bahwa ISIS berencana
untuk menyerang komunitas Al-Jihad dan One Day One Juz. Al Jihad
yang dimaksud ialah sebuah masjid di Karawang, Jawa Barat. Sama
seperti halnya negara lain, Indonesia juga menemui tantangan
dalam mengungkap keberadaan jaringan teror dalam negaranya.
Dalam hal ini terutama terhadap jaringan teroris ISIS yang semakin
meresahkan. Keberadaan ISIS di Indonesia tentu mengusik kondisi
keamanan nasional yang memberi penekanan kepada kemampuan
pemerintah dalam melindungi negara dan warga negara dari setiap
ancaman yang datang. Saat ini ISIS menjadi jaringan yang tidak bisa
diabaikan begitu saja.
Bahkan, setiap tahunnya ISIS terus berkembang pesat dan
menjadi kekuatan global baru. Kemampuan mereka menjaring
pejuang dari negara-negara asing sangat tinggi dari berbagai negara
termasuk Indonesia. Atas terjadinya fenomena ini, pemerintah perlu
untuk meningkatkan strategi dalam penanganan terorisme di
Indonesia. Pemerintahpun harus mengoptimalkan sistem

56 Kelompok peretas Anonymous ini sebenarnya telah melancarkan cyber war atau perang
dunia maya dengan kelompok cyber yang dimiliki ISIS semenjak kelompok teroris tersebut
menyerang Kota Paris. Dalam aksinya mengklaim berhasil menutup 149 website, 101.000
akun Twitter dan menghapus 5.900 video propaganda milik ISIS dan mereka terus
berusaha untuk menghilangkan semua akun media sosial yang berhubungan dengan ISIS.
57 “Sebelum Teror Sarina Polisi Dapat Ancaman Konser dari ISIS”,
http://news.liputan6.com/read/2411824/ sebelum-teror-sarinah-polisi-dapat-ancaman-
konser-dariisis, diakses tanggal 15 September 2020.
65

pendeteksian dini terhadap potensi besar terjadinya aksi teror oleh


kelompok ekstrem di Indonesia terutama bagi kelompok yang
berafiliasi kepada ISIS. Seperti diantaranya ialah kelompok JAT atau
Mujahidin Indonesia Barat yang dipimpin Abu Bakar Baasyir serta
Kelompok Mujahidin Indonesia Timur yang dipimpin oleh Santoso.58
Lebih lanjut, berdasarkan penjelasan di atas bahwa kekuatan
dalam mengkaji permasalahan peran masing-masing lembaga
terkait dalam mengatasi terorisme di Indonesia diantaranya yaitu
pemerintah Indonesia senantiasa tetap berkomitmen dalam upaya
penanggulangan terorisme, termasuk diantaranya upaya
penanggulangan terorisme di bawah kerangka PBB. Dalam kaitan
ini, Indonesia berperan aktif dalam melakukan kerja sama dengan
United Nations Counter Terrorism Implementation Task Force
(CTITF), Terrorism Prevention Branch-United Nation Office for Drugs
and Crime (TPB-UNODC), dan United Nations Counter-Terrorism
Executive Directorate (UNCTED). Lebih lanjut, Indonesia melakukan
upaya untuk mengimplementasikan 4 (empat) pilar United Nations
Global Counter-Terrorism Strategy (UNGCTS). Pada tahun 2010,
Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan "Workshop on the
Regional Implementation of the United Nations Global Counter-
Terrorism Strategy in Southeast Asia", bekerja sama dengan UN
CTITF. Hasil pertemuan telah dilaporkan pada pertemuan tingkat
menteri International Counter-Terrorism Focal Points Conference on
Addressing Conditions Conducive to the Spread of Terrorism and
Promoting Regional Cooperation di Jenewa pada tahun 2013.
Tindakan teror dari terorisme dapat berakibat fisik dan/atau
non fisik (psikis). Tindakan teror fisik biasanya berakibat pada fisik
korban seperti pemukulan, penyendaraan, pembunuhan, peledakan

58 “Eks Pejabat BIN ada 100 WNI Siap jadi Pembom Bunuh Diri”,
https://m.tempo.co/read/news/2015/03/22/078651978/ eks-pejabat-bin-ada-100-wni-siap-
jadi-pembom-bunuh-diri, diakses tanggal 15 September 2020.
66

bom dan sebagainya sementara akibat dari non fisik (psikis) bisa
dilakukan dengan penyebaran isu, ancaman, dan sebagainya.
Akibat tindakan teror ini setiap orang atau kelompok orang yang
menjadi korban teror menjadi merasa tidak aman dan dalam kondisi
rasa takut (traumatis). Bahkan dapat berakibat lebih luas yaitu dapat
mempengaruhi kehidupan ekonomi, politik dan kedaulatan negara.
Oleh sebab itu, tindakan terorisme harus mendapat solusi baik dalam
pencegahan maupun penanggulangannya dari pemerintah maupun
masyarakat.59 Menurut Loudewijk F. Paulus, ada 4(empat) tipe
karakteristik terorisme yaitu:

1) Terorisme dalam karakteristik organisasi bahwa


terorisme adalah sebuah organisasi, yang melakukan
rekrutmen, memiliki pendanaan dan memiliki jaringan secara
global.
2) Terorisme dalam karakteristik operasi bahwa terorisme
memiliki perencanaan, taktik dan waktu.
3) Terorisme dalam karakteristik perilaku bahwa
terorisme melakukan motivasi, dedikasi, disiplin, maupun
keinginan unutk membunuh atau keinginan untuk menyerah
hidup-hidup;
4) Terorisme dalam karakteristik sumber daya bahwa
terorisme melakukan latihan, mengembangkan kemampuan,
ahli dalam pengalaman terkait bidang teknologi, persenjataan,
maupun perlengkapan dan transportasi.

Menurut Barry R. Posen dalam tulisannya yang berjudul The


Struggle against Terorism: Grand Strategy, Strategy and Tactics, hal

59 Mudzakkir, Pengkajian Hukum tentang Perlindungan Hukum bagi korban Terorisme,

Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
RI, 2008, h. 6-7. Diakses melalui: Sanur, Debora., 2016. Upaya Penanggulangan
Terorisme ISIS di Indonesia Dalam Melindungi Keamanan Nasional
67

yang harus dilakukan oleh suatu negara dalam upaya


menanggulangi terorisme ialah dengan sebuah strategi untuk
menentukan prioritas dan fokus untuk menggunakan sumber daya
suatu negara baik sumber daya yang berupa uang, waktu, maupun
modal. Termasuk juga sumber daya politik dan kekuatan militer
negara tersebut.19 Negara yang sedang berusaha untuk mengatasi
ancaman teror harus memperbesar kapabilitas diplomasi dan
pertahanan negaranya karena kedua faktor tersebut berperan besar
dalam upaya kontra teror. Melalui skala prioritas atas penggunaan
sumber daya negara maka negara tersebut akan lebih berhemat
tenaga daripada melawan teror dengan perang yang menguras
tenaga (attrition war). Dalam hal ini peningkatan kemampuan
pertahanan yang dapat dilakukan ialah seperti penambahan jumlah
personil dan alutsista, pengakuisisian teknologi yang lebih canggih
maupun peningkatan kemampuan personil dalam bidang kontra teror
baik melalui latihan bersama maupun dengan mengadakan konfrensi
agar dapat bertukar pengalaman dengan negara lain. Peningkatan
kapabilitas intelijen juga merupakan salah satu poin terpenting
karena karena dengan intelijen yang baik maka negara akan memiliki
“mata” dan telinga” terhadap ancaman suatu aksi teror, sehingga
negara mampu melakukan penangkalan sebelum serangan teror itu
dilakukan. Intelijen harus mampu mengkonsentrasikan semua
informasi yang berguna di dalam satu wadah.
Karakteristik dari paradigma yang dikembangkan dalam
menghadapi terorisme harus bersifat dinamis, tepat waktu dan tepat
situasi. Di samping itu, ketiga sifat tersebut harus dapat dilaksanakan
secara sekaligus sesuai dengan fungsinya masing-masing, yaitu:
fungsi preventif, represif, dan rehabilitatif. Sehingga, kebijakan dan
langkah dalam melakukan pencegahan serta pemberantasan
terorisme dengan menggunakan paradigma tritunggal dimaksud
68

dapat memelihara kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia


yang tertib, aman, damai, adil, dan sejahtera.60
Lebih lanjut setelah kita mengetahui mengenai faktor
kekuatan yang ada dalam peran masing-masing lembaga dalam
mengatasi terorisme di Indonesia kita dapat mengaitkannya dengan
faktor peluang. Dalam mendukung komitmen pemerintah Indonesia,
adanya cita-cita nasional serta adanya kemampuan yg mumpuni dari
masing-masing lembaga dalam mengatasi terorisme, tentunya dapat
didukung dengan perkembangan infrastruktur yang ada di Indonesia.
Karena seperti yang diketahui bersama bahwa, salah satu faktor
yang membuat kelompok teroris berhasil merekrut anggotanya
adalah kemiskinan, pengangguran dan krisis ekonomi serta sosial.
Dalam hal ini kelompok teroris tak segan-segan menawarkan uang
dan gaji bulanan kepada mereka yang bersedia bergabung.
“Yayasan amal” juga menjadi sarana kelompok teroris internasional
untuk memperluas aktivitasnya dan merekrut para pemuda agar
dapat bergabung menjadi FTF. Oleh karena itu, sekitar dua dekade
terakhir, negara-negara yang dilanda kekerasan dan radikalisme
berusaha mencegah penyalahgunaan kemiskinan oleh kelompok
teroris dan radikal memajukan ambisinya dengan menerapkan
kebijakan pembangunan dan memulihkan kondisi ekonomi mereka.
Indonesia juga tidak ketinggalan dalam hal ini. Indonesia
menerapkan berbagai kebijakan dalam koridor pembangunan
nasional untuk memberantas kemiskinan, menciptakan lapangan
pekerjaan dan meningkatkan pendapatan rakyat khususnya di
kawasan terpencil, desa dan daerah perbatasan.61 Indonesia

60 Romli Atmasasmita, Masalah Pengaturan Terorisme dan Perspektif Indonesia, Jakarta:


Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2002, hal. 2-3.
Diakses melalui: Sanur, Debora., 2016. Upaya Penanggulangan Terorisme ISIS di
Indonesia Dalam Melindungi Keamanan Nasional
61 ParsToday, 2017, Pembangunan, Solusi Indonesia Kontrol Radikalisme dan Terorisme.

Diakses
69

memiliki berbagai aspek potensial yang dapat menjadi peluang


berupa ‘senjata ampuh’ bila mampu mentransformasikannya
menjadi suatu potensi yang akan berkonstribusi positif terhadap
pencapaian Indonesia unggul, utamanya dalam mewujudkan impian
besar para pendiri bangsa akan peningkatan kesejahteraan rakyat
dan memberikan rasa aman terhadap rakyat dari segala bentuk
ancaman. Presiden Jokowi telah berhasil membangun fondasi yang
dipersyaratkan untuk menuju Indonesia unggul.
Lalu, Dalam rangka membendung keahlian jaringan terorisme
termasuk di dalamnya FTF yang memaksa pulang ke Indonesia,
salah satu lembaga yang mempunyai tugas dalam mengatasi
terorisme yaitu dapat mengikuti perkembangan dan kemajuan
teknologi yaitu dalam memanfaatkan teknologi komunikasi dan
mengurangi kerawanan jaringan komunikasi pemerintahan terhadap
upaya penyadapan, Lembaga Sandi Negara melaksanakan
penyelenggaraan persandian dalam rangka antiterorisme melalui
gelar Jaring Komunikasi Sandi (JKS) meliputi JKS Very Very
Important Person (VVIP), JKS Intern Instansi Pemerintah, JKS
Antarinstansi Pemerintah, dan JKS Khusus. JKS tersebut berfungsi
mengolah informasi berita rahasia untuk pihak yang berhak
menerima kandungan informasinya. Saat ini, penggelaran JKS
nasional pada tahun 2005—2008 baru tergelar sebanyak 36% pada
instansi pemerintah dan terus dimonitor, dibina, dan ditingkatkan
kemampuannya sehingga kemungkinan terjadinya penyadapan
menjadi minimal. Sampai dengan awal tahun 2008, gelar JKS
terbatas tersebut telah terbukti mampu mengamankan komunikasi
berita yang berklasifikasi rahasia di instansi pemerintahan, dengan
indikasi tidak adanya laporan dan temuan terjadinya kebocoran
dalam pengiriman dan penerimaan berita yang berklasifikasi rahasia.

melalui:https://parstoday.com/id/radio/Indonesiai43792pembangunan_solusi_Indonesia_k
ontrol_radikalisme_dan_terorisme
70

Melengkapi upaya perlindungan pasif, Lembaga Sandi Negara mulai


tahun 2008 meningkatkan skala operasi analisis sinyal komunikasi
dalam rangka pengumpulan informasi keamanan nasional. Untuk
keperluan tersebut telah direvitalisasi Direktorat Analisa Sinyal
dengan tugas pokok melakukan kegiatan kriptonalisis sinyal
komunikasi melalui sumber daya manusia yang kompeten dan
perangkat keras dan lunak teknologi tinggi. Kegiatan sterilisasi dan
pemblokiran frekuensi komunikasi tertentu terus dilakukan untuk
meminimalkan upaya penyadapan dan mengamankan jalannya
koordinasi institusi keamanan nasional. Selain itu, di lembaga lain
seperti TNI, Polri, dan BIN juga memiliki satuan siber yang dapat
digunakan sebagai upaya dalam mengatasi serangan-serangan
berdimensi siber dari para FTF ISIS.
Peluang lainnya ialah tingginya kepercayaan masyarakat
terhadap lembaga terkait. masyarakat Indonesia telah menaruh
kepercayaan yang tinggi kepada lembaga-lembaga terkait dalam
mengatasi terorisme khususnya saat ini kita dihadapkan pada
kepulangan para FTF asal Indonesia. Masyarakat Indonesia merasa
dengan kepulangan FTF tersebut ke Indonesia akan menimbulkan
kekacauan serta dapat mengancam keamanan pribadi mereka.
Sehingga, masyarakat Indonesia sangat bergantung pada kekuatan
dari lembaga-lembaga terkait dalam mengatasi terorisme.

c. Strategi. Prosedur pemecahan masalah menggunakan


analisis SWOT menurut Fredi Rangkuti62, yang terdiri dari analisis
faktor internal dan eksternal, digunakan untuk menentukan dan
menganalisis peran masing-masing lembaga terkait dalam
mengatasi isu terorisme yang dimaksud di atas, karena faktor-faktor
internal dan eksternal di dalam kualitas peran lembaga memiliki

62Rangkuti, F. 2016.Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis, Cetakan ke-22.


Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal. 29.
71

tingkat kohesi dan kombinasi yang tinggi untuk saling


mempengaruhi. Setidaknya ada tiga hal penting yang berpengaruh
terhadap keberhasilan lembaga-lembaga terkait dalam mengatasi
isu terorisme di Indonesia, yaitu:
1) Upaya yang dilakukan harus konsisten dihadapkan
dengan kondisi lingkungan yang dinamis, khususnya upaya
tersebut harus dapat mengambil keuntungan dari peluang
yang ada atau yang diproyeksikan dan meminimalkan
pengaruh dari ancaman utama.
2) Peran masing-masing lembaga terkait dalam
mengatasi isu terorisme di Indonesia juga perlu harus
menempatkan persyaratan yang realistis dari kemampuan
masing-masing lembaga. Dengan kata lain pengejaran
peluang harus berdasarkan pada eksistensi dari peluang dan
kekuatan internal dari masing-masing lembaga.
3) Upaya-upaya tersebut harus secara hati-hati
dilaksanakan. Hal ini dilakukan agar kemampuan dari masing-
masing lembaga terkait dapat berguna dalam mengatasi isu
terorisme di Indonesia dalam kurun waktu yang cukup lama
serta tidak menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks
lagi di masa yang akan datang. Dalam artian strategi harus
memperhitungkan seluruh aspek secara komprehensif agar
hasil dapat dicapai dengan optimal.
Oleh karena itu perlu ditemukan upaya berdasarkan analisa
situasi baik internal maupun eksternal dari masing-masing komponen
profesionalisme prajurit. Analisis SWOT ini akan berusaha mengenali
suatu permasalahan dalam sudut pandang yang lebih komprehensif
agar menemukan strategi yang paling ideal didasarkan pada berbagai
kondisi faktual yang ada di lapangan. Analisa SWOT digunakan agar
didapat strategi terbaik dalam pemecahan persoalan. Analisis SWOT
dapat digambarkan menggunakan diagram sebagai berikut :
72

Gambar 4.1
Diagram Analisis SWOT

1) Strategi SO digunakan untuk mengantisipasi situasi


yang paling menguntungkan; dimana organisasi menghadapi
beberapa peluang lingkungan dan mempunyai berbagai
kekuatan yang mendorong peluang tersebut.

2) Strategi ST digunakan untuk mengantisipasi suatu


kondisi dimana suatu organisasi dengan kekuatan utama
menghadapi suatu lingkungan yang tidak menguntungkan.

3) Strategi WO digunakan untuk mengantisipasi suatu


kondisi dimana organisasi memiliki peluang besar yang
impresif akan tetapi dihambati oleh kelemahan internal.

4) Strategi WT digunakan untuk mengantisipasi situasi


yang paling tidak menguntungkan dengan organisasi
menghadapi ancaman lingkungan pada suatu posisi yang
relatif lemah secara internal.
73

Selanjutnya, strategi SWOT digunakan untuk melihat dan


mendapatkan pemecahan masalah berkaitan dengan peran masing-
masing lembaga terkait dalam mengatasi isu terorisme di Indonesia,
faktor-faktor yang mempengaruhi dari peran masing-masing
Lembaga, sehingga segala permasalahan yang masih ditemukan
dapat ditentukan suatu strategi yang tepat. Analisis ini dibagi dalam
dua kategori yaitu faktor internal, untuk mendapatkan faktor-faktor
yang menjadi kekuatan (Strength) dan kelemahan (Weakness) serta
faktor eksternal, untuk mendapatkan faktor-faktor yang menjadi
peluang (Opportunity) dan kendala (Threat). Adapun strategi dapat
diuraikan dalam tabel SWOT dibawah ini :

Tabel 4.2
Tabel SWOT terhadap Faktor Internal dan Eskternal

STRENGTHS WEAKNESSES

- Komitmen Pemerintah RI - Belum ada organisasi terintegrasi


- Cita-cita Nasional - Belum adanya aturan mengenai integrasi
- Kemampuan masing-masing lembaga antar lembaga
- Alokasi anggaran yang belum proporsional

OPPORTUNITIES THREATS

- Perkembangan infrastruktur Indonesia - Kualitas SDM Indonesia yang belum


- Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memadai
- Tingginya kepercayaan masyarakat terhadap - Persepsi negatif terhadap beberapa
lembaga terkait lembaga terkait
- Isu HAM
74

Tabel 4.3
Tabel Analisis SWOT Peran Masing-Masing Lembaga Terkait Dalam Mengatasi Isu Terorisme Di Indonesia

STRENGTHS WEAKNESS
INTERNAL
- Cita-cita Nasional. - Belum adanya aturan mengenai integrasi antar lembaga.
EKSTERNAL - Kemampuan masing-masing lembaga. - Alokasi anggaran yang belum proporsional.

OPPORTUNITIES STRATEGI S-O STRATEGI W-O

- Kemajuan ilmu pengetahuan dan - Merumuskan suatu kebijakan keamanan yang bersifat - Mewujudkan dasar hukum yang sinergis dalam
teknologi. situasional, yaitu kebijakan yang mendukung pelaksanaan tugas Operasi Intelijen dan Penegakan
- Tingginya kepercayaan penyelenggaraan keamanan nasional sesuai situasi yang Hukum antarlembaga.
masyarakat terhadap lembaga tepat. - Merumuskan mekanisme kerjasama antar lembaga yang

74
terkait. - Mengoptimalkan kinerja tiap lembaga agar dapat meminimalisir overlaping anggaran.
bekerjasama dalam mengatasi terorisme di Indonesia
THREATS STRATEGI S-T STRATEGI W-T

- Kualitas SDM Indonesia yang - Merumuskan strategi komprehensif dalam penanggulangan - Menciptakan sistem penganggaran yang transparan dan
belum memadai. terorisme yang mengkombinasikan hard dan soft approach. akuntabel khusunya dalam penanganan terorisme.
- Persepsi negatif terhadap - Meningkatkan kemampuan masing-masing lembaga dalam - Melaksanakan pelatihan di lembaga masing-masing terkait
beberapa lembaga terkait. suatu wadah yang berisi mekanisme hubungan kerja efektif prosedur penanganan FTF.
antar lembaga terkait penanganan isu kepulangan FTF ke
Indonesia dengan tetap mengutamakan nilai-nilai HAM.
75

Berdasarkan Gambar 4.3 Matriks Analisa SWOT dapat


dipahami bahwa perumusan strategi untuk pemecahan persoalan
dapat diperoleh dengan mengkombinasikan setiap elemen dari
faktor eksternal dan internal sesuai dengan uraian yang terdapat
dalam Bab III pasal 12. Adapun konsep strategi yang dapat
dirumuskan, antara lain:

1) Strategi SO (Strengths-Opportunities) atau


Comparative Advantage. Digunakan untuk memanfaatkan
situasi yang paling menguntungkan, dimana organisasi
memiliki kekuatan yang potensial serta peluang untuk
memanfaatkan kekuatan yang dimiliki. Strategi ini lazim
disebut sebagai Strategi Progresif. Strategi yang dapat
diambil berdasarkan faktor S-O, antara lain:
a) Cita-cita nasional untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Untuk menjaga dan melindungi upaya mencapai tujuan
nasional tersebut diperlukan suatu kebijakan
keamanan yang bersifat situasional, yaitu kebijakan
yang mendukung penyelenggaraan keamanan
nasional sesuai situasi yang tepat. Salah satu
implementasinya ialah dengan terus memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
b) Dengan kemampuan yang dimiliki oleh masing-
masing lembaga dalam mengatasi terorisme di
Indonesia, masyarakat menaruh kepercayaan yang
76

tinggi terhadap lembaga-lembaga terkait. Sehingga,


strategi yang dapat dilakukan ialah pengembangan dan
pengomptimalan kinerja tiap lembaga agar dapat
bekerja sama dalam mengatasi terorisme di Indonesia.

2) Strategi S-T (Strengths-Threats) atau Mobilization.


Diaplikasikan untuk mengantisipasi suatu kondisi dimana
suatu organisasi memiliki kekuatan dihadapkan pada kondisi
lingkungan yang tidak menguntungkan. Strategi ini lazim
disebut sebagai Strategi Diversifikasi. Strategi yang dapat
diambil dengan faktor S-T, antara lain:
a) Mengoptimalkan strategi komprehensif dalam
penanggulangan terorisme yang mengkombinasikan
soft dan hard approach. Adapun pendekatan soft
approach yang dilakukan oleh Indonesia ini terlihat
melalui program deradikalisasi yang dilakukan oleh
pemerintah. Deradikalisasi merupakan suatu upaya
mengatasi isu terorisme agar para narapidana dan
mantan narapidana atau pihak-pihak lain yang
berpotensi melakukan aksi teror tidak melakukan
kembali aksi terornya. Konsep deradikalisasi
menggunakan teknik Soft Power Approach yaitu upaya
pencegahan dengan pendekatan yang bersifat
komprehensif, persuasif, mengutamakan hati nurani
dan rasa kemanusiaan dalam menyelesaikan masalah
atau konflik. Pelaksanaan program deradikalisasi ini
secara khusus dimaksudkan untuk membuka
pemikiran yang semula fanatik dan sempit menjadi
dapat menerima perbedaan secara terbuka. Lalu,
pendekatan hard approach dapat dilakukan Ketika
pendekatan soft approach tidak berjalan dengan
77

optimal, penggunaan kekuatan militer dapat dijadikan


pilihan dalam mengatasi teroris yang melakukan aksi.
b) Meningkatkan kemampuan masing-masing
lembaga dalam suatu wadah yang berisi mekanisme
hubungan kerja antar lembaga terkait penanganan isu
kepulangan FTF ke Indonesia dengan tetap
mengutamakan nilai-nilai Hak Asasi Manusia.
Penegakan hukum bertujuan untuk melindungi HAM,
sekaligus penegakan HAM itu sendiri. Namun pada
kondisi tertentu/darurat seringkali penegakan hukum
dinilai melanggar HAM. Oleh karena itu harus ada code
of conduct dari wadah yang berisi Lembaga-lembaga
terkait dan mengatur perilaku dan batasan bertindak
yang tetap dalam koridor hukum dan HAM.

3) Strategi W-O (Weaknesses-Opportunities) atau


Divestment/Investment. Digunakan untuk mengantisipasi
kondisi dimana organisasi memiliki suatu peluang besar
namun dihambat oleh adanya kelemahan internal. Strategi
ini sering digambarkan sebagai Turn Around atau merubah
strategi. Strategi W-O dapat diwujudkan melalui:
a) Mewujudkan dasar hukum yang sinergis dalam
pelaksanaan tugas Operasi Intelijen dan Penegakan
Hukum antar lembaga, melalui revisi Undang-Undang
Intelijen tentang penguatan peranan aparat intelijen
yang selaras dengan Undang-Undang Anti Terorisme
dan mempercepat penerbitan Peraturan Presiden yang
mengatur tentang teknis pelibatan TNI di dalam
Operasi Penanggulangan Aksi Terorisme dan
mengatasi kepulangan FTF, dengan metode regulasi,
revisi, pengesahan, capacity and capability based
78

roles, interoperabilitas, resiprokal, sosialisasi,


koordinasi, dan Protap Bersama dengan menggunakan
sarana yang dimiliki oleh DPR-RI, dalam rangka
terwujudnya harmonisasi peraturan yang ditetapkan
dan sesuai peran dengan melibatkan Komisi I DPR-RI,
Pemerintah, Menkopolhukam, Kepala BNPT, Kepala
BIN, Panglima TNI, dan Kapolri dalam suatu kerangka
kerja sama terkait Operasi Intelijen dan Penegakan
Hukum sehingga Penanggulangan Aksi Terorisme di
Indonesia dapat dilaksanakan secara kolaboratif dan
komprehensif. Dengan adanya dasar hukum tersebut,
maka suatu wadah atau desk yang berisi lembaga-
lembaga terkait dapat terbentuk, hal tersebut agar
mekanisme kerja sama antar lembaga dapat berjalan
lebih optimal.
b) Mekanisme kerjasama antar lembaga harus
diciptakan dengan sistem yang efisien sehingga
meminimalisir terjadinya overlaping anggaran di antara
lembaga-lembaga terkait penanganan terorisme.

4) Strategi W-T (Weaknesses-Threats) atau Damage


Control. Diaplikasikan untuk mengantisipasi situasi yang
paling tidak menguntungkan dimana organisasi harus
mengeliminasi kelemahan yang dimiliki dalam menghadapi
ancaman lingkungan yang bersifat faktual. Strategi ini lazim
disebut sebagai Strategi Defensif. Langkah yang dapat
diambil dalam strategi ini, antara lain:
a) Menciptakan sistem penganggaran yang
transparan dan akuntabel khususnya dalam
penanganan terorisme. Implementasinya adalah
dengan adanya upaya kolektif (bersama dan
79

terintegrasi) perumusan anggaran penanganan


terorisme yang peoporsional. Hal tersut dilakukan guna
menghadapi adanya persepsi negatif terhadap
beberapa Lembaga terkait.
b) Diperlukan suatu aturan atau landasan hukum
yang jelas agar Lembaga-lembaga terkait yang ada di
dalam organisasi tersebut mampu lebih efektif serta
terintegrasi dengan baik dalam mengatasi terorisme di
Indonesia. Implementasi yang dapat dilakukan ialah
dengan melaksanakan pelatihan yang terintegrasi
terkait proses penanganan FTF di masing-masing
lembaga.

15. Analisis dan Pembahasan Mekanisme Hubungan Kerja Antar


Lembaga Terkait Penanganan Isu Kepulangan FTF Ke Indonesia.

a. Analisis. Berbicara mengenai permasalahan mekanisme


hubungan kerja antar lembaga maka penulis akan membahasnya
dengan juga teori kerjasama. Pada teori kerjasama yang dijelaskan
oleh Heru Puji Winarso dalam bukunya yang berjudul Sosiologi
Komunikasi Massa, bahwa Kerja sama dapat diartikan sebagai
sebuah pekerjaan/usaha yang dilakukan secara bersama-sama,
untuk memperoleh tujuan bersama dan hasil yang dapat dinikmati
bersama. Kerja sama umumnya mencakup paradigma yang
berlawanan dengan kompetisi. Banyak orang yang mendukung kerja
sama sebagai bentuk yang ideal untuk pengelolaan urusan
perorangan. Maka dapat diketahui bahwa, kondisi ideal yang
seharusnya terjadi dalam mekanisme hubungan kerja antar lembaga
terkait penanganan isu kepulangan FTF ke Indonesia harus bisa
saling mengisi dan melengkapi perbedaan untuk mencapai hasil
lebih besar daripada jumlah bagian perbagian dan juga harus bisa
80

mengetahui kelemahan satu lembaga dan lembaga lainnya dapat


mengisi kelemahan tersebut dengan kekuatan yang dimilikinya,
begitupun sebaliknya. Kerjasama antar lembaga juga seharusnya
dilakukan secara bersama-sama, untuk memperoleh tujuan bersama
dan hasil yang dapat dinikmati bersama, dengan mengesampingkan
ego sektoral.
Pada kenyataannya saat ini, mekanisme koordinasi lintas
lembaga menjadi isu yang penting. Undang-Undang Nomor 5 tahun
2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 tahun
2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme menjadi Undang-Undang mengatur bahwa Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme berfungsi, diantaranya, untuk
menyelenggarakan koordinasi kebijakan, strategi, dan program
nasional di bidang penanggulangan terorisme. BNPT juga menjadi
pusat analisis dan pengendalian krisis yang berfungsi sebagia
fasilitas bagi Presiden untuk menetapkan kebijakan dan langkah
penanganan krisis, termasuk pengerahan sumber daya dalam
menangani terorisme. Dalam menjalankan upaya pencegahan tindak
pidana terorisme, BNPT menyiapkan program-program
kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi.
Dengan demikian, BNPT seharusnya menjadi focal point dalam
proses pemulangan WNI simpatisan ISIS dari Suriah.12 Namun,
mekanisme hubungan kerja antar lembaga terbilang belum berjalan
optimal, karena masih adanya ego sektoral dan ketidakjelasan
aturan yang mengakibatkan tugas dan fungsi dari lembaga-lembaga
terkait menjadi tumpang tindih.

12 The Habibie Center, 2019. Kajian Kontra Terorisme dan Kebijakan. Hlm : 9.
81

b. Pembahasan. Lebih lanjut, ditinjau dari faktor-faktor


yang berpengaruh dalam kerja sama antar lembaga terkait dalam
mengatasi kepulangan FTF ke Indonesia, berdasarkan hasil
penelitian yang penulis lakukan bahwa dalam melakukan
optimalisasi kerja sama antar lembaga, terdapat permasalahan yang
ada dalam mekanisme hubungan kerja antar lembaga terkait
penanganan isu kepulangan FTF ke Indonesia. Dalam menghadapi
perkembangan ancaman terorisme yang bersifat kompleks dan multi
dimensional, maka dibutuhkan sebuah mekanisme kerja yang
sinergis dalam upaya mengatasi kepulangan FTF ke Indonesia. Dari
persoalan tersebut, fenomena yang terjadi saat ini adalah belum
adanya mekanisme hubungan kerja yang sinergis dalam
melaksanakan Operasi Intelijen dan Penegakan Hukum dalam
rangka Penanggulangan Aksi Terorisme. Hal ini menyebabkan
kinerja dan pembagian tugas dari Kemenkopolhukam, BNPT, BIN,
TNI, dan Polri belum optimal, sehingga menyebabkan pembagian
anggaran yang juga belum proporsional. Oleh sebab itu dibutuhkan
konsepsi sinergitas antar lembaga guna mewujudkan hubungan
kerja sama yang sinergis antara Kemenkopolhukam, BNPT, BIN,
TNI, dan Polri dalam Penanggulangan Aksi Terorisme di Indonesia
belum dapat diwujudkan.
Kompleksnya hambatan dan tantangan yang harus dihadapi
kedepan, sinergitas antara pendekatan hukum dan intelijen serta
kerja sama yang erat di antara institusi-institusi terkait didalamnya,
menjadi suatu hal yang tidak dapat dihindari mutlak untuk
dilaksanakan sebagai syarat upaya Penanggulangan Aksi Terorisme
di Indonesia yang efektif. Penggunaan konsep model kerja sama
yang bersifat kolaboratif di antara institusi-institusi terkait dapat
menjadi katalis dalam mencapai efektivitas penanganan aksi
terorisme dan menurunkan angka kejadian teror di Indonesia.
Namun demikian, hal ini harus harus diakomodir sebagai mana
82

turunan dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2018 yang memuat


penjelasan teknis tentang mekanisme kerja sama kolaboratif di
antara Kemenkopolhukam, BNPT, BIN, TNI, dan Polri, sehingga
dapat berjalan di bawah kerangka legalitas yang bersifat mengikat.
Selain itu peranan kelima institusi dalam memberikan
kontribusi mereka dihadapkan dengan perbedaan kapasitas,
kapabilitas, dan budaya organisasi masing-masing di dalam
penanganan aksi teror juga menjadi faktor yang sangat kritis. Dalam
kerjasama tentunya akan merujuk pada praktik seseorang atau
kelompok yang lebih besar yang bekerja di khayalak dengan tujuan
atau kemungkinan metode yang disetujui bersama secara umum,
alih-alih bekerja secara terpisah dalam persaingan. Kerja sama
dapat diartikan sebagai sebuah pekerjaan/usaha yang dilakukan
secara bersama-sama, untuk memperoleh tujuan bersama dan hasil
yang dapat dinikmati bersama. Kerja sama umumnya mencakup
paradigma yang berlawanan dengan kompetisi. Banyak orang yang
mendukung kerja sama sebagai bentuk yang ideal untuk
pengelolaan urusan perorangan.13 Dengan kata lain, komponen –
komponen yang tampak independen dapat bekerja sama untuk
menciptakan suatu sistem dari bagian-bagian yang sangat
kompleks, lebih besar dari pada jumlah yang ada yang memiliki
tujuan yang sama.14 Sehingga, dibutuhkan intervensi secara
eksternal, yaitu dari pihak pemerintah yang harus menjaga
proporsionalitas pembagian tugas, wewenang dan anggaran kepada
masing-masing lembaganya yang peran, fungsi dan tugasnya
berkaitan dengan upaya Penanggulangan Aksi Terorisme di
Indonesia. Dalam membentuk kerja sama yang kolabotif
antarlembaga, maka perlu suatu acuan bagaimana menciptakan

13
Heru Puji Winarso. 2005. Sosiologi Komunikasi Massa. Jakarta: Prestasi Pustaka.
14Mobus, G.E. & Kalton, M.C. (2015). Principles of Systems Science, Chapter 8:
Emergence, Springer, New York
83

suatu budaya organisasi yang saling mendukung, sesuai dengan


teori budaya organisasi yang dikemukakan oleh Talizduhu15.

c. Strategi. Selanjutnya, strategi SWOT digunakan untuk


melihat dan mendapatkan pemecahan masalah berkaitan dengan
mekanisme hubungan kerja antar lembaga terkait penanganan isu
kepulangan FTF ke Indonesia, sehingga segala permasalahan yang
masih ditemukan dapat ditentukan suatu strategi yang tepat. Analisis
ini dibagi dalam dua kategori yaitu faktor internal, untuk
mendapatkan faktor-faktor yang menjadi kekuatan (Strength) dan
kelemahan (Weakness) serta faktor eksternal, untuk mendapatkan
faktor-faktor yang menjadi peluang (Opportunity) dan kendala
(Threat). Adapun strategi dapat diuraikan dalam tabel analisis SWOT
dibawah ini:

15 Loc.Cit, Taliziduhu dalam Teori Budaya Organisasi,


77

Tabel 4.4
Tabel Analisis SWOT Mekanisme Hubungan Kerja Antar Lembaga Terkait Penanganan Isu Kepulangan FTF.

STRENGTHS WEAKNESSES
INTERNAL
- Kemampuan masing-masing lembaga - Belum ada organisasi terintegrasi.
- Komitmen Pemerintah RI - Belum adanya aturan mengenai integrasi
EKSTERNAL
antar lembaga.

OPPORTUNITIES STRATEGI S-O STRATEGI W-O

- Perkembangan infrastruktur - Menyusun suatu kebijakan keamanan yang bersifat situasional, yaitu - Merumuskan suatu aturan mengenai
Indonesia kebijakan yang mendukung penyelenggaraan keamanan nasional sesuai integrasi antar lembaga
- Kemajuan ilmu pengetahuan dan situasi yang tepat dan efisien. - Membentuk suatu badan ad-hoc khusus

84
teknologi - Merumuskan suatu aplikasi berbasis platform android atau IOS yang untuk menangani permasalahan FTF
memiliki fungsi sebagai efisiensi kerjasama antar lembaga dalam
melakukan pendataan terrorism early warning.

THREATS STRATEGI S-T STRATEGI W-T

- Kualitas SDM Indonesia yang - Mewujudkan suatu prosedur operasi tetap berdasarkan konsepi sinergitas - Merumuskan suatu aturan hukum yang jelas
belum memadai yang berlaku bagi satuan intelijen dan satuan penindak yang terlibat mengenai penanganan FTF dengan tetap
- Isu HAM sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya masing – masing terkait mengedepankan HAM
penanganan isu kepulangan FTF ke Indonesia. - Mengoptimalkan pengembangan kualitas
- Meningkatkan kemampuan masing-masing lembaga dalam suatu wadah SDM Indonesia dengan mengikuti
yang berisi mekanisme hubungan kerja antar lembaga terkait penanganan perkembangan teknologi dan informasi.
isu kepulangan FTF ke Indonesia dengan tetap mengutamakan nilai-nilai
Hak Asasi Manusia.
85

Berdasarkan Matriks Analisa SWOT dapat dipahami bahwa


perumusan strategi untuk pemecahan persoalan dapat diperoleh
dengan mengkombinasikan setiap elemen dari faktor eksternal dan
internal sesuai dengan uraian yang terdapat dalam Bab III pasal 12.
Adapun konsep strategi yang dapat dirumuskan, antara lain:
1) Strategi SO (Strengths-Opportunities) atau
Comparative Advantage. Digunakan untuk memanfaatkan
situasi yang paling menguntungkan, dimana organisasi
memiliki kekuatan yang potensial serta peluang untuk
memanfaatkan kekuatan yang dimiliki. Strategi ini lazim
disebut sebagai Strategi Progresif. Strategi yang dapat
diambil berdasarkan faktor S-O, antara lain:
a) Menyusun suatu kebijakan keamanan yang
bersifat situasional, yaitu kebijakan yang mendukung
penyelenggaraan keamanan nasional sesuai situasi
yang tepat dan efisien.
b) Merumuskan suatu aplikasi berbasis platform
android atau IOS yang memiliki fungsi sebagai efisiensi
kerjasama antar lembaga dalam melakukan pendataan
terrorism early warning.

2) Strategi S-T (Strengths-Threats) atau Mobilization.


Diaplikasikan untuk mengantisipasi suatu kondisi dimana
suatu organisasi memiliki kekuatan dihadapkan pada kondisi
lingkungan yang tidak menguntungkan. Strategi ini lazim
disebut sebagai Strategi Diversifikasi. Strategi yang dapat
diambil dengan faktor S-T, antara lain:
a) Mewujudkan suatu prosedur operasi tetap
berdasarkan konsepsi sinergitas yang berlaku bagi
satuan intelijen dan satuan penindak yang terlibat
sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya masing
86

– masing terkait penanganan isu kepulangan FTF ke


Indonesia. Hal tersebut dapat menjadi suatu kekuatan
dalam menghadapi ancaman berupa gejolak yang
ditimbulkan karena propaganda ISIS terhadap SDM
usia muda Indonesia yang dengan mudahnya
terpengaruh paham radikal sehingga pada akhirnya
mereka akan mendukung kepulangan FTF ISIS ke
Indonesia. Komitmen pemerintah Indonesia ini harus
terlaksana dalam suatu mekanisme kerja sama yang
optimal antar lembaga terkait. Untuk merealisasikan
hal tersebut harus diawali dengan adanya kesamaan
persepsi dalam pelaksanaan tugas dan berlakunya
anggaran yang proporsional seluruh aparat intelijen
dan penindak dari BIN, TNI, dan Polri serta sejalan
dengan pokok-pokok kebijakan dan strategi dalam
mengatasi kepulangan FTF asal Indonesia ke tanah
air yang telah disusun oleh BNPT di bawah supervisi
Kemenkopolhukam.
b) Beberapa pihak mengemukakan pendapat dan
argumen masing-masing terkait keterlibatan TNI
dalam mengatasi teroris. Polemik ini seakan-akan
menjadi ajang "Pembenturan Aparat Keamanan" di
negara Indonesia. Di satu sisi, Polisi bersikukuh untuk
menjadi Sutradara Drama Penanggulangan
Terorisme selama ini. Pada Operasi Tinombala,
memberikan gambaran, bagaimana penggunaan
sumber daya TNI dalam mengatasi tindak pidana
terorisme dapat berjalan secara efektif tanpa
mengurangi esensi proporsionalitas penindakan dan
tetap menjunjung tinggi HAM, yang sebagaimana
dikhawatirkan sebelumnya oleh beberapa kalangan,
87

di mana pelibatan TNI dalam upaya Penanggulangan


Aksi Terorisme dikhawatirkan akan melanggar nilai-
nilai HAM. Maka dari itu, yang diharapkan masyarakat
seluruh Indonesia agar kerja sama antar lembaga
yang memiliki kewajiban dan tugas dalam mengatasi
terorisme tetap kuat karena pada hakekatnya
lembaga lain selain Polri khususnya TNI juga
mempunyai tugas untuk menjaga keutuhan dan
kedaulatan bangsa. Sudah seyogyanya masalah
terorisme menjadi tanggung jawab semua pihak
dalam mewujudkan keamanan negeri ini. Maka dari
itu, strategi yang dapat diambil ialah dengan
meningkatkan kemampuan masing-masing lembaga
dalam suatu wadah yang berisi mekanisme hubungan
kerja antar lembaga terkait penanganan isu
kepulangan FTF ke Indonesia dengan tetap
mengutamakan nilai-nilai Hak Asasi Manusia.

3) Strategi W-O (Weaknesses-Opportunities) atau


Divestment/Investment. Digunakan untuk mengantisipasi
kondisi dimana organisasi memiliki suatu peluang besar
namun dihambat oleh adanya kelemahan internal. Strategi
ini sering digambarkan sebagai Turn Around atau merubah
strategi. Strategi W-O dapat diwujudkan melalui:
a) Merumuskan suatu aturan mengenai integrasi
antar lembaga guna mengoptimalkan dan
mengefisiensikan mekanisme hubungan kerja antar
lembaga terkait penanganan isu kepulangan FTF.
b) Membentuk suatu badan Ad-Hoc yang bertugas
khusus dalam penanganan permasalahan FTF.
Dengan adanya badan Ad-Hoc ini diharapkan akan
88

menghasilkan kinerja yang lebih optimal dari lembaga-


lembaga terkait.

4) Strategi W-T (Weaknesses-Threats) atau Damage


Control. Diaplikasikan untuk mengantisipasi situasi yang
paling tidak menguntungkan dimana organisasi harus
mengeliminasi kelemahan yang dimiliki dalam menghadapi
ancaman lingkungan yang bersifat faktual. Strategi ini lazim
disebut sebagai Strategi Defensif. Langkah yang dapat
diambil dalam strategi ini, antara lain:
a) Adanya Isu HAM yang telah melekat pada
beberapa Lembaga terkait akan dapat teratasi dengan
adanya kejelasan mengenai aturan hukum, maka dari
itu aturan hukum yang jelas dan mengedepankan HAM
harus segera dirumuskan terkait penanganan FTF oleh
Lembaga terkait yang tergabung dalam organisasi /
Satgas penanganan FTF. Kejelasan hukum ini akan
berguna dalam melakukan sinergitas dari tugas dan
fungsi Lembaga-lembaga yang ada dalam Satgas FTF
ini.
b) Dalam mengatasi permasalahan mudahnya
masyarakat yang terpapar radikalisme dan mendukung
para FTF, hal tersebut diakibatkan oleh belum
maksimalnya kualitas SDM Indonesia, maka dari itu
Pemerintah harus bisa mengoptimalkan kualitas SDM
Indonesia. Lalu, Satgas FTF juga harus melakukan
pendekatan soft approach terhadap masyarakat awam
terkait bahaya nya ideologi radikal.
89

16. Analisis dan Pembahasan Instrumen dan Dasar Hukum


Penanganan Isu Kepulangan FTF Yang Bisa Digunakan Antar
Lembaga.

a. Analisis. Dalam Teori Solidaritas dijelaskan oleh Paul


dalam bukunya yang berjudul teori sosiologi klasik dan modern,
bahwa sinergi ialah menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara
individu dan atau kelompok yang didasarkan pada keadaan moral
dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh
pengalaman emosional bersama. Ikatan ini lebih mendasar daripada
hubungan kontraktual yang dibuat atas persetujuan rasional, karena
hubungan hubungan serupa itu mengandaikan sekurang kurangnya
satu tingkat/derajat konsensus terhadap prinsip-prinsip moral yang
menjadi dasar kontrak itu. Solidaritas antarlembaga terkait menjadi
kata kunci dalam upaya mensukseskan implementasi dasar hukum
yang telah ada saat ini yaitu UU Anti Terorisme, khususnya yang
terkait peran TNI dan Polri. Penanganan Tindak Pidana Terorisme
merupakan tanggung jawab bersama lembaga-lembaga terkait,
termasuk dalam hal ini Kemenkopolhukam, BNPT, BIN, TNI, dan
Polri. Apabila ditinjau dari sudut pandang hukum yang berlaku di
Indonesia, maka pengertian Terorisme adalah perbuatan yang
menggunakan kekerasan atau ancaman yang menimbulkan
suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat
menimbulkan korban yang bersifat massal, dan atau menimbulkan
kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang
strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional
dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan. Namun
kondisi nyata saat ini, adanya aturan atau dasar hukum tersebut
belum berjalan secara optimal karena tiap lembaga belum bisa
bekerja sama karena adanya berbagai regulasi serta fungsi yang
masih tumpang tindih.
90

Maka dari itu, harus dibuat suatu Instrumen dan Dasar Hukum
penanganan isu kepulangan FTF yang bisa digunakan antar
lembaga agar kondisi ideal yang diharapkan dapat terwujud berupa
mekanisme kerjasama yang lebih efektif dan bersinergi. Sehingga,
tumpang tindih regulasi serta fungsi dari masing-masing lembaga
dapat teratasi.
Selanjutnya, dalam menganalisa mengenai instrumen dan
dasar hukum yang tepat dalam penanaganan isu kepulangan FTF
yang dapat digunakan antar lembaga, maka kemudian penulis akan
menggunakan konsep Foreign Terrorist Fighter dan juga konsep
pertahanan negara yang kemudian akan dikaitkan dengan regulasi
atau dasar hukum yang telah ada sebelumnya terkati penanganan
terorisme. Seperti yang telah diketahui bersama bahwa Pemerintah
memutuskan untuk menolak memulangkan ratusan WNI mantan
ISIS kembali ke Indonesia. Sejumlah alasan dijadikan dasar. Salah
satunya, dikhawatirkan akan menjadi virus baru apabila eks
kombatan ISIS tersebut pulang. Akan tetapi, tetap saja ada yang
berhasil kembali ke tanah air dengan jalur ilegal dan berpotensi
membuat kekacauan di indonesia dengan membawa ideologi
radikalnya. Maka dari itu, berdasarkan konsep Foreign Terrorist
Fighter, menurut Resolusi Dewan Keamanan Pbb 2178 dijelaskan
bahwa FTF adalah individu yang melakukan perjalanan ke negara
lain dengan tujuan untuk melakukan, merencanakan, menyiapkan,
atau berpartisipasi dalam tindakan terorisme atau menyediakan,
menjalani pelatihan teroris, terutama yang berkaitan dengan konflik
bersenjata.
Saat ini sebuah jaringan internasional telah dibentuk oleh
para teroris di negara asal, negara transit, dan negara tujuan. FTF
diyakini dapat meningkatkan intensitas, durasi, dan
keberlangsungan konflik; serta dapat menimbulkan ancaman serius
bagi negara asalnya, negara transit, negara tujuan, serta negara
91

yang bertetangga dengan zona perang dimana FTF ikut terlibat. FTF
juga dapat mengancam seluruh wilayah serta negara anggota,
bahkan wilayah yang jauh dari zona konflik. Selain itu muncul
kekhawatiran FTF akan menggunakan ideologi ekstrim yang mereka
percayai untuk mempromosikan terorisme. Inti dari konsep ini tetap
berujung pada tindakan terorisme, yang akan berkaitan dengan
konsep pertahanan negara sebagai respon dari tindakan terorisme.
Dalam konsep pertahanan negara dijelaskan dalam Permenhan,
bahwa Pertahanan negara adalah segala usaha untuk menegakkan
kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa. Usaha pertahanan
negara tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan adanya
dinamika bentuk ancaman yang dihadapi. Perkembangan
lingkungan strategis senantiasa membawa perubahan terhadap
kompleksitas ancaman, baik ancaman militer maupun ancaman
nonmiliter. Pertahanan negara berfungsi untuk mewujudkan dan
mempertahankan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagai satu kesatuan pertahanan. Pertahanan negara
diselenggarakan oleh pemerintah dan dipersiapkan secara dini
dengan sistem pertahanan negara melalui membangun dan
membina kemampuan dan daya tangkal negara dan bangsa serta
menanggulangi setiap ancaman.

b. Pembahasan. Masih belum terwujudnya regulasi-


regulasi hukum sebagai penjabaran dari Undang-Undang
Pertahanan Negara dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
dalam UU tersebut belum secara jelas dibahas mengenai
92

penanganan FTF yang bisa digunakan antar lembaga. Berdasarkan


kedua dasar hukum tersebut juga belum ditemukan titik temu antara
Operasi Intelijen dan Penegakan Hukum. Dalam rangka pencegahan
dan cipta kondisi, Operasi Intelijen terkadang tidak dapat mengikuti
hukum yang berlaku (by the law) dan memiliki potensi untuk
melampaui hukum yang berlaku (beyond the law). Hal ini
menyebabkan ketidakjelasan dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan
tanggung jawab khususnya pada aturan tekhnis yang membagi
peranan lembaga terkait. Dalam rangka mewujudkan sinergitas
kedua operasi tersebut maka dibutuhkan dasar hukum yang bersifat
multi-sektoral yang bisa menghubungkan antar lembaga agar bisa
lebih optimal.
Pada awalnya koordinasi dalam rangka kerja sama antar
lembaga ini hanya terdiri dari 17 Kementerian/ Lembaga sebagai
anggota dengan 4 kementerian koordinator. Namun selanjutnya
bertambah menjadi 27 Kementerian/ Lembaga, kemudian menjadi
34 Kementerian/Lembaga, dan terakhir di akhir tahun 2017 menjadi
36 Kementerian/Lembaga. Pada tanggal 22 Agustus 2016 di
Kemenkopolhukan, berdasarkan kerja sama Kementerian/Lembaga
dalam penanggulangan terorisme, telah terbentuknya Satuan Tugas
(Satgas) Keris di Solo dan Sulawesi Selatan, yang terdiri dari
beberapa lembaga yaitu Polri, BIN, dan BNPT. Satgas tersebut
berfungsi untuk melaksanakan program deradikalisasi, kontra
radikalisasi dan sebagai jembatan dari seluruh kementerian/lembaga
terkait. Pada akhir tahun 2017 juga telah dibentuk Satgas Sentul
yang dilaksanakan di NTB dan Sulawesi Tengah, yang saat ini
sedang berlangsung proses pelaksanaan kegiatannya. Adapun
mekanisme sistem kerjanya serta tindak lanjutnya dari instansi yang
terkait. Mekanisme kerja Tim Kerja sama Kementerian/Lembaga
dilaksanakan beberapa tahap, yaitu:
93

1) Penyusunan Inpres tentang Kerja sama antar


Kementerian/Lembaga dalam program Penanggulangan
Terorisme sebagai payung hukum. Tim Sinergisitas antar
Kementerian/Lembaga dalam program Penanggulangan
Terorisme telah membentuk Tim Sekretariat Sinergisitas antar
Kementerian/Lembaga dalam program Penanggulangan
Terorisme. BNPT telah melaksanakan pertemuan Tim
Sekretariat beberapa kali pertemuan pada tahun 2017.
Selanjutnya Tim Sekretariat melakukan koordinasi dengan 4
Kementerian Koordinator. Pada tanggal 26 Oktober 2017
telah dilaksanakan Rapat Koordinasi 34 Kementerian/
Lembaga untuk membahas draft Inpres. Pada awal tahun
2018 draft Inpres tersebut masih dibahas di Kementerian
Polhukam.
2) Penandatanganan Nota Kesepahaman Lembaga
Pemerintah dan Non Pemerintah dengan BNPT. Telah
dilakukan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU)
antara BNPT dengan beberapa lembaga terkait.
Lebih lanjut, dalam permasalahan terkait instrumen dan dasar
hukum penanganan isu kepulangan FTF yang bisa digunakan antar
lembaga juga menemui kendala yaitu adanya pandangan negatif
terhadap beberapa lembaga terkait dan juga adanya isu Hak Asasi
Manusia yang melekat, sehingga untuk mengatasi hal tersebut
lembaga-lembaga terkait dapat berupaya semaksimal mungkin
dalam meningkatkan kemampuan masing-masing sesuai dengan
tugas pokok dan fungsi nya dengan tetap mengutamakan nilai-nilai
Hak Asasi Manusia agar mendapatkan kepercayaan penuh dari
masyarakat. Adapun strategi secara jelas akan dijelaskan pada sub
pasal strategi dibawah ini.
94

c. Strategi. Selanjutnya, strategi SWOT digunakan untuk


melihat dan mendapatkan pemecahan masalah berkaitan dengan
Instrumen dan dasar hukum penanganan isu kepulangan FTF yang
bisa digunakan antar lembaga, sehingga segala permasalahan yang
masih ditemukan dapat ditentukan suatu strategi yang tepat. Analisis
ini dibagi dalam dua kategori yaitu faktor internal, untuk
mendapatkan faktor-faktor yang menjadi kekuatan (Strength) dan
kelemahan (Weakness) serta faktor eksternal, untuk mendapatkan
faktor-faktor yang menjadi peluang (Opportunity) dan kendala
(Threat). Adapun strategi dapat diuraikan dalam tabel analisis SWOT
dibawah ini:
86

Tabel 4.5
Tabel Analisis SWOT Instrumen dan Dasar Hukum Penanganan Isu Kepulangan FTF Yang Bisa Digunakan Antar
Lembaga.
STRENGTHS WEAKNESSES
INTERNAL
- Komitmen Pemerintah RI - Belum adanya organisasi terintegrasi
EKSTERNAL - Kemampuan masing-masing lembaga - Belum adanya aturan mengenai integrasi antar lembaga

OPPORTUNITIES STRATEGI S-O STRATEGI W-O

- Kemajuan ilmu pengetahuan dan - Memanfaatkan kemajuan teknologi dalam melakukan - Mewujudkan dasar hukum yang sinergis dalam
teknologi tracking terhadap FTF yang sudah masuk ke Indonesia. pelaksanaan tugas Operasi Intelijen dan Penegakan

95
- Tingginya kepercayaan - Memanfaatkan media sosial dan internet untuk Hukum antar lembaga.
masyarakat terhadap lembaga mensosialisasikan bahaya terorisme dan upaya yang - Melalui pembentukan budaya organisasi yang
terkait telah dilakukan oleh pemerintah dalam penanganannya. kolaboratif, menempatkan unsur pimpinan dan Laison
Officer masing-masing lembaga terkait
THREATS STRATEGI S-T STRATEGI W-T

- Persepsi negatif terhadap - Mengomptimalkan implementasi kebijakan penanganan - Mengoptimalkan implementasi dari aturan-aturan
beberapa lembaga terkait isu kepulangan FTF ke Indonesia sehingga penanganan terorisme yang telah ada sebelumnya.
- Isu HAM mendapatkan kepercayaan masyarakat. - Melaksanakan rapat koordinasi secara berkala antar
- Mensosialisasikan bahaya FTF kepada masyarakat dan lembaga dalam merumuskan suatu aturan pelibatan
keinginan pemerintah untuk menjaga keamanan lembaga-lembaga terkait dengan memperhatikan
masyarakat, bangsa dan negara. aturan yang ada dalam HAM.
96

Berdasarkan Matriks Analisa SWOT di atas dapat dipahami


bahwa perumusan strategi untuk pemecahan persoalan dapat
diperoleh dengan mengkombinasikan setiap elemen dari faktor
eksternal dan internal sesuai dengan uraian yang terdapat dalam
Bab III pasal 12. Adapun konsep strategi yang dapat dirumuskan,
antara lain:
1) Strategi SO (Strengths-Opportunities) atau
Comparative Advantage. Digunakan untuk memanfaatkan
situasi yang paling menguntungkan, dimana organisasi
memiliki kekuatan yang potensial serta peluang untuk
memanfaatkan kekuatan yang dimiliki. Strategi ini lazim
disebut sebagai Strategi Progresif. Strategi yang dapat
diambil berdasarkan faktor S-O, antara lain:
a) Memanfaatkan kemajuan teknologi dalam
melakukan deteksi dini terhadap FTF asal indonesia
yang akan pulang ke tanah air.
b) Memanfaatkan media sosial dan internet untuk
mensosialisasikan bahaya terorisme dan upaya yang
telah dilakukan oleh pemerintah dalam menangani
terorisme.

2) Strategi S-T (Strengths-Threats) atau Mobilization.


Diaplikasikan untuk mengantisipasi suatu kondisi dimana
suatu organisasi memiliki kekuatan dihadapkan pada kondisi
lingkungan yang tidak menguntungkan. Strategi ini lazim
disebut sebagai Strategi Diversifikasi. Strategi yang dapat
diambil dengan faktor S-T, antara lain:
a) Mengomptimalkan implementasi kebijakan
penanganan isu kepulangan FTF ke Indonesia
sehingga mendapatkan kepercayaan masyarakat.
b) Mensosialisasikan bahaya FTF kepada
97

masyarakat dan keinginan pemerintah untuk menjaga


keamanan masyarakat, bangsa dan negara.

3) Strategi W-O (Weaknesses-Opportunities) atau


Divestment/Investment. Digunakan untuk mengantisipasi
kondisi dimana organisasi memiliki suatu peluang besar
namun dihambat oleh adanya kelemahan internal. Strategi
ini sering digambarkan sebagai Turn Around atau merubah
strategi. Strategi W-O dapat diwujudkan melalui:
a) Adapun strategi yang dapat diimplementasikan
ialah dengan mewujudkan dasar hukum yang sinergis
dalam pelaksanaan tugas Operasi Intelijen dan
Penegakan Hukum antar lembaga, melalui revisi
Undang-Undang Intelijen tentang penguatan peranan
aparat intelijen yang selaras dengan Undang-Undang
Anti Terorisme dan mempercepat penerbitan
Peraturan Presiden yang mengatur tentang teknis
pelibatan TNI di dalam Operasi Penanggulangan Aksi
Terorisme dan mengatasi kepulangan FTF, dengan
metode regulasi, revisi, pengesahan, capacity and
capability based roles, interoperabilitas, resiprokal,
sosialisasi, koordinasi, dan Protap Bersama dengan
menggunakan sarana yang dimiliki oleh DPR-RI,
dalam rangka terwujudnya harmonisasi peraturan
yang ditetapkan dan sesuai peran dengan melibatkan
Komisi I DPR-RI, Pemerintah, Menkopolhukam,
Kepala BNPT, Kepala BIN, Panglima TNI, dan Kapolri
dalam suatu kerangka kerja sama terkait Operasi
Intelijen dan Penegakan Hukum sehingga
Penanggulangan Aksi Terorisme di Indonesia dapat
dilaksanakan secara kolaboratif dan komprehensif.
98

Dengan adanya dasar hukum tersebut, maka suatu


wadah atau desk yang berisi lembaga-lembaga terkait
dapat terbentuk, hal tersebut agar mekanisme kerja
sama antar lembaga dapat berjalan lebih optimal.
b) Kemudian, dengan adanya instrumen dan dasar
hukum yang jelas tersebut tentunya akan mengikis
dan menghilangkan ego sektoral dalam lembaga
terkait secara bertahap, melalui pembentukan budaya
organisasi yang kolaboratif, menempatkan unsur
pimpinan dan Laison Officer masing-masing lembaga
terkait, di dalam satu desk kerja Penanggulangan Aksi
Terorisme di bawah koordinasi BNPT, metode
komunikasi, optimalisasi, evaluasi, pendidikan dan
latihan gabungan, kerja sama, serta koordinasi, di
antara kelima lembaga terkait dengan menggunakan
sarana pendidkan maupun latihan gabungan yang
melibatkan Komisi I DPR-RI, Presiden RI,
Menkopolhukam, Kepala BNPT, Kepala BIN,
Panglima TNI, dan Kapolri serta para staf ahli dari
kelima lembaga tersebut, dalam rangka menciptakan
budaya organisasi sehingga mendukung upaya
Penanggulangan Aksi Terorisme secara kohesif.

4) Strategi W-T (Weaknesses-Threats) atau Damage


Control. Diaplikasikan untuk mengantisipasi situasi yang
paling tidak menguntungkan dimana organisasi harus
mengeliminasi kelemahan yang dimiliki dalam menghadapi
ancaman lingkungan yang bersifat faktual. Strategi ini lazim
disebut sebagai Strategi Defensif. Langkah yang dapat
diambil dalam strategi ini, antara lain:
99

a) Mengoptimalkan implementasi dari aturan-


aturan tentang penanganan terorisme yang telah ada
sebelumnya.
b) Melaksanakan rapat koordinasi secara berkala
antar lembaga dalam merumuskan suatu aturan
pelibatan lembaga-lembaga terkait dengan
memperhatikan aturan yang ada dalam HAM.

17. Gagasan Inovasi. Berdasarkan analisa diagram SWOT di atas,


maka dari itu diperoleh strategi yang tepat dalam mengoptimalkan kerja
sama antar lembaga dalam mengatasi kepulangan FTF asal Indonesia yaitu
dengan menggunakan Strategi SO, ST, dan WO. Berdasarkan hasil
analisa dari ketiga rumusan masalah di atas, maka dapat dirumuskan
menjadi beberapa gagasan inovasi antara lain:

1) Gagasan Inovasi Strategi SO. Menjalankan program TEW


(Terrorism Early Warning) yang pada dasarnya adalah membagi
(sharing) informasi secara cepat dan sistematis tentang kondisi dan
situasi di sebuah lokasi sehingga rencana kejahatan terorisme dapat
digagalkan. Kata kuncinya adalah bagaimana mengintegrasikan
informasi yang berseliweran yang ada di masyarakat menjadi
sebuah informasi yang akurat (All Fushion/All Phase). Tugas utama
TEW adalah mengkategorisasi informasi tersebut, menganalisis, dan
membuat kesimpulan. Kesimpulan tersebut lalu dikirim ke lembaga-
lembaga yang membutuhkan yang berada dalam Satgas
Penanganan FTF, TEW memutakhirkan informasi secara berkala
baik pada tingkat lokal, regional, maupun global. TEW membuat
informasi pada tingkat area tertentu (geo-spatial intelligence) dan,
berdasarkan itu, merencanakan program dan operasi intelijen.
Program-program yang dijalankan TEW ada yang berkala ada juga
yang insidental, tergantung kebutuhan di lapangan. Namun yang
100

jelas adalah program yang dijalankan harus terukur, skala, dampak.


dan target operasi jelas. Tanpa pengukuran, skala, dan dampak
yang jelas, program TEW tidak akan mencapai hasil yang maksimal.
Sistem ini membutuhkan sumber daya manusia yang andal,
terintegrasi dengan sistem birokrasi dan masyarakat secara luas. Di
sejumlah kota di Amerika Serikat. TEW dianggap sebagai sistem
penanggulangan terorisme yang paling baik dan berhasil. Sistem ini
sudah diterapkan di berbagai kota (county) dan negara bagian
(states). Salahsatu cara implementasi nya ialah dengan membuat
suatu aplikasi atau software yang dinamakan TED (Terrorism Early
Detection) yang dapat di akses dan di unduh oleh masyarakat lewat
Playstore dan App Store, aplikasi ini mampu mendeteksi aktivitas
kejahatan di media sosial termasuk aktivitas terorisme. Dalam
aplikasi ini memiliki kemampuan surveillance atau pelacakan
aktivitas komunikasi di tiap aplikasi media sosial. Misalnya, jika
komunikasi media sosial terdapat kalimat “bom”, aplikasi ini akan
melacak siapa di balik komunikasi itu.
Aplikasi ini juga dapat dijadikan sarana bagi masyarakat untuk
dapat berpartisipasi dalam mempertahankan negara dari ancaman
teroris yaitu masyarakat dapat melaporkan segala bentuk kegiatan
ataupun individu/kelompok yang mencurigakan, sehingga nantinya
lewat aplikasi tersebut lembaga ad-hoc penanganan FTF akan dapat
merespon dengan cepat. Adapun dalam pengadaan aplikasi
tersebut harus melibatkan berbagai pihak termasuk salahsatu
diantaranya adalah akademisi dan peneliti di bidang IT. Sebagai
contohnya ialah apabila masyarakat melihat adanya kegiatan atau
individu/kelompok yang mencurigakan, maka masyarakat cukup
mengklik salah satu fitur pada aplikasi TED yang menunjukkan posisi
dan jenis ancaman, maka lembaga pemerintah dapat melacak
informan tersebut dan memberikan respon cepat penanganan
laporan tersebut.
101

2) Gagasan Inovasi Strategi ST. Pemerintah Indonesia


dapat mempertimbangkan untuk memulangkan dulu hanya
perempuan dan anak-anak yang berada di kamp-kamp pengungsian
saja dan membiarkan para kombatan asal Indonesia yang berada di
tahanan untuk sementara waktu. Opsi ini sepertinya yang paling
mungkin diambil oleh pemerintah saat ini. Dengan memulangkan
para perempuan dan anak-anak, pemerintah Indonesia tetap
menjalankan tanggung jawabnya untuk melindungi WNI sembari
meminimalisir potensi ancaman keamanan dengan asumsi mereka
yang terasosiasi dengan FTF lebih mudah dikelola potensi
ancamannya melalui program-program rehabilitasi, deradikalisasi,
reintegrasi, dan pemantauan serta pengawasan. Selanjujtnya,
melakukan kerjasama internasional dengan instansi atau lembaga
yang berperan mengatasi FTF. Hal tersebut dilakukan guna.
Salahsatu wadah atau instansi yang dapat diajukan kerjasama yaitu
bernama IMPACT (International Multilateral Partnership Against
Cyber Threats) yang dibentuk guna penanggulangan terorisme di
internet. Ia merupakan badan di bawah International
Telecomunication Union (ITU) yang merupakan rangkaian
kerjasama antar pemerintah, akademisi, dan industri untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat global dalam menangani
ancaman siber. Lalu,

3) Gagasan Inovasi Strategi WO. BNPT sebagai badan


koordinator dalam penanggulangan terorisme, seperti yang
diamanatkan dalam Undang-Undang, dapat menginisiasi kerja sama
yang menyeluruh dengan melibatkan berbagai lembaga terkait
seperti BIN, Polri, TNI, dan juga tentunya Kemenkopolhukam dalam
mekukan intervensi terhadap penanganan FTF. Hal tersebut dapat
dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) dan memiliki
102

payung hukum tetap agar setiap lembaga dan institusi pemerintah


diwajibkan untuk satu tujuan dan persepsi dalam mengatasi
kepulangan FTF. Selama ini kerja sama di antara lembaga yang
dilakukan masih terbatas pada kerja sama nota kesepahaman
parsial dan belum dituangkan dalam RAN. Sehingga, harus ada
wadah atau dalam berbentuk satuan tugas yang terdiri dari beberapa
lembaga terkait dalam mengatasi FTF, hal tersebut guna
memaksimalkan kinerja dan kemampuan yang ada di tiap lembaga
seperti BNPT, BIN, Polri, TNI dan juga Kemenkopolhukam agar
upaya dalam mengatasi kepulangan FTF dapat lebih berjalan
optimal, sehingga stabilitas nasional tetap terjaga dan potensi konflik
dapat dihindari. Adapun saran dari penulis terkait wadah tersebut
adalah Satuan Tugas Penanganan FTF. Lebih lanjut, Harus ada
aturan atau payung hukum yang mewajibkan FTF yang memaksa
pulang ke Indonesia untuk mengikuti program intervensi yang
dilakukan oleh pemerintah. Program intervensi tersebut berupa
program deradikalisasi terpadu yang diselenggarakan oleh Satuan
Tugas Penanganan FTF yang terdiri dari beberapa lembaga terkait.

4) Gagasan Inovatif Strategi W-T. Dalam upaya terwujudnya


transparansi anggaran dan juga mengindari adanya overlaping
anggaran tiap lembaga pemerintah yang tergabung dalam lembaga
ad-hoc ini, maka penulis merumuskan suatu gagasan inovasi
dengan membuat suatu E-Budgeting, E-Budgeting adalah sistem
penyusunan anggaran yang di dalamnya termasuk aplikasi program
komputer berbasis web untuk memfasilitasi proses penyusunan
anggaran belanja setiap lembaga agar dapat terintegrasi. Dengan
penerapan teknologi informasi seperti sistem informasi penyusunan
anggaran ini, setiap lembaga terkait akan lebih mudah dalam
menentukan arah kebijakan berkaitan dengan penganggaran
penanganan kepulangan FTF ke indonesia. Dalam penyusunannya,
103

E-Budgeting di bagi menjadi 2 jangka waktu, yaitu strategic


budgeting dan tactical budget. Strategic budgeting adalah anggaran
yang disusun dan mempunyai jangka waktu lebih dari 1 tahun
(melebihi periode akuntansi). Sedangkan tactical budgeting adalah
anggaran yang disusun dan berlaku untuk jangka waktu 1 tahun atau
kurang (dalam periode akuntansi). Selain itu, lembaga pemerintah
harus memiliki tim siber yang mengerti IT atau jika E-Budgeting
berbentuk software, harus ada orang yang telah ditetapkan
sebelumnya untuk menjalankan E-Budgeting tersebut. Dengan
adanya sistem E-Budgeting ini juga merupakan wujud dari
transparansi kepada publik mengenai anggaran yang digunakan.
Pemanfaatan sistem ini juga akan jauh lebih akurat karena
melibatkan kemajuan teknologi berbasis web. Namun, tentunya
pengembangan E-Budgeting ini harus didukung dengan
maksimalnya infrastruktur teknologi informasi yang mumpuni, karena
bukan tidak mungkin sistem akan diserang oleh hacker maupun
cyber terrorism. Maka dari itu, pengembangan sistem ini akan
membutuhkan kerjasama dengan akademisi, peneliti, dan lembaga
penelitian pemerintah maupun swasta.
BAB V
PENUTUP

18. Kesimpulan. Berdasarkan hasil –hasil analisa data di atas


dan pembahasan serta pemecahan masalah melalui metoda SWOT maka
dapat ditarik suatu kesimpulan dari hasil penelitian mengenai optimalisasi
kerja sama antar lembaga dalam mengatasi kepulangan FTF asal
Indonesia guna mempertahankan stabilitas Nasional, diantaranya sebagai
berikut :

a. Dengan fenomena kekalahan Islamic States in Irak and


Suriah (ISIS) atau al-Dawlah al-Islamiyah fii’I-Iraki wa-sySyaam
(Daesh dalam singkatan bahasa Arab-nya) di Timur Tengah
khususnya di wilayah negara Suriah dan Irak, oleh serangan
berbagai Negara koalisi telah mengakibatkan kelompok ISIS ini
tercerai berai dan para simpatisannya mengalami ketidakjelasan
tempat tinggal sehingga mereka menginginkan kembali pulang ke
Negara asalnya masing-masing dan hal ini tentunya telah
menimbulkan kekhawatiran dan kecemasan bagi banyak pemimpin
negara dan rakyat di berbagai tempat. Karena ancaman yang telah
ditimbulkan ISIS tidak mengenal batas-batas teritorial, waktu, dan
prinsip-prinsip kemanusiaan. Indonesia juga dalam hal ini merespon
fenomena tersebut, apabila FTF kembali ke indonesia maka
stabilitas keamanan nasional indonesia akan terancam dan konflik di
masyarakat akan timbul.

b. Peran masing-masing lembaga terkait dalam mengatasi isu


terorisme di Indonesia sudah cukup optimal. Semua memiliki
tupoksinya masing-masing. Hanya saja pada kondisi kerja sama
antar lembaga yang berwenang di bidang Penanggulangan Aksi
Terorisme dalam menghadapi kepulangan para FTF ISIS saat ini

104
105

masih belum optimal dari pencapaian yang diharapkan. Selain itu


juga, terdapat beberapa masalah yang masih ditemukan antara lain,
belum adanya sinkronisasi data yang dimiliki oleh masing–masing
lembaga terkait dalam upaya pencegahan dan penindakan ancaman
terorisme secara optimal, belum ada payung hukum yang jelas
dalam menaungi kegiatan penanggulangan teror yang bersifat
kolaboratif khususnya dalam upaya pencegahan sehingga petugas
yang berada di lapangan memiliki Standard Operation Procedure
(SOP) yang berkuatan hukum tetap serta terstandarisasi, serta
masih tingginya ego sektoral antarinstitusi dan lembaga
pemerintahan yang terkait sehingga menjadi penghambat
optimalisasi kegiatan Penanggulangan Aksi Terorisme di Indonesia.
Tingginya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga terkait.
masyarakat Indonesia telah menaruh kepercayaan yang tinggi
kepada lembaga-lembaga terkait dalam mengatasi terorisme
khususnya saat ini kita dihadapkan pada kepulangan para FTF asal
Indonesia. Masyarakat Indonesia merasa dengan kepulangan FTF
tersebut ke Indonesia akan menimbulkan kekacauan serta dapat
mengancam keamanan pribadi mereka. Sehingga, masyarakat
Indonesia sangat bergantung pada kekuatan dari lembaga-lembaga
terkait dalam mengatasi terorisme.

c. Komitmen pemerintah Indonesia dalam menjaga stabilitas


nasional dari segala bentuk ancaman, termasuk ancaman terorisme
harus terlaksana dalam suatu mekanisme kerja sama yang optimal
antar lembaga terkait. Untuk merealisasikan hal tersebut harus
diawali dengan adanya kesamaan persepsi dalam pelaksanaan
tugas dan berlakunya anggaran yang proporsional seluruh aparat
intelijen dan penindak dari BIN, TNI, dan Polri serta sejalan dengan
pokok-pokok kebijakan dan strategi dalam mengatasi kepulangan
106

FTF asal Indonesia ke tanah air yang telah disusun oleh BNPT di
bawah supervisi Kemenkopolhukam.

d. Mewujudkan dasar hukum yang sinergis dalam pelaksanaan


tugas Operasi Intelijen dan Penegakan Hukum antarlembaga,
melalui revisi Undang-Undang Intelijen tentang penguatan peranan
aparat intelijen yang selaras dengan Undang-Undang Anti Terorisme
dan mempercepat penerbitan Peraturan Presiden yang mengatur
tentang teknis pelibatan TNI di dalam Operasi Penanggulangan Aksi
Terorisme dan mengatasi kepulangan FTF, dengan metode
regulasi, revisi, pengesahan, capacity and capability based roles,
interoperabilitas, resiprokal, sosialisasi, koordinasi, dan Protap
Bersama dengan menggunakan sarana yang dimiliki oleh DPR-RI,
dalam rangka terwujudnya harmonisasi peraturan yang ditetapkan
dan sesuai peran dengan melibatkan Komisi I DPR-RI, Pemerintah,
Menkopolhukam, Kepala BNPT, Kepala BIN, Panglima TNI, dan
Kapolri dalam suatu kerangka kerja sama terkait Operasi Intelijen
dan Penegakan Hukum sehingga Penanggulangan Aksi Terorisme
di Indonesia dapat dilaksanakan secara kolaboratif dan
komprehensif. Dengan adanya dasar hukum tersebut, maka suatu
wadah atau desk yang berisi lembaga-lembaga terkait dapat
terbentuk, hal tersebut agar mekanisme kerja sama antar lembaga
dapat berjalan lebih optimal.

19. Saran. Dilihat dari hasil penelitian dan kesimpulan maka dapat
disampaikan beberapa saran sebagai berikut :

a. Untuk memperjelas landasan hukum guna mengatasi adanya


kurang koordinasi dari setiap lembaga-lembaga terkait, adapun
kejelasan landasan hukum tersebut ialah dengan mendorong
percepatan pengesahan RUU Kamnas yang diharapkan pada masa
107

mendatang RUU tersebut dapat menjadi payung hukum yang tepat


untuk menciptakan suatu kerja sama antar lembaga yang lebih
optimal dalam mengatasi ancaman terorisme.

b. Membentuk suatu lembaga Ad-Hoc yang berisikan lembaga-


lembaga terkait penanganan FTF, lembaga Ad-Hoc tersebut dapat
lebih efektif dalam rangka deteksi dini dan mencegah terjadinya
konflik yang ditimbulkan para FTF yang berhasil kembali ke
Indonesia. Dengan terbentuknya lembaga Ad-Hoc yang khusus
menangani FTF dan juga terdiri dari beberapa lembaga terkait,
diharapkan akan lebih efektif karena memiliki jalur birokrasi dan
komunikasi yang terarah serta terstruktur, Satuan Tugas ini juga diisi
oleh personel terbaik yang dimiliki oleh lembaga-lembaga terkait
penanganan terorisme.

c. Memanfaatkan program Terrorism Early Warning yang


berfokus pada bagaimana pengintegrasian informasi yang tersebar
di masyarakat luas menjadi sebuah informasi yang akurat (All
Fushion/All Phase). Salah satu cara implementasi nya ialah dengan
membuat suatu aplikasi atau software yang dinamakan TED
(Terrorism Early Detection) yang dapat di akses dan di unduh oleh
masyarakat lewat Playstore dan App Store, aplikasi ini mampu
mendeteksi aktivitas kejahatan di media sosial termasuk aktivitas
terorisme. Dalam aplikasi ini memiliki kemampuan surveillance atau
pelacakan aktivitas komunikasi di tiap aplikasi media sosial.

d. Membuat suatu sistem E-Budgeting yang berfungsi sebagai


sistem penyusunan anggaran yang di dalamnya termasuk aplikasi
program komputer berbasis web untuk memfasilitasi proses
penyusunan anggaran belanja setiap lembaga agar dapat
terintegrasi. Dengan penerapan teknologi informasi seperti sistem
108

informasi penyusunan anggaran ini, setiap lembaga terkait akan


lebih mudah dalam menentukan arah kebijakan berkaitan dengan
penganggaran penanganan kepulangan FTF ke indonesia.

e. Pemerintah harus berfokus juga pada pemanfaatan para


mantan teroris yang telah melakukan program deradikalisasi dan
telah kembali ke masyarakat. Pemanfaatan mantan teroris ini
bertujuan untuk menggali informasi terkait FTF termasuk aktor
intelektual yang menjadi dalang dibalik masyarakat indonesia
berangkat ke negara lain untuk bergabung dengan ISIS. Fokus
terhadap penanganan aktor intelektual dalam FTF harus lebih
diperjelas dalam aturan hukum yang ada.

f. Harus ada aturan atau payung hukum yang mewajibkan FTF


yang memaksa pulang ke Indonesia untuk mengikuti program
intervensi yang dilakukan oleh pemerintah. Program intervensi
tersebut berupa program deradikalisasi terpadu yang
diselenggarakan oleh Satuan Tugas Penanganan FTF yang terdiri
dari beberapa lembaga terkait.

g. Dalam rangka mengimplementasikan program deradikalisasi


yang ideal tentunya membutuhkan strategi dan perencanaan yang
tepat dari pemerintah. Apalagi kondisi lingkungan sosial Indonesia
jelas berbeda dengan negara-negara sekitar lain. Pemerintah tidak
bisa begitu saja mengambil contoh program deradikalisasi dari
negara lain yang dinyatakan berhasil.
109

DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Amin, Hamidin Aji, 2020, Wajah Baru Terorisme. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama
Bungin Burhan. 2004. Metodologi penelitian kualitatif, Aktualisasi
Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Darmodiharjo, D. 1991. Santiaji Pancasila: Tinjauan filosofis, historis dan
yuridiskonstitusional. Surabaya: Usaha Nasional.
Doyle Paul Johnson, “Teori Sosiologi Klasik dan Modern”. Jakarta :
Gramedia Pustaka.
Erlangga Pratama, Penyelesaian Masalah 660 WNI Eks ISIS, Jurnal
Intelijen, diakses melalui :
https://jurnalintelijen.net/2020/02/10/penyelesaian-masalah-660-
wni-eks-isis/
Hartanto, F.M. 1996. Kepemimpinan Sinergistik: Membangun Keunggulan
Melalui Kerjasama dan Aliansi Strategik. Studio Manajemen Jurusan
Teknik Industri Institut Teknologi Bandung. Bandung.
George Ritzer, “Teori Sosioogi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan
Terakhir Post Modern, Yogyakarta : Pelajar Pustaka.
Harahap, Syahrin. 2017, Upaya Kolektif Mencegah Radikalisme dan
Terorisme. Siraja: Depok.
Heru Puji Winarso. 2005. Sosiologi Komunikasi Massa. Jakarta: Prestasi
Pustaka.
Jogiyanto. 2005. Sistem Informasi Strategik untuk Keunggulan Kompetitif ,
Yogyakarta : Andi Offset
Jahroni, Jajang. Dkk. 2016. Memahami Terorisme : Sejarah, Konsep, dan
Model. Tangerang Selatan : UIN Syarif Hidayatullah.
110

Kaelan. Filsafat Pancasila: Pandangan hidup bangsa Indonesia.


Yogyakarta: Paradigma. 2002.

Jurnal :
Kearns, Kevin P. 1992. “From Comparative Advantage to Damage Control:
Clarifying Strategic Issues Using SWOT Analysis,” Nonprofit
Management and Leadership , New York: Henry HoltUniversity.
Krippendrof Klaus, “Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi, terj Farid
Wajidi”,. Jakarta: Citra Niaga Rajawali Press, 1993.
Richard Barrett, 2017, Beyond The Caliphate: Foreign Fighter and the
Threat of Returnees. The Soufan Center. Diakses melalui :
https://thesoufancenter.org/wp-content/uploads/2017/11/Beyond-
the-Caliphate-Foreign-Fighters-and-the-Threat-of-Returnees-TSC-
Report-October-2017-v3.pdf
Zulfi Mubarak, Fenomena Terorisme di Indonesia: Kajian Aspek Teologi,
Ideologi dan Gerakan, Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik
Ibrahim Malang. Diakses melalui : http://repository.uin-
malang.ac.id/6034/1/6034.pdf

Internet :
Adi Briantika, 2019, Potensi Terorisme di Indonesia Tetap Ada meski al-
Baghdadi Tewas, Tirto.id, diakses melalui : https://tirto.id/potensi-
terorisme-di-Indonesia-tetap-ada-meski-al-baghdadi-tewas-ekxs
MENTERI PERTAHANAN, KEBIJAKAN PENGINTEGRASIAN
KOMPONEN PERTAHANAN NEGARA, diakses melalui:
https://www.kemhan.go.id/ppid/wp-
content/uploads/sites/2/2016/10/Permenhan-Nomor-16-Tahun-
2012-Lampiran.pdf
Mobus, G.E. & Kalton, M.C. (2015). Principles of Systems Science, Chapter
8: Emergence, Springer, New York.
Salusu. Pengambilan Keputusan Stratejik, Edisi 7. Jakarta: Grasindo. 2004.
111

Soedijati, “Solidaritas dan Masalah Sosial”, Bandung: UPPM STIE


Bandung.
Suharsimi Arikunto. 1990. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta.
The data do reflect that the estimate for the United Kingdom was updated
for the version of ICSR’s dataset published in the 2015 Munich
Security Report, released January 2015.
The Soufan Group, Foreign Fighters : An Updated Assesment
Teori Sinergi. Diakses dari : http://lib.lemhannas.go.id/public/media/catalog.
Pada tanggal 1 Februari 2018.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Revisi Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU Nomor
15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
UU Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2011 Tentang Intelijen Negara
Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
x

DAFTAR LAMPIRAN

1. ALUR PIKIR
2. DAFTAR RIWAYAT HIDUP
3. DAFTAR TABEL
4. DAFTAR GAMBAR
5. DAFTAR SINGKATAN
6. PENGERTIAN-PENGERTIAN
112

LAMPIRAN 1
ALUR PIKIR
OPTIMALISASI KERJA SAMA ANTAR LEMBAGA DALAM MENGATASI KEPULANGAN
FOREIGN TERRORIST FIGHTER ASAL INDONESIA GUNA MEMPERTAHANKAN STABILITAS NASIONAL

112
113

LAMPIRAN 2

DAFTAR RIWAYAT HIDUP


114

LAMPIRAN 3

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Daftar FTF dari Berbagai Negara yang Dideportasi………... 37


Tabel 4.2 Tabel SWOT terhadap Faktor Internal dan Eskternal…....... 73
Tabel 4.3 Tabel Analisis SWOT Peran Masing-Masing Lembaga
Terkait Dalam Mengatasi Isu Terorisme Di Indonesia…...... 74
Tabel 4.4 Tabel Analisis SWOT Mekanisme Hubungan Kerja Antar
Lembaga Terkait Penanganan Isu Kepulangan FTF………. 84
Tabel 4.5 Tabel Analisis SWOT Instrumen dan Dasar Hukum
Penanganan Isu Kepulangan FTF Yang Bisa Digunakan
Antar Lembaga…………………………………………………. 95
115

LAMPIRAN 4

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Infografis Kekalahan ISIS………………………………...... 3


Gambar 1.2 Teror ISIS di ASEAN……………………………………….. 5
Gambar 2.1 Model Kerangka Pemikiran………………………………… 35
Gambar 4.1 Diagram Analisis SWOT……………………………………. 72
116

LAMPIRAN 5

DAFTAR SINGKATAN

AD : Angkatan Darat
AL : Angkatan Laut
APG-ML : Asia Pacific Group on Money Laundering
AU : Angkatan Udara
BIN : Badan Intelijen Negara
BNPT : Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
FIU : Financial Intelligence Unit
FTF : Foreign Terrorist Fighter
HAM : Hak Asasi Manusia
ICRG : International Cooperation Review Group
IMPACT : International Multilateral Partnership Against Cyber
Threats
IS : Islamic State
ISIS : Islamic State of Iraq and Syria
ITU : International Telecomunication Union
JAD : Jama’ah Ansharut Daulah
JKS : Jaring Komunikasi Sandi
Kemenkopolhukam : Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Ham
Kopassus : Komando Pasukan Khusus
KUHP : Kitab Undang – Undang Hukum Pidana
MoU : Memorandum of Understanding
NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia
OMP : Operasi Militer Perang
OMSP : Operasi Militer Selain Perang
Perkasad : Perarturan Kepala Staf Angkatan Darat
Polri : Kepolisian Republik Indonesia
PP : Peraturan Pusat
117

PPATK : Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan


Protap : Prosedur Tetap
RAN : Rencana Aksi Nasional
Satgas : Satuan Tugas
SDM : Sumber Daya Manusia
SOP : Standard Operation Procedure
SWOT : Strengths, Weaknesses, Opportunity, Threats
TED : Terrorism Early Detection
TEW : Terrorism Early Warning
TNI : Tentara Nasional Indonesia
TPB-UNODC : Terrorism Prevention Branch-United Nation Office for
Drugs and Crime
Tridek : Tri Dharma Eka Karma
UNCTED : United Nations Counter-Terrorism Executive
Directorate
UNCTITF : United Nations Counter Terrorism Implementation
Task Force
UNGCTS : United Nations Global Counter-Terrorism Strategy
UU : Undang-Undang
UUD : Undang-Undang Dasar
VVIP : Very Very Important Person
WNI : Warga Negara Indonesia
118

LAMPIRAN 6

PENGERTIAN – PENGERTIAN

a. Radikalisme adalah berasal dari Bahasa latin yaitu radix yang berarti
akar, sehingga radikal pada dasarnya mengakar atau hingga ke akar-
akarnya. Radikalisme dilabelkan bagi mereka yang memegang teguh pada
keyakinan atau ideologi yang dianutnya secara kaku sehingga
konsekuensinya semua yang lain dan tidak sama dengannya adalah salah
dan keliru.

b. Terorisme adalah paham atau aksi yang menggunakan ancaman


atau kekerasan untuk menimbulkan ketakutan, juga menculik dan
membunuh, meledakkan bom, membajak/meledakkan pesawat terbang,
melakukan pembakaran-pembakaran, melakukan kejahatan yang sangat
serius dan kejam demi menegakkan paham dan ideologinya serta dalam
meluruskan dan memperbaiki orang lain menurut keyakinannya.

c. Foreign Terrorist Fighter (FTF) adalah individu yang melakukan


perjalanan atau mencoba untuk melakukan perjalanan ke suatu Negara
selain negara tempat tinggal atau kebangsaan mereka untuk tujuan
melakukan, perencanaan, atau persiapan, atau partisipasi dalam, tindakan
teroris atau penyediaan atau menerima pelatihan teroris'.
.
d. Stabilitas Nasional adalah Stabilitas Nasional adalah kestabilan atau
situasi yang kondusif baik di bidang sosial budaya, politik, peerintahan,
keamanan, perekonomian, perdagangan, dll, sehingga pemerintah dapat
berjalan dengan baik, dan program serta kebijakan pemerintah bisa
dilaksanakan secara optimal.

e. Sinergi adalah Hubungan atau komunikasi para pihak dalam


mewujudkan suatu tugas bersama akan memunculkan berbagai macam
119

pola yang berbeda bila dihadapkan elemen kepercayaan dan kerjasama


yang dimiliki oleh pihak masing-masing.

f. Kerjasama adalah Kerjasama adalah sesuatu yang terjadi secara


alami, kelompok dapat maju dengan baik apabila ada kerjasama yang baik
pula antar sesama anggota kelompok.

g. Pertahanan negara adalah segala usaha untuk menegakkan


kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa. Usaha pertahanan negara
tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan adanya dinamika bentuk
ancaman yang dihadapi.

Anda mungkin juga menyukai