Anda di halaman 1dari 11

PROPOSAL TESIS

KADAR NAFKAH YANG WAJIB OLEH SUAMI KEPADA ISTRI


(Studi Kompertif Pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i)

Dede Wahyu Purnama


2190050005

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Syariat Islam mewujudkan hak kepada suami dan isteri yang merupakan suatu
kewajiban yang mesti dilaksanakan. Dengan pernikahan, maka wajiblah ke atas suami
memberi nafkah kepada isterinya. Nafkah isteri adalah nafkah yang wajib diterima oleh isteri
dari suaminya karena sebab akad nikah.

Nafkah merupakan kewajiban suami terhadap isterinya, dan tidak ada perbedaan
pendapat mengenai masalah ini.1 Fuqaha telah sependapat bahwa di antara nafkah suami
terhadap isteri adalah nafkah hidup dan pakaian. Firman Allah Swt di dalam Al-Qur'an surat
Al-Baqarah ayat 233 :

ِ
ِ ‫ود لَ ه ِر ْز ُق ه َّن و كِ س و ُت ه َّن بِ الْ م ع ر‬
‫وف‬ ُْ َ ُ َْ َ ُ ُ ُ‫َو َع لَ ى الْ َم ْو ل‬

Artinya : "Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
ma 'ruf..2

Adapun maksud "Bil Ma 'ruf' dalam firman Allah Swt pada ayat 233 diatas, Syaikh
Imam Al-Qurthubi telah menafsirkannya dengan arti g"Sewajarnya menurut pandangan
agama tanpa berlebihan. "3

Dan kewajiban suamilah yang menyediakan tempat tinggal untuk istri, sebagaimana firman
Allah SWT di dlam Al-Quran surat Al-Talaq ayat 6:

1
syaikh Hasan Ayyub, Fiqhu al-Usratu al-Muslimatu, Penerjemah : M. Abdul Ghoffar, (Jakarta : Pustaka Al-
Kautsar, 2006), Cet. 5, h. 383.
2
Al-Haramain, Al-Quran Dan Terjemahan, (Selangor : Karya Bestari , 2015), Cet. 7, h. 37
3
Syaikh Imam Al-Qurtubi, Al-Jami' Li Ahkaam Al-Qur'an, Penerjemah : Dudi Rosyadi, Faturrahman,
Fachrurazi, Ahmad Khatib, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid 18, h. 349

1
ِ ِ ِ
‫ض ِّي ُق وا َع لَ ْي ِه َّن‬
َ ُ‫وه َّن ل ت‬
ُ ‫ض ُّار‬ ُ ‫وه َّن ِم ْن َح ْي‬
َ ُ‫ث َس َك ْن تُ ْم م ْن ُو ْج د ُك ْم َو اَل ت‬
ِ
ُ ُ‫ۚ َأس ك ن‬
ْ

Artinya: “Tempatkanlah merek (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hari)
mereka”4

Selain itu juga, suami diwajibkan memberi nafkahkepada isterinya sesuai kemampuannya,
seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al-
Quran surat Al-Talaq ayat 7:

‫ِ مِم‬ ِ ِ ِِ ِ ٍ ِ ِ
ُ ِّ‫ َو َم ْن قُ د َر َع لَ ْي ه ِر ْز قُ هُ َف ْل ُي ْن ف ْق َّ ا آتَ اهُ اللَّ هُ ۚ اَل يُ َك ل‬Aۖ ‫ل ُي ْن ف ْق ذُ و َس َع ة م ْن َس َع ت ه‬
‫ف‬

َ َ‫اللَّ هُ َن ْف ًس ا ِإ اَّل َم ا آت‬


‫اه ا ۚ َس يَ ْج َع ُل اللَّ هُ َب ْع َد عُ ْس ٍر يُ ْس ًر ا‬

Artinya: “ Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan
orang yang disempitkan resekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan
Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa
yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesuadah
kesempitan.”5

Di dalam Shahih Al-Bukhari, Rasulullah SAW pernah bersabda tentang Hindun binti Utbah
(istri Abu Sufyan), Rasulullah SAW terlah bersabda:

‫ هللا ان اباسفيا ن رجل شحيح وليس يعطيني ما يكفيني وولد‬A‫يارسول‬:‫قالت‬,‫ان هند بنت عتبة‬,‫وعن عائشة‬
A‫ خدي مايكفيك وولد ك بالمعروف‬A:‫فقال‬:‫ االمااخد ت منه وهواليعلم‬,‫ي‬.

Artinya . "Dari A'isah r.a, bahwa Hindun binti Utbah berkata . "Ya Rasulullah, bahwa Abu
Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit, ia tidak memberikan kecukupan naJkah padaku
dan anakku, kecuali jika aku mengambil dari hartanya tanpa sepengentahuannya maka
beliau bersabda : "Ambillah dari hartanya sekadar untıık memenuhi kebutuhanmujuga
anakmu.”6

4
Ibid. H. 559.
5
Ibid.
6
imam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari Alja'fi, 5364, Shahih AlBukhari, (tt, Darul Tuqu Al-Najah,
2000), Juzuk 7, h. 65. Bisa juga dilihat M. Nashiruddin AlAlbani, Ringkasan Shahih Bukhari, 1042, (Jakarta :
Gema insani, 2007), Cet. l, Jilid 2, h.75.

2
Selain itü juga, di dalam Sunan Abu Daııd, Rasulullah SAW telah bersabda :

‫اطعموهن‬:‫ نساءناقال‬A‫في‬:‫ماتقول‬:‫فقلت‬:‫قال‬,‫ هللا صلي هللا عليه وسلم‬A‫اتيترسول‬:‫قال‬,‫عن معاوية القشيري‬


‫والتقبحوهن‬,‫والتضربوهن‬,‫واكسوهن مماتكتسون‬,‫مماتاكلون‬

Artinya "Dari Mııawiyah Al-Qusyairi, dia berkata, "Saya mendatangi Rasıılııllah SAVIZ,
akli katakan ' Nasihat apa yang akan engkaıı katakan yang harııs kami lakukan) terhadap
istri-istri kami?, Rasıılııllah SAJV menjawab, Berilah mereka makan dari apa-apa yang
kalian makan, dan berilah mereka pakaian dari apa yang kalian pakai. Janganlah kalian
memukııl mereka dan jangan pula menjelekkan mereka.”7

Kemudian, siapa yang wajib memberi nafkah kepada istri : fuqaha sepakat bahwa
nafkah istri itü wajib hukumnya atas suami yang merdeka dan hadhir atau ada. Jika seorang
wanita sudah menyerahkan dirinya kepada seorang leIakİ dengan cara pernikahan yang sah
maka İa berhak mendapatkan nafkah dan segala kebutuhannya dari suami, baik makanan,
minuman, pakaian, dan tempat tinggal.8

Hukum wajibnya nafkah : para fuqaha sepakat akan wajibnya nafkah untuk istri baik
Muslimah maupun kafir jika memang dinikah dengan akad yang sah. Akan tetapi, jika
ternyata pernikahannya fasid atau batal maka suami Oberhak meminta nafkah yang telah
diambil oleh isterinya.9 Nafkah itu wajib dikeluarkan suami untuk istrinya sebagai imbalan
atas kekhususan diri istrinya untuk suami, sesuai dengan hukum akad yang sah.10

Para Imam Mazhab sepakat atas wajibnya seseorang yang menafkahi orang-orang yang wajib
dinafkahi, seperti istri, ayah, dan anak yang masih kecil. Namun, mereka berbeda pendapat
tentang naikah istri, apakah diukur menurut ketentuan syara' ataukah disesuaikan dengan
keadaan suami istri?11

Tentang besaran nafkah, menurut Imam Malik, besaran nafkah tidak ditentukan
berdasarkan syariat, melainkan berdasarkan keadaan masing-masing suami-istri. Dan hal itu

7
imam Abu Daud Sulaiman bin Al-Ash'ats As-Sijistani, 2144, Sıman Abu Daud, (tt, Darul Al-Risalah
Al-'Alamiyyah, 2009), Juzuk 3, h. 478. Bisa juga dilihat Muhammad Nashiruddin AI-AIbani, Shahih Sunan Abu
Daud, 2144, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2006), Cet. I, h, 829.
8
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), Cet. l, jilid 10, h. IIO.
9
Ibid. h.III .
10
Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, (Solo : Era Intermedia, 2005), Cet. I, h.
262.
Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Rahmah al- Ummah fi Ikhtilafal-A 'immah,
11

Penerjemah: Abdullah Zaki Alkaf (Bandung : Hasyimi, 2013) h. 388.

3
bersifat relatif, karena terkait dengan pertimbangan tempat, waktu, dan keadaan. Inilah
pendapat Imam Abu Hanfah12

Menurut Imam Abu Hanifah, diwajibkan kepada suami memberikann nafkah terhadap
istri setiap bulan yang cukup menurut uruf karena nafkah disyariatkan menurut kelayakan
(kecukupan). Maka diwajibkan nafkah menurut kadar sesuai dengan kelayakan (kecukupan)
sebagaimana yang dimaklumi, hal itu didasarkan kepada uruf di atas minimal dan tidak
berlebihlebihan. Suami diperintahkan untuk memberi nafkah di antara keduanya (minimal
dan tidak berlebihan) sebagaimana layaknya.13

Menurut Imam Syafi'i, besaran nafkah itu ditentukan. Terhadap orang kaya dua mud,
terhadap orang yang sedang satu setengah mud, dan terhadap orang yang miskin satu mud. 14
Nafkah ada dua macam, yaitu nafkah dari orang yang lapang kehidupannya, dan nafkah dari
orang yang sempit rezekinya, yaitu orang fakir. 15 Dari penjelasan singkat di atas, tampak
terjadi perbedaan pendapat tentang kadar nafkah yang wajib untuk istri. Berangkat dari
permasalahan di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti tentang kadar nafkah yang wajib
oleh suami kepada isteri antara pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i. Ini karena
penulis ingin mengkaji lebih mendalam secara akademis tentang permasalahan ini.

Oleh karena itu, melihat dari latar belakang permasalahan yang ada, maka penulis
akan memaparkan ke dalam tesis ini yang berjudul KADAR NAFKAH YANG

WAJIB OLEH SUAMI KEPADA ISTRI (Studi Kompertif Pendapat Imam


Abu Hanifah dan Imam Syafi’i).

PenuIis menyadari begitu luasnya pembahasan yang terdapat pada masalah nafkah.
Agar penelitian ini tidak menyimpang dari topik yang akan dibahaskan, maka penulis
membatasi penelitian ini hanya pada aspek kadar nafkah yang wajib oleh suami kepada istri.

B. Rumusan Masalah

12
1bnu Rusyd,Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, Penerjemah : Abdul
Rasyad Shiddiq, (Jakarta : Akbar Media, 2013), Cet. I, Jilid 2, h. 141.
13
Syaikh Syamsuddin Al-Sarkhosi, Al-Mabsuth, (Beirut-Lebanon : Darul Ma'rifah, 1989), Jilid 3, h. 181
14
1bnu Rusyd, Op. cit., h. 141.
15
Imam Asy-Syafi'i, Al-Umm, Tahqiq dan Takhrij • Dr. RiPat Fauzi Abdul Muththalib,
Penerjemah : Misbah, (Jakarta :Pustaka Azzam, 2015), Cet.l, Jilid 9, h. 512

4
1. Bagaimana keadaaan nafkah terhadap isteri menurut Imam Abu Hanifah dan Imam
Syafi’i baik dari segi kualitas maupun kuantitas?
2. Bagaimana letak persamaan dan perbedaan serta titik temu antara pendapat Imam Abu
Hanifah dan Imam Syafi’i dalam hal penetapan kadar nafkah terhadap isteri

C. Tujuan Penelitian

Dalam segala aspek sesuatu yang terjadi tidak akan terlepas dari tujuan yang diharapkan
untuk mencari dan mengena sasaran, begitupula dalam penulisan karya ilmiah yang nantinya
harus dipertanggung jawabkan kebenarannya maka dalam penulisan masalah ini mempunyai
tujun sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui keadaan nafkah menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i dari
segi kualitas maupun kuantias.
b. Untuk mengetahui letak persamaan dan perbedaan dalam hal penetapan kadar nafkah
terhadap isteri menurut Imam abu Hanifah dan Imam Syafi’i.

D. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan yang utama dari hasil penelitian ini yaitu mencapai ridha Allah SWT, serta
menambah ilmu, dan kontribusi pemikiran kepada semua pihak dalam memahami
permasalahan tentang kadar nafkah yang wajib oleh suami kepada isteri.
b. Untuk menambah dan mengembangkan wawasan penulis dalam menghasilkan karya
yang bagus dan benar tentang kadar nafkah yang wajib oleh suami kepada isteri.
c. Untuk mencapai gelar Magister Hukum di Fakultas Syari'ah dan Hukum Keluarga,
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati.

E. Kerangka Berfikir
5
Perkawinan pada dasarnya adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai
suami istri dengan tujuan untuk membentuk suatu keluarga atau rumah tangga yang bahagia.
Perkawinan diharapkan berlangsung abadi seumur hidup untuk membina suatu keluarga yang
sakinah, mawaddah, warahmah atau hidup bahagia dan harmonis antara suami istri dan anak-
anaknya.

Kepemimpinan dalam keluarga merupakan tugas pria sebagai suami dan istri sebagai
mitra kerja, mengatur urusan rumah tangga, keuangan keluarga dan tugas utama sebagai
seorang ibu yang mendidik anak-anaknya ketika suami bekerja diluar rumah. Nafkah dalam
rumah tangga, adalah tanggung jawab sepenuhnya oleh suami.

Al-Qur’an sebagai sumber dasar Islam telah menunjukkan bagaimana konsep rumah
tangga yang terbentuk dengan akad perkawinan dengan tujuan menyatukan dua insan yang
berbeda, dalam prinsip maupun presepsi, menciptakan keharmonisan dan ketentraman hidup
dengan peran dan tugas masing-masing yang telah diatur dalam al-Qur’an maupun Hadst.

Kalau dilihat dari metode yang digunakan oleh Imam Syafi’i dalam menginstinbatkan
hukum adalah Al qur’an, As Sunnah (Nash) maka beliau berijtihad dengan menggunakan
qiyas seperti halnya dalam penetapan kadar nafkah terhadap istri beliau mengiaskannya
dengan kifarat, karna makan itu menghilngkan lapar.

Sedangkan Imm Abu Hanifah dalam menginstinbatkan hukum itu menggunakan


Al’Qur’an, Assunah, Qiyas, Istihsan dan Ijma. Kalau dibandingkn dengan Imam Syafii dalam
menggunakan Qiyas sebagai metode ijtihadnya Imam Abu Hanifah lebih banyak, tetapi
dalam hal ini Imam Abu Hanifah tidak dapat menerima pendapat Imam syafii yang
menginstinbatkan kadar nafkah dengan kifarat karena kifarat dan nafkah itu tidak sama.16

BAGAN KERANGKA BERFIKIR

16
Al Hamdani, Risalah nikah, (Jakarta : Akbar Media, 2013), Cet. I, Jilid 2, h. 141.

6
Kadar Nafkah

F. Penelitian Terdahulu
Menurut Menurut Imam Syafi’i
Imam Abu Hanifah

Kualitas dan kuantitas

F. Penelitian Terdahulu

Melihat bahwa ilmu pengetahuan berkembang pesat seiring dengan perkembangan


zaman, maka dengan adanya penelitian terbaru ini secara otomatis akan memperbaharui ilmu
pengetahuan agar senantiasa eksis pada masanya. Adapun penelitian terdahulu yang dipilih
oleh peneliti untuk menjadi acuan adalah:

Pertama, penelitian skripsi oleh Euis Aisyah, pasca sarjana Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, dengan judul “Nafkah Dalam
Pendekatan Interdisipliner”, tahun 2016. Pada jurnal penelitian ini peneliti memiliki fokus
penelitian pada kajian filosofis dari nafkah yang harus diberikan oleh seorang suami.
Menurut penelitian ini, kewajiban seorang suami dalam menafkahi istri bukanlah suatu
kewajiban yang dapat digugurkan jika suami memberikan nafkah sesuai kemampuannya saja.
Nafkah yang diberikan kepada istri adalah nafkah yang kadarnya harus disesuaikan dengan
situasi dan kondisi suami dan juga lingkungan tempat tinggal mereka.

Lebih tepatnya kajian filosofis dalam jurnal ini memandang bahwa timbulnya
kewajiban nafkah tidak terlepas dari adanya perkawinan antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan. Konsekuensi dari akad nikah menempatkan laki-laki sebagai pemimpin
dalam sebuah rumah tangga, dan perempuan sebagai orang yang dipimpin. Suami tidak hanya
memiliki kewajiban untuk menafkahi istrinya, namun juga anak-anaknya dan orangorang
yang saling mewarisi dengan dirinya, sesuai dengan batas kemampuannya. Kadar nafkah

7
tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi suami serta kebiasaan masyarakat setempat.
Suami sebagai tulang punggung keluarga berkewajiban memenuhi kebutuhan anggota

keluarganya. Seiring perubahan sistem sosial, isteri dapat membantu suami dalam
menopang kebutuhan rumah tangga. Oleh sebab itu, mereka tidak memandang rumah tangga
sebagai ajang kompetisi dan tempat untuk mencari keunggulan, tapi basis untuk bekerjasama
dan membangun solidaritas demi meningkatkan nilai-nilai spiritualitas dan mengembangkan
potensi-potensi kemanusiaan. Demikian pula dalam tataran ekonomis, nafkah memainkan
peran yang sangat penting, karena tidak terpenuhinya nafkah akan berdampak negatif
terhadap kehidupan keluarga.

Kedua, penelitian oleh Sely Hadianty, mahasiswa pasca sarjana Universitas


Padjadjaran Bandung tahun 2017 dengan judul, “Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Nafkah
Istri/Anak Dari Perceraian Istri Nusyuz Berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan Dan Hukum Islam (Perceraian Indrayana Bidwy (Bopak) Dan Putri
Mayangsari)”. Fokus pada penelitian ini adalah analisis terhadap status dan kedudukan hak
nafkah istri/anak berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Hukum Islam untuk memperoleh kepastian mengenai akibat hukum terhadap pemberian
nafkah bagi istri yang nusyuz berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan Hukum Islam.

Penelitian ini menjelaskan tentang bagaimana status dan kedudukan hak nafkah atas
istri atau anak yang dalam hal ini istri telah melakukan perbuatan nusyuz kepada suaminya.
Dalam suatu perkawinan ada kalanya terjadi keadaan tertentu seperti hak dan kewajiban
antara suami-isteri tidak terpenuhi atau terjadi pelanggaran (lalai) terhadap hakkewajiban
yang dilakukan oleh suami maupun isteri. Seperti ketika pihak istri pergi meninggalkan
rumah tanpa izin suami yang mengakibatkan istri tersebut nusyuz. Sehingga menyebabkan
status perkawinan goyah bahkan terancam akan terjadi perceraian. Dalam peristiwa demikian
tentu saja aka ada akibat hukum terhadap hak nafkah istri. Sehingga dalam hal ini peneliti
berniat untuk menganalisis lebih lanjut kedudukan dan status hak nafkah atas istri yang
nusyuz tersebut.

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah ada, dapat dilihat bahwa terdapat


perbedaan yang signifikan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti saat ini. Jika
sebelumnya para peneliti telah membahas tentang hak nafkah bagi istri yang dicerai akibat
nusyuz, maka penelitian ini memiliki fokus yang cukup berbeda. Penelitian ini berfokus pada

8
penerapan dari ketentuan kadar nafkah suami menurut Imam Syafi‟i dan Abu Hanifah yang
selanjutnya akan diteliti dari segi penafsiran ayat Al-Qur‟an dan Hadis yang membahas
tentang ketentuan kadar nafkah seorang istri, kewajiban suami dalam kadar nafkah yang
harus diberikan.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian normatif hukum islam yang dilakukan dengan kajian
kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan penelitian pada buku-buku yang
berkaitan dengan objek permasalahan yang dibahas, khususnya karya Imam Abu Hanifah dan
karya Imam Syafi'i dari sumber primer, sekunder dan tartier.

2. Sumber Data

Penelitian ini adalah kajian kepustakaan, semua data tersedia di perpustakaan. Data
tersebut terdiri daripada tiga bagian :

a. Bahan Hukum Primer


Merupakan buku rujukan utama untuk penelitian, yaitu kitab fiqih Imam Abu Hanifah
yang bersumber dari kitab Al-Mabsuth dan kitab Al-Umm karangan Imam Syafi 'i.
b. Bahan Hukum Sekunder
Merupakan data yang diambil dari literatur, buku-buku yang ada hubungan dengan
masalah penelitian seperti kitab Fiqih Lima Mazhab, kitab Bidayatul Mujtahid Wa
Nihayatul Muqtasid, kitab Fiqh Islam Wa Adillatuhu, kitab, Fiqh Islam karya Sulaiman
Rasjid, kitab-kitab hadits dari Kutub Al-Sittah maupun Al-Tis 'ah seperti Shahih Imam
Bukhari, Shahih Imam Muslim dan kitab Iain sebagainya .
c. Bahan Hukum Tartier
Merupakan sumber data pelengkap seperti kamus dan ensiklopedia.

3. Metode Pengumpulan Data

Untuk penelitian ini, penulis mengumpulkan berbagai literatur yang diperlukan, baik
dari bahan data primer mahupun bahan data sekunder. Selanjutnya penulis mengumpulkan
berbagai literatur Iain dan mengklasifikasikannya sesuai dengan pokok-pokok permasalahan.

9
Kemudian penulis melakukan pengutipan secara langsung pada bagianbagian yang dianggap
dapat dijadikan sumber rujukan untuk dijadikan karta ilmiah yang disusun secara sistematis.

4. Metode Penulisan

Dalam penulisan laporan dari penelitian ini, penulis menggunakan beberapa metode
yaitu :

Metode Komperatif

Yaitu dengan cara mengkomparasikan data-data yang telah diperoleh, Ialu dianalisa menurut
perspektif Fiqih Muqoron untuk mengetahui pendapat mana yang sesual.

5. Metode Analisa Data

Metode Analisa Data ini adalah metode yang sifatnya kualitatif, yaitu dengan
menganalisa data yang berupa pendapat atau pernyataan Fuqoha ' mengenai masalah fiqh dari
kitab yang mereka tulis.

H. Sistematika Penulisan

Agar penulisan penelitian ini Iebih tersusun dan mudah difahami, maka penulis
membuat sistematika penulisan sebagaimana berikut :

Bab 1 :Pendahuluan

Bab ini menerangkan tentang latar belakang masalah, batasan masalah,


rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian dan
sistematika penulisan.

Bab 11 :Biografi Pengarang

Di dalam bab ini menjelaskan biografi Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i,
yang terdiri dari sejarah ringkas kedua Iman, pendidikannya, guru-gurunya,
dan karya-karyanya serta murid-muridnya.

Bab 111 :Tinjauan Umum Tentang Kadar Nafkah

Bab ini adalah tinjauan umum berkaitan dengan kadar nafkah yang terdiri dari
pengertian kadar dan nafkah, dasar hükum nafkah, syarat-syarat wajib nafkah,
sebab-sebab wajib nafkah, dan orang yang berhak menerima nafkah.

10
Bab IV :Hasil penelitian dari İmam Abu Hanifah dan İmam Syafi'i

Pada bab ini berisikan hasil penelitian dari Imam Abu Hanifah dan Imam
Syafi'i tentang aspek kadar nafkah yang wajib oleh suami kepada isteri, serta
analisa terhadap hükum kadar nafkah menurut Imam Hanafi dan Imam Syafi'i.

Bab V :Penutup

Pada bab ini meliputi penutup yang berisikan kesimpulan dan saran.

11

Anda mungkin juga menyukai