Adoc - Pub Bab 4 Analisis Kemampuan Usaha Tape Ketan Sebagai
Adoc - Pub Bab 4 Analisis Kemampuan Usaha Tape Ketan Sebagai
Penelitian ini berusaha mengkaji kemampuan usaha tape ketan sebagai motor
penggerak pengembangan ekonomi lokal di Kecamatan Cibeureum, Cibingbin, dan
Cigugur. Pembahasan dalam bab ini meliputi dua bagian. Bagian pertama akan
menjelaskan mengenai hasil analisis sejauhmana kemampuan usaha tape ketan sebagai
motor penggerak pengembangan ekonomi lokal di wilayah kajian studi. Analisis ini
dilakukan dengan membandingkan kriteria, indikator, serta tolok ukur kemampuan
usaha tape ketan sebagai motor penggerak dengan kondisi nyata di lapangan sehingga
dapat dilihat bagaimana dukungan kriteria tersebut terhadap kemampuan usaha tape
ketan sebagai motor penggerak pengembangan ekonomi lokal.
Setelah dilakukan analisis mengenai kemampuan usaha tape ketan sebagai motor
penggerak, maka selanjutnya pada bagian kedua akan dijelaskan mengenai faktor-faktor
(faktor pendukung maupun penghambat) yang mempengaruhi perkembangan usaha tape
ketan sebagai motor penggerak pengembangan ekonomi lokal.
47
48
serta pemasarannya. Jika usaha tape ketan telah kuat dan kokoh dari sisi keberlanjutan
produksi dan pemasarannya, maka dapat dikatakan bahwa usaha tape ketan telah
memiliki kemampuan bertahan yang tinggi, dan selanjutnya usaha tape ketan mampu
menjadi motor penggerak pengembangan ekonomi lokal.
Tabel 4.1
Kualifikasi Tenaga Kerja Usaha Tape Ketan
Dari tabel 4.1 dapat dilihat bahwa kualifikasi tenaga kerja berdasarkan jenis
kelamin, umur, pendidikan, maupun keterampilan yang dibutuhkan pada usaha tape
ketan dapat dikatakan rendah. Di Kecamatan Cibeureum, Cibingbin, dan Cigugur
sendiri, keterampilan membuat tape ketan sudah merupakan warisan yang turun
temurun. Seperti yang disampaikan oleh para kepala desa maupun pengusaha tape ketan
sendiri, bahwa pada awalnya tape ketan merupakan makanan khas yang biasa
dihidangkan pada acara-acara hajatan dan dibuat oleh kaum ibu-ibu yang saling
bertetangga. Keterampilan ini kemudian berlangsung turun temurun sehingga kaum
perempuan di Kecamatan Cibeureum, Cibingbin, dan Cigugur rata-rata mampu
membuat tape ketan.
Selain itu, kondisi penduduk di ketiga kecamatan juga sesuai dengan kebutuhan
tenaga kerja pada usaha tape ketan dimana sekitar 50% penduduknya merupakan lulusan
SD dan jumlah penduduk perempuan yang berusia lebih dari 20 tahun juga tinggi.
Jumlah penduduk perempuan lulusan SD dan jumlah penduduk perempuan berusia lebih
dari 20 tahun di wilayah kajian studi untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.2
dan 4.3
Jumlah Tenaga Kerja
Jumlah tenaga kerja yang disampaikan oleh para pengusaha merupakan jumlah
tenaga kerja rata-rata pada hari-hari biasa. Hal ini dikarenakan kegiatan produksi tape
ketan disesuaikan dengan permintaan pasar atau pesanan sehingga jumlah tenaga kerja
yang dibutuhkan dapat berubah sewaktu-waktu disesuaikan dengan jumlah produksi tape
ketan. Status tenaga kerja yang ada dalam usaha tape ketan ini sendiri adalah buruh lepas
yang tidak memiliki kontrak kerja. Tenaga kerja hanya akan bekerja jika diminta atau
dipanggil oleh pemilik usaha tape ketan.
Jumlah total tenaga kerja pada usaha tape ketan ini adalah sebanyak 180 orang.
Jumlah ini adalah jumlah tenaga kerja ketika produksi pada hari-hari biasa. Namun,
ketika musim-musim tertentu seperti musim lebaran, atau liburan, jumlah tenaga kerja
bertambah sampai 139%, yaitu mencapai 429 orang. Hal ini disebabkan permintaan tape
ketan sendiri meningkat 3-4 kali lipat dari hari-hari biasa. Namun, dengan kenaikan
50
kebutuhan tenaga kerja pun, jumlah tersebut dapat dipenuhi, sehingga dalam kegiatan
produksinya, sebanyak 84% pengusaha tidak pernah kesulitan dalam mencari tenaga
kerja. Hanya sebanyak 16% pengusaha saja yang menghadapi kesulitan memperoleh
tenaga kerja. Kesulitan yang dimaksud adalah pengusaha tersebut sampai perlu mencari
dari luar desa untuk mendapatkan tambahan tenaga kerja.
Sedangkan untuk kebutuhan tenaga kerja pada masa mendatang, perlu dilihat
bagaimana ketersediaan jumlah penduduk yang memenuhi kualifikasi tenaga kerja, yaitu
lulusan SD dan diutamakan perempuan berusia lebih dari 20 tahun.
Tabel 4.2
Jumlah Penduduk Perempuan Menurut Kelompok Umur
Tahun 2007
Tabel 4.2 di atas menunjukkan bahwa jumlah penduduk perempuan yang berusia
lebih dari 20 tahun di Kecamatan Cibeureum, Cibingbin, dan Cigugur mencapai 36.494
orang (35,13% dari jumlah total penduduk di ketiga kecamatan). Jumlah ini jauh lebih
besar dari jumlah kebutuhan tenaga kerja dalam usaha tape ketan yang berkisar antara
180-429 orang. Sementara ketersediaan tenaga kerja menurut kualifikasi latar belakang
pendidikan dapat dilihat pada tabel 4.3
51
Tabel 4.3
Jumlah Penduduk Perempuan Menurut
Ijazah Tertinggi yang Dimiliki Tahun 2007
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa jumlah penduduk perempuan yang
merupakan lulusan SD di Kecamatan Cibeureum, Cibingbin, dan Cigugur adalah
sebanyak 23.892 orang (52,6% dari jumlah total penduduk perempuan). Di sisi lain,
jumlah penduduk dengan tingkat pendidikan lebih rendah dari lulusan SD juga dapat
dilihat sebagai peluang ketersediaan tenaga kerja karena penduduk dengan pendidikan
rendah umumnya tidak memiliki keterampilan atau keahlian yang tinggi. Sementara
kualifikasi tenaga kerja usaha tape ketan tidak membutuhkan tenaga kerja dengan
pendidikan tinggi dan hanya mengutamakan keterampilan membuat tape ketan. Di lain
pihak, keterampilan tape ketan sendiri banyak dimiliki rata-rata penduduk perempuan di
wilayah kajian studi, serta mudah dipelajari bagi yang tidak pernah membuat tape ketan
sebelumnya. Dengan demikian, pekerjaan sebagai tukang pembuat tape ketan sangat
sesuai dengan karakter masyarakat lokal di wilayah kajian studi.
Tabel 4.4
Jumlah dan Ketersediaan Tenaga Kerja di Wilayah
Dari tabel 4.4 dapat dilihat bahwa jumlah ketersediaan tenaga kerja pada usaha
tape ketan jauh lebih besar dari kebutuhan tenaga kerja untuk masa mendatang
Ketersediaan tenaga kerja usaha tape ketan yang melimpah tidak hanya terkait dengan
mendominasinya pendudk berlatar belakang pendidikan rendah tetapi juga terkait
dengan kesempatan kerja di wilayah kajian studi juga masih rendah. Berdasarkan hasil
survei, diketahui bahwa pekerjaan tenaga kerja sebelum bekerja pada usaha tape ketan
adalah 56% bertani, 30% merupakan ibu rumah tangga, 10% merupakan pengangguran,
dan 2% bekerja serabutan. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan sebagai pembuat tape
ketan menjadi satu-satunya alternatif sumber pendapatan di luar sektor pertanian. Jadi,
pemenuhan tenaga kerja bukanlah merupakan persolan bagi usaha tape ketan.
Tabel 4.5
Dukungan Aspek Tenaga Kerja Terhadap Kemampuan Bertahan
Usaha Tape Ketan
2. Modal
Salah satu kendala yang paling sering dijumpai oleh usaha kecil adalah mengenai
permodalan. Di sisi lain, keberhasilan pengembangan usaha kecil ikut ditentukan oleh
kondisi permodalannya. Dalam penelitian ini akan dikaji kondisi permodalan usaha tape
ketan dilihat dari keberadaan sumber modal, akses terhadap sumber modal, kemampuan
menjangkau suku bunga sumber modal, serta kemampuan mengakumulasikan modal.
Keberadaan Sumber Modal
Keberadaan sumber modal merupakan salah satu tolok ukur dukungan aspek
modal terhadap kemampuan bertahan usaha tape ketan. Dengan keberadaan sumber
modal yang bervariasi, maka pengusaha memiliki berbagai alternatif untuk memperoleh
sumber modal sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya sehingga persoalan
kesulitan modal dapat dihindari. Adapun sumber-sumber modal yang terdapat di wilayah
kajian studi dilihat pada tabel 4.6 di bawah.
Tabel 4.6
Keberadaan Lembaga Keuangan
Tahun 2006
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa Bank Umum, BPR, dan lembaga keuangan
non-KUD justru banyak terdapat di Kecamatan Cibingbin dan Cigugur yang unit usaha
tape ketannya jauh lebih sedikit dibandingkan di Kecamatan Cibeureum. Di Kecamatan
Cibeureum sendiri, hanya terdapat satu lembaga keuangan yaitu koperasi yang
merupakan lembaga keuangan non-KUD. Sementara lembaga keuangan ini sendiri tidak
berjalan efektif dan dimanfaatkan oleh para pengusaha tape ketan untuk menjadi sumber
modal. Koperasi yang berada di Kecamatan Cibeureum merupakan koperasi yang
memiliki modal sendiri. Di sisi lain, modal yang dimiliki koperasi di Kecamatan
54
Cibeureum terbatas. Selain itu, perkembangan koperasi juga sangat bergantung terhadap
kinerja para pengurus. Sementara kualitas SDM pengurus dan kelembagaan koperasi
sendiri masih rendah.
Sementara itu, menurut UU No. 25/2000 tentang Perbankan, LKM yang
dimungkinkan hanya Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Namun pada kenyataannya,
kegiatan BPR tidak banyak berbeda dengan bank pada umumnya. Hampir semua aturan
main BPR sama dengan bank umum, sehingga keberadaan BPR sendiri yang
memungkinkan akses yang lebih mudah bagi pengusaha nyatanya tidak bisa
dimanfaatkan secara efektif.
Adapun sumber modal yang dimanfaatkan oleh para pengusaha tape ketan dapat
dilihat pada tabel 4.7
Tabel 4.7
Sumber Modal Pengusaha Tape Ketan
Dari tabel 4.7 di atas, bisa dilihat bahwa terdapat berbagai alternatif sumber
modal yang beragam. Selain modal sendiri, sumber modal yang digunakan adalah bank,
KUD, kerja sama dengan tukang ketan dan pinjaman saudara.
Adapun alasan para pengusaha memperoleh modal dengan melakukan kerja
sama dengan tukang ketan adalah karena usaha tape ketan memanfaatkan ketan sebagai
55
bahan baku utama. Oleh karena itu, terdapat 16% pengusaha yang memperoleh modal
dengan melakukan kerja sama dengan penjual ketan.
Dari berbagai alternatif sumber modal yang ada, modal sendiri merupakan
sumber modal terbaik dari sumber modal lainnya. Dengan adanya pemanfaatan modal
sendiri, maka artinya pengusaha telah mandiri dan kemampuan bertahan yang kokoh,
serta tidak memiliki ketergantungan terhadap sumber modal lain. Namun kondisi nyata
di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar pengusaha (72%) masih belum benar-
benar mampu mandiri menggunakan modal sendiri.
Akses terhadap Sumber Modal
Salah satu karakteristik usaha kecil adalah memiliki akses yang rendah terhadap
lembaga-lembaga keuangan formal. Dalam penelitian ini, aksesibilitas terhadap
permodalan dapat dilihat dari mudahnya pengusaha memenuhi syarat dan jaminan yang
ditetapkan sumber modal, serta bunga yang dapat dijangkau oleh pengusaha.
Tabel 4.8
Kemampuan Pengusaha dalam Permodalan
dan Syarat Kredit Sumber Modal
Berdasarkan syarat dan ketentuan yang ditetapkan oleh bank, maka dapat dilihat
bahwa akses permodalan pengusaha terhadap bank masih kurang mendukung. Meskipun
dari segi bunga bank telah menetapkan sebesar kurang dari 1%, namun jaminan yang
ditentukan masih memberatkan pengusaha. Hal inilah yang kemudian menyebabkan
lebih dari separuh pengusaha (52%) tidak meminjam kredit ke bank.
Tabel 4.9
Kendala Peminjaman ke Bank
Ada dua alasan mengapa pengusaha tidak meminjam modal melalui bank.
Alasan paling banyak, yaitu sebanyak 36% adalah para pengusaha ini tidak memiliki
jaminan sebagai syarat peminjaman modal ke bank. Sementara sebanyak 16% mengakui
bahwa modal yang diperoleh bukan dari bank, telah mencukupi sehingga tidak perlu
meminjam uang dari bank. Jadi dapat dilihat bahwa aksesibilitas permodalan pengusaha
terhadap bank masih belum dapat mendukung.
Berdasarkan tabel 4.8 juga dapat dilihat bahwa syarat dan ketentuan peminjaman
yang ditetapkan KUD masih memberatkan dari sisi suku bunga yang tinggi. Dari 25
pengusaha yang ada, hanya terdapat satu pengusaha yang meminjam modal melalui
57
KUD di Kecamatan Cibingbin. Pengusaha yang meminjam pun berasal dari kecamatan
yang sama, sementara pengusaha yang berasal dari Kecamatan Cibeureum, tidak ada
satu pun yang memanfaatkan KUD sebagai sumber modal, meskipun di Kecamatan
Cibeureum sendiri tidak terdapat sumber modal formal selain koperasi.
Alternatif sumber modal lain yang dimanfaatkan oleh pengusaha tape ketan
adalah dengan bekerja sama dengan penjual ketan. Cara ini dimanfaatkan oleh sebanyak
4 pengusaha (16%). Meskipun tidak memberatkan dari segi jaminan dan suku bunga,
dan dilakukan hanya atas dasar kepercayaan, namun penjual ketan menetapkan batas
pengambilan ketan hanya mencapai 50 kuintal. Oleh karena itu, bentuk kerja sama
dengan tukang ketan biasanya dimanfaatkan oleh pengusaha yang jumlah produksinya
tidak terlalu besar.
Dari ketiga sumber modal lainnya, pinjam saudara memang paling tidak
memberatkan dari sisi persyaratan, jaminan, maupun bunga. Namun tentu tidak semua
pengusaha memiliki kerabat maupun saudara yang mampu meminjamkan modal untuk
usahanya. Selain itu, meminjam ke saudara juga masih dilihat lemah dari kemandirian
pengusaha. Hal ini dikarenakan sistem peminjaman kepada saudara biasanya
berdasarkan kekeluargaan dan tidak ada syarat yang mengikat. Jangka waktu
pembayaran pun biasanya tidak ditentukan dengan pasti. Berbeda dengan meminjam ke
bank yang secara tidak langsung juga dapat mendidik pengusaha untuk memiliki sistem
pembukuan dan manajemen keuangan perusahaan yang lebih baik, serta belajar
bertanggung jawab.
Akumulasi Modal
Kemampuan mengakumulasikan modal ikut menentukan kemampuan bertahan
suatu usaha. Pengusaha dikatakan mampu mengakumulasikan modalnya apabila hasil
dari penjualan yang diperoleh dapat memenuhi kebutuhan hidupnya serta masih dapat
ditabung untuk proses produksi selanjutnya. Berikut adalah gambaran mengenai kondisi
kemampuan mengakumulasikan modal pengusaha tape ketan.
58
Tabel 4.10
Kemampuan Mengakumulasikan Modal Pengusaha
Dari tabel 4.10 dapat dilihat bahwa sebagian besar pengusaha (66%) telah
mampu mengakumulasikan modalnya. Sebanyak 20% pengusaha belum mampu
menabung untuk proses produksi selanjutnya karena pendapatan yang diperoleh baru
mampu memenuhi kebutuhan hidupnya (subsistem). Sementara 24% pengusaha belum
bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dari pendapatan yang diperoleh. Akibatnya,
pengusaha-pengusaha yang tidak mampu menabung dari hasil penjualan tape ketan ini
akan mencari modal kembali untuk melanjutkan usahanya. Akan tetapi, kendati belum
mampu menabung dan mengakumulasikan modalnya, pengusaha tape ketan memiliki
ketekunan usaha dan pantang menyerah sehingga masih mampu bertahan.
Tabel 4.11
Dukungan Aspek Modal Terhadap Kemampuan Bertahan
Usaha Tape Ketan
3. Bahan Baku
Aspek selanjutnya yang ikut mempengaruhi keberlanjutan produksi yaitu bahan
baku. Dukungan bahan baku sendiri dapat dilihat dari ketersediaan bahan baku
berdasarkan jenis, jumlah, dan kontinuitasnya dan sumber bahan baku.
Jenis, Jumlah, dan Kontinuitas Bahan Baku
Bahan baku utama untuk membuat tape ketan ini adalah ketan. Jenis ketan yang
dibutuhkan biasa disebut jenis ketan ‘untuk’. Sementara bahan baku kemasan yang
dibutuhkan adalah daun jambu dan ember hitam.
Tabel 4.12
Jumlah Kebutuhan Bahan Baku
Untuk bahan baku ketan, jumlah yang dibutuhkan adalah sebanyak kurang lebih
36 ton. Sementara menurut Dinas Perindustrian dan Perdagangan, ketersediaan ketan di
Kabupaten Kuningan mencapai 100 ton per bulan. Jadi, kebutuhan ketan dapat dipenuhi
karena jumlah ketersediaan ketan mencukupi.
Sementara kebutuhan ember sebanyak 10.390 buah, dan daun jambu adalah
1.039 karung (1 karung rata-rata digunakan untuk 10 ember). Pada dasarnya, daun
60
jambu dan ember hitam mudah diperoleh di pasar-pasar terdekat. Namun, terkadang jika
permintaan meningkat, pengusaha perlu mencari bahan baku ke luar kota.
Tabel 4.13
Ketersediaan dan Keterjangkauan Harga Bahan Baku
Untuk bahan baku utama, yaitu ketan, sebanyak 88% pengusaha mengatakan
bahwa ketan mudah diperoleh dan jumlahnya selalu mencukupi untuk kebutuhan
produksi. Sementara sisanya, yaitu sebanyak 12% mengatakan bahwa bahan baku utama
ketan tidak selalu mencukupi untuk kebutuhan produksi tape ketan. Kesulitan
memperoleh ketan itu biasanya ketika musim lebaran dimana permintaan tape ketan
meningkat 3-4 kali sehingga kebutuhan ketan ikut meningkat pula.
Sementara dari sisi keterjangkauan harga, menurut 96% pengusaha, harga bahan
baku untuk pembuatan tape ketan ini masih terjangkau, dan hanya sebanyak satu
pengusaha (4%) yang merasa harga bahan baku tidak terjangkau. Adapun harga bahan
baku utama yang digunakan, yaitu ketan berkisar antara harga Rp 6.500-Rp 7.500 per
kilogram. Sementara harga bahan baku kemasan yaitu daun jambu rata-rata Rp
10.000/karung, dan harga ember hitam yaitu Rp 5.000-6.000/buah.
Sumber Bahan Baku
Sumber bahan baku ikut mempengaruhi dukungan keberlanjutan produksi.
Dikaitkan dengan tujuan penelitian ini yang berusaha mengkaji kemampuan usaha tape
ketan sebagai motor penggerak pengembangan ekonomi lokal, maka sumber bahan baku
yang ditekankan adalah bahan baku lokal. Karena konsep dari pengembangan ekonomi
lokal itu sendiri adalah memanfaatkan segenap kemampuan lokal dalam
61
mengembangkan wilayahnya. Hal ini juga dapat melihat ketergantungan usaha tape
ketan terhadap bahan baku non-lokal.
Tabel 4.14
Sumber Bahan Baku
Tabel 4.15
Dukungan Aspek Bahan Baku Terhadap Kemampuan Bertahan
Usaha Tape Ketan
Tabel 4.15 menunjukkan bahwa aspek bahan baku masih belum mendukung
sepenuhnya kemampuan bertahan usaha tape ketan. Sehingga dapat dikatakan bahwa
aspek modal masih menjadi kendala bagi usaha tape ketan untuk dapat menjadi motor
penggerak pengembangan ekonomi lokal.
4. Alat Produksi
Dalam hal alat produksi dan teknologi, dalam proses produksi usaha tape ketan ini
tidak dibutuhkan alat dan teknologi yang terlalu tinggi. Berikut adalah alat yang
digunakan dalam produksi tape ketan:
1. Tampah (nyiru) 6. Rak penjemuran
2. Kompor 7. Kantong Plastik
3. Panci biasa 8. Karton
4. Panci email 9. Kipas Angin
5. Sendok kayu
Jadi, dapat dilihat bahwa alat-alat produksi yang digunakan dalam pembuatan
produksi tape ketan masih menggunakan alat-alat tradisional yang sederhana. Tidak
diperlukan alat-alat produksi yang modern atau berteknologi tinggi dalam pembuatannya
karena dengan memanfaatkan alat-alat yang sederhana pun, proses produksi masih tetap
bisa berjalan. Dengan kesederhanaan alat yang dibutuhkan ini, maka pengusaha tape pun
63
dapat memenuhinya karena alat-alat yang dibutuhkan pun mudah diperoleh di pasar-
pasar lokal.
Sekalipun telah ada 2 pengusaha yang memiliki mesin pencuci beras, namun 23
pengusaha lainnya merasa penggunaan teknologi tidak mendesak sampai menghambat
proses produksi. Sebaliknya, pengusaha merasa pengolahan yang serba manual justru
lebih higienis. Penggunaan mesin ditakutkan akan mengurangi kebersihan ketan akibat
pengaruh bahan mesin tersebut. Di sisi lain, modal utama dalam membuat tape ketan
yang baik adalah kebersihan ketika mencuci ketan. Sehingga, dapat dikatakan bahwa
dengan pemanfaatan alat produksi yang masih sederhana pun usaha tape ketan masih
dapat berjalan secara produktif.
Tabel 4.16
Dukungan Aspek Alat Produksi Terhadap Kemampuan Bertahan
Usaha Tape Ketan
Jiwa wirausaha dan kemampuan manajerial pengusaha dapat dilihat dari latar
belakang pendidikan pengelola, pembukuan yang rapih dan teratur, kemampuan
berinovasi, serta telah adanya pembagian tugas kerja yang jelas. Berikut adalah
gambaran kondisi jiwa wirausaha dan kemampuan manajerial pengusaha tape ketan di
wilayah kajian studi.
Tabel 4.17
Kondisi Jiwa Wirausaha dan Kemampuan Manajerial
Pengusaha Tape Ketan
produk yang pernah dilakukan adalah inovasi rasa terhadap tape ketan. Mereka mencoba
membuat tape ketan dengan berbagai rasa seperti durian, strawberry dan melon. Namun,
setelah diadakan percobaan, pengusaha tersebut mengaku hasilnya tidak terlalu
memuaskan karena rasanya tidak terlalu enak. Hanya aromanya saja yang kuat, namun
rasa buahnya sendiri tidak terlalu terasa. Rasa yang alami justru lebih enak dan lebih
terasa ‘tape’-nya. Sehingga percobaan ini dianggap gagal dan tidak pernah diterapkan
dalam produksi selanjutnya.
Selain inovasi, para pengusaha juga belum banyak yang telah memiliki
pembukuan yang rapih dan teratur. Hanya sebanyak 28% pengusaha yang memiliki
pembukuan yang rapih dan teratur, sementara sisanya yaitu sebanyak 72% mengaku
tidak memiliki pembukuan yang rapih dan teratur. Di sisi lain, pembukuan/sistem
administrasi keuangan yang baik akan membantu mengatur kepemilikan pribadi dan
perusahaan. Sehingga, investasi pribadi tidak akan bercampur dengan investasi
perusahaan. Namun, sebagian besar pengusaha masih belum memiliki pembukuan yang
baik, dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap pengelolaan modal. Kurangnya
kestabilan kondisi keuangan ini akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup
usaha tape ketan menjadi terancam.
Sementara dari pembagian kerja, hanya 12% pengusaha yang memiliki
pembagian tugas kerja yang jelas. Sementara 88% sisanya tidak memiliki pembagian
tugas kerja yang jelas. Pembagian tugas kerja yang jelas ini dimiliki oleh unit-unit usaha
yang produktivitasnya lebih tinggi.
Tabel 4.18
Dukungan Aspek Jiwa Wirausaha dan Kemampuan Manajerial Terhadap
Kemampuan Bertahan Usaha Tape Ketan
Cara Pemasaran
Adanya kemudahan distribusi produk merupakan salah satu tolok ukur dukungan
pemasaran terhadap kemampuan bertahan usaha tape ketan. Kemudahan distribusi dapat
ditandai dengan sistem penentuan harga dan sistem pemasaran yang diterapkan oleh
pengusaha tape ketan.
Tabel 4.19
Cara Pemasaran dan Harga Jual Produk Tape Ketan
Dari tabel 4.19 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan harga produk di ketiga
kecamatan. Harga yang paling tinggi adalah produk tape ketan dari Kecamatan Cigugur,
disusul oleh dari Kecamatan Cibingbin. Hal ini dikarenakan pengusaha di Cigugur dan
Cibingbin hanya menjual produk tape ketan di tempat (di rumah saja), dan tidak
mendistribusikannya ke toko-toko seperti tape ketan produk Kecamatan Cibeureum. Hal
ini berkaitan dengan sistem titip yang diterapkan oleh toko-toko berisiko tinggi dapat
merugikan pengusaha. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa usaha tape ketan
memiliki modal yang terbatas dan perputaran modalnya cepat. Sehingga penetapan
sistem titip akan memperkecil margin keuntungan yang mereka peroleh.
Selain itu, persaingan dengan produk-produk dari Kecamatan Cibeureum juga
sangat ketat, sehingga mereka memilih untuk menjual di tempat saja. Hal ini
dikarenakan produk-produk dari Kecamatan Cibeureum memiliki harga yang seragam.
Seolah-olah ada peraturan tidak tertulis bagi para pengusaha tape ketan di Cibeureum
untuk tidak dapat menaikkan ataupun menurunkan harga produk seenaknya. Dari pihak
agen (toko-toko) sendiri juga lebih memilih untuk menjual produk-produk dari
Kecamatan Cibeureum karena harganya yang relatif lebih murah.
68
Meski harga jual produk dari Kecamatan Cigugur ini lebih tinggi, namun jika
dari segi produktivitas, tingkat produksi di Cigugur tidak setinggi di Kecamatan
Cibeureum. Rata-rata, pengusaha tape ketan di Kecamatan Cigugur berproduksi
sebanyak 2 kali seminggu. Sementara unit-unit usaha tape ketan di Kecamatan
Cibeureum, bisa sampai 3-5 kali seminggu, bahkan terdapat unit usaha yang telah yang
berproduksi setiap hari. Hal ini dikarenakan pemasaran produk-produk Kecamatan
Cibeureum lebih luas dibandingkan produk dari Kecamatan Cigugur dan Cibingbin.
Wilayah Pemasaran
Tolok ukur lain dari aspek pemasaran adalah adanya wilayah pemasaran yang
luas (mencapai wilayah luar Jawa Barat) dan bukan hanya sekedar dipasarkan di lokal
atau wilayah kabupaten-kabupaten tetangga saja. Dengan wilayah pemasaran yang lebih
luas, maka tingkat penjualan serta daya saing produk tape ketan sebagai ‘trade mark’
Kabupaten Kuningan dapat meningkat. Adapun gambaran mengenai wilayah pemasaran
produk tape ketan dapat dilihat pada tabel 4.20
Tabel 4.20
Wilayah Pemasaran Produk Tape Ketan
Dari segi wilayah pemasaran, meski sebanyak 16% pengusaha telah memasarkan
produknya sampai luar kabupaten, bahkan sebanyak 12% pengusaha telah mencapai
beberapa wilayah luar Jawa Barat, seperti Jakarta dan Brebes, namun kebanyakan
pengusaha, yaitu sebanyak 72% masih memasarkan produknya sebatas ruang lingkup
lokal saja. Keterbatasan wilayah pemasaran juga mengindikasikan bahwa permintaan
pasar (demand) produk tape ketan di luar Jawa Barat masih rendah, sehingga jika
dilakukan ekspansi pemasaran, maka kemungkinan terjadinya over supply menjadi
tinggi. Maka dari itu, dilihat dari sisi wilayah pemasaran, usaha tape ketan masih belum
memiliki kemampuan bertahan yang kokoh.
69
Tabel 4.21
Jarak Unit Usaha Tape Ketan ke Pasar dan Toko
Tabel 4.21 menunjukkan bahwa jarak lokasi usaha tape ketan ke pasar relatif
jauh, sehingga menyebabkan akses usaha ke pasar dinilai rendah. Sehingga dukungan
sarana transportasi pribadi akan sangat diperlukan. Namun, kondisi di lapangan
menunjukkan bahwa baru terdapat 8 (32%) pengusaha yang telah memiliki sarana
transportasi pribadi. Sementara sisanya (68%) hanya mengandalkan sarana transportasi
umum sehingga memerlukan ongkos transportasi yang lebih tinggi.
Tabel 4.22
Dukungan Aspek Pemasaran Terhadap Kemampuan Bertahan
Usaha Tape Ketan
Tabel 4.23
Asal Tenaga Kerja Usaha Tape Ketan
Pada dasarnya, tenaga kerja pada usaha tape ketan seluruhnya merupakan
masyarakat lokal. Artinya, usaha tape ketan telah menjadi alternatif sumber pendapatan
serta mampu meningkatkan perekonomian masyarakat lokal. Namun, keterlibatan
keluarga sebagai tenaga kerja juga menunjukkan bahwa produktivitas usaha tape ketan
masih rendah. Sementara besar persentase penyerapan tenaga kerja lokal pada usaha
tape ketan dapat dilihat pada tabel 4.24 berikut.
Tabel 4.24
Persentase Penyerapan Tenaga Kerja Lokal Usaha Tape Ketan
Dari tabel 4.24 dapat dilihat seberapa besar penyerapan tenaga kerja lokal usaha
tape ketan yang ada di ketiga wilayah kajian studi. Angka penyerapan tenaga kerja ini
dapat diperoleh dengan menghitung persentase jumlah total tenaga kerja yang bekerja
pada usaha tape ketan dengan jumlah total penduduk perempuan yang bekerja. Pada
hari-hari biasa, penyerapan tenaga kerja usaha tape ketan adalah sebesar 1,47% dari
jumlah total penduduk perempuan yang bekerja. Sementara pada saat-saat lebaran,
penyerapan tenaga kerja meningkat sampai 3,49%.
Selain mampu menyerap tenaga kerja, bagi sebanyak 22% tenaga kerja sendiri,
bekerja di dalam usaha tape ketan juga telah menjadi pekerjaan satu-satunya. Sementara
bagi 64% tenaga kerja, bekerja di dalam usaha tape ketan merupakan pekerjaan utama.
Dari 64% tenaga kerja yang menjadikan menjadikan usaha tape ketan sebagai pekerjaan
utama, 58% memiliki pekerjaan sampingan sebagai petani, dan 6% lainnya memiliki
pekerjaan sampingan sebagai peternak. Artinya, pekerjaan sebagai tukang tape ketan
telah menjadi tumpuan hidup bagi sebagian besar tenaga kerja.
72
Tabel 4.25
Dukungan Kemampuan Menciptakan Lapangan Kerja
Tabel 4.26
Perkembangan Usaha Tape Ketan
Dari tabel 4.27 dapat dilihat bahwa usaha tape ketan berkembang sejak 10 tahun
terakhir. Unit usaha tape ketan paling pertama adalah unit usaha berdiri sejak 38 tahun
yang lalu, dan yang terbaru adalah unit usaha yang berdiri sejak dua tahun yang lalu.
Usaha tape ketan paling banyak berdiri 6-10 tahun yang lalu yaitu mencapai sebanyak 9
unit usaha (36%). Dan jumlah ini terus bertambah dari tahun ke tahun. Meskipun tingkat
pertumbuhannya dapat dikatakan cukup rendah, namun usaha tape ketan selalu hidup
dan pertambahan ini menunjukkan bahwa usaha tape ketan masih dilihat sebagai
peluang usaha sebagai alternatif sumber pendapatan.
Motivasi Tenaga Kerja
Motivasi tenaga kerja turut menentukan kemampuan usaha tape ketan untuk
terus tumbuh dan berkembang. Jika tenaga kerja memiliki motivasi yang tinggi dalam
mendirikan usaha serupa, maka peluang tumbuh dan berkembangnya usaha tape ketan
akan semaking meningkat. Namun, dari hasil survei diperoleh keterangan bahwa
motivasi tenaga kerja dalam mendirikan usaha tape ketan masih rendah.
Tabel 4.27
Motivasi Tenaga Kerja dalam Mendirikan Usaha Tape Ketan
Dari tabel 4.28 dapat dilihat bahwa hanya terdapat 26% tenaga kerja yang
memiliki keinginan untuk mendirikan usaha tape ketan. Namun, sisanya yaitu sebanyak
74% tenaga kerja tidak memiliki keinginan untuk mendirikan usaha tape ketan.
Keterbatasan modal dijadikan alasan oleh sebanyak 60% tenaga kerja yang
menyebabkan rendahnya motivasi mereka dalam mendirikan usaha tape. Sementara
alasan lain yang diungkapkan tenaga kerja adalah karena jumlah usaha tape ketan sudah
cukup banyak sehingga untuk mendirikan usaha serupa, persaingannya akan terlalu
ketat.
Dukungan dan Motivasi Masyarakat
Dukungan masyarakat akan turut mempengaruhi perkembangan usaha tape ketan
di masa mendatang. Jika masyarakat mendukung dan memperoleh manfaat dari
keberadaan usaha tape ketan, maka usaha tape ketan berpotensi untuk terus semakin
bertambah. Sebaliknya, jika masyarakat tidak mendukung dan hanya memperoleh
dampak buruk, usaha tape ketan sulit untuk bisa tumbuh dan berkembang.
Tabel 4.28
Pandangan Masyarakat Lokal Mengenai Usaha Tape Ketan
Dilihat dari tabel 4.28, dukungan masyarakat terhadap usaha tape ketan yang ada
di wilayah kajian studi sangat tinggi yaitu mencapai 96%. Hanya sebanyak 2% saja yang
tidak mendukung keberadaan usaha tape ketan. Menurut masyarakat lokal, usaha tape
ketan memberikan banyak manfaat bagi mereka. Sebanyak 15% masyarakat
mengungkapkan bahwa usaha tape ketan bisa dijadikan sebagai sumber lapangan
pekerjaan dan pendapatan bagi masyarakat lokal. Namun, mayoritas masyarakat (62%)
merasakan manfaat keberadaan usaha tape ketan ini hanya sebagai konsumen, baik
untuk dikonsumsi sendiri maupun untuk dijadikan oleh-oleh ketika mereka keluar kota.
Meskipun begitu, hal ini juga bisa mengindikasikan bahwa masyarakat lokal mendukung
akan adanya usaha tape ketan.
Mengenai dampak buruk yang dihasilkan, sebanyak 97% masyarakat
menyatakan bahwa tidak ada dampak buruk yang mereka rasakan dengan adanya usaha
tape ketan. Hal ini berkaitan dengan proses pembuatan tape ketan sendiri yang sederhana
dan tidak menghasilkan limbah maupun polusi.
Adapun gambaran mengenai motivasi masyarakat lokal dalam mendirikan usaha
tape ketan dapat dilihat ada tabel 4.29 berikut.
Tabel 4.29
Motivasi Masyarakat Lokal dalam Mendirikan Usaha Tape Ketan
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa motivasi masyarakat lokal dalam
mendirikan usaha tape ketan ini masih rendah. Hanya sebanyak 37% masyarakat yang
77
memiliki keinginan untuk menjadi pengusaha tape ketan, sementara 61% menyatakan
bahwa mereka tidak memiliki keinginan tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa
meskipun usaha tape ketan mendapat dukungan dari masyarakat lokal, namun motivasi
masyarakat dan tenaga kerja dalam mendirikan usaha tape ketan yang rendah
mengindikasikan bahwa usaha tape ketan belum mampu merangsang penciptaan usaha-
usaha sejenis di masa mendatang serta belum mendukung usaha tape ketan sebagai
motor penggerak pengembangan ekonomi lokal.
Gambar 4.2
Peluang Penciptaan Usaha Tidak Sejenis
Usaha ember
Toko Oleh-Oleh
Khas Kuningan Usaha Tape
Ketan Petani ketan
Restoran
Pemasok
daun jambu
keberadaan usaha tape ketan adalah toko oleh-oleh khas Kuningan dan pemasok daun
jambu. Sementara usaha ember, petani ketan, serta restoran tidak tumbuh.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa penggunaan bahan baku ember
dan ketan dalam usaha tape ketan masih bergantung pada produk non-lokal. Sehingga,
belum ada usaha-usaha ember maupun petani ketan yang berkembang sebagai bangkitan
dari usaha tape ketan. Lain halnya dengan daun jambu yang masih banyak menggunakan
produk lokal. Meskipun begitu, masih ada 20% pengusaha yang bergantung kepada
produk daun jambu non-lokal. Hal ini mengindikasikan bahwa usaha daun jambu belum
bisa tumbuh secara optimal untuk dapat memenuhi kebutuhan usaha tape ketan.
Toko oleh-oleh sebagai sarana pemasaran produk tape ketan banyak berdiri di
kawasan-kawasan pasar, ataupun simpang jalan yang ramai dan dipadati orang. Diantara
banyak toko oleh-oleh yang berdiri, terdapat satu kawasan yang paling ramai dikunjungi
masyarakat yaitu kawasan simpang tiga Cijoho. Di sepanjang jalan tersebut dipadati
oleh toko-toko yang menjual berbagai makanan kecil, termasuk di dalamnya adalah
produk tape ketan. Keberadaan toko-toko yang menjual produk tape ketan ini adalah
merupakan usaha bangkitan yang muncul dari keberadaan usaha tape ketan.
Sementara usaha restoran sendiri belum dapat bekerja sama dengan usaha tape
ketan untuk memanfaatkan produknya. Sehingga keterkaitan usaha tape ketan dengan
restoran yang seharusnya bisa terjalin, pada kenyataannya belum bisa bekerja sama dan
saling menguntungkan.
Tabel 4.30
Dukungan Kemampuan Merangsang Pertumbuhan
Kegiatan Ekonomi Baru
Tabel 4.30 menunjukkan bahwa kemampuan usaha tape ketan dalam merangsang
pertumbuhan kegiatan ekonomi baru, baik yang sejenis maupun tidak sejenis masih
belum sepenuhnya mendukung usaha tape ketan sebagai motor penggerak
pengembangan ekonomi lokal di Kecamatan Cibeureum, Cibingbin, dan Cigugur.
Tabel 4.31
Jumlah Sekolah Menurut Tingkat Pendidikan
Tahun 2006
Hal ini berkaitan dengan adat istiadat dimana tanah-tanah di pedesaan umumnya belum
memiliki sertifikat karena masyarakat menganggap tanah/rumah yang mereka miliki
merupakan warisan dan tidak perlu memiliki sertifikat sebagai bukti keabsahannya.
Selain itu, akses untuk mendapatkan sertifikat tanah pada lembaga BPN juga
menyulitkan para pengusaha.
Berikut adalah prosedur untuk memperoleh sertifikat tanah/rumah:
1. Membuat surat rekomendasi hak atas tanah negara ke kantor kelurahan dan
kecamatan.
2. Tidak ada tunggakan apapun mengenai PBB (PBB telah lunas).
3. Mendaftarkan ke BPN yang akan dikenai biaya administrasi sebesar 2% dari
NJOP dan biaya untuk pengukuran.
4. Setelah SK dari BPN keluar, maka dikenai biaya bea perolehan hak atas
tanah dan bangunan.
BPHTB = (Total NJOP Bumi dan Bangunan – Rp 60 juta) x 5%
5. Bukti pembayaran BPHTB yang telah lunas diserahkan ke BPN dan
selanjutnya menunggu sertifikat tanah keluar.
Dari paparan tersebut dapat dilihat bahwa prosedur sertifikasi tanah cukup
panjang serta memerlukan biaya yang tidak sedikit. Sementara kemampuan mereka
sebagai pengusaha kecil tidak dapat memenuhi syarat dan ketentuan tersebut.
• Kurangnya Kepercayaan Pihak Pemberi Modal terhadap UKM
Menurut apa yang dipaparkan oleh Dinas UKM dan Koperasi, BUMN pernah
memberikan bantuan pinjaman/kredit kepada UKM-UKM yang ada di Kabupaten
Kuningan sebesar Rp 5 miliar. Namun, pada kenyataannya terjadi kredit macet sampai
>20%. Dengan kemacetan ini, BUMN kemudian menjadi ‘distrust’ untuk memberikan
bantuan modal kepada UKM-UKM di Kabupaten Kuningan, termasuk kepada para
pengusaha tape ketan.
Sementara itu, pihak bank juga sulit mempercayakan usaha kecil dalam
pemberian kredit dengan berbagai alasan, seperti usaha kurang menguntungkan, dan
risiko besar karena jaminan tidak jelas. Selain itu, berdasarkan analisis dapat dilihat
83
bahwa manajemen yang diterapkan pada usaha tape ketan adalah manajemen
kekeluargaan sehingga sistem pembukuan tidak baku (dana keluarga dan usaha kerap
bercampur). Akibatnya, laporan keuangan sulit diperiksa.
• Kurangnya Dukungan Pemerintah dalam Hal Pemberian Dana
Umumnya, kendala yang dihadapi para pengusaha adalah masalah permodalan,
tapi Disperindag dan Diskop UKM tidak bisa mengupayakan, atau tidak memiliki
wewenang untuk memberikan bantuan dana. Disperindag dan Diskop UKM hanya
berperan sebagai fasilitator. Dinas bertugas untuk melakukan pendataan UKM mana
sajakah yang layak diberi modal untuk selanjutnya direkomendasikan kepada pihak
pemberi modal seperti bank, BUMN, atau Dinas Keuangan Pusat. Di sisi lain, jumlah
UKM di Kabupaten Kuningan yang mengajukan permintaan bantuan modal sangat
banyak sehingga perlu dilakukan seleksi untuk menentukan UKM mana yang paling
layak memperoleh rekomendasi bantuan modal. Adapun bantuan dana bergulir yang
pernah diberikan dinas nyatanya tidak dapat dimanfaatkan secara optimal oleh para
pengusaha tape ketan.
Tabel 4.32
Status Usaha Tape Ketan Bagi Pengusaha
Bagi 12 pengusaha (48%) usaha tape ketan merupakan sumber penghasilan satu-
satunya. Sementara bagi 12 pengusaha lainnya (48%), usaha tape ketan menjadi sumber
penghasilan utama, di luar pekerjaan sampingan yang rata-rata merupakan petani dan
peternak. Jadi dapat dilihat bahwa usaha tape ketan telah menjadi tulang punggung
perekonomian sebagian besar pengusaha. Kondisi ini lantas mempengaruhi kegigihan
pengusaha tape ketan untuk dapat terus mengakumulasikan modalnya sehingga dapat
menjaga keberlangsungan hidup usahanya tersebut.
Tabel 4.33
Luas Lahan Sawah (Ha) dengan Irigasi
Tahun 2006
sekitar 100 hari maka untuk ketan dibutuhkan waktu sekitar 130 hari sehingga petani
lebih memilih menanam padi yang membutuhkan waktu lebih singkat. Selain itu, sisa
waktu tanam yang dimiliki juga bisa dimanfatkan dengan menanam tanaman lainnya
seperti palawija, kacang tanah, atau jagung.
• Kondisi Mikro Kecamatan Cigugur
Kondisi mikro di Kecamatan Cigugur yang beriklim dingin menyebabkan lahan
pertanian di kecamatan tersebut lebih banyak ditanami oleh berbagai jenis sayuran.
Selain itu, bidang peternakan lebih berkembang.
• Minat Petani Menanam Ketan sangat Rendah
Dilihat dari risiko penanaman ketan yang lebih tinggi dari jenis padi biasa
dibandingkan dengan penghasilan yang akan diperoleh, serta produktivitasnya yang
rendah, maka minat petani untuk menanamam ketan di Kabupaten Kuningan sangat
rendah. Selain itu, kebutuhan ketan yang merupakan jenis beras industri jauh lebih
rendah dibandingkan padi yang merupakan makanan pokok juga membuat petani
enggan menanam ketan.
kajian studi sehingga mendorong pengusaha untuk lebih memilih menggunakan sistem
padat karya dan menggunakan alat produksi yang sederhana.
oleh pengusaha terhadap penjualan produk. Daya tahan tape ketan yang singkat menjadi
alasan sulitnya dilakukan pemasaran lebih luas.
• Tingginya Biaya Transportasi
Lokasi usaha tape ketan di Kecamatan Cibeureum berada cukup jauh dari lokasi
pasar. Jarak tempuh yang tinggi tentu akan mempengaruhi biaya transportasi, dan biaya
transportasi sendiri akan mempengaruhi biaya produksi. Dengan biaya transportasi yang
tinggi, pada akhirnya akan mempengaruhi harga jual produk tape ketan itu sendiri.
Harga jual yang tinggi ini ditakutkan para pengusaha akan mempengaruhi tingkat
penjualan produk mereka. Sehingga mereka enggan menanggung risiko ‘tidak laku’ dan
lebih memilih untuk memasarkannya di wilayah lokal saja.
• Keinginan Pengusaha untuk Mempertahankan Citra sebagai ‘Makanan Khas’
Daerah Kabupaten Kuningan
Tape ketan merupakan makanan khas daerah Kabupaten Kuningan. Hal ini lantas
membuat pengusaha takut jika mereka menjualnya di daerah lain, maka ke-‘khas’-an
tape ketan ini pun akan berkurang. Karena justru ke-‘khas’-an inilah yang menarik para
konsumen untuk membeli produk tape ketan. Selain itu, keterbatasan wilayah pemasaran
juga akan menimbulkan rasa penasaran para konsumen dari luar Kuningan untuk
memperoleh produk tape ketan. Sehingga, tingkat penjualan di lokal akan lebih tinggi.
• Fasilitas yang Mendukung Pemasaran Masih Terbatas
Tape ketan merupakan makanan khas Kabupaten Kuningan yang biasa dijadikan
oleh-oleh. Karena itu, terdapat beberapa fasilitas yang mendukung pemasaran tape
ketan, diantaranya adalah tempat wisata, hotel, serta restoran. Selain didukung oleh
fasilitas hiburan, fasilitas ekonomi seperti pasar dan pertokoan juga mempengaruhi
pemasaran tape ketan.
Tempat wisata yang terdapat di Kecamatan Cigugur adalah Kolam Renang
Cigugur, Gua Maria, Taman Purbakala Cipari, Palutungan, Gunung Ciremai, Curug
Ciputri, Curug Landung, Gedung Paseban (museum/sanggar seni). Sementara di
Kecamatan Cibeureum maupun Cibingbin tidak terdapat tempat wisata.
89
Tabel 4.34
Keberadaan Sarana Produksi Pemasaran dan Persewaan
Tahun 2006
Tabel 4.34 menunjukkan bahwa fasilitas yang menunjang pemasaran tape ketan
masih kurang memadai. Di Kecamatan Cibeureum, hanya terdapat sebuah pasar
swalayan dan 6 buah rumah makan yang dapat menunjang pemasaran. Sementara
fasilitas lainnya masih belum tersedia. Keterbatasan sarana pemasaran ini sendiri, seperti
telah dijelaskan sebelumnya, terkait dengan lokasi Kecamatan Cibeureum dan Cibingbin
yang berada di perbatasan dan jauh dari ibukota kabupaten.
Di lain pihak, fasilitas rumah makan dan kelompok pertokoan di Kecamatan
Cigugur masih belum dapat dimanfaatkan oleh pengusaha ketan di Cigugur untuk
menunjang pemasaran produknya, karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
mereka lebih memilih untuk memasarkannya di tempat saja.
• Daya Saing Produk masih Rendah
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa hampir tidak ada inovasi produk
dalam usaha tape ketan, baik inovasi terhadap pengembangan produk tape ketan itu
sendiri maupun kemasannya. Pada tape ketan yang diproduksi Kabupaten Kuningan,
tape-tape ketan yang telah dibungkus oleh daun jambu air ini dikemas lagi ke dalam
ember hitam. Pengemasan ke dalam ember ini dianggap kurang menarik. Padahal,
desain kemasan juga merupakan daya pikat atau ‘iklan’ tersendiri, suatu bujukan supaya
orang tertarik untuk menikmati isinya, atau dibeli (laku).
Ketidakmampuan dalam melakukan Research and Development akan
mempengaruhi kemampuan produksi tape ketan menjadi terbatas baik dari segi kualitas
dan kuantitas. Hal ini lantas menjadikan usaha tape ketan memiliki jangkauan pasar
yang relatif terbatas dan menyebabkan daya saing produk tape ketan menjadi rendah. Di
90
sisi lain, keberadaan pesaing produk makanan dari daerah lain tentu merupakan faktor
yang perlu mendapatkan perhatian, meskipun untuk produk sejenis, usaha tape ketan
tidak memiliki pesaing. Daya saing produk yang rendah dan pemasaran yang terbatas ini
menunjukkan bahwa pengusaha tape ketan masih kurang tanggap akan situasi
persaingan dalam pasar.
• Keterbatasan Informasi Mengenai Pemasaran
Informasi merupakan sumber daya yang dapat mendukung kegiatan usaha kecil.
Informasi mengenai pemasaran bisa meliputi selera konsumen, peluang pasar, cara
promosi, serta situasi persaingan. Di sisi lain, akses pengusaha tape ketan terhadap
informasi masih minim. Keterbatasan ini mengakibatkan perluasan pasar produk tape
ketan menjadi terhambat.
kecamatan dengan IPM terendah di Kabupaten Kuningan. Faktor rendahnya IPM ini
diantaranya dapat dilihat dari komponen pendidikan dan daya beli masyarakatnya.
Rendahnya pendidikan masyarakat pada wilayah kajian studi telah dijelaskan
sebelumnya. Sementara jika dilihat dari komponen daya beli, profil mata pencaharian
penduduk Kabupaten Kuningan yang sebagian besar berada di sektor pertanian (39,36%)
cukup mempengaruhi kemampuan daya beli masyarakat secara menyeluruh. Karena
produktivitas di sektor pertaniannya sendiri masih rendah, menyebabkan daya beli
masyarakatnya pun menjadi rendah. Dengan kondisi masyarakatnya ini, maka usaha
tape ketan dapat dijadikan alternatif masyarakat untuk memperoleh tambahan
pendapatan.
• Kesempatan Kerja yang Rendah
Kesempatan kerja yang rendah pada suatu wilayah salah satunya dapat ditandai
oleh keberadaan industri pada wilayah tersebut.
Tabel 4.35
Keberadaan Industri Menurut Skala
Tahun 2006
Industri
Kecamatan Besar Sedang UKM UKM Dibina Diskop PUKM
Cibingbin - - 246 738
Cibeureum - 1 198 582
Cigugur - 1 1.012 3.036
Sumber: Dinas Koperasi dan UKM dan BPS Kabupaten Kuningan, 2007
Tabel 4.36 menunjukkan bahwa tidak ditemukan industri besar pada wilayah
kajian studi. Sementara industri sedang hanya terdapat di Kecamatan Cibeureum dan
Cigugur. Di sisi lain, jumlah UKM baik yang dibina maupun yang tidak dibina Dinas
Koperasi jauh lebih banyak dibandingan dengan industi besar dan sedang di ketiga
wilayah kajian studi. UKM menjadi jawaban dari sulitnya kesempatan kerja bagi
masyarakat lokal. Sementara seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa mayoritas
penduduk di Kecamatan Cibeureum, Cibingbin, dan Cigugur merupakan lulusan SD,
dan pada umumnya, lulusan SD tidak memiliki keahlian/keterampilan yang tinggi
92
sehingga UKM seperti usaha tape ketan merupakan alternatif sumber pendapatan bagi
masyarakat lokal di tengah ketatnya persaingan dunia kerja.
Jadi, dapat dikatakan bahwa tidak terdapat cukup banyak pilihan pekerjaan di
wilayah kajian studi. Selain mata pencaharian di sektor pertanian, usaha tape ketan telah
menjadi katup pengaman perekonomian bagi masyarakat lokal, terutama bagi kaum
perempuan.
Namun, jika dilihat dari peluang penyerapan tenaga kerja lokal di masa
mendatang yang masih belum mendukung, faktor penghambatnya adalah:
• Perkembangan Jumlah Usaha Tape Ketan yang Lambat
Jumlah penyerapan tenaga kerja sangat berkaitan dengan jumlah usaha tape
ketan itu sendiri. Di sisi lain, jumlah peningkatan usaha tape ketan di wilayah kajian
studi dapat dikatakan masih rendah yaitu 3-9 usaha setiap lima tahunnya. Hal ini
kemudian berpengaruh terhadap kemampuan menyerap tenaga kerja lokal di masa
mendatang yang masih rendah.
usaha serupa. Namun, pada kenyataannya, persaingan ini dianggap terlalu berisiko dan
menutup peluang mereka untuk mendirikan usaha tape ketan.
• Iklim Investasi Rendah
Iklim investasi dan bisnis yang sehat dan kondusif menjadi daya tarik untuk
menciptakan usaha-usaha baru dan kesempatan kerja yang mendorong pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Produk unggulan seperti tape ketan
hendaknya terus dipacu pertumbuhan dan kualitasnya sehingga menjadi ‘trade mark’
Kabupaten Kuningan.
Tabel 4.36
Realisasi Investasi Dalam dan Luar Neger i
Tahun 2006
Menurut tabel 4.37, iklim investasi di wilayah kajian studi memang dapat
dikatakan sangat rendah. Sementara penciptaan usaha-usaha baru baik yang berkaitan
maupun mendukung usaha tape ketan memerlukan dukungan dari segi investasi. Tidak
adanya investasi juga menyebabkan harga bahan baku kemasan tape ketan, yaitu ember
hitam, lebih tinggi dan tidak bisa bersaing dengan produk non-lokal.
Sementara kesulitan lainnya yang dihadapi dalam menciptakan usaha-usaha tidak
sejenis juga sangat terkait dengan keterbatasan persediaan bahan baku lokal yang telah
dijelaskan sebelumnya.
4.3 Penutup
Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa aspek tenaga kerja dan alat produksi
telah mendukung kemampuan bertahan usaha tape ketan. Namun, aspek modal, bahan
baku, serta jiwa wiausaha dan kemampuan manajerial masih belum mendukung karena
94
masih menghadapi kendala. Sehingga dapat dikatakan kemampuan bertahan usaha tape
ketan masih kurang mendukung usaha tape ketan sebagai motor penggerak
pengembangan ekonomi lokal.
Usaha tape ketan telah mampu menyerap sumber daya manusia lokal sebagai
tenaga kerja. Namun, untuk tenaga kerja lokal di masa mendatang, tingkat
penyerapannya masih rendah. Maka dapat dikatakan bahwa dilihat dari kemampuan
menciptakan lapangan kerja masih kurang mendukung usaha tape ketan untuk dapat
menjadi motor penggerak pengembangan ekonomi lokal.
Sementara penciptaan usaha-usaha baru baik yang sejenis maupun yang tidak
sejenis sebagai bangkitan dari keberadaan usaha tape ketan masih rendah. Sehingga jika
dilihat dari kemampuan merangsang pertumbuhan kegiatan ekonomi baru yang tidak
mendukung, usaha tape ketan dapat dikatakan belum mampu menjadi motor penggerak
pengembangan ekonomi lokal.