Anda di halaman 1dari 24

UTOPIS

Cast:

- Guru: Lukman
- Rizal (Petani & Jurnalis): Ibnu
- Fikar (Polisi): Arkan
- Dinda (Voulenteer): Temen Gaida
- Isal (Pemuka Agama): Rafly
- Minus belum ada Iban: ----

Present:

- Petani & Jurnalis: Rizal


- Voulenteer (Main): Dinda
- Polisi (Main): Fikar
- Pemuka Agama: Isal
- Sidekick Rizal dan cucu Lukman: Iban
- Istri Iban: Talia
- Voulenteer (Side): Sandra, Pawa
- Kapolsek: Agil
- Bos Pabrik: Iput
- Asisten Iput: ayU, Nurin
- Polisi (Side): Kamil, Mukti, Kamel, Adrian, Iko
- Warlok: Iqbal, Shofi, Nadya, Marin, Rafi, Andin, Gaida, Salwa
- Oknum Warlok: Lukman, Iin
- Geng Cantik SMK: Salwa, Nurin, Gaida, Ayu, Ana
- Departemen kesehatan :Cikal

Extras: Rudi, Indra, Zahra, Dika, Iko, Awan, Cikal, Tantan, Neneng, Bambang, Iqbal

Kostum :

- Geng SMK : Baju SMA


- Voulenteer : Jas Lab Putih
- Polisi : Zero Nine
- Pemuka Agama : Gamis/Batik Panjang, Peci/Kopeah
- Petani : Flanel/PDH Kasual
- SideKick : Kaos Oblong
- Warlok cewe : Daster
- Warlok Cowo : Kaos oblong,Sarung,Kupluk
- Bos Pabrik : Kemeja,rok span,high heels
- Asisten Iput : Hitam Putih
- Oknum Warlok : Hitam hitam, Buff, topi

Properti :

- Poster
- Alat Kedokteran
- Tikar
- Samping
- Tandu
- Pentung
- Face shield
- Perisai
- Toa
- Iket tangan
- Ember
- Tas Bos Pabrik
NARATOR: Latar dan Lampu menggambarkan kehangatan *lampu kuning

Nun jauh dari keriuhan kota, terdapat sebuah desa dengan keasriannya di mana pepohonan menghiasi
sepanjang jalan, sungai mengalir dengan kejernihan airnya, juga kesegaran udara yang rasanya mustahil
untuk meninggalkan tanah dengan segala kekayaannya ini.

Tinggallah sekelompok masyarakat yang bergantung dari hasil alam dengan wariskan ilmu turun-
temurun dari pendahulunya, menjadikan mereka mampu mengolah dan menghidupi lingkungannya.

Sore itu di sebuah ladang, tempat dimana penduduk beristirahat dari rutinitasnya. Bercocok tanam
merupakan pekerjaan pokok para penduduk, dengan tanaman padi yang tumbuh subur disana mampu
untuk menghidupi setiap keluarganya.

Di samping itu terlihat anak-anak yang sedang bermain, rasanya tak terbesit lelah di benak mereka
dengan riang nya belarian dan bercanda kesana kemari. Di antara anak-anak itu ada sekumpul sahabat
yang selalu bersama yaitu Rizal, Isal, Fikar, dan Dinda, mereka selalu menghiasi pemandangan di ladang
itu terutama di sore hari sambil menunggu waktu panggilan maghrib.

Pada waktu bersamaan datanglah seorang kakek yang sudah tidak asing bagi mereka, dihampirilah
kakek itu dengan hangat dan cerita pun dimulai.

SCENE 1: Anak-anak bermain riang gembira

Back sound: Sherina – Persahabatan

Dialog:

Ijal: “Temen-temen.. ada kakek!”.

4 sahabat: “Hai kakek!”.

Ijal: :Kakek! Rasanya sudah rindu saja walaupun baru kemarin berjumpa”.

Kakek: “Assalamualaikum.. apa kabar cucu-cucuku?” Tanya kakek dengan wajah ramahnya yang khas.

4 sahabat: “Waalaikumussalam kakek.. Alhamdulillah kami sehat!”.

Fikar: “Tubuhku kuat!” tandas Fikar diiringi dengan irama lagu yang pada saat itu hits sekali.

Ijal & Isal: “Karena ibuku..”.

Dinda: “Hey!” tegur Dinda diikuti dengan gelak tawa Fikar, Ijal dan Isal.

Ijal: “Kakek! Aku penasaran dengan cerita kemarin.. tentang perjuangan para pemuda itu!”.

Dinda: “Iya, soalnya kemarin belum selesai kan?”.

Kakek: “Hmm.. kemarin sampai mana ya kakek bercerita?”.

Ijal: “Tentang persaudaraan kek.. di mana pemuda-pemuda yang berbeda suku itu bisa bersatu untuk
melawan penjajahan!”.
Kakek: “Oh iya ijal.. betul sekali! Dahulu sebelum nusantara bersatu, masyarakat itu hidup dengan suku
dan adat yang berbeda-beda namun dengan keberagaman itu pula lah mereka mampu membebaskan
tanah air ini dari penindasan para penjajah”.

Isal: “Bagaimana bisa begitu kek?” tanya Isal penasaran.

Kakek: “Bagaimana dan karena apa kita bisa sukses merebut kemerdekaan bukan? Karena kita tidak rela,
tidak rela dengan keadaan tanah air yang kita tinggali ini dirampas oleh sekolompok manusia serakah.
Sehingga mereka tersadar sebagaimana perintah Yang Maha Kuasa, bahwa manusia itu diciptakan untuk
saling mengenal dan dari kebersamaannya mampu untuk mengelola serta memakmurkam seisi alam”.

Fikar: “Apakah penjajahan bakal terjadi lagi kek?”.

Kakek: “Pasti akan terjadi lagi Cu, namun dalam bentuk yang berbeda dan kita pun pasti melawan
musuh berbeda pula. Seorang tokoh bangsa pernah berpesan ‘Perjuanganku lebih mudah karena
melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri’. Maka dari
itu, apa yang diperjuangkan para pahlawan harus kita jaga, karena itu adalah bentuk syukur kita kepada
Yang Maha Kuasa”.

(Keempat sahabat itu pun saling bertatapan).

(Narator: Latar lampu menggambarkan kehangatan)

20 tahun kemudian, zaman sudah berubah, digitalisasi mulai merata di segala aspek kehidupan. Kaum
tua yang beradaptasi dengan perubahan zaman berusaha untuk tetap berbaur dengan realitas hari ini,
sedangkan di sisi lain, kaum muda yang mulai disibukan dengan kotak-kotak bercahaya digenggaman
tangannya, seolah ajaran orang tua terdahulu yang menjunjung tinggi budi pekerti perlahan luntur. Kini,
kaum muda lebih mementingkan eksistensi, keuntungan, jabatan, karier, tanpa melihat polemik yang
muncul di sekitar mereka.

(SCENE 2)

Di sebuah cofee shop, terdapat sekumpulan darah muda sedang asik memainkan ponsel mereka, satu
insan mencoba berinteraksi usai melihat keresahan yang dilihatnya di salah satu artikel media online. Ia
membaca berita terkait dengan pencemaran lingkungan, tak hanya alam yang terdampak, manusia di
dalamnya pun terancam kesehatan mereka, bahkan paling buruk harus menghadapi kematian.

Tak jauh dari muda-mudi tersebut, terlihat seorang pemuda yang sedang sibuk mengaduk cangkir
kopinya dan tidak sengaja mendengarkan percakapan mereka.

(Dialog)

Ana: “Eh guys liat liat liat deh, ngeri banget ga sih ada orang-orang pada sakit gara-gara sulit dapet air
bersih, dan itu deket sama rumah kita!” ata Ana sambil memperlihatkan ponselnya.

Gaida: “Ohiya sempet denger itu di desa sebelah” bersikap dingin dan sibuk dengan ponsel di
tangannya.

Ana: “Dan menurut berita ini tuh gara-gara pabrik textile yang terkenal itu”.

Ayu: “yaudah sih skip aja pusing mikirin”.


Salwa: “santai aja, nanti juga beres sendirinya, ia enggak Yu?”.

Ana: “tapi guys masalahnya tuh ini deket ga sih sama rumah kita , gimana kalo kita juga kena.. gimana
keluarga kita nanti!!”.

Ayu: “Udah sih Na ah, ribet amat, masih jauh dari jantung ini hahaha santai kenapa kamu yang harus
khawatir”.

Salwa: “Dari pada negedengerin si Ana bawel terus, mending kita TikTok-an aja, ada filter baru nih kudu
dicoba”.

Semua kecuali Ana: “Y X G Kuyyyy!”. Mereka berempat pun mulai mengambil video dan seketika
berteriak, “Visi Foya, Misi Foya, Visi Misi Foya-foya, Don’t Play-play Boskuhhh”.

(Backsound : Visi Misi Foya-Foya)

Ana: “GUYSSSS!” teriak Ana merasa kecewa”.

(Schene 3)

(Narator)

Berharap generasi muda lebih berperan dalam menjaga dunia dan seisinya, Rizal merasa miris. Dalam
benaknya, Ia berharap insan muda tidak hanya berfokus kepada eksistensi dunia maya, terlebih lagi
mereka melihat bahwa ada yang tidak beres dengan lingkungan sekitar. Namun di sisi lain, Rizal merasa
kecewa kepada dirinya sendiri, ternyata hingga saat ini, ia pun masih belum bisa berbuat apa-apa,
terlebih lagi dirinya diberikan amanah untuk mengelola beberapa tanah yang diwariskan keluarganya
dahulu.

Desa itu, di mana dahulu menjadi tempat yang nyaman untuk ditinggali dengan keindahan alam, juga
kerukunan masyarakatnya, perlahan berubah. Tetapi tak peduli masalah silih datang dan pergi, mereka
yang memegang prinsip para pendahulunya tetap berusaha untuk selalu menjaga serta mengelola
lingkungan agar tetap pada tatanannya.

Belum bisa berbuat apa-apa, bukan berarti Rizal tidak sedikitpun merencanakan sesuatu. Memanfaatkan
era digitali ini, bocah yang sekaran merupakan seorang jurnalis independen. Tidak terikat dengan
perusahaan media pesanan para petinggi dan kaum kelas sosial borjuis, dirinya telah membulatkan
sebuah tekad.

Tekadnya itu, senantiasa dibantu oleh Isal, sahabat sepermainannya dahulu, yang kini turut membantu
dalam mendidik anak-anak setempat khususnya dalam pengajaran agama. Di pondok sederhananya,
tempat Isal biasa mengajar, datanglah Izal yang sudah membuat janji untuk bertemu.

(Dialog)
Izal: “Assalamualaikum”.

Isal: “Waalaikumsalam warahmatullah”.

Izal: “Bagaimana pengajaran di pondok sal?”.

Isal: “Saat ini sangat baik, anak-anak semakin semangat untuk belajar..” Isal menghentikan pembicaraan,
terlihat keraguan dari mimic wajahnya.

Izal: “Tapi..?” tanya Izal yang merasa ada kejanggalan di pikiran sahabatnya.

Isal: “Sebenarnya ada yang ku khawatirkan zal, disamping anak-anak yang bersemangat belajar namun
ada masalah lain”.

Izal: “Ada apa sal?”.

Isal: “Sebagaimana yang kita ketahui pengaruh dari limbah pabrik itu sudah lama mencemari sumber air
kita, produktivitas lading-ladang kita menurun. Penyakit menghantui setiap rumah dikarenakan sulit
mendapatkan air bersih”.

Izal: “Tidak mudah menghadapi situasi seperti ini, usaha kita untuk meminta bantuan pemerintah
setempat pun nampaknya tak ada tanggapan yang serius sampai detik ini”.

Isal: “Bagaimana dengan teman-teman aktivis lingkungan?”

Izal: Belum ada respon, selain teman-teman dari FPL (Front Pembela Lingkungan) yangg senantiasa
membersamai kita dengan mengirimkan relawannya dan bantuan logistic”.

Isal: “Hanya doa dan kesabaran yangg mampu menjawab ini, semoga apa yang kita perjuangkan menjadi
amalan dalam bentuk syukur kita kepada Yang Maha Kuasa”.

Izal: “Sepakat Sal aamiin. Ayo sal kita tengok warga masih banyak urusan yang harus dikerjakan, selain
itu ada yang harus di dokumentasikan untuk memenuhi artikelku terkait masalah ini ke public”.

(Narator)

Izal dan Isal pun berangkat menemui warga yang terdampak. Terdapat posko dimana masyarakat keluar
masuk untuk mengambil beberapa kebutuhan pokok juga tempat untuk memeriksa kesehatan
masyarakat. Posko itu dibangun oleh teman teman yang tergabung dalam organisasi FPL (Front Penjaga
Lingkungan) yang digagas oleh salah satu sahabat mereka yaitu Dinda. Aktivitas ini menjadi
pemandangan sehari-hari di desa.

(Schene 4 latar belakang desa rusak, suasana sibuk menggambarkan aktivitas di posko)

(Narator)

Di waktu yang bersamaan, Dinda kini sudah menjadi seorang Dokter, ia menjadi voulenteer di Non-
Govermental Organisation yang ikut merawat warga yang terkena dampak dari limbah pabrik tersebut.
Rizal yang memiliki tujuan ingin meliput keadaan setempat, seolah tidak percaya jika kembali
dipertemukan dengan sahabat masa lalunya, sekaligus wanita yang pernah ia kejar setengah mati.
Pada saat Rizal dan Dinda pergi untuk melihat keaadaan sekitar, padwa dan Sandra disibukan dengan
pasien yang terdampak penyakit.

(Dialog)

Isal: “Assalamualaikum”.

Dinda dan Iban: “Waalaikumsalam”.

Izal: “Bagaimana keadaan warga?”.

Iban: “Logistik sudah menipis, terutama sembako diperkirakan hanya mampu memenuhi untuk
seminggu ke depan”.

Dinda: “Kesehatan warga makin buruk, yang baru terus berdatangan sementara yang sakit belum
beranjak pulih”.

Iban: “Bagaimana ini? FPL yang selama ini berkontribusi pun memilik keterbatasan, ingin sekali
pemerintah cepat tanggap namun apa daya sekeras itu kita memohon pun mereka masih saja acuh
malah sibuk dengan pembangunan infrastruktur yang tak jelas peruntukannya itu”.

Dinda: “Betul khususnya obat obatan yang sekarang sangat dibutuhkan, ketersediaan di FPL menipis”.

Isal: “Kita harus menerima kenyataan pahit itu, di samping terus mengusahakan dalam bentuk apapun
untuk bertahan apalagi kemarin sudah ada korban jiwa”.

Izal: “Bersabarlah sebentar, aku akan mengusahakan dengan mengangkat berita ini ada beberapa teman
teman dari media akan ikut membantu juga. Semoga membuahkan hasil”.

Izal: “Aku perlu memotret beberapa pasien juga keadaan di desa, untuk materi di artikel beritaku”.

Dinda: “Sandra, Padwa coba tolong bantu disini saya mau menemani Rizal untuk melihat keaadaan
sekitar.”

Sandra: “Baik bu.”

Padwa: “Bu andin ada keluhan apa?”

Andin: “Perut saya gaenak bu,seingat saya, saya kemarin-kemarin engga keburu beli gallon isi ulang jadi
saya pake air keran untuk memasak”

Sandra: “Yaudah ibu berbaring aja disini saya cek ya sekarang. Padwa tolong buatkan teh hangat.”

Padwa: “okee”

Padwa pun membuatkan teh hangat di dapur umum dan langsung memberikan kepada andin

Padwa: “Inii bu coba diminum dulu teh nya biar perutnya aga enakan, sama ini kompres tempatkan di
perut ibu.”

Sandra: “Dari keluarga ibu ada yang terdampak lagi?”


Andin: “Gaada sih, kayanya tetangga saya ada yang sakit juga, tapi dia dirumah aja kayanya dia takut
disuntik. Ohhh iyaa tapi itu pembantu saya si nadya dari pagi ngerawat saya terus, coba cekin deh
takutnya dia juga sakit tapi gabilang.”

Sandra: “kalo gitu pad kamu cari gih nadya.”

Andin: “Gausah dicari, biar saya wa aja.”

Setelah andin nge wa nadya, nadya pun datang

Nadya: “Ada apa ibuu?”

Andin: “Tuh kalo kamu ngerasa cape atau badan gaenak coba bilang.”

Padwa: “Ibu sini saya cek dulu yaa.”

Nadya: “Gamau ahh, bu saya juga disuruh ibu beberes rumah setiap hari dari pagi sampe malem tetep
sehat wal afiat, masa aja cuman gara air keran saya sakit, heheheh.”

Sandra: “Jadii ibu benar gaada yang dirasain yah?”

Nadya: “Aman aman bu.”

Padwa: “Alhamdulillah atuh yah.”

(Schene 5: Latar belakang kantor Departemen Kesehatan)

(Narator)

Berbeda dengan nasib warga desa, di sebuah kantor Departemen Kesehatan, Iput, bos pabrik sedang
menghadiri pertemuan dengan CIkal, pegawai dari Departemen Kesehatan. Meskipun tahu bahwa
pabriknya menyebabkan kerusakan lingkungan, tidak ada raut khawatir terlihat di wajah Iput.

Sadar lambat laun akan ada seseorang yang mau mewakili suara warga untuk menuntut keadilan atas
dampak yang diakibatkan pabriknya, Iput langsung memikirkan jalan pintas. Di kantor tersebut, Iput
meminta Cikal untuk memastikan bahwa pabriknya tidak mengeluarkan produk yang berdampak buruk
kepada lingkungan.

Tak berkunjung dengan tangan kosong, Iput telah menyiapkan sebuah koper berisi segepok uang yang
digunakan sebagai pelicin untuk rencananya. Bak dijajah oleh materi, CIkal yang harusnya memberikan
laporan sesuai dengan fakta yang ada, justru tergiur oleh godaan Iput.

(Dialog)

Cikal: “Ibu Iput, tumben banget ya main ke kantor saya”.

Iput: “Iya nih pa, ada keperluan mendadak nih”.

Cikal: “Boleh bu, gimana-gimana?”

Iput: “Gini bu, kan ibu tahu ya saya punya pabrik di desa (nama desa), nah itu kan gimana lagi ya
namanya pabrik ya pasti ada sedikitnya menimbulkan kerusakan lingkungan”.

Cikal: “Iya betul”.


Iput: “Tapi di sisi lain, saya juga kan berhasil menyediakan lapangan pekerjaan untuk warga ya”.

CIkal: “Lanjut bu”.

Iput: “Ya… biasanya kan Departemen Kesehatan suka meriksa pabrik secara berkala. Bisa kali ya nanti
bawahan Bapa kasih laporan yang baik-baik”.

CIkal: “Waduh enggak bisa gitu bu, kita harus melaporkan sesuai dengan apa yang kita lihat bu”.

Iput: “Nanti malah banyak yang demo, dan kerusuhan di mana-mana loh Pa”.

Cikal: “Itu sudah masuk ke pertanggung jawaban pihak pabrik bu, kalau ibu tidak mau adanya
demonstrasi, maka ibu bisa menutup pabrik atau mengganti kebijakan pabrik yang bisa meminimalisir
kerusakan lingkungan.

Iput: “Kan Bapa tadi setuju kalau parik memang pasti berdampak pada lingkungan”.

Cikal: “Iya ibu, tapi zaman sekarang makin maju, pabrik ibu bisa mengeluarkan produk yang
mengedepankan konsep Go Green, jadi bisa meminimalisir kerusakan lingkugnan”.

Iput: “Aduh Bapa ribet banget, oiya bapa ini ada oleh-oleh buat anak-anak,” tuturnya sambil
menyodorkan sebuah koper.

(Cikal membuka isi koper)

Cikal: “Gimana ya bu, jadi bingung nih,” ujarnya dengan muka kebingungan.

Iput: “Engga usah dipikirin Bapa cikal, lumayan buat liburan sama keluarga. Kalau masih ada kebutuhan
tinggal minta saya bisa mengusahakan Pa, yang penting pabrik saya tetap aman”.

Cikal: “Yaudah bu, saya bisa mengusahakannya”.

(Schene 5 latar belakang rumah Izal)

(Narator)

Malam semakin larut, bulan pun sudah mengambil alih peran matahari. Menemani bulan yang bekerja
sepanjang malam menyinari dataran, di kamarnya, Izal terlihat fokus di depan sebuah kotak bercahaya.
Diselingi suara seruputan air kopi dari mulutnya, Izal dengan giat membuat sebuah artikel yang
memberitakan plemik di desa.

Lewat media online pribadinya, Izal berniat mewakili seluruh warga soal keresahan yang dihadapi
mereka.

(Schene 6 latar belakang kantor pabrik)

(Narator)

Keesokan harinya, tidak ada yang menyadari, artikel buatan Izal banyak yang memberikan respon positif
dan para penduduk dunia maya berbondong-bondong memberikan dukungan kepada warga yang
terdampak.
Artikel tersebut pun sampai di telinga bos pabrik, melihat judulnya saja, emosi Iput tidak bisa terkontrol.
Ia pun memerintahkan kepada dua pegawai kesayangannya nya di divisi humas, Ayu dan Nurin untuk
mencari tahu siapa yang berani-berani menjelek-jelekan ladang uangnya.

Iput: “Ih kenapa sih ini para miskin-miskin pada sewot banget, enggak sadar apa mereka kalau pabrik ini
tuh banyak menyediakan lapangan kerja!”.

Iput: “YUUUUU!!! NURINNN!!! Sini kalian cepet!!” teriak Iput.

Ayu: “Iya ibu, ada apa?”.

Nurin: “Ibu meni teriak-teriak, kuping kita kan masih berfungsi dengan baik”.

Iput: “Diem ah Nurin! Saya lagi emosi liat enggak? Ko ada sih orang yang berani buat tulisan yang jelek
gini. Liat isinya, kalian udah baca belum?”.

ayu: “Berita tentang apa ya bu?”

Iput: “Nih liat, itu isinya semuanya mojokin pabrik kita doang,” tegas Iput sambil memperlihatkan
sebuah artikel.

Nurin: “emang kenapa sih ibukkk?!”.

Iput: “Kamu nyaman ya Ayu punya temen kayak dia? Lemot banget otaknya,” tutur Iput memukul
tangan Ayu karena kesal.

Ayu: “Hehehe maaf bu, emang kurang sedikit orangnya. Lihat nih Nurin, kita kan udah baca tadi pagi
berita ini”.

Nurin: “Hmmm enggak inget”.

Iput: “Udah heup ya! Pokonya saya gamau tau ya, kalo masalah ini semakin meluas dan muncul niat
warga untuk demo, kalian yang tanggung”.

Ayu: ”Tapi kan kita cuma kerja biasa bu?”

Nurin: “Iya ih, masa harus ngadepin yang demo, emang kita polisi”.

Iput: “Ah pusing ya saya lama-lama kepala bisa meledak! Susah banget ngandelin kalian berdua mah
harus aja disuapin! Yang satu bego yang satunya… ah gatau ah. Sekarang saya mau nyuruh, gak peduli
kalian mau atau enggak pokoknya harus mau, cari siapa penulisnya”.

Nurin: “Terus kalau udah ketemu suruh ngehadepin yang nanti demo bu?”

Iput: “OH MY GOD! Laporin polisi lah, orang dia yang pastinya memantik potensi warga untuk demo!
Udah sana pergi dah! Jengah saya liat muka kalian berdua”.

(Ayu dan Nurin langsung melakukan panggilan video dengan sahabat mereka di Geng SMK Cantik, Ana
pun meresponnya)

Ana: “Ada apa ceu?”.

Nurin: “Enggak tau ah males, pengen beli truck”.


Ana: “Yang bener dong Nurin kamu enggak berubah-berubah ya. Ada apa? Tumben banget kalian jam
segini, bukannya lagi kerja?”

Ayu: “Iya kita emang lagi kerja, sebenernya aku mau nanya aja sih, bener enggak desa kamu lagi terkena
dampak lingkungan dari limbah pabrik?”.

Ana: “Serius tahu enggak sih, ngeri banget, kemarin tetangga aku ada yang sampai meninggal”.

Nurin: “Ana, coba deh kamu baca artikel ini, aku kirimin ya alamat web-nya”.

Ana: “Oh ini, iya bener itu desa ku, tapi jarang banget enggak sih berita yang ngangkat isu kayak gini,”
tandas Ana setelah membaca berita yang dikirmkan.

(Saat sedang asyik vc datanglah padwa yang hendak berkeliling untuk mengecek kesehatan tiap
warga)

Padwa: ”Eh Ana malah asyik-asyik aja video call, yuk ikut aku kita bantu-bantu lagi”.

Ana: “Oh iya, hayu. Eh Nurin, Ayu udah dulu ya, aku mau bantu-bantu lagi, nanti pas udah santai aku
telepon kalian”.

Ayu: “Bentar bentar, kamu tau enggak siapa itu Rizal Armada soalnya dia yang nulis berita itu”.

Ana: “Hah Rizal Armada? Kamu tahu teh?” tuturnya bertanya kepada Padwa.

Padwa: ”Enggak sih, tapi aku taunya ada temennya senior aku, bernama Rizal, terus kemarin-kemarin
dia sibuk mendokumentasikan keadaan di desa ini, katanya sih bilang buat kebutuhan artikel”.

Ayu: “Ohh gitu ya teh, yaudah deh dari pada kita ganggu lagi, aku tutup ya, dadah, makasih ya Ana”.

Nurin: “Dadah Ana, dadah teteh syancikk!”.

(Karena Ayu dan nurin sudah mengetahui siapa penulis itu, mereka pun mematikan vc nya dan
langsung lapor ke iput)

Ayu: “Ibu aku udah tau siapa penulis artikel tersebut”.

Nurin: ”Aku juga tahu”.

Iput: “Bisa diandelin juga kamu ya duo alay. Yaudah gih, sekarang pake lagi sedikit otaknya, laporin sana
ke polisi, bilang aja nyebar hoax. Terus bilang aja ke polisinya ada surat dari Ibu Iput, biar langsung
diurusin”.

(Schene 7 latar belakang kantor polisi)

(Narator)

Setelah diperintahkan Iput memberikan laporan kepada polisi, Ayu dan Nurin pun langsung bergegas. Di
depan kantor polisi, mereka berdua bertemu dengan Fikar, dan menyerahkan surat laporan yang
sebelumnya sudah dibuat, terkait dengan adanya indikasi penyebaran hoax, dengan tuduhan
ditunjukkan kepada Rizal.
Fikar yang telah memegang surat laporan tersebut, langsung memberikannya kepada Agiel, Kepala
Kepolisian setempat. Tidak menunggu lama, Agiel langsung memerintahkan bawahannya itu. Fikar pun
menyiapkan pasukannya.

(Dialog)

Fikar: “Siap, beberapa pasukan dikerahkan untuk tinjau lokasi, dan menelusuri lebih lanjut tentang
penerbit artikel tersebut juga pabrik PT. Moniyan.”

Agiel: “Kerjakan!”

Fikar: “Kerjakan.”

(Fikar mengerahkan pasukannya)

Fikar: “Siap gerak! Istirahat ditempat gerak!”

Fikar: “Selamat malam, saya sudah melaporkan ke Komandan mengenai artikel hoax yang saya terima
tadi siang dari karyawan pabrik PT. Moniyan, dan Komandan menugaskan kita untuk segera
menyelesaikan masalah ini.”

Fikar: “Pada malam ini, saya mengumpulkan 3 orang anggota untuk langsung terjun kelapangan sesuai
instruksi saya.”

Fikar: “Untuk saya, Kamel, dan Kamil berseragam lengkap, dan untuk pak Uti tidak berseragam.”

Fikar: “Hal-hal lainnya akan disampaikan nanti. Jelas ini?”

Kamel, Kamil, Uti: “SIAP JELAS.”

Fikar: “Setelah saya istirahatkan, sesuaikan dengan tugas masing-masing.”

Fikar: “Siap gerak! Istirahat ditempat gerak.”

(Schene 8 latar belakang desa rusak)

(Narasi)

Kamel, Kamil, Uti, Adrian balik kanan. Mereka semua pun lalu berpencar mencari tertuduh di desa
tersebut. Tak lama kemudian Uti menemukan Rizal yang sedang membantu merawat warga. Secara
paksa, dan tanpa fafefo wasweswos, Rizal diringkus Uti.

(Dialog)

Uti: “Yu Zhong monitor, Ling masuk.”

Fikar: “Masuk Ling.”

Uti: “Turtle A1 ditemukan.”

Fikar: “Amankan.”

Uti: “Siap Amankan.”

Uti: “Diam ditempat !!” tegas Uti dengan kasar, menarik tangan Rizal.
Rizal: “ Ada apa inii ?!!”

Uti: “ Sudah diam .”

(Tak lama kemudian datanglah fikar dan pasukannya. Fikar pun langsung bertanya kepada suspect)

Fikar: “Apakah ini dengan penulis artikel tribun sunset ?”.

Rizal: “Bentar ada apa ini ?” Rizal menjawab dengan kasar.

Kamil: “Sudah jawab saja !”.

Kamel: “Sudah pa jawab saja, kalo bapa tidak kooperatif kami bisa menggunakan kekerasan.”

Fikar: “ Benar ini yang bernama rizal armada?”

Rizal; “ Nama asli saya Rizal Fauzan namun Rizal Armada adalah nama alias untuk artikel.”

Fikar: “Apa Rizal Fauzan ? ehh tunggu tunggu ini rizal yang dulu tinggal di desa dawn ? ini aku fikar, aku
adalah sahabat mu waktu kecil .”

Rizal: “ohh yang bener ini kamu kar? Yasudah suruh anak buah mu ini untuk melepaskanku .”

(Uti pun langsung melepaskan tangannya dari rizal)

Fikar: “Kamu kenapa sih nyebar hoax?”

Rizal: “Hahh?! Hoax dari mana ?”

Kamel: “Bapa, menurut laporan yang disampaikan oleh pihak moniyan, bapa menuliskan artikel yang
merugikan pihak moniyan.”

(Sesaat sebelum Rizal menjawab, datanglah Rafi yang merupakan warga di desa tersebut.)

Rafi: “Mas Rizal ada apa ini? kenapa banyak sekali polisi disini ?”.

Kamil: “Kamu siapa? Tidak usah ikut campur,ini urusan pihak kepolisian dan bapa rizal armada”.

Rafi: “Ya saya pun perlu tau, karena ini pasti ada hubungannya dengan desa saya”.

Uti: “Diam atau saya main kasar?”.

Kamel: “Bapa tolong kooperatif ya”.

(Karena Adrian melihat adanya keributan dia pun menghampiri anggota polisi yang lain).

Adrian: ”Ada apa ini, bapa fikar kenapa cuman menangkap satu orang harus memakan waktu yang
begitu lama ?!” dengan tegas Adrian berbicara kepada Fikar.

(Warga juga melihat kegaduhan di sana, lalu mereka beramai ramai menghampiri tempat tersebut.
Sofi,Marin,Ana,Salwa,Nadya langsung ikut nimbrung di tempat itu)

Marin: “Saya sebagai keamanan disini, kenapa bapa tidak berkordinasi dulu dengan pihak keamanan
dulu, bapa secara tidak langsung membuat warga setempat tidak nyaman!!”
Ana, Ayu: “Iyaa huuu” ujar mereka menyuraki polisi.

Sofi: ”Ehh udah udah jangan gitu ntar kalo kita ditangkep gimana?”

Ana: “Aku enggak takut kaka aku komandan polisi soalnya wlee!”.

Ayu: “Kalo pacar aku sih anggota polisi”.

Nadya: ”Ada apa ini, mohon jangan ribut, Majikan saya lagi sakit”.

(Karena pihak dari polisi terpancing emosi, Adrian pun langsung mendorong marin, sedangkan uti
mendorong rafi)

Adrian: “Ini perintah langsung dari Bapa Kapolda Agiel, kalian tidak berhak untuk mengatur kami !!”

Uti: “ Kalian itu cuman rakyat biasa, ikuti saja perintah kita atau kalian kita jebloskan ke jeruji besi .”

Nadya: “Masukin saja saya bapa ke jeruji besi biar saya dikasih makan gratis .”

Uti: “Ohhh bagus bagus nantangin yah .”

Kamel: “ Kalian juga sebagai polisi malah ribut terus jangan bersumbu pendek, kita itu harusnya
mengayomi masyarakat, bukan menindas masyarakat.”

Adrian: “Saya tidak terima harus mengayomi masyarakat yang tidak menghormati kami sebagai Abdi
Negara!!.”

(Karena keadaan semakin memanas terjadilah bentrokan kecil di desa tersebut)

Fikar: “Hey kenapa jadi kalian yang ribut sih? Uti, Adrian, Kamil hentikan segera”.

Rizal: “Kalian juga sama, Rafi, Marin, kembali perhatikan warga yang membutuhkan, biar saya saja yang
mengurusnya di sini”.

(Schene 9 latar belakang kantor polisi)

(Narasi)

Supaya tidak ada perpecahan di antara polisi dan masyarakat, Rizal pun digiring ke kantor. Dirinya pun
langsung dihadapkan ke Kepala Kepolisian, Agiel. Di situ, Rizal semakin ditekan, Agiel semakin
menuduhnya sebagai penyebar hoax. Namun berbeda dengan Fikar, ia lebih menyarankan pimpinannya
agar mendengar penjelasan Rizal.

(Dialog)

Agil: “Ohh jadi ini si penyebar hoax hah?”.

Fikar: “Ia pak, tapi lebih baik bapak mendengarkan penjelasan dari Rizal dulu pak”.

Rizal: “Saya tidak menyebar hoax soal pabrik yang mencemarkan lingkungan pak, bapak bisa lihat
dengan mata bapak sendiri”.

Agil: “Tapi saya mendapatkan laporan, bahwa anda menyebar hoax lewat artikel itu”.
Rizal: “Demi apa pun pak, pabrik tersebut mencemari lingkungan sekitar, sampai membuat warga sakit,
bahkan ada yang terenggut nyawanya”.

Agil: “Apa kamu punya bukti yang kuat?”.

Rizal: “Pak, apa warga yang sakit itu tidak cukup kuat untuk dijadikan bukti?”.

Agil: “Jangan kamu anggap saya bodoh ya! Memang warga yang sakit itu karena adanya limbah?
Bagaimana kalau mereka hanya kebetulan saja sakit?”.

Rizal: “Tapi pak…”

Fikar: “Sudah Zal,” Tutur Fikar menyanggah. “Sekarang coba kamu tuturkan saja maksudmu membuat
artikel itu”.

Rizal: “Saya hanya mau mewakili masyarakat yang kurang berani untuk menyampaikan suara mereka,
terkait dengan masalah yang mereka hadapi”.

Rizal: “Lewat artikel tersebut, saya ingin masyarakat lain melihat bahwa ada masalah yang harus
diselesaikan secara bersama-sama. Dan saya tidak ada sedikit pun menyampaikan informasi yang
menyesatkan, saya menulis sesuai dengan fakta yang ada di lapangan. Bahkan foto-foto yang ada dalam
artikel itu, saya ambil langsung dari tempat kejadian”.

Agiel: “Nah sekarang, apa yang kamu usulkan. Tapi apa pun itu, kamu tetap penyebar hoax dan
hukumannya tidak ringan. Ingat omongan saya ya, kamu berpotensi dibawa ke meja hijau”.

Rizal: “Terserah bapak mau berspekulasi apa pun, saya minta penjelasan dari Departemen Kesehatan
langsung, pastinya mereka melakukan pengecekan secara berkala terhadap pabrik tersebut”.

Agiel: “Baik, saya akan langsung menghubungi Departemen Kesehatan. Sekarang, kamu silahkan pulang
saja, biar saya yang urus. Ketika ada informasi lanjutan, saya akan menyampaikannya langsung.

Rizal: “Terima kasih, saya pamit”.

(Tak lama setelah Rizal pulang, Agiel memerintahkan Fikar untuk memastikan situasi sebenarnya di
desa)

Agiel: “Fikar, selagi saya menghubungi Departemen Kesehatan, silahkan kamu kembali ke desa dan
pastikan keadaan di desa sebenarnya”.

Fikar: “Siap laksanakan”.

(Rizal mempersiapkan pasukannya)

Kamel: “Eh, eh bang, katanya bener si Rizal-Rizal itu nyebar hoax ya?”.

Fikar: “Enggak, aku enggak percaya dia ngelakuin hal itu, aku yang paling tahu, soalnya dia sahabat aku”.

Adrian: “Ah Bang, paling juga si Rizal itu cuma mau cari panggung aja, kurang kerjaan, cari sensasi doang
nyebar hoax”.

Kamil: “Bener Bang, kenapa sih masih percaya aja sama manusia model begituan”.
Fikar: “Heh jangan bicara macem-macem ya! Kalau mau jujur, saya lebih percaya Rizal dibanding kalian
yang cuma bisanya nurutin perintah atasan, tanpa melihat fakta di lapangan”.

Uti: “Hah? Enggak ngaca Bang? Abang justru paling parah, karena nyuruh kita nangkap Rizal, yang
katanya sahabat Abang itu”.

Fikar: “Saya kan baru tahu dia sahabat saya, pas udah ditangkap”.

Adrian: “Halah omong kosong, jujur aja Bang, Abang juga cuma pecundang, bisanya ngikutin perintah
atasan aja, ya kan? Enggak usah malu ngaku aja”.

(Mendengar ucapan Adrian, Fikar naik pitam, muka Adrian pun harus menirima bogem mentah dari
Rizal)

Fikar: “Jaga omongannya bocah! Inget ya saya di sini senior!” teriaknya sambil melayangkan bogem
mentah ke muka Adrian.

Adrian: “Enggak takut Bang, Abang juga ngatain yang enggak-enggak sama kita!”

(Uti, Kamil, Kamel memisahkan mereka berdua)

Kamel: “Kalian berdua sama sama polisi jangan malah bertengkar kita itu dididik dan dilatih, jangan
sampai kita terpecah belah oleh masalah sepele,” tegas Kamel.

Uti: “Sudah-sudah jangan konyol lah, masa Cuma beda pendapat aja gelut sih?”.

Kamil: “Iyaa sudahlah, kita harus saling menghargai pendapat masing-masing, malu ah enggak gede”.

FIkar: “Oke, saya minta maaf sudah memukul mu, tapi lain kali jaga omongan mu Adrian.”

Adrian: “Iya Bang, maafkan saya juga terbawa emosi”.

Fikar: “Kalian segera istirahat, saya ada keperluan memastikan situasi sebenarnya di desa. Kita tetap
harus bersiap dengan kemungkinan adanya demonstrasi di depan pabrik”.

(Schene 10 latar belakang jalan desa saat malam hari)

(Narasi)

Saat hendak pergi ke desa, di perjalanan Fikar tak sengaja kembali bertemu dengan Rizal. Pada
kesempatan tersebut, Rizal menganggap bahwa pihak kepolisian tidak akan mengambil langkah
selanjutnya, ia pun mengancam akan melaksanakan aksi demonstrasi di depan pabrik yang akan diikuti
warga desa.

Namun saat mereka berdua sibuk berdebat, tak sengaja Ghaida dan Salwa mendengar perbincangan itu.

(Dialog)

Rizal: “Ada apa kamu datang ke desa ini?”

Fikar: “Saya datang untuk melihat keaadaan desa ini zal.”

Rizal: “Seperti yang kamu liat kar, desa ini sudah sangat terdampak penyakit dari limbah pabrik monian”
Fikar: “Memang benar zal seperti apa yang kamu tulis di artikelmu.”

Rizal: “Terus? setelah kamu mengetahui apa yang akan kamu lakukan?”

Fikar: “Aku akan melaporkan apa yang sebenarnya terjadi di desa ini kepada komandan!”

Rizal: “Silahkan kamu laporkan kar, namun aku tau bahwa pihak kepolisian tidak akan bertindak lebih
jauh untuk menindak lanjuti masalah ini.”

FIkar: “Kamu jangan beranggapan begitu rizal.”

(Di waktu bersamaan, Ghaida dan Salwa mendengar perbincangan Rizal dan Fikar)

Ghaida: “WA ada apa tuh pa rizal sedang berbincang dengan bapa polisi di sana, kita kepoin yu.”

Salwa: “Gass ach kita nguping-nguping setetes, kali-kali aja bakal ada yang rame.”

Rizal: “Aku tidak beranggapan buruk kepada polisi kar, namun sudah tidak ada waktu lagi untuk
menyelamatkan desa ini, dari ancaman limbah pabrik”.

Fikar: “Aku tau sifat kamu zal, kamu pasti akan menyuarakan kebenaran, namun aku harap kamu tidak
akan melakukan sesuatu yang dapat merugikan semua pihak”.

Rizal: “Hahh? merugikan Kar? Kar… warga sudah dirugikan kaya gini. Meski bertindak, polisi pun pasti
membutuhkan waktu berhari-hari, bahkan mungkin berbulan-bulan untuk memprosesnya. Kita enggak
punya waktu sebanyak itu, pokoknya warga desa akan melaksanakan demo penuntutan penutupan
pabrik!”

(Rizal langsung pergi meninggalkan Fikar)

Fikar: “Zal! Dengarkan dulu aku! Ahh… bisa kacau kalau dibiarkan, aku harus segera melaporkan ini ke
komandan”.

(Fikar pun kembali ke polisi dan berniat melaporkan rencana warga desa yang akan melakukan aksi
demonstrasi. Di sisi lain, Ghaida dan Salwa yang mendengarkan rencana demonstrasi, ingin
menginformasikannya ke Salwa dan Nurin)

Ghaida: “Duhhh desa ini akan melakukan demo di depan pabrik monian”.

Salwa: “Iyaa, tapi ini kesempatan kita loh.”

Ghaida: “Maksudnya? Kesempatan apa?”.

Salwa: “Kesempatan buat kita, naikin followers TikTok ih! Kita ikut aja nanti demonstrasi, terus upload
hastag FYP-FYP gitu, terkenal gillaa nanti kita yes.”

Ghaida: “Hmmm… nice idea, gaskeunn lahh!”.

Salwa: “Eh tapi, kan pabrik yang mau didemo, itu tempat Ayu sama Nurin kerja, kita kasih tahu mereka
dulu kali yah?”.

Ghaida: “Iya dong, geng kita kan Solidarity Forever banget, jangan sampai mereka kena imbasnya”.
(Schene 11 latar belakang desa rusak pagi hari)

(Narator)

Beberapa saat kemudian, Rizal langsung mengutarakan niatnya kepada Isal, Dinda, Iban dan. Berbeda,
dengan Rizal, Isal yang selalu memikirkan ratusan kemungkinan sebelum mengambil langkah, mencoba
terlebih dahulu menenangkan sahabatnya itu. Isal khawatir jika penderitaan warga desa semakin
bertambah, jika nantinya, aksi demonstrasi tersebut berakhir dengan hasil yang menyedihkan.

Sama halnya dengan Isal, Dinda yang tidak familiar dengan aksi demonstrasi lebih memilih untuk bekerja
sepanjang malam di desa, merawat masyarakat agar kembali sehat. Namun tetap saja, setelah diyakini
oleh Rizal, Dinda dan Isal pun pada akhirnya beranggapan jika aksi demonstrasi satu-satunya cara untuk
menyelamatkan warga.

(Dialog)

Rizal: “Kawan kawan ku sekalian, dinda,isal,iban aku akan berbicara kepada kalian .”

DInda: “Ada apa rizal ?”

Rizal: “Kita sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi, sudah bisa dipastikan kedepannya akan banyak
korban berjatuhan akibat dari limbah pabrik itu.”

Iban: “Lalu apa yang harus kita lakukan zal?”

Rizal: “Kita akan menuntut pertanggung jawaban pabrik dengan melakukan aksi demonstrasi di depan
ladang penyakit itu!!”

Isal: “Apakah tidak ada cara lain selain itu zal? Karena jika melakukan demonstrasi kita justru berpotensi
diadu dombakan dengan pihak kepolisian, para petinggi pabrik……… apakah kamu yakin mereka akan
peduli?”

Dinda: “Betul kata isal,zal, kita tidak boleh memutuskan sesuatu selagi hati kita sedang dipacu oleh
emosi.”

Iban: “ahhhh!!! Kalian berdua tidak akan mengerti, ini pertama kalinya warga desa bisa mengambil
langkah nyata untuk memutar balikan keadaan.”

Rizal: “Sal, Dinda, desa ini semakin terancam. Sekarang aku tanya sal, apakah kamu tidak kasian kepada
murid-muridmu yang setiap hari kesakitan. Dan kamu Dinda, kamu ga cape, harus terus menerus
mengobati masyarakat namun akar dari penyakit itu kamu biarkan?”

Dinda: “Apapun akan aku lakukan demi membuat masyarakat kembali sejahtera.”

Rizal: “Jangan kamu menggunakan alasan dangkal seperti itu Dinda. Kamu juga harus mementingkan diri
kamu sendiri, jika kamu sakit siapa lagi yang akan membuat masyarakat kembali sejahtera.”

Isal: “Kamu liat sendiri zal, belum mulai saja emosimu sudah membeludak.”

Iban: “Yasudah zal, kita akan berangkat besok dengan atau tanpa dinda dan isal.”
Rizal: “Aku tidak emosi sal, aku juga ingin berjuang demi masyarakat di sini. Namun menurut aku,
langkah ini lah satu-satunya untuk merealisasikan tujuan kita.”

Isal: “Bagaimana kalau kita terlebih dahulu menunggu Polisi atau Departemen Kesehatan mengusut
masalah ini Zal? Mereka pasti akan berjuang di sisi kita”.

Rizal: “Kamu tahu Sal? Hari-hari sebelumnya aku diseret ke kantor polisi dengan tuduhan penyebar
hoax, setelah membuat artikel tentang pabrik dan desa. Dan kamu juga apa yakin, jika Departemen
Kesehatan akan berpihak? Aku merasa, kalau petinggi pabrik telah memikirkan hal-hal licik untuk
melindungi ladang uang mereka.”

Dinda: “Yasudah Zal, tenangkan dirimu terlebih dahulu. Aku akan ikuti kemauanmu ini”.

Isal: “Baiklah, kalau menurutmu ini satu-satunya jalan, mau bagaimana pun, kamu berjuang untuk
menegakkan kebenaran dan menyelamatkan desa beserta isinya.”

Rizal: “Iban, sekarang juga kamu sebarkan kepada warga setempat kita akan pergi besok pagi, dan
jangan lupa siapkan beberapa orang dari tim medis.”

(Schene 12 latar belakang depan pabrik)

(Narator)

Keesokan harinya, para warga berbondong-bondong menyusuri jalan menuju pabrik, segala persiapan
hingga tim medis sudah dikerahkan. Di sana, di depan pabrik, pihak kepolisian yang sudah mengetahui
akan adanya aksi demonstrasi dari laporan Fikar, telah bersiap membuat barikade.

Sesampainya di depan pabrik, terlihat Rizal, Iban, dan para warga sudah bersiap untuk aksi demonstrasi.
Sedangkan Dinda, Isal, beserta beberapa voulenter desa, berada di garis belakang bertugas sebagai Tim
Medis.

Rizal langsung melakukan orasi, menyuarakan keresahaan yang selama ini ia dan warga desa sama-sama
rasakan. Ketika Rizal, Iban, Isal dan para warga sibuk mengeraskan suara mereka, datang dua orang
oknum yang memantik api kerusuhan. Oknum tersebut membuat tensi antara pihak kepolisian dan
demonstran memanas. Pada saat kericuhan merebak di segala penjuru, insiden yang paling tidak
diinginkan akhirnya terjadi.

Mas Lukmin: “Zalll iban kena pukul oleh polisi zal!! Iban tergeletak di depan sana tidak berdaya zall!!”

Rizal: “Apaaa?!! “ Rizal langsung berlari ke barricade polisi

Rizal: Apa apaan nihh polisi menggunakan kekerasan!”

Fikar: “Ini salah paham zal, polisi tidak akan menggunakan kekerasan.”

Rizal: “BACODDDDD!!!!”

Isal: “Para warga jangan tersulut emosi, jangan sampai kita terprovokasi oleh oknum-oknum.”

Dinda: “Tolong bawa marn


Kisah itu kisah dimana tidak ada satu orang pun yang menginginkannya, ketika usaha berakhir musibah.
Namun menurut siapa itu adalah musibah? Kebenaran berarti salah, salah berarti benar, atau
sebenarnya tidak ada yang benar dan tidak ada pula yang salah? Lelah tak tertampung, sabar tak
berujung. Usaha telah dilakukan, doa tak henti dipanjatkan, peran baru selesai dimainkan. Untuk apa
bersusah payah? Bersabar itu mesti kah? Untuk apa? Kita? Kata siapa? Maaf terlalu banyak bertanya,
mungkin diri lelah atau mungkin memang fitrah?

Mari kita tutup pertunjukan yang alakadarnya ini dengan adegan kesedihan.

Walau tak berharap banyak..

SEMOGA ANDA TERHIBUR!

TANGISAN MENJERIT dari dia thalia yang ditinggal iban, siapa sangka aksi demo itu menewaskan
suaminya. 4 sahabat itu berkumpul, meratapi sobat nya yg meninggal atas aksi yang sudah mereka
usahakan untuk menuntut mereka yang telah merenggut sumber penghidupan warga desa.

-THALIA ONE MAN SHOW-

Thalia : “huhuhu Salaki urang…”

Dinda : mencoba untuk menenangkan

Thalia : “Isal! Naha teu dicegah Kamari teh, geus kieu kumaha?!”

Isal : Terdiam mencoba tegar dan tak merespon thalia

Thalia : “maneh deui datang-datang mawa masalah!”

Fikar : nyekel HULU

Thalia : “Izal! Rek kumaha maneh hahh?! Kumaha!” Izal.. Izal…

Izal : Diam tanpa kata

Thalia : “Ayeuna saha nu rek disalahkeun?

Cause the hardest part of this is leaving you~

HAHAHAHAHA

Pada akhirnya kita semua menginginkan selamat, namun siapa yang mampu menjamin keselamatan?

Hartawan penentu kebenaran

Suara terbanyak berarti selamat


Versi 2

Kisah itu, kisah dimana tidak ada satu orang pun yang menginginkannya, ketika usaha berakhir musibah.
Jeritan Thalia terdengar seakan tidak percaya jika aksi yang seharusnya membuat desa lebih baik, justru
menewaskan suaminya.

tempat berkeluh kesah dan sumber kebahagiaan dirinya. Melihat Thalia yang sangat frustasi, Rizal, Isal,
dan Fikar hanya bisa meratap tanah membisu.

Dinda seorang diri mencoba menjadi air, di saat api emosi Thalia diluapkan kepada Rizal, Isal juga Fikar.
Di saat yang bersamaan, keempat sahabat tersadar, bahwa Iban adalah awal, awal dari

Kisah itu kisah dimana tidak ada satu orang pun yang menginginkannya, ketika usaha berakhir musibah.
Namun menurut siapa itu adalah musibah? Kebenaran berarti salah, salah berarti benar, atau
sebenarnya tidak ada yang benar dan tidak ada pula yang salah? Lelah tak tertampung, sabar tak
berujung. Usaha telah dilakukan, doa tak henti dipanjatkan, peran baru selesai dimainkan. Untuk apa
bersusah payah? Bersabar itu mesti kah? Untuk apa? Kita? Kata siapa? Maaf terlalu banyak bertanya,
mungkin diri lelah atau mungkin memang fitrah?

Mari kita tutup pertunjukan yang alakadarnya ini dengan adegan kesedihan.

Walau tak berharap banyak..

SEMOGA ANDA TERHIBUR!

TANGISAN MENJERIT dari dia thalia yang ditinggal iban, siapa sangka aksi demo itu menewaskan
suaminya. 4 sahabat itu berkumpul, meratapi sobat nya yg meninggal atas aksi yang sudah mereka
usahakan untuk menuntut mereka yang telah merenggut sumber penghidupan warga desa.

Kau ini bagaimana atau aku harus bagaimana….

1. Kau ini bagaimana…


Kau bilang aku merdeka
Tapi kau memilihkan untukku segalanya
2. Kau ini bagaimana…
Kau suruh aku berfkir
Aku berfikir kau tuduh aku kafir
Aku harus bagaimana…
Kau suruh aku bergerak
Aku bergerak kau waspadai

Kau bilang jangan banyak tingkah


Aku diam saja kau tuduh aku apatis
3. Kau ini bagaimana…
Kau suruh aku memegang prinsip
Aku memegang prinsip
Kau tuduh aku kaku
4. Kau ini bagaimana…
Kau suruh aku toleran
Aku toleran kau tuduh aku plin-plan
5. Aku harus bagaimana…
Kau suruh aku bekerja
Aku bekerja kau ganggu aku
6. Kau ini bagaimana
Kau suruh aku taqwa
Tapi khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa
7. Kau suruh aku mengikutimu
Langkahmu tak jelas arahnya
8. Aku harus bagaimana
Aku kau suruh menghormati hukum
Kebijaksanaanmu menyepelekannya
9. Aku kau suruh berdisiplin
Kau mencontohkan yang lain
10. Kau bilang Tuhan sangat dekat
Kau sendiri memanggil-manggilnya dengan pengeras suara setiap saat
11. Kau bilang kau suka damai
Kau ajak aku setiap hari bertikai
12. Aku harus bagaimana
Aku kau suruh membangun
Aku membangun kau merusakkannya
13. Aku kau suruh menabung
Aku menabung kau menghabiskannya
14. Kau suruh aku menggarap sawah
Sawahku kau tanami rumah-rumah
15. Kau bilang aku harus punya rumah
Aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah
16. Aku harus bagaimana
Aku kau larang berjudi
permainan spekulasimu menjadi-jadi
17. Aku kau suruh bertanggungjawab
kau sendiri terus berucap Wallahu A’lam Bis Showab
18. Kau ini bagaimana..
Aku kau suruh jujur
Aku jujur kau tipu aku
19. Kau suruh aku sabar
Aku sabar kau injak tengkukku
20. Aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku
Sudah ku pilih kau bertindak sendiri semaumu
21. Kau bilang kau selalu memikirkanku
Aku sapa saja kau merasa terganggu
22. Kau ini bagaimana..
Kau bilang bicaralah
Aku bicara kau bilang aku ceriwis
23. Kau bilang kritiklah
Aku kritik kau marah
24. Kau bilang carikan alternatifnya
Aku kasih alternative kau bilang jangan mendikte saja
25. Kau ini bagaimana
Aku bilang terserah kau
Kau tak mau
26. Aku bilang terserah kita
Kau tak suka
27. Aku bilang terserah aku
Kau memakiku
28. KAU INI BAGAIMANA
ATAU AKU HARUS BAGAIMANA?!

Anda mungkin juga menyukai