Dilema etik dan legal seringkali ditemukan pada keperawatan kritis. Di unit
keperawatan kritis, perawat seringkali dihadapkan dengan masalah informed consent,
keputusan mempertahankan atau melepaskan alat bantu sebagai penopang hidup
pasien kritis, prosedur transplantasi organ dan jaringan, privasi rekam medis pasien,
dan distribusi sumber daya yang seringkali tidak memadai. Selain itu, nilai dan
keyakinan yang dimiliki pasien serta keluarganya mengenai perawatan kritis juga
seringkali menimbulkan dilema etik bagi perawat. Pasien dan keluarga seringkali
merasa bimbang dalam memilih perawatan untuk mengatasi kondisi kritis, apakah
dapat diatasi dengan metode alternatif atau memang harus menggunakan teknologi
yang ada.
Berdasarkan kasus – kasus etik dan legal yang terjadi di unit keperawatan
kritis, perawat sebagai advocator memiliki kewajiban etis dan hukum dalam
mempromosikan dan melindungi kesejahteraan pasien. Berdasarkan The American
Association of Critical-Care Nurses (AACN), etika melibatkan keterkaitan dan saling
ketergantungan antar individu, sistem dan masyarakat. Karakteristik penting dari
praktik keperawatan etis meliputi kasih saying, kolaborasi, akuntabilitas, dan
kepercayaan. Perawat kritis berkewajiban dalam mengenali dilema etik yang
berpotensi atau telah mengancam hak pasien. Dilema etik menjadi suatu kondisi sulit
di mana terdapat konflik muncul selama proses pengambilan keputusan yang dapat
dibenarkan secara moral. Dalam mengidentifikasi situasi dilema etik, harus ada lebih
dari satu solusi, serta tidak ada benar atau salah yang jelas.
Proses yang sistematis dan terstruktur menjadi salah satu cara yang dapat
membantu dalam pengambilan keputusan etis. Model ini menyediakan kerangka kerja
untuk mengevaluasi prinsip-prinsip etika terkait dan hasil potensial, serta fakta yang
relevan mengenai faktor kontekstual dan faktor fisiologis dan pribadi pasien. Dengan
menggunakan pendekatan ini, pasien, keluarga, dan anggota tim kesehatan dapat
mengevaluasi pilihan dan mengidentifikasi opsi yang mempromosikan kepentingan
terbaik pasien. Dalam proses pengambilan keputusan, perawat tidak boleh
memaksakan kehendak sendiri karena pasien dan keluarga pasti memiliki sistem nilai
dan kepercayaannya sendiri. Pengambilan keputusan yang etis meliputi
mengimplementasikan keputusan dan mengevaluasi hasil jangka pendek dan jangka
panjang. Tahap terakhir dalam proses pengambilan keputusan adalah menilai apakah
keputusan dalam kasus tertentu dapat diterapkan pada dilema lain dalam keadaan
serupa.
Prinsip - prinsip etika yang relevan harus dipertimbangkan ketika ada saat
membuat keputusan dilema etik. Prinsip tersebut meliputi menghormati kebebasan
pasien untuk membuat keputusan sendiri (autonomy), memberikan tindakan yang
lebih besar manfaatnya dibandingkan kerugiannya (beneficence), tidak merugikan
orang lain dengan sengaja (nonmaleficence), dan keadilan mengenai pendistribusian
sumber daya perawatan (justice). Selain itu, prinsip kejujuran (veracity) menyatakan
bahwa orang berkewajiban untuk mengatakan yang sebenarnya dalam berkomunikasi,
prinsip kesetiaan (fidelity) mengharuskan seseorang memiliki kewajiban moral untuk
setia pada komitmen yang dibuat kepada orang lain, dan (confidentiality).
Masalah etika yang biasanya terjadi pada unit perawatan kritis adalah informed
consent. Informed consent merupakan penjelasan dan persetujan mengenai keputusan
pengobatan pasien. Pada informed consent, tiga elemen utama yang harus dipenuhi
adalah kompetensi, kesukarelaan, dan pengungkapan informasi. Kompetensi merujuk
kepada kemampuan pasien memahami informasi perawatan yang diusulkan. Jika
pasien tidak mampu secara mental maupun fisik untuk memberikan persetujuan,
informed consent diperoleh dari keluarga terdekat yang sah. Sukarela merujuk pada
persetujuan yang diberikan tanpa adanya paksaan atau penipuan. Informed consent
merupakan proses yang memerlukan pertukaran informasi antara penyedia layanan
kesehatan dan pasien atau kuasanya.
Masalah etik selanjutnya adalah keputusan mengenai perawatan penopang
kehidupan. Umumnya keputusan ini dihadapkan pada perawatan pasien dengan sakit
yang parah (terminal). Pengobatan pasien yang kualitas hidupnya sangat terganggu
seperti koma ireversibel atau kematian otak, sering kali ditopang dari teknologi
biomedis yang canggih. Manfaat yang diperoleh dari manajemen teknologi lebih
besar daripada efek negatifnya, tetapi penggunaan teknologi tersebut telah
mendorong perdebatan dan litigasi yang intensif. Inti dari kontroversi penggunaan
teknologi adalah keyakinan yang saling bertentangan tentang moralitas dan legalitas
yang mengizinkan pasien kondisi terminal untuk meminta menarik atau menahan
perawatan medis. Perdebatan tentang ‘kesia-siaan’ perawatan khusus pada dasarnya
adalah perdebatan kualitas hidup dan perawatan mana yang bermanfaat untuk
membantu pasien dalam mencapai tujuan mereka.
Masalah etik terakhir adalah prosedur transplantasi organ dan jaringan, dimana
metode pembedahan ini telah meningkatkan jumlah dan jenis organ dan jaringan yang
berhasil ditransplantasikan. Namun, terlepas dari keberhasilan transplantasi, stok
organ terus berkurang seiring permintaan yang terus meningkat. United Network for
Organ Sharing adalah organisasi yang menyimpan daftar pasien yang menunggu
transplantasi organ dan membantu mengkoordinasikan pengadaan organ. Pada tahun
2011, lebih dari 111.000 orang berada dalam daftar tunggu transplantasi organ di
Amerika Serikat. Kekurangan ini telah memotivasi berbagai upaya untuk
meningkatkan pasokan organ, termasuk membuat daftar pendonor dan menetapkan
status donor organ pada SIM. Pada beberapa situasi, pengangkatan organ yang akan
ditransplantasikan dapat tidak mengancam nyawa dan dilakukan tanpa menyebabkan
kerusakan signifikan pada pendonor hidup, seperti donor ginjal dan sumsum tulang.
Namun, jenis lain dari pengangkatan organ dan jaringan seperti jantung dilakukan
hanya pada donor yang memenuhi definisi hukum untuk kematian otak.
Referensi
Sole, M. L., Klein, D. G., & Moseley, M. J. (2017). Introduction to Critical Care Nursing,
(7th ed.). St. Louis: Elsevier.