PERTANIAN TERBESAR
Jangan salah duga, sektor pertanian dan pangan termasuk dalam Top Sector
dari prioritas ekonomi Belanda. Menurut statistik dari Kementerian Pertanian
Belanda, sektor ini telah menyumbangkan 9,2% dari total GDP dan 9%
penyerapan tenaga kerja di Belanda (2012). Nilai dari sektor ini mencapai EUR
29 miliar (Rp 435 triliun!), suatu jumlah sangat fantastis untuk sebuah negara
kecil yang minim lahan. Dengan capaian itu Belanda menempatkan dirinya
sebagai negara pengekspor hasil pertanian dan pangan terbesar kedua setelah
Amerika Serikat dengan market share 7,5% dari total ekspor dunia. Sebagai
catatan, Amerika Serikat memiliki market share sebesar 11,2% sedangkan
Indonesia cuma 2,6%.
Lantas, apa kunci dari keunggulan sektor pertanian dan pangan Belanda yang
bisa dipetik sebagai pembelajaran? Pertama, intensifikasi lahan pertanian
dengan sistem kluster terpadu. Saya sempat berkunjung ke kluster pertanian
terbesar di Belanda, yaitu di kawasan Westland, Zuid-Holland. Di kluster ini
selain ratusan hektar rumah kaca berteknologi tinggi, mereka
mengintegrasikannnya dengan pelabuhan (Rotterdam) dan bandara (Schiphol)
serta pelelangan hasil produksi yang didukung oleh sistem IT dan logistik yang
kuat. Ibarat pusat belanja, kluster pertanian ini adalah one-stop-service bagi para
pembeli kelas dunia. Selain itu pemerintah kotapraja di Westland memang telah
mendedikasikan diri sebagai kota pertanian dan tidak melirik sektor lain sebagai
penopang ekonomi kota tersebut.
Kedua, sektor pertanian dan pangan memiliki jejaring dunia dengan sistem
global value chain. Pengamatan saya, para petani Belanda membeli bibit terbaik,
misalnya dari negara di Afrika, lalu dibawa ke rumah kaca milik mereka dan
dikembangkan hingga menghasilkan produk terbaik kemudian dijual kembali ke
negara yang membutuhkan. Ibarat pesawat, Belanda ini adalah hub-nya, tetapi
selama pemberhentian di hub, terjadi proses rekayasa teknologi dan dinamika
pemasaran yang sangat unggul.
Ketiga, keberadaan dari institusi riset atau perguruan tinggi yang memang
didirikan untuk menopang sektot ini secara berkelanjutan. Sebutlah Wageningen
University and Research Centre, TNO, NIZO Food Research, Utrecht University
dan Technische Universiteit Eindhoven. Institusi-institusi ini memiliki fokus riset
masing-masing yang langsung dapat diaplikasikan ke lapangan untuk
menunjang ekonomi mereka. Investasi penelitian untuk bidang ini mencapai
0,06% dari total GDP, tertinggi kedua setelah Denmark. Bayangkan,
Wageningen University and Research Centre dan Utrecht University saja
memiliki masing-masing 1500 dan 500 publikasi ilmiah dalam bidang ini.
Kelima, jargon bidang pertanian dan pangan yang menurut saya sangat
berorientasi pembangunan berkelanjutan. Jargon pertama adalah doing more
with less, mereka percaya kalau untuk meningkatkan produksi, bisa dengan
menggunakan lahan yang kecil, semakin hemat dalam penggunaan listrik, air
dan faktor produksi lainnya. Dan jargon kedua adalah higher added value, yaitu
dengan mencoba meningkatkan nilai tambah sebuah produk melalui mekanisme
teknologi terbaru.
Terdapat tiga pelajaran yang bisa kita petik dari pengalaman Belanda dalam
membangun bidang pertanian dan pangannya. Pertama, kekuatan kerjasama
triple-helix antara pemerintah, institusi riset dan perusahaan dalam mewujudkan
suatu tujuan bersama. Kedua, kekuatan jejaring logistik, rantai pasok, dan
pelabuhan dalam mendukung skema global value chain yang diterapkan. Ketiga,
adanya strategi yang terukur serta keinginan politik dari pemerintah sebagai
pengemudi pembangunan dalam memastikan rencana perkembangan bidang ini
berjalan dengan baik.
Saya kira, akan cukup banyak perusahaan di bidang pangan dan makanan yang
hadir dalam bagian 100 perusahaan yang akan dibawa PM Mark Rutte ke
Indonesia. Berbagai pertemuan dengan kementerian ekonomi, perdagangan,
dan pertanian sudah direncanakan. Akan menarik untuk melihat bagaimana
kejelian dari pengambil kebijakan Indonesia dan para pemangku kepentingan
dalam memanfaatkan peluang besar yang ditawarkan Belanda.