0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
57 tayangan14 halaman
Dokumen tersebut membahas hubungan antara negara, kota, dan desa dalam konteks urbanisasi dan pembangunan. Ia menjelaskan bagaimana urbanisasi telah melemahkan desa dengan menghisap sumber daya dan tenaga kerja desa untuk kepentingan kota dan negara, sementara pembangunan desa hanya berfokus pada proyek-proyek tanpa melibatkan masyarakat desa. Dokumen ini menyerukan perlunya pendekatan ruralis
Dokumen tersebut membahas hubungan antara negara, kota, dan desa dalam konteks urbanisasi dan pembangunan. Ia menjelaskan bagaimana urbanisasi telah melemahkan desa dengan menghisap sumber daya dan tenaga kerja desa untuk kepentingan kota dan negara, sementara pembangunan desa hanya berfokus pada proyek-proyek tanpa melibatkan masyarakat desa. Dokumen ini menyerukan perlunya pendekatan ruralis
Dokumen tersebut membahas hubungan antara negara, kota, dan desa dalam konteks urbanisasi dan pembangunan. Ia menjelaskan bagaimana urbanisasi telah melemahkan desa dengan menghisap sumber daya dan tenaga kerja desa untuk kepentingan kota dan negara, sementara pembangunan desa hanya berfokus pada proyek-proyek tanpa melibatkan masyarakat desa. Dokumen ini menyerukan perlunya pendekatan ruralis
lama terjalin hubungan ekonomi-politik sangat rumit yang tidak menguntungkan desa. Desa menciptakan negara, negara menciptakan kota, kota mengakumulasi modal, ketiganya sekaligus melemahkan dan menghisap desa Negara berdiri di atas desa dan negeri. Desa menjadi batu landasan bagi negara. Namun negara tidak pernah melakukan ruralisasi – desa dan per(tani)an – melainkan menghisap hasil bumi dan tenaga kerja murah dari desa. Urbanisasi membentuk dan mempertemukan negara, kota, dan modal.
Pertama, pembentukan kota sebagai pusat kekusaan, peradaban, dan modal.
Kedua, orang desa migrasi ke kota, kota mengkapitalisasi beragam aset desa menjadi modal. Kota mengambil hasil bumi dari desa, orang desa mengais rezeki ke kota.
Ketiga, kota menjadi tempat bagi pembentukan kewargaan (citizenship) dalam
bentuk pelayanan, fasilitas, lapangan pekerjaan, maupun pajak. Orang desa tetap menjadi wong ndeso atau menjadi penduduk semata.
Keempat, ketika kota mengalami eksplosi, urbanisasi ditempuh dengan
peluasan kota yang merambah ke desa-desa. Negara membedakan kota dan kabupaten.
Kabupaten adalah desa besar. Kota adalah modal besar.
Kabupaten menghadapi keterbatasan input dan output
pertumbuhan.
Kota mengalami surplus input dan output pertumbuhan. Masalah
utamanya terletak pada dampak (impact) pertumbuhan: kerusakan lingkungan, ketimpangan sosial, peminggiran, pemukiman tidak nyaman, kemacetan, kriminalitas, dll. Urbanisasi juga hadir sebagai ideologi dan kebijakan pembangunan yang menurut M Lipton disebut sebagai bias perkotaan (urban bias)
Teori bias perkotaan Lipton memiliki dua proposisi: proses
pembagunan di Dunia Ketiga secara sistematis abai terhadap pedesaan dan bias tertanam dalam struktur politik yang didominasi oleh perkotaan. Dengan kata lain, daerah pedesaan miskin karena mereka tidak memiliki kekuasaan politik. Gabungan seluruh aspek urbanisasi membentuk urbanisme.
Urbanisme adalah pandangan hidup, gaya hidup, ideologi, ekonomi-politik dan
kebijakan yang mengutamakan-memperkuat kota, sembari memperluas aglomerasi perkotaan untuk ruang dan mesin kapitalisme; mengonstruksi kota sebagai utopia kemajuan dan kekayaan; menempatkan kota sebagai “negara dalam negara” yang mengendalikan-mendominasi seluruh daerah dan desa di seluruh penjuru negeri. Kota merupakan pusat dan aktor urbanisme. Negara menciptakan kota. Kota menciptakan negara, memperkaya negara, mengatur negara, sekaligus menempatkan negara sebagai entitas dalam perkotaan global (Magnusson, 2011).
Kota mengakumulasi modal melalui campur tangan negara. Setelah menjadi
besar dan kuat, kota mengatur negara, sembari mendesak pemerintah untuk melayani kota dan menangani masalah akibat dari keserahakan kota. Kota menjadi agen dan arena neoliberalisme, yang telah menghasilkan bukan negara kecil-langsing, tetapi negara pasar yang membengkak besar melalui intervensi pemerintah (Plant, 2010) Akibatnya kota-kota besar sulit diperintah oleh pemerintah negara yang berdaulat (Lipton, 1977). Urbanisme merajut hubungan kota-desa dengan kerangka utopia kota (kebaikan kota) dan distopia desa (kebodohan dan keburukan desa). Watak urbanisme adalah anti-desa.
M. Krause (2013) menyebut gejala "imperialisme intelektual
perkotaan" yang memandang pedesaan dari perspektif perkotaan. Menurut kaum urbanis, desa itu kolot dan tertinggal, kota itu modern dan maju. Pandangan ini mengarahkan agar orang desa berpandangan kota, agar pindah ke kota. Kaum urbanis merancang dan menjalankan pendidikan untuk membuat orang desa berhaluan kota, menjadi milenial yang tajir, mengabdi kepada kapitalisme. Negara tidak melakukan ruralisasi desa sebagaimana negara melakukan urbanisasi kota.
Ketika kapitalisasi milik kota, negara melakukan ekspansi ke desa
dengan mantra pembangunan desa dengan kata-kota yang indah.
Pembangunan desa (termasuk SDGs Desa) berupaya memajukan
sambil melemahkan, membangun sambil menindas.
Pembangunan melakukan isolasi dan eksklusi terhadap desa.
Kapitalisasi melakukan eksploitasi terhadap desa. Ketika desa dibikin sibuk dengan pembangunan dan proyek dana desa, maka desa dikurung (isolasi) dengan kemiskinan dan keterbelakangan.
Ketika pembangunan regional, kawasan
perdesaan, dan kawasan khusus tanpa melibatkan (eksklusi) desa, maka pasti membuahkan ketimpangan. “Jika pembangunan hanya hadir dalam bentuk rencana, proyek, uang, data, dan laporan, orang bodoh sekalipun juga bisa. Orang tidak perlu sekolah”. (Yakobus Dumupa, 2022).
Pembangunan desa tela mengubah wajah desa, tetapi ia
bukanlah kekuatan tranformasi besar. Ia tidak berhasil menekan urbanisasi, tidak memakmurkan rakyat, dan tidak membentuk kewargaan bagi orang desa, kecuali hanya berputar-putar dengan proyek penanggulangan kemiskinan yang sibuk dengan aplikasi dan kalkulasi data statistik, yang sebenarnya tidak berguna untuk rakyat Orang perlu jujur dan kritis dalam memandang desa dan pembangunan.
Kalau tidak bisa membangun, maka tidak perlu membangun desa.
Tetapi kalau mau membangun desa, maka jangan menjadi orang
bodoh yang hanya sibuk dengan rencana, proyek, uang, angka, laporan, dan pertunjukan.
Kalau mau serius, maka ruralisasi adalah jalan kontra urbanisasi
untuk menghidupkan dan memperkuat desa, tentu dengan landasan prinsip berdaulat secara politik, adil secara hukum, dan makmur secara ekonomi.