Anda di halaman 1dari 2

Berita layak 5W+1H Mesti Anti Amplop

Oleh : Rijal (NPM 17.267) Kelas VII 01

S
ering kali kita menemukan beragam media online pemberitaan yang
masih kurang dengan keakuratan data kejadian yang disajikan di meja
publik. Padahal didalam pers tentunya dengan semakin meningkatnya teknologi,
pemberitaan dapat di-share dengan mudah dan memuat unsur kaedah-kaedah
jurnalistik.

Hal ini terjadi dikarnakan para pewarta yang bertugas masih minim dengan
konsep dalam penulisan pers itu sendiri. Ok saja kalau para wartawan punya rekam
jejak dalam dunia tulis menulis atau setidaknya pernah bergabung dalam sebuah
komunitas seperti yang ada dalam kampus, sehingga pewarta juga memiliki
kecakapan dalam menulis berbekal dari pengalamam tadi.

Di Samarinda misalnya, kita sering menjumpai media yang kadang hanya


menginformasikan kejadian yang tidak menganut unsur dasar penulisan pers. Kalimat
5W+1H adalah senjata utama dalam pewartaan. What, who, wen, why, where, dan
how diartikan dalam bahasa indonesia apa, siapa, kapan, mengapa, di mana, dan
bagaimana. Ini adalah dasar dalam kalimat pemberitaan sebuah pers.

Bisa jadi banyak pers yang masih ibarat pemula mereka kuranya melakukan
pelatihan kepada pewarta dan juga pada menejemen dalam struktur lembaga pers.
sehingga para pewarta yang seharusnya melewati tahap editing ini tidak lagi terjadi
dalam proses penyaringan untuk menerbitkan berita. kerap kali media juga tidak
menggunakan prosedur tahap editing sehingga wartawan bisa langsung membagikan
tulisannya di khayalak, kemudian ini yang menjadi tidak efektifnya penyajian berita.

Namun yang tidak kala penting adalah proses bagaimana menjadi pewarta
yang handal berkarakter dengan menjunjung tinggi kode etik pers. Didalam pers
sendiri kode etik merupakan mahkota trakhir untuk menguji seorang pewarta dan
lembaga. Tak banyak dari sekian wartawan masih memiliki karakter anti amplop,
penerimaan amplop diyakini akan tidak membuat wartawan bebas luas munilis
sehingga kredibilitas pers bisa terjatuh. jika hal ini terjadi maka akan bertolak
belakang dengan peran pers dalam menyuarakan kebenaran, wartawan yang menulis
sesuai dengan kemauan narasumber yang telah memberinya uang atau fasilitas jelas
telah menghianati tugasnya sebagai wartawan.

Seperti media Tempo misalnya, patron media masa kini. Banyak kalangan
media online turut berkiblat dengan gaya tulisan dan karakter media Tempo. Ini
dikarnakan media tersebut sangat mengedepankan independensi dan mahkota
daripada kode etik tadi. Mula dari pemberitaan, majalah harian, hingga jebolan buku
kalangan Tempo laris menjadi sasaran masyarakat.

Tempo pernah mengulik soal kasus surat yang datang dari seorang yang
menjadi narasumber kasus korupsi, dia mempertanyakan soal nama yang dicantumkan
dalam pemberitaan, sebelumnya ternyata narasumber tadi telah bersepakat kepada
pewarta untuk tidak menyebutkan identitasnya pada saat dimintai keterangan dalam
mengumpulkan informasi.

Berhubung wartawan ingin menggali lebih jauh informasi korupsi, ia


penasaran apakah benar orang yang diduga melakukan korupsi dalam penugasannya
itu enggan sama sekali dimintai keterangannya. Akibat surat yang masuk kepada
direksi Tempo akhirnya melakukan peringatan kepada wartawan atas dasar hak jawab
narasumber berdalih keberatan terkait permasalahan pemasangan identitas.

Jika dalam direksi Tempo tidak melakukan tindakan untuk menindak pewarta
yang melakukan pelanggaran kode etik atas kesepakatan dalam meminta informasi,
maka Tempo bisa saja pada saat itu enggan ada lagi orang yang membeberkan
informasi yang falit sekalipun orang itu menjadi saksi kunci dalam melakukan perkara
koropsi.

Ini pentingnya memberikan kehormatan wartawan dan lembaga sebagai harga


mati dalam penerapan kode etik jurnalis. Apa jadinya pers tanpa memperhatikan
kaidah dan kode etik, bercerita di banyak khalayak namun menerima amplop. Ramai
tapi menghianati pembaca.

Anda mungkin juga menyukai