Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peralihan struktur sosial masyarakat Indonesia dari pertanian ke industri, seiring dengan
peralihan gaya hidup masyarakat ke kondisi tidak sehat, telah memicu munculnya
penyakit tidak menular. Peningkatan jumlah penyakit tidak menular menyebabkan pola
penyakit bergeser dari penyakit menular ke tidak menular (pergeseran epidemiologi).
Salah satu penyakit tidak menular yang menunjukkan peningkatan adalah penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK). Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan penyebab
morbiditas dan mortalitas diseluruh dunia (Arisanti Yulanda et al., 2019). Penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit umum yang dapat dicegah dan diobati
dimana penyakit ini ditandai dengan gejala pernapasan persisten dan keterbatasan aliran
udara, biasanya penyakit ini disebabkan oleh kelainan jalan napas dan alveolar akibat
paparan yang signifikan terhadap partikel atau gas berbahaya, sehingga dapat
menyebabkan penderita penyakit paru obstruktif kronik mengalami gejala sesak napas
atau dyspnea (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2020).
Badan Kesehatan dunia (WHO) menyebutkan bahwa penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) merupakan penyebab utama kematian ketiga terbanyak di Dunia. Sebanyak
3,23 juta kematian ditahun 2019 dengan merokok sebagai penyebab utamanya
(Kemenkes, 2018). Laporan Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (GOLD, 2020) menyebutkan bahwa pada tahun 2010, sebanyak 384 juta orang
atau sekitar 11,7% dari populasi dunia jatuh sakit. Hingga tiga juta orang meninggal
akibat PPOK setiap tahun. PPOK didiagnosis pada tahun 2011 penyebab kematian
ketiga di Amerika Serikat dan pada tahun 2030. Diperkirakan kematian PPOK
meningkat menjadi 4,5 juta setiap tahunnya (GOLD, 2020). World Health Organization
(WHO) sendiri menyebutkan bahwa pada tahun 2020, PPOK akan menjadi penyebab
kematian tertinggi ketiga di seluruh dunia. (WHO, 2017).
PPOK merupakan salah satu penyakit tidak menular utama, yang agak jarang terekspos
karena kurangnya informasi yang diberikan. Prevalensi PPOK di negara-negara Asia
Tenggara diperkirakan 6,3% dengan prevalensi tertinggi terdapat di Vietnam (6,7%) dan
China (6,5%) (Oemiati, 2013). Di Indonesia sendiri prevalensi PPOK tertinggi terdapat
di Nusa Tenggara Timur (10,0%), diikuti Sulawesi Tengah (8,0%), Sulawesi Barat, dan

Universitas Hang Tuah Pekanbaru


Sulawesi Selatan masing-masing 6,7 persen. Prevalensi PPOK di Jawa Barat sebesar
4,0% (Riskesdas 2013). PPOK lebih umum pada laki-laki, tetapi karena peningkatan
penggunaan tembakau di kalangan perempuan di negara-negara berpenghasilan tinggi
dan risiko yang lebih tinggi dari paparan polusi udara dalam ruangan (seperti bahan
bakar biomassa yang digunakan untuk memasak dan pemanas) di negara-negara
berpenghasilan rendah, jumlah penyakit pada laki-laki dan perempuan hampir sama
(WHO, 2016) (Hasaini, 2020).
Berdasakan hasil data rekam medis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin
Achmad Provinsi Riau tahun 2014 didapatkan jumlah kasus lama PPOK pada 1 Januari
– 31 Desember 2014 sebanyak 650 orang dengan rata – rata tiap kunjungan perbulannya
adalah 54 orang. PPOK di Unit Rawat Jalan Paru RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau
termasuk 5 penyakit terbesar dari 15 penyakit paru yang terbanyak (Muthmainnah et al.,
2015)
Peningkatan ini juga berbanding lurus dengan peningkatan kebiasaan merokok di
berbagai negara, polusi udara dan biofuel lainnya yang merupakan faktor risiko utama
PPOK (Nugroho, Prayoga dan Nurhayati, 2022). Prevalensi internasioanl dari Global
Initiative Fot Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) stage II dan lebih tinggi
diperkirakan sekitar 10 % dimana angka ini terus meningkat secara bertahap (Asyrofy et
al., 2021).
Karakteristik pasien PPOK sebanyak 80,6% adalah laki-laki dan 66,7% adalah berusia
51 sampai 70 tahun (Tarigan & Juliandi, 2018). Hasil penelitian lain menunjukkan
keselarahan yaitu sebanyak 60,96% pasien PPOK adalah laki-laki (ROSHA, 2017).
Sebagian besar pasien PPOK (>53%) adalah merokok. Sedikit berbeda dengan hasil
penelitian lainnya yang menunjukkan bahwa 45,89% pasien PPOK tidak memiliki
kebiasaan merokok (ROSHA, 2017).
Faktor risiko utama PPOK adalah merokok. Respon inflamasi awal pada epitel saluran
napas yang diinduksi oleh merokok dapat dianggap sebagai faktor risiko penting untuk
perkembangan PPOK, dan seiring perkembangan penyakit, obstruksi saluran napas
menjadi ireversibel melalui infeksi saluran napas berulang, yang menyebabkan
obstruksi yang memburuk dan progresif. Disabilitas Seiring berkembangnya penyakit,
infeksi pernapasan menyebabkan gagal napas akut hingga infeksi berkembang menjadi
gagal napas kronis (Arisanti Yulanda et al., 2019).

Universitas Hang Tuah Pekanbaru


Penyakit paru obstruktif kronik berkembang perlahan dan biasanya menjadi jelas setelah
40 atau 50 tahun. Gejala PPOK yang paling umum adalah sesak napas, batuk kronis,
dan produksi dahak. Kondisi penderita akan memburuk dan mengganggu kehidupan
sehari-hari penderita PPOK. Sesak napas merupakan gejala klinis utama PPOK. Sesak
napas tersebut biasanya terasa semakin parah pada pagi hari, sehingga mengganggu
aktivitas sehari-hari penderita. Pasien PPOK juga sering mengalami sesak pada malam
hari yang mempengaruhi kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas pagi hari
(Lange et al, 2016). Gejala sesak nafas yang terjadi pada pagi atau sore hari dapat
mempengaruhi kemampuan penderita dalam melakukan aktivitas. Meskipun banyak
pengobatan, sebagian besar pasien PPOK masih mengalami sesak napas yang signifikan
dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat pernapasan yang cepat dapat menyebabkan
kelelahan otot pernapasan (Borge et al, 2014) dalam penelitian (Arisanti Yulanda et al.,
2019).
Disfungsi otot pernapasan dapat menyebabkan sesak napas, hiperkapnia, penurunan
fungsi otot pernapasan dan otot perifer, penurunan toleransi latihan dan kapasitas vital
paru sehingga terjadi kelemahan otot yang merupakan penyebab utama kualitas hidup
pasien PPOK (Heunk LMA et al., 2000). Disfungsi otot perifer merupakan salah satu
penyebab utama kelainan sistemik pada PPOK yang menyebabkan intoleransi latihan
sehingga menurunkan kualitas hidup pasien PPOK (Arisanti Yulanda et al., 2019).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam penatalaksanaan PPOK stabil jangka
panjang adalah pemberian edukasi. Pendidikan tentang PPOK menyesuaikan dengan
keterbatasan aktivitas dan mencegah laju perkembangan penyakit. Salah satu edukasi
yang dapat diberikan kepada pasien PPOK adalah tentang perawatan diri (Self Care)
sebagai landasan untuk manajemen diri dari penyakit kronik.
Edukasi yang akan dilakuin pada penelitian ini yaitu edukasi berhenti merokok, latihan
fisik berupa jalan santai, latihan pernafasan, nutrisi bagi penderita ppok dan kontrol
pengobatan. Hal ini sejalan dengan hasil Penelitian Sharma, Kumar dan Venkatshan
(2016) yang mengatakan bahwa pengetahuan tentang self care pasien PPOK masih
rendah, program edukasi secara signifikan meningkatkan pengetahuan dengan hasil
perbandingan skor Pre-test pengetahuan 20% pada kelompok eksperimen dan 19%
kelompok control. Post-tes skor pengetahuan 80% pada kelompok eksperimen dan 23%
pada kelompok control.

Universitas Hang Tuah Pekanbaru


Hasil penelitian Yu, Guo dan Zhang (2014) bahwa edukasi self care meningkatkan
kualitas hidup pasien dirumah. Penelitian Efraimmson, Hilervik dan Ehrenberg (2008)
mengatakan bahwa perawatan konvensional saja tidak memiliki efek pada kualitas
hidup dan kebiasaan merokok pasien. Sedangkan hasil penelitian Zwerink, Brusse,
Vander, Zielhuis, Monninkhof, Vander, Frith, dan Effing (2014) menyatakan bahwa self
care sangat penting dalam pengelolaan penyakit kronik dalam menangani gejala, cara
pengobatan, beradaptasi dengan perubahan gaya hidup yang berhubungan dengan
penyakit fisik, psikologis dan konsekuensi sosial.
Pengobatan PPOK stabil jangka panjang merupakan program latihan fisik yang
ditujukan untuk mengurangi gejala terutama dispnea dan meningkatkan fungsi paru
sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK. Kualitas hidup menurut teori
Lawrence W. Green menempatkan kualitas hidup sebagai sasaran utama yang ingin
dicapai dalam meningkatkan derajat kesehatan sehingga akan tergambarkan masalah
kesehatan yang sedang dihadapi.
Pendekatan non farmakologi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien PPOK adalah rehabilitasi paru yang meliputi terapi batuk efektif, latihan teknik
pernapasan active cycle of breathing technique (ACBT) latihan jalan kaki, dan bersepeda
(Brien et al, 2018). Kemampuan self care pasien PPOK dalam penelitian ini mengacu
pada Orem's Nursing Theory of self care (1971), menurut Dorothea Orem self care
adalah suatu tindakan yang mengupayakan agar seseorang memiliki kemampuan untuk
mengembangkan kemampuan yang dimiliki agar mereka dapat digunakan secara tepat
untuk mempertahankan fungsi optimal Orem dalam Tomey & Alligood, 2006).
Penatalaksanaan kondisi PPOK sangat kompleks, salah satunya bertujuan untuk
meningkatkan aktivitas fisik dan meminimalkan dampak pada fungsi sehari-hari.
Manajemen dapat berupa berhenti merokok, mengoptimalkan pengobatan, rehabilitasi
paru dan strategi dalam mengidentifikasi dan mengobati eksaserbasi (Arisanti Yulanda
et al., 2019).
Menurut Magfiret & Alberto (2006) dalam penelitian (Hasaini, 2020) yang berjudul self
care education terhadap kualitas hidup pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
menyatakan bahwa pasien yang memiliki kepercayaan diri lebih cenderung melakukan
keterampilan perilaku kesehatan. Oleh karena itu diharapkan pemberian self care
education dapat meningkatkan efikasi individu karena dengan efikasi diri yang tinggi

Universitas Hang Tuah Pekanbaru


individu akan lebih mampu mengelola penyakitnya. Penting bagi pasien PPOK untuk
meningkatkan efikasi diri dalam menentukan rejimen perawatan diri, karena hal ini
diperlukan untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan atau tidak dan juga dapat
mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Kualitas hidup sangat penting bagi pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK),
karena dengan kualitas hidup yang baik, pasien dapat mengontrol penyakitnya dan
menjaga kesehatan secara maksimal, sehingga kesejahteraannya lebih aman. Dukungan
sosial dapat meningkatkan salah satu aspek kualitas hidup pasien (Mirza, 2017). World
Health Organization atau WHO (2012) menyebutkan bahwa kualitas hidup adalah
pemahaman individu tentang status dirinya dalam kehidupan, latar belakang budaya dan
sistem nilai dalam kehidupan, dan terkait dengan tujuan hidup, harapan, standar,
perhatian, dan prioritas hidup seseorang.
Kurangnya perawatan diri dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) sehingga kondisi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
dapat menimbulkan berbagai masalah fisik dan psikis. Dalam hal ini jika intervensi
tidak segera di lakukan dapat menyebabkan komplikasi PPOK yang selanjutnya akan
menurunkan kualitas hidup pasien. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Self Care Education Terhadap Kualitas
Hidup Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik.”

1.2 Rumusan Masalah


Kualitas hidup sangat penting bagi pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK),
karena dengan kualitas hidup yang baik, pasien dapat mengontrol penyakitnya dan
menjaga kesehatan secara maksimal. Perawatan diri merupakan aspek penting dalam
meningkatkan kualitas hidup penderita PPOK. Adapun cara perawatan diri dengan
memberikan edukasi yang berupa teknik berhenti merokok, latihan fisik, latihan
pernapasan, batuk efektif, nutrisi bagi penderita PPOK. Berdasarkan uraian diatas dapat
dirumuskan suatu rumusan masalah apakah ada pengaruh self care education terhadap
kualitas hidup pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)?

Universitas Hang Tuah Pekanbaru


1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Menganalisis pengaruh self care education terhadap kualitas hidup pasien penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK)

1.3.2 Tujuan Khusus


1.3.2.1 Mengidentifikasi gambaran karakteristik responden (umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, lama menderita penyakit, riwayat status merokok, jumlah
merokok, lama merokok, jenis rokok dan derajat PPOK)
1.3.2.2 Mengidentifikasi self care pada pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
sebelum intervensi dan sesudah
1.3.2.3 Mengidentifikasi kualitas hidup pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
1.3.2.4 Mengidentifikasi pengaruh self care education terhadap kualitas hidup pasien
penyakit paru obstruktif (PPOK).

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi Masyarakat
Diharapkan hasil penelitian ini bisa memberikan informasi kepada masyarakat
mengenai self care education terhadap kualitas hidup pasien penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) dan bisa diterapkan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
1.4.2 Bagi Ilmu Keperawatan
Hasil dari penelitian ini di harapkan dapat menambah pengetahuan serta menjadi bahan
ajar mahasiswa dengan mata kuliah keperawatan medikal bedah serta upaya promotif
dan pertimbangan tindakan keperawatan. Penelitian ini juga dapat sebagai sumber
referensi mengenai pengaruh self care education terhadap kualitas hidup pasien
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan data dasar untuk pengabdian masyarakat.
1.4.3 Bagi Pelayanan Kesehatan
Diharapkan hasil penelitian ini bisa untuk membantu tenaga kesehatan dan keluarga
dalam upaya meningkatkan atau mempertahankan derajat kesehatan pasien.
1.4.4 Bagi Peneliti Selanjutnya

Universitas Hang Tuah Pekanbaru


Hasil ini dapat sebagai acuan serta bahan masukkan yang dapat menjadi sumber
informasi dalam penelitian yang lebih baik di masa yang akan datang khususnya terkait
pengaruh self care education terhadap kualitas hidup pasien penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK).

Universitas Hang Tuah Pekanbaru


DAFTAR PUSTAKA

Arisanti Yulanda, N., Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, J., Rizki Ridhowati, E., Larasati,
A., & Studi Keperawatan, P. (2019). ARTIKEL PENELITIAN Self Care Education
Terhadap Kualitas Hidup Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik. 10(2), 125–
131. https://doi.org/10.35816/jiskh.v10i2.128
Asyrofy, A., Arisdiani, T., Aspihan, M., Tinggi, S., & Kesehatan, I. (2021).
Karakteristik dan kualitas hidup pasien Penyakit Paru Obstruksi Konik ( PPOK ).
7(1), 13–21.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. (2020). GOLD Report 2020.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 141.
https://goldcopd.org/wp-content/uploads/2019/12/GOLD-2020-FINAL-ver1.2-
03Dec19_WMV.pdf
GOLD. (2017). Global Strategy For The Diagnosis, Management and Prevention of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
Hasaini, A. (2020). Lama menderita dengan kualitas hidup pasien ppok. Journal of
Nursing Invention, 1(1), 1–8.
Kemenkes, R. (2013). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI.
Lange, P., Godtfredsen, N.S., Olejnicka, B., Paradis, B., Curiac, D., Humerfelt, S., et al.
(2016). Symptoms and quality of life in patients with chronic obstructive
pulmonary disease treated with aclidinium in a real-life setting.European Clinical
Respiratory Journal, 3, 2- 11.http://dx.doi.org/10.3402/ecrj.v3.31232
Muthmainnah, Restuastuti, T., & Munir, S. M. (2015). GAMBARAN KUALITAS
HIDUP PASIEN PPOK STABIL DI POLI PARU RSUD ARIFIN ACHMAD
PROVINSI RIAU DENGAN MENGGUNAKAN KUESIONER SGRQ. JOM FK,
2(2).
Rosha, & Dewi. (2016). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Pasien
Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Berita Kedokteran Masyarakat (BKM Journal of
Community Medecine and Public Health), 34(2), 62-66.

Universitas Hang Tuah Pekanbaru


Rosha, P. T. (2017). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Pasien Rawat
Jalan Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) di Poli Paru RS PKU
Muhammadiyah dan RSUD Kabupaten Temanggung. Universitas Gadjah Mada,
Tarigan, A. P. S., & Juliandi, J. (2018). Pernafasan Pursed Lip Breathing Meningkatkan
Saturasi Oksigen Penderita PPOK Derajat II. Jurnal On Line Keperawatan
Indonesia, 1(2), 39-46.

Universitas Hang Tuah Pekanbaru

Anda mungkin juga menyukai