Anda di halaman 1dari 10

TUGAS KELOMPOK

“BIOSTATISTIK LANJUT"

HUBUNGAN JENIS KELAMIN DAN UMUR


TERHADAP KEJADIAN ISPA DI PUSKESMAS X TAHUN 2022

Dosen : Tri Bayu Purnama, SKM., M.Med. Sci

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 5
ANISAH LUBIS
ASMIDAR
DWI ANI RAHMAWATI
FARACHDIBA
IRZA MENKA KABAN
NADHIRAH
NORI ALISHA
SALBIYAH
SUNINGSIH
SUSI FITRI

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
INSTITUT KESEHATAN HELVETIA MEDAN
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmatNya Tugas Kelompok Biostatistik ini telah selesai disusun.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar
besarnya kepada dosen mata kuliah biostatistik kami Tugas ini merupakan
langkah yang baik untuk lebih menambah wawasaan kami demikiaanlah akhir
kata, kami ucapkan sekian dan terimakasih

Penyusun

Kelompok 5 Biostatistik

i
HUBUNGAN JENIS KELAMIN DAN UMUR
TERHADAP KEJADIAN ISPA DI PUSKESMAS X TAHUN 2022

Dari judul tersebut diatas dapat di identifikasi:

A. Variabel Independen Sebagai Berikut:


1. Umur
2. Jenis Kelamin

B. Variabel dependen
Kejadian ISPA

C. Data Setiap Variabel


Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah gangguan sistem
pernapasan yang paling sering. Faktor penyebab yang memengaruhi ISPA pada
anak terutama adalah faktor agen seperti beberapa virus yaitu rhinovirus,
respiratory syncytial virus (RSV), parainfluenza virus, severe acute respiratory
syndrome corona virus (SARS-CoV), dan virus influenza, atau dapat juga
diakibatkan oleh bakteri, jamur, dan protozoa. Faktor host juga memengaruhi
kejadian penyakit ISPA beberapa di antaranya jenis kelamin, usia, status gizi,
riwayat BBLR, status pemberian ASI (air susu ibu) eksklusif, status imunisasi,
dan penyakit lain. Faktor terakhir yang memengaruhi kejadian penyakit ISPA
adalah faktor lingkungan seperti polusi udara, status ekonomi, dan juga
pendidikan orangtua (Iskandar, 2015).
Menurut Depkes RI, 2014, ISPA adalah infeksi akut yang melibatkan
organ saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah.
Saluran pernapasan atas (jalan napas atas) terdiri dari hidung, faring dan laring.
Saluran pernapasan bawah terdiri dari bronkus, bronkiolus, dan alveoli. ISPA
diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala, tenggorokan terasa sakit
atau nyeri saat menelan, pilek, batuk kering atau berdahak. Umumnya penyakit
infeksi saluran pernapasan akut biasanya ditandai dengan keluhan dan gejala yang
ringan, namun seiring berjalannya waktu, keluhan dan gejala yang ringan tersebut
bisa menjadi berat kalau tidak segera diatasi.
Kasus kematian tertinggi umumnya terjadi pada usia balita yang rentan
terhadap penyakit. Statistik menunjukkan bahwa lebih dari 70% kematian balita
disebabkan oleh ISPA (pneumonia), diare, campak, malaria, dan malnutrisi .
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan kondisi umum yang
menyerang sebagian masyarakat dalam waktu tertentu dan menjadi penyakit
utama penyebab kematian bayi dan balita di Indonesia. Beberapa hasil SKRT
diketahui bahwa 80 sampai 90% dari seluruh kasus kematian ISPA disebabkan
Pneumonia (Depkes, 2012).

1
Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013
menyatakan prevalensi ISPA di Indonesia sekitar 25%. Di Provinsi Lampung
pada tahun yang sama, prevalensi ISPA sekitar 20% (Dinkes Provinsi Lampung,
2013) ²). Berdasarkan usia balita ditemukan 23% kasus ISPA berat terjadi pada
anak berusia di atas 6 bulan. Berdasarkan jenis kelamin diketahui terdapat
perbedaan jumlah penderita ISPA, yaitu insiden lebih tinggi pada anak laki-
laki(Kemenkes RI, 2013). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa insiden
ISPA paling tinggi terjadi pada bayi di bawah satu tahun, dan insiden menurun
dengan bertambahnya umur (Fibrilia, 2015).
Hasil penelitian Iskandar (2015) didapatkan Selama periode penelitian
terdapat 239 anak yang berkunjung ke Poli Anak Rumah Sakit Umum (RSU)
Nurhayati Kabupaten Garut. Anak yang menderita ISPA yang sesuai dengan
kriteria inklusi sebanyak 68 anak (47,2%). Responden yang menderita penyakit
selain ISPA (non ISPA) berjumlah 79, tetapi dari jumlah tersebut yang terpilih
sebagai kontrol yang sesuai dengan kriteria inklusi berjumlah 76 anak (52,8%),
Sebanyak 58% anak laki-laki menderita ISPA dan 42% non ISPA, hasil tersebut
berbeda dengan anak perempuan, ditemukan 68% anak non ISPA dan 32% ISPA.
Anak laki-laki lebih berisiko terkena ISPA sebanyak 1,839 kali bila dibandingkan
dengan perempuan. Nilai koefisien phi sebesar 0,263, menyatakan bahwa jenis
kelamin mempunyai korelasi derajat Iemah dengan kejadian ISPA. Hubungan
antara usia dan kejadian ISPA menunjukkan sebanyak 58% anak usia 1—3 tahun
menderita ISPA dan 42% anak non ISPA.
Di puskesmas X didapat kan responden sebanyak 30 anak, dengan usia
antara 0-5 tahun. Dan dilakukan Uji Korelasi untuk menunjukkan keeratan
hubungan.
Dari kedua variabel dapat ditentukan skala ukur yang diambil adalah skala
ukur Nominal
Umur =
No Diagnosa = Y X2² X2Y Y²
X2
1 2 2 4 4 4
2 2 2 4 4 4
3 2 2 4 4 4
4 2 2 4 4 4
5 1 1 1 1 1
6 2 1 4 2 1
7 2 2 4 4 4
8 2 2 4 4 4
9 2 2 4 4 4
10 1 1 1 1 1
11 1 1 1 1 1
12 1 1 1 1 1

2
Umur =
No Diagnosa = Y X2² X2Y Y²
X2
13 1 1 1 1 1
14 2 2 4 4 4
15 2 2 4 4 4
16 2 2 4 4 4
17 2 2 4 4 4
18 2 2 4 4 4
19 2 2 4 4 4
20 2 2 4 4 4
21 2 2 4 4 4
22 1 1 1 1 1
23 2 2 4 4 4
24 2 2 4 4 4
25 2 2 4 4 4
26 1 1 1 1 1
27 1 1 1 1 1
28 2 2 4 4 4
29 2 1 4 2 1
30 2 2 4 4 4
Total 52 50 96 92 90
Tabel Hubungan Umur dan Kejadian ISPA

Keterangan :
Umur : 1 adalah usia responden dibawah 3 tahun
2 adalah usia responden di atas 3 tahun
Diagnosa : 1 adalah responden dengan diagnose ISPA
2 adalah responden dengan deiagnosa non ISPA

r XY= n(∑XY)-(∑X∑y)
√{n∑X²-(∑X)²} [n∑y²-(∑y)²]

= 30(92)-(52)(50)
√{30(96)-(52)²}{30(90)-(50)²}

= 160
√{2880-1849}{2700-2500}

= 160
√(176)(200)

3
= 160
√35200

= 160
186,616

= 0,857375573

Kekuatan hubungan Menurut colton.


• r= 0,00-0,25 → tidak ada hubungan/ hubungan lemah
• r=0,26-0,50 → hubunagn sedang
• r= 0,51-0,75→ hubungsn kuat
• r= 0,76-1,00→ hubungsn sangat kuat/sempurna

Jenis
No Kelamin = Diagnosa = Y X1² X1Y Y²
X1
1 1 2 1 2 4
2 1 2 1 2 4
3 1 2 1 2 4
4 2 2 4 4 4
5 1 1 1 1 1
6 2 1 4 2 1
7 1 2 1 2 4
8 2 2 4 4 4
9 1 2 1 2 4
10 2 1 4 2 1
11 2 1 4 2 1
12 1 1 1 1 1
13 1 1 1 1 1
14 2 2 4 4 4
15 1 2 1 2 4
16 2 2 4 4 4
17 2 2 4 4 4
18 2 2 4 4 4
19 1 2 1 2 4
20 2 2 4 4 4
21 2 2 4 4 4

4
Jenis
No Kelamin = Diagnosa = Y X1² X1Y Y²
X1
22 1 1 1 1 1
23 1 2 1 2 4
24 1 2 1 2 4
25 1 2 1 2 4
26 1 1 1 1 1
27 1 1 1 1 1
28 2 2 4 4 4
29 1 1 1 1 1
30 2 2 4 4 4
Total 43 50 69 73 90
Tabel Hubungan jenis Kelamin dan Kejadian ISPA

Keterangan :
Jenis Kelamin : 1 adalah usia responden perempuan
2 adalah usia responden laki laki
Diagnosa : 1 adalah responden dengan diagnose ISPA
2 adalah responden dengan deiagnosa non ISPA
r XY= n(∑XY)-(∑X∑y)
√{n∑X²-(∑X)²} [n∑y²-(∑y)²]

= 30(72)-(43)(50)
√{30(69)-(43)²}{30(90)-(50)²}

= 10
√{2070-1849}{2700-2500}

= 10
√(221)(200)

= 10
√44200

= 10
210,238

= 0,04756514

5
Kekuatan hubungan Menurut colton.
• r= 0,00-0,25 → tidak ada hubungan/ hubungan lemah
• r=0,26-0,50 → hubunagn sedang
• r= 0,51-0,75→ hubungsn kust
• r= 0,76-1,00→ hubungsn sangat kuat/sempurna

Kesimpulan dari data diatas adalah sebagai berikut:


1. Terdapat Hubungan antara Usia/ Umur dengan kejadian ISPA.
ISPA sering terjadi pada bayi dan anak balita. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa insiden ISPA paling tinggi terjadi pada bayi di bawah
satu tahun, dan insiden menurun dengan bertambahnya umur. Kondisi ini
dimungkinkan karena pada 10 tahun pertama kehidupan manusia, sistem
pernafasan masih terus berkembang untuk mencapai fungsi yang
sempurna, terutama dalam perbentukan alveoli, selain itu hal tersebut
menunjukkan usia yang lebih muda rentan terkena infeksi. Teori ini sesuai
dengan hasil penelitian, yaitu didapatkan hasil r sebesar 0,857375573,
menurut teori colton hal tersebut berarti terdapat hubungan yang juat
antara umur dan ISPA.
Terjadinya ISPA pada balita umumnya merupakan kejadian infeksi
pertama serta belum terbentuknya secara optimal proses kekebalan secara
alamiah. Sistem kekebalan tubuh seseorang sangat berpengaruh dalam
melawan infeksi virus maupun bakteri terhadap tubuh manusia. Risiko
seseorang mengalami infeksi akan meningkat ketika kekebalan tubuh
lemah. Kondisi cenderung terjadi pada anak – anak dan orang yang lebih
tua. Sedangkan orang dewasa sudah banyak terjadi kekebalan alamiah
yang lebih optimal akibat pengalaman infeksi yang terjadi sebelumnya
(Behrman & Arvin, 2000).
Pemberian imunisasi merupakan salah satu usaha untuk membentuk
sistem antibodi pada tubuh manusia. Antibodi yang terbentuk dari
imunisasi memerlukan waktu untuk dapat berfungsi. Kelengkapan
pemberian imunisasi dapat membantu pembentukan antibodi secara
optimal diharapkan dapat menekan perkembangan penyakitnya tidak
menjadi lebih berat jika terkena ISPA. Berdasarkan kondisi bayi, pada 6
bulan pertama kehidupan bayi, sistem kekebalan tubuh berasal dari ibu.
Sebelum usia 3 bulan, bayi memiliki kecepatan infeksi lebih rendah,
kondisi ini dimungkinkan adanya fungsi protektif dari antibodi maternal.
Pada usia 3 sampai dengan 6 bulan kecepatan infeksi meningkat. Pada usia
ini, merupakan waktu antara hilangnya antibodi maternal dan munculnya
antibodi bayi sendiri (Wong dkk, 2008) 14). Wantania (2008) 14)
menyebutkan pemberian Asi mempunyai pengaruh proteksi terhadap ISPA
selama setahun pertama. Penelitian – penelitian yang dilakukan pada

6
sepuluh tahun terakhir, menunjukkan bahwa ASI kaya akan faktor antibodi
untuk melawan infeksi bakteri dan virus. Hasil penelitian lain menunjukan
bahwa Asi mampu melindungi bayi terhadap ISPA dan diare.

2. Tidak terdapat hubungan antara Jenis kelamin dengan kejadian ISPA


Dari hasil perhitangan r dari table jenis kelamin dan kejadian ISPA
didapatkan hasil r = 0,04756514. Menurut teori colton dengan hasil r=
0,00-0,25 tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dan ispa. Pada
umumnya tidak ada perbedaan insiden ISPA akibat virus atau bakteri pada
laki-laki dan perempuan. Akan tetapi ada yang mengemukakan bahwa
terdapat sedikit perbedaan, yaitu insidens lebih tinggi pada anak laki-laki.
Pada dekade yang lalu, hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi
balita berdasarkan jenis kelamin terdapat perbedaan antara laki – laki dan
perempuan yaitu 59% pada balita laki – laki dan 41% pada balita
perempuan, dan penelitian tersebut menyatakan bahwa, ISPA lebih sering
terjadi pada balita laki – laki dibandingkan pada balita perempuan
(Maryunani, Anik, 2010).
Hasil penelitian Ranny Ranantha tahun 2014 menunjukkan 70% ISPA
terjadi pada balita laki – laki. Balita dengan jenis kelamin laki – laki 1,5
kali lebih sering menderita penyakit ISPA dibandingkan dengan balita
perempuan. Hal ini lebih disebabkan karena anak laki – laki lebih banyak
berada di luar rumah dibandingkan anak perempuan (Kristina, 2013).
Pada penelitian ini diketahui bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara jenis kelamin dengan ISPA. Hasil ini selaras dengan
penelitian Mei Elyana dan Aryu Candra (2013), tidak ada hubungan antara
jenis kelamin dengan kejadian ISPA. Kondisi ini dimungkinkan adanya
pergeseran terhadap kebiasaan pada anak. Saat ini baik anak laki – laki
maupun perempuan memiliki kencenderungan yang sama dalam hal
bermain. Pada era ini anak – anak lebih sering bermain di dalam rumah
dengan fasilitas yang tersedia dibandingkan bermain di luar rumah. Tetapi
dalam penelitian tersebut tidak membedakan kebiasaan antara anak – anak
yang berada dalam lingkungan perkotaan dengan lingkungan pedesaan.

7
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO, 2007, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) yang Cenderung
menjadi Epidemi dan Pedemi, Tersedia online:
[http://www.acehforum.or.id] [12 Februari 2015].
2. Departemen Kesehatan RI, 2012, Survey Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) Tahun 2011. Jakarta.
3. Dinas Kesehatan Provinsi Lampung 2013, Profil Kesehatan Provinsi
Lampung tahun 2012, Bandar Lampung.
4. Kementerian Kesehatan, 2013, Riset Kesehatan Dasar, Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta.
5. Maryunani, Anik, 2010, Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan, Jakarta:
Trans Info Media
6. Kartasasmita, B, C. 2010. Pneumonia Pembunuh Nomor 1, Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
7. Ranny, Liviandari Ranantha, 2014, Hubungan Karakteristik Balita dengan
Kejadian ISPA pada Balita di Desa Gandon Kecamatan Kaloran
Kabupaten Temanggung, Tersedia Online: [http://eprints.dinus.ac.id] [17
Februari 2015].
8. Behrman, K. & Arvin, N., 2000. Pemberian Makanan Bayi dan Anak.
Ilmu Kesehatan Anak, Vol.1, Penerbit Buku Kedokteran RGC, Jakarta
9. Wantania, J.M., Naning, R., Wahani, A, 2008. Insfeksi Respirarori Akut.
Buku Ajar Respiratologi Anak Edisi Pertama. Ikatan Dokter Anak
Indonesia, Jakarta
10. Kristina, Ni Nyoman, 2013, Mengenal Penyakit Pneumonia (ISPA), Dinas
Kesehatan Provinsi Bali, Tersedia online: [www.diskes.baliprov.go.id] [7
Maret 2015]
11. Mei Elyana, Aryu Candra, 2013, Hubungan Frekuensi ISPA dengan Status
Gizi Balita di Klinik Masjid Agung Jawa Tengah, Tersedia online:
[http://ejournal.undip.ac.id] [12 Februari 2015].
12. Sukmawati, dan Sri D.A, 2009, Hubungan Status Gizi, Berat Badan Lahir,
Imunisasi, dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Tunikamaseang Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros,
Tersedia Online: [http://jurnalmediagizipangan.files.wordpress.co m] [17
Februari 2015].
13. Layuk, Ribka Rerung, 2013, Faktor yang berhubungan dengan Kejadian
ISPA pada Balita di Lembang Batu Sura, Tersedia online:
http://repository.unhas.ac.id] [17 Februari 2015]
14. Fibrilia, Firda, 2015, Hubungan Usia , jenis Kelamin dan Berat Badan
lahir dengan kejadian ISPA, Jurnal kesehatan metro Sai Wawai.
15. Iskandar, Azri dkk, 2015, Hubungan Jenis Kelamin dan Usia Anak satu
sampai Lima Tahun dengan Kejadian ISPA,

Anda mungkin juga menyukai