Anda di halaman 1dari 54

PENGARUH KONSENTRASI PEWARNA WANTEX (BIRU)

TERHADAP FREKUENSI GAGAL BERPISAH (NDJ) DROSOPHILA


MELANOGASTER STRAIN ♀N >< ♂w BESERTA RESIPROKNYA

LAPORAN PENELITIAN PROYEK

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Genetika II

yang dibimbing oleh Prof. Dr. Siti Zubaidah, M. Pd dan Deny Setiawan, M.Pd.

Oleh:
Kelompok 6/Offering B 2020
Afifatul hikah 200341617280
Ahmad jauhari 200341617230
Aryan dita aprillia putri 200341617247
Paulina retno ningtyas 200341617212
Shela Dinandya salfira 200341617299

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN BIOLOGI

Oktober 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
semua limpahan rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusun
proposal proyek penelitian Nondisjunction Drosophila melanogaster dengan tepat
waktu.

Proposal disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Genetika 2 dan harapan
kami semoga proposal proyek genetika yang telah tersusun dapat bermanfaat
sebagai salah satu rujukan bagi pembaca, menambah wawasan serta menambah
referensi bagi pembaca yang akan melakukan penelitian lebih lanjut, sehingga
nantinya dapat memperbaiki bentuk maupun isi laporan proyek menjadi lebih baik
lagi.

Kami tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada Bapak Deny
Setiawan M. Pd., selaku dosen pengampu mata kuliah Genetika 2 beserta asisten
laboratorium yang selalu membimbing dan memberikan dukungan kepada kami,
sertat kepada semua pihak yang membantu kami dalam hal penyusunan laporan.

Sebagai tim penulis, kami mengakui bahwa masih banyak kekurangan pada
laporan proposal proyek. Oleh sebab itu, kami berharap kepada para pembaca
untuk memberikan kritik dan saran untuk kami gunakan sebagai bahan perbaikan
proposal.

Malang, 16 Oktober 2022

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Perbedaan Morfologi D. melanogaster Jantan dan Betina


Tabel 2 Indeks Kelamin Drosophila melanogaster
Tabel 3 Perkembangan Drosophila melanogaster pada suhu 25ºC
Tabel 4 Teknik Pengumpulan Data

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Drosophila melanogaster

Gambar 2 Struktur Kimia Indigo Carmine

Gambar 3 Peristiwa Gagal Berpisah Selama Tahap Meiosis


Gambar 4 Peristiwa Gagal Berpisah Selama Tahap Meiosis

iv
DAFTAR LAMPIRAN

Gambar 1. Pembuatan Media


Gambat 2. Ampulan anak D.melanogaster
Gambar 3. Botol peremajaan
Gambar 4. Botol perlakuan
Gambar 5. Botol Kaca
Gambar 6. Selang

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

D. melanogaster adalah lalat buah yang sudah digunakan sebagai subjek


peneilitian genetika pada awal abad-10 (Dubnau, 2014). D. melanogaster adalah
subjek penelitian yang sangat ekstensif digunakan dalam bidang genetika (Capy
& Gibert, 2004). Karakteristik dari D. melanogaster memiliki siklus hidup yang
cepat, hanya memiliki sedikit kromosom, ukuran genom yang kecil, dan memiliki
kromosom besar di kelenjar ludah yang menjadikan D. melanogaster dipilih
dalam penelitian genetika (Hartwell, dkk., 2011). Thomas Hunt Morgan
merupakan ilmuwan yang menemukan konsep pautan kelamin pada tahun 1910
dengan memanfaatkan D. melanogaster (Hartwell, dkk., 2011). Konsep lain
seperti pautan kromosom dan pindah silang merupakan konsep genetika yang
muncul setelah ilmuwan memanfaatkan persilangan dengan juga menggunakan
D. melanogaster (Corebima, 2013).
D. melanogaster memiliki banyak gen yang berfungsi selama meiosis.
Ada beberapa mutasi yang dapat mengganggu meiosis pada D. melanogaster.
Akibat dari mutasi terdapat dampak salah satunya peristiwa nondisjunction (gagal
berpisah). Peristiwa ini terjadi ketika kromosom gagal untuk berpisah selama
meiosis. Menurut Urry, et al. (2021) Nondisjunction diartikan sebagai suatu
peristiwa ketika bagian-bagian dari sepasang kromosom homolog tidak
memisahkan diri pada saat meiosis I atau kromatid sister gagal berpisah selama
meiosis II. Peristiwa NDJ menyebabkan kedua kromosom kelamin X gagal
berpisah selama meiosis, sehingga keduanya menuju ke kutub yang sama dan
terbentuk telur yang memiliki dua kromosom X dan yang tidak memiliki
kromosom X (Corebima, 2013). Jika salah satunya bersatu dengan gamet normal
saat proses pembuahan, maka keturunan yang dihasilkan memiliki jumlah
kromosom tidak normal atau aneuploidi (Urry, et al., 2021).

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dari penelitian yaitu
1. Apakah terdapat pengaruh variasi konsentrasi pewarna 0%, 0,25%,
0,50%, 0,75% terhadap frekuensi gagal berpisah (nondisjunction) pada
Drosophila melanogaster persilangan ♀N >< ♂w beserta resiproknya?
2. Apakah ada pengaruh macam strain terhadap frekuensi gagal berpisah
(nondisjunction) pada Drosophila melanogaster persilangan N♀ ><we♂
beserta resiproknya?
3. Apakah ada pengaruh interaksi variasi konsentrasi pewarna 0%, 0,25%,
0,50%, 0,75% dan macam strain terhadap frekuensi gagal berpisah
(nondisjunction) pada Drosophila melanogaster persilangan ♀N >< ♂w
beserta resiproknya?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijabarkan, maka peneliti mendapatkan
tujuan sebagai berikut.
1. Mengetahui pengaruh variasi konsentrasi pewarna 0%, 0,25%, 0,50%,
0,75% terhadap frekuensi gagal berpisah (nondisjunction) pada
Drosophila melanogaster persilangan ♀N >< ♂w beserta resiproknya?
2. Mengetahui pengaruh macam strain terhadap frekuensi gagal berpisah
(nondisjunction) pada Drosophila melanogaster persilangan N♀ ><we♂
beserta resiproknya?
3. Mengetahui pengaruh interaksi variasi konsentrasi pewarna 0%, 0,25%,
0,50%, 0,75% dan macam strain terhadap frekuensi gagal berpisah
(nondisjunction) pada Drosophila melanogaster persilangan ♀N >< ♂w
beserta resiproknya?

2
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian yang dilakukan sebagai berikut.
1. Bagi penulis.
a. Mengetahui fenotip F1 yang muncul dari persilangan D. melanogaster
♀N >< ♂w beserta resiproknya
b. Mengetahui fenomena gagal berpisah pada persilangan D.
melanogaster ♀N >< ♂w beserta resiproknya
c. Mengetahui perbedaan frekuensi NDJ pada persilangan D.
melanogaster ♀N >< ♂w beserta resiproknya
2. Bagi pembaca.
a. Memberikan informasi mengenai peristiwa nondisjunction, pada
frekuensi gagal berpisah D. melanogaster.
d. Memberikan informasi mengenai fenomena gagal berpisah pada
persilangan D. melanogaster ♀N >< ♂w beserta resiproknya
e. Dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis, logis, dan ilmiah
agar mampu menganalisis fenomena pewarisan sifat pada
nondisjunction
f. Dapat menambah referensi bagi pembaca yang akan melakukan
penelitian lebih lanjut

E. Ruang Lingkup dan Batasan Masalah


Ruang lingkup dan Batasan masalah yang dimuat sebagai berikut.
1. Strain D. melanogaster yang digunakan adalah strain N dan w yang
diperoleh dari Laboratorium Genetika Jurusan Biologi FMIPA UM
2. Pengamatan yang diamati meliputi warna mata
3. Pengambilan data diperoleh dari pengamatan fenotip dan hasil persilangan
D. melanogaster pada strain ♀N >< ♂w beserta resiprok nya
4. Konsentrasi pewarna sintetis yang digunakan dalam penelitian adalah 0%,
0,25%, 0,50%, dan 0,75%

3
F. Asumsi Penelitian
Asumsi penelitian yang dimuat sebagai berikut.
1. Semua aspek biologi pada D. melanogaster dianggap sama kecuali warna
mata
2. Semua perlakuan yang dilakukan pada setiap ulangan persilangan selama
proses penelitian dianggap tidak sama (perbedaan konsentrasi 0%, 0,25%,
0,50%, 0,75%)
3. Faktor eksternal (kondisi medium dalam tiap botol pada stok maupun
ulangan persilangan dari awal hingga akhir penelitian) dianggap sama,
dan kondisi lingkungan (suhu, cahaya, kelembapan, pewarna sintesis,
medium) dianggap sama
4. Diasumsikan setiap individu pada D. melanogaster belum mengalami
peristiwa peristiwa nondisjunction

G. Definisi Operasional
Definisi operasional yang dimuat sebagai berikut.
1. Strain merupakan kelompok intra-spesifik yang memiliki hanya satu atau
sejumlah kecil ciri yang berbeda, biasanya secara homozigot untuk ciri-
ciri galur murni (Corebima, 2013). Selain itu, strain yang digunakan pada
penelitian ini adalah strain N dan W.
2. Fenotip diartikan sebagai karakter-karakter yang dapat diamati dan
nampak pada suatu individu mencakup morfologi, fisiologi, dan tingkah
laku yang berasal dari hasil interaksi antara genotipe dengan lingkungan
tempat hidup dan berkembangnya (Corebima, 2013).
3. Zat pewarna merupakan suatu bahan yang tersusun atas bahan kimia
alami maupun bahan kimia buatan (sintetik). Pewarna sintetik biasa
dikenal dengan pewarna buatan, proses pembuatannya biasanya melalui
perlakuan pemberian asam sulfat atau asam sitrat yang sering
terkontaminasi oleh logam atau arsen berat (Winarno, 1994). Beberapa zat
pewarna sintetis antara lain zat warna kuning (Tartrazine), merah

4
(Carmoisine), Hijau (Fast Green FCF), dan Biru (Brilliant blue/Indigo
Carmine).
4. Gagal berpisah atau nondisjunction merupakan peristiwa yang terjadi
pada gamet betina, dimana dalam dua kromosom X gagal memisah
selama meiosis (Corebima, 2013). Dengan demikian, keduanya menuju
kutub yang sama dan terbentuklah telur yang memiliki dua kromosom
kelamin X maupun yang tidak memiliki kromosom kelamin X

5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Drosophila melanogaster sebagai organisme model penelitian


Drosophila melanogaster atau dikenal sebagai lalat buah banyak
digunakan dalam penelitian-penelitian bidang genetika (Karmana, 2010). Selain
itu, D.melanogaster terkenal sebagai subjek penelitian yang sangat ekstensif
digunakan dalam bidang genetika. Beberapa alasannya antara lain karena
Drosophila melanogaster cepat berkembang biak, mudah diperoleh dan
dipelihara, cepat menjadi dewasa (umur 10-14 hari sudah dewasa). Pada
D.melanogaster betina mampu menghasilkan telur yang banyak, sehingga mudah
diteliti dan memiliki karakter fenotip yang terlihat nyata dan berbeda. Lalat buah
juga memiliki beberapa karakteristik lainnya yaitu mempunyai sejumlah karakter
maupun perilaku yang mudah diamati dalam kondisi laboratorium, menghasilkan
banyak keturunan, memiliki ukuran genom yang kecil, memiliki waktu generasi
yang pendek, serta memiliki sekian banyak jumlah mutan yang mampu
menggambarkan berbagai aspek biologis dari organisme.
Pada tahun 1990 Drosophila melanogaster pertama kali diperkenalkan
oleh seorang ilmuwan yang bernama Morgan dan Castel. Drosophila
melanogaster memiliki klasifikasi phylum Arthropoda, kelas Insecta, Ordo
Diptera, Suborder Cyclorrhapha, series Acalyptratae, Familia Drosophildae dan
Genus Drosophila (Hadi, 2009). Drosophila melanogaster (lalat buah)
merupakan serangga kecil dengan panjang dua sampai lima millimeter. Tidak
salah komunitasnya sering ditemukan di sekitar yang busuk atau rusak.
Klasifikasi D.melanogaster menurut Hadi (2009) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Diptera
Family : Drosophilidae
Genus : Drosophila
Spesies : Drosophila melanogaster

6
Gambar 1. Drosophila melanogaster jantan dan betina

Tabel 2 Perbedaan morfologi D. melanogaster jantan dan betina


Ciri Pembeda Lalat Jantan Lalat Betina
Ukuran Tubuh Biasanya lebih kecil Biasanya lebih besar
Warna Abdomen Ujungnya abdomen Ujung abdomen
berwarna kehitaman berwarna putih dan
terang
Sexcomb Memiliki sexcomb Tidak memiliki
sexcomb
Ukuran Relatif lebih pendek Relatif lebih panjang
Spermateka Tidak Memiliki spermateka
Jumlah segmen 5 segmen 7 segmen
abdomen

B. Jenis-Jenis Mutan Drosophila melanogaster


Mutan pada Drosophila melanogaster terdapat empat jenis yaitu bentuk
mata, warna mata, warna tubuh, dan bentuk sayap. Mutan pada warna mata antara
lain white, sepia, scarlet, clot dan claret. Sedangkan pada mutasi bentuk mata
adalah eyemissing.. Mutan pada bentuk sayap antara lain cut wings, miniature,
dumphy, vestigial, curly, dan taxi. Mutan pada warna tubuh antara lain yellow,
black, dan ebony. Menurut Wayan Karmana (2010) deskripsi singkat jenis-jenis
mutan Drosophila melanogaster sebagai berikut:
1) Black, seluruh tubuhnya berwarna hitam akibat adanya kerusakan pada gen
black pada kromosom kedua lokus 48.5.

7
2) Clot, mata berwarna maroon yang semakin gelap dan menjadi coklat seiring
dengan pertambahan usia.
3) Dump, sayap lebih pendek hingga dua pertiga panjang normal dengan ujung
sayap yang tampak seperti terpotong. Bulu pada dada tampak tidak sama
rata.
4) Ebony, lalat ini berwarna gelap, hampir hitam di badannya. Selain itu,
adanya suatu mutasi pada gen yang terletak pada kromosom ketiga.
5) Curly, sayap pada lalat berbentuk keriting. Sayap-sayap ini menjadi keriting
karena adanya suatu mutasi dominan, yang berarti bahwa satu salinan gen
diubah dan menghasilkan adanya kelainan tersebut.
6) Claret, mutan dengan mata berwarna merah anggur atau merah delima
(ruby). Mutasi terjadi pada kromosom nomor 3, lokus 100,7
7) Eyemissing, lalat mempunyai mata berupa titik, mengalami mutasi pada
kromosom ketiga di dalam tubuhnya, sehingga yang harusnya diintruksi sel
di dalam larva untuk menjadi mata menjadi tidak terbentuk karena adanya
mutasi.
8) Miniatur, sayap berukuran sangat pendek. Lalat dengan sayap vestigial ini
tidak mampu untuk terbang. Lalat ini memiliki kecacatan dalam “gen
vestigial”.
9) Taxi, taxi merupakan mutan dengan sayap yang terentang, baik ketika
terbang mahupun hinggap. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 3, lokus
91,0.
10) Sepia, mata berwarna coklat sampai hitam akibat adanya kerusakan gen
pada kromosom ketiga, lokus 26
11) White, lalat dengan mutan ini memiliki mata berwarna putih yang terjadi
akibat adanya kerusakan pada gen white yang terletak pada kromosom
pertama lokus 1,5 dan benar benar tidak menghasilkan pigmen merah sama
sekali.

C. Penentuan Kelamin Drosophila melanogaster


Makhluk hidup mempunyai pola ekspresi kelamin yang sangat beragam,
salah satunya adalah ekspresi kelamin kromosomal yang ditentukan oleh gen.

8
Kromosom kelamin yang dimiliki oleh Drosophila melanogaster yaitu
kromosom kelamin X dan Y. Pada keadaan diploid normal, D. melanogaster
memiliki kromosom kelamin XX atau AXX dan XY atau AAXY. Oleh karena
itu, lalat buah memiliki mekanisme perimbangan antara X (gonosom) dan A
(autosom) yang kemudian menentukan ekspresi kelamin D.melanogaster
(Corebima, 2013). Menurut Corebima (2013) Indeks kelamin Drosophila
melanogaster tertera pada tabel 2.
Tabel 3 Indeks kelamin Drosophila melanogaster
Jumlah
Jumlah Autosom Rasio
Kromosom Fenotip Kelamin
Pada Tiap Pasang A X/A
X
Betina super
3 2 1,5
(metafemale)
Betina super
4 3 1,33
(metafemale)
4 4 1 Betina normal tetraploid
3 3 1 Betina normal triploid
2 2 1 Betina normal diploid
1 1 1 Betina normal haploid
3 4 0,75 Intersex
2 3 0,67 Intersex
2 4 0,5 Jantan tetraploid
1 2 0,5 Jantan normal
1 3 0,33 Jantan super (metamale)

D. Pewarna Sintetis Wantex Biru


Zat pewarna merupakan suatu bahan yang tersusun atas bahan kimia
alami maupun bahan kimia buatan (sintetis). Sehingga dapat diketahui
bahwasannya zat pewarna terbagi menjadi dua macam yaitu pewarna sintetis an
pewarna alami. Pewarna alami diartikan sebagai zat pewarna yang berasal dari
hewan dan tumbuhan, seperti halnya warna merah muda yang berasal dari ikan

9
salmon dan flamingo. Sedangkan dari tumbuhan sendiri dapat berasal dari daun
suji, cokelat, dan caramel. Selanjutnya untuk pewarna sintetis biasa dikenal
dengan pewarna buatan, proses pembuatannya biasanya melalui perlakuan
pemberian asam sulfat atau asam sitrat yang sering terkontaminasi oleh logam
atau arsen berat lain yang bersifat racun (Winarno, 1994). Beberapa zat pewarna
sintetis antara lain zat warna kuning (Tartrazine), merah (Carmoisine), Hijau
(Fast Green FCF), dan Biru (Brilliant blue/Indigo Carmine).
Pada proyek kali ini, kelompok kami menggunakan zat pewarna sintetik
untuk pakaian dengan merk Wantex berwarna biru yang mengandung zat kimia
atau senyawa indigo carmine. Indigo carmine ini adalah zat warna yang
berbentuk bubuk berwarna biru yang dapat larut dalam air. Nitrobenzen dan
kloroform tidak larut dalam alkohol dan eter. Selain itu, kandungan indigo
carmine ini banyak digunakan sebagai zat warna celup yang biasanya
memberikan warna biru pada tekstil seperti pakaian yang terbuat dari kain katun
dan jeans.

Gambar. 2 Struktur Kimia Indigo Carmine (Cristina Flox dkk, 2006)

E. Siklus Hidup Drosophila melanogaster


Drosophila melanogaster memiliki empat tahap dalam siklus hidupnya
yaitu: telur, larva, pupa, dan dewasa. Lalat buah akan menghasilkan keturunan
baru dalam waktu 9-10 hari. Jika dipelihara pada suhu 25ºC dalam kultur segar,
lima hari pada tahap telur dan tahap larva, lalu empat hari pada tahap pupa.
Drosophila melanogaster mempunyai siklus hidup yang sangat pendek yaitu
sekitar 12 hari pada suhu kamar. Lalat betina dapat menghasilkan telur sebanyak

10
100. butir dan separuh dari jumlah telur tersebut akan menjadi lalat jantan dan
separuhnya lagi akan menjadi lalat betina.
Siklus hidup lalat ini akan semakin pendek apabila lingkungannya tidak
mendukung. Adapun empat tahapan siklus hidup Drosophila melanogaster
adalah sebagai berikut:
1. Telur
Telur berukuran 0,5 mm dan berbentuk lonjong. Telur dilapisi oleh dua
lapisan, yang pertama selaput vitelin tipis yang mengelilingi sitoplasma dan
yang kedua selaput tipis tetapi kuat (korion) di bagian luar dan di anterior
terdapat dua tangkai tipis. Permukaan korion tersusun atas lapisan kitin yang
kaku, berwarna putih transparan. Pada salah satu ujungnya terdapat filamen-
filamen yang mencegah supaya telur tidak tenggelam di dalam medium.
2. Larva
Telur menetas menjadi larva dalam waktu 24 jam. Larva berwarna putih,
memiliki segmen, bentuknya menyerupai cacing, mulut berwarna hitam
dengan bentuk kait sebagai pembuat lubang. Pada stadium ini aktivitas
makan semakin meningkat dan geraknya relatif cepat. pada tahap larva
mengalami dua kali molting. Tahap antara molting satu dengan selanjutnya
disebut instar. Larva Drosophila melanogaster memiliki tiga tahap instar
yang disebut dengan larva instar-1, larva instar-2, dan larva instar-3 dengan
waktu perkembangan berturut-turut selama 24 jam, 24 jam dan 48 jam diikuti
dengan perubahan ukuran tubuh yang makin besar. Larva instar-1 melakukan
aktivitas makan pada permukaan medium dan pada larva instar-2 mulai
bergerak ke dalam medium demikian pula pada larva instar-3. Aktivitas
makan ini berlanjut sampai mencapai tahap pra pupa. Sebelum mencapai
tahap ini larva instar-3 akan merayap dari dasar botol medium ke daerah atas
yang relatif kering. Selama tahap perkembangan larva, medium mengalami
perubahan dalam komposisi dan bentuk.
3. Pupa
Proses perkembangan pupa sampai menjadi dewasa membutuhkan waktu 4-
4,5 hari. Pada awalnya pupa berwarna kuning muda, bagian kutikula
mengeras dan berpigmen. Pada tahap ini terjadi perkembangan organ dan

11
bentuk tubuh, sehingga dalam waktu yang singkat, tubuh menjadi bulat dan
sayapnya menjadi lebih panjang.
4. Dewasa
Lalat dewasa jantan dan betina mempunyai perbedaan morfologi pada bagian
posterior abdomen. Pada lalat betina dewasa terdapat garis-garis hitam
melintang mulai dari permukaan dorsal sampai bagian tepi. Pada lalat jantan
ukuran tubuh umumnya lebih kecil dibandingkan dewasa betina dan bagian
ujung segmen abdomen berwarna hitam. Pada bagian tarsal pertama kaki
depan lalat jantan terdapat bristle berwarna gelap yang disebut sex comb.
Perkembangan Drosophila melanogaster pada suhu 25ºC dapat dilihat pada
tabel berikut.

Tabel 4. Perkembangan Drosophila melanogaster pada suhu 25ºC.


Waktu
Tingkat
Jam Hari Fase

0 0 Peletakan Telur

0-22 0-1 Embrio

22 1 Telur Menetas (Larva Instar I)

47 2 Molting Pertama (Larva Instar II)

70 3 Molting Kedua (Larva Instar III)

118 5 Pembentukan Puparium (Kepompong)

122 5 Molting “Pra-Pupa”

130 5 1/2 Pupa: Pembentukan kepala, sayap dan kaki

167 7 Pigmentasi Warna Pupa

214 9 Imago Menetas Dari Puparium (Kepompong)

215 9 Sayap Menyesuaikan Dengan Ukuran Dewasa

F. Jenis Strain Drosophila melanogaster pada N dan w


Ciri-ciri morfologi Drosophila melanogaster beranekaragam tergantung
gen-gen yang diekspresikannya sehingga dapat kita lihat dua tipe yang sering

12
dipakai dalam penelitian yaitu tipe liar dan tipe mutan. Penelitian ini
menggunakan strain sebagai berikut.
1. Strain Normal (wild type)
Strain normal memiliki karakteristik Drosophila melanogaster tipe normal
dicirikan dengan mata merah, mata majemuk berbentuk bulat agak elips dan
mata tunggal (oceli) pada bagian atas kepalanya dengan ukuran relatif lebih
kecil dibanding mata majemuk (Robert, 2005), warna tubuh kuning
kecoklatan dengan cincin berwarna hitam di tubuh bagian belakang. Ukuran
tubuh Drosophila melanogaster berkisar antara 3-5 mm. Sayap Drosophila
melanogaster cukup panjang dan transparan (Karmana, 2010), Posisi
sayapnya bermula dari thorax, vena tepi sayap (costal vein) memiliki dua
bagian yang terinterupsi dekat dengan tubuhnya. pada umumnya berbentuk
rambut dan memiliki 7-12 percabangan. Crossvein posterior umumnya
berbentuk lurus, tidak melengkung. Thoraknya memiliki bristle, baik panjang
dan pendek, sedangkan abdomen bersegmen lima dan bergaris hitam
(Chumaisiah, 2002).
2. Strain White
Strain white merupakan Drosophila melanogaster dengan penanda berupa
mutasi resesif pada warna mata majemuk dan mata tunggal yang seluruhnya
berwarna putih. Gen pengendali warna tersebut terletak pada kromosom I,
lokus 1,5.

G. Peristiwa gagal berpisah atau Nondisjunction (NDJ)


Pada ilmu biologi, terdapat pembelahan mitosis dan meiosis. Mitosis
adalah proses pembelahan sel membentuk dua anakan sel yang identik dengan
induknya, sedangkan meiosis menyebabkan pengurangan jumlah kromosom
dalam sel. Peristiwa mitosis dan meiosis dapat mengalami penyimpangan, salah
satunya adalah peristiwa gagal berpisah (nondisjunction) (Kadi, 2007).
Terdapat suatu kondisi dimana gagal berpisah yang terjadi ketika dalam
pembelahan sel (baik mitosis maupun meiosis) tepatnya pada tahap anaphase,
kromosom gagal berpisah secara sempurna, sehingga satu sel menerima dua
kromosom yang sejenis sementara sel lainnya tidak mendapat kromosom sama

13
sekali. Peristiwa gagal berpisah selama mitosis terjadi di awal perkembangan
embrio, peristiwa ini dapat menyebabkan terjadinya mosaicism. Mosaicism
adalah suatu kondisi dimana terdapat dua atau lebih dari gen yang sama pada
suatu individu namun berasal dari satu zigot atau berasal dari gen yang sama.
Pada meiosis I, kegagalan berpisah disebabkan karena kromosom homolog tidak
mampu bergerak memisahkan diri pada tahap anaphase I, sementara pada meiosis
II (anaphase II), peristiwa gagal berpisah terjadi karena kromatid saudaranya
gagal berpisah ( sister kromatid) (Kadi, 2007).

Gambar. 3 Peristiwa gagal berpisah selama tahap meiosis

14
(Campbell, et al. 2000)

Peristiwa dimana gagal berpisah yang terjadi secara spontan dan tergolong
kelainan kromosom numerik karena menyebabkan bertambahnya atau
berkurangnya satu set kromosom. Pada pembelahan meiosis, kegagalan berpisah
menyebabkan terbentuknya gamet dengan 22 atau 24 kromosom yang ketika
mengalami fertilisasi dengan gamet normal dapat menghasilkan zigot trisomi dan
monosomi (Nawawi, 2009). Peristiwa gagal berpisah dapat terjadi baik pada
autosom atau gonosom, dalam fase mitosis maupun meiosis, serta dapat terjadi
pada individu jantan maupun betina. Gagal berpisah pada Drosophila
melanogaster terbagi menjadi gagal berpisah primer dan gagal berpisah sekunder.
Gagal berpisah terjadi pada induk lalat yang normal, sedangkan gagal berpisah
sekunder terjadi pada keturunan hasil gagal berpisah primer. Peluang untuk
terjadinya gagal berpisah sekunder jauh lebih tinggi dibanding kegagalan
berpisah primer (Corebima, 2013).

Gambar. 4 Peristiwa gagal berpisah selama tahap meiosis

15
(Campbell, et al. 2000).
Pada peristiwa gagal berpisah dapat disebabkan oleh faktor eksternal
maupun faktor internal. Faktor eksternal yang dapat menyebabkan hal tersebut
adalah radiasi tinggi, paparan zat kimia, serta suhu (mempengaruhi frekuensi
gagal berpisah primer kromosom kelamin X D. melanogaster. Faktor internal
dapat terjadi yang mempengaruhi peristiwa gagal berpisah adalah usia induk,
peluang terjadinya peristiwa NDJ akan meningkat seiring pertambahan usia
induk. Adanya gen mutan dalam suatu kromosom menyebabkan sentromer
berada dalam keadaan abnormal, karena sentromer saudara gagal menutup
sehingga peluang NDJ semakin besar.

H. Kerangka Konseptual

Non-disjuntion atau peristiwa gagal berpisah merupakan suatu peristiwa dimana kedua kromosom kelamin
X gagal memisah selma meiosis sehingga keduanya menuju kutub yang sama dan terbentuklah telur yang
memiliki dua kromosom kelamin X maupun yang tidak memiliki kromosom kelamin X (Corebima, 2013).

Pada peristiwa non-disjunction dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yaitu
merupakan zat kimia yang disini merupakan zat pewarna buatan pada pakaian merk wantex. Sedangkan
faktor internal yaitu macam strain yang memiliki nilai frekuensi rekombinasi dan nilai pautan yang berbeda.

l Faktor Eksternal
a
rn
nte
r I
o
kt
Fa

Adanya gen mutan yang menyebabkan Memiliki batas aman maksimum


sentromer tidak berada pada keadaan (penggunaannya dibatasi)
normal atau abnormal

Ada pengaruh macam strain terhadap Ada pengaruh konsentrasi pewarna


frekuensi NDJ sintetis wantex (biru) terhadap
frekuensi NDJ

Ada pengaruh interaksi macam strain


dan konsentrasi pewarna sintesis 16
wantex (biru) terhadap frekuensi NDJ
I. Hipotesis Penelitian
1. Terdapat perbedaan jumlah banyaknya frekuensi turunan yang mengalami
peristiwa Nondisjunction (Gagal Berpisah) pada tiap-tiap konsentrasi zat
pewarna.

2. Terdapat perbedaan rasio peristiwa gagal berpisah (NDJ) pada tiap-tiap


konsentrasi zat pewarna.

17
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah jenis penelitian eksperimental, hal ini
dikarenakan penelitian dilaksanakan dengan mengamati objek secara langsung,
dimana objek penelitiannya yaitu hasil F1 dari persilangan Drosophila
melanogaster ♀N >< ♂w beserta resiproknya dan pada setiap perlakuan
dilakukan beberapa kali ulangan.

B. Variabel Penelitian
1) Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah jenis kelamin, macam strain
Drosophila melanogaster dan konsentrasi pewarna sintetis yang
digunakan. Pada penelitian ini strain yang digunakan normal (N) dan white
(w).
2) Variabel Terikat
Variabel terikat pada penelitian ini rasio anakan, fenotip, serta frekuensi
turunan pada parental F1 yang mengalami peristiwa gagal berpisah
(Nondisjunction).
3) Variabel Kontrol
Variabel kontrol pada penelitian kali ini adalah perlakuan berupa
pengampulan pupa, peremajaan stok, waktu, tempat, dan medium
pengembangbiakan.

C. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilaksanakan mulai bulan September 2022 sampai selesai.

D. Populasi dan Sampel


Populasi yang digunakan adalah Drosophila melanogaster yang telah
tersedia di laboratorium Genetika Universitas Negeri Malang, sedangkan sampel

18
yang digunakan dalam proyek penelitian ini ialah Drosophila melanogaster
strain N (Normal) dan strain w (white) yang dibiakkan pada medium.

E. Instrumen Penelitian
a) Alat:
1. Mikroskop stereo berfungsi untuk mengamati fenotip Drosophila
melanogaster.
2. Blender berfungsi untuk menghaluskan pisang dan tape.
3. Timbangan berfungsi untuk menakar bahan-bahan medium.
4. Pisau berfungsi untuk memotong pisang dan gula merah.
5. Kompor gas berfungsi untuk memasak medium.
6. Bak plastik berfungsi untuk mendinginkan medium.
7. Panci berfungsi untuk wadah memasak medium.
8. Pengaduk kayu berfungsi untuk mengaduk medium.
9. Botol selai berfungsi untuk wadah medium.
10. Spons berfungsi untuk menutup medium.
11. Selang pengampul berfungsi untuk mengampul Drosophila melanogaster
yang akan digunakan untuk persilangan.
12. Selang berfungsi untuk mengambil lalat dalam stok dan tempat
pengampulan.
13. Kain kasa berfungsi untuk Drosophila melanogaster tidak lepas.
14. Cutter berfungsi untuk memotong spons
15. Gunting berfungsi untuk memotong kertas pupasi.
16. Plastik berfungsi untuk tempat menghitung anakan.
17. Kuas berfungsi untuk mengambil pupa.
18. Kertas label berfungsi untuk melabeli botol dan selang ampulan.
19. Kertas pupasi berfungsi untuk pelekatan telur Drosophila melanogaster.
20. Bolpoin berfungsi untuk memberi nama dan menandai botol, selang
ampulan dan plastik.
b) Bahan:
1. Drosophila melanogaster strain normal (N) dan white (w)
2. Pisang rajamala

19
3. Tape singkong
4. Gula merah
5. Fermipan
6. Air

F. Prosedur Penelitian
a) Pembuatan Medium
1) Menyiapkan pisang rajamala 700 gr, tape singkong 200 gr, dan gula
merah 100 gr. Untuk membuat satu resep dengan perbandingan 7:2:1
2) Memotong pisang dan tape kemudian dimasukkan ke dalam blender
sembari menambahkan air secukupnya hingga bahan tercampur rata dan
halus.
3) Memotong gula merah agar mudah dicairkan, gula merah yang sudah
dipotong dicairkan dan ditambahkan sedikit air kemudian dipanaskan di
atas api kecil sambil diaduk.
4) Bahan yang telah halus dimasukkan ke dalam panci berisi gula merah
cair dan dimasak bersamaan sambil diaduk terus menerus.
5) Bahan dimasak dan diaduk selama 45 menit dengan api sedang.
6) Setelah 45 menit, matikan kompor lalu bahan dimasukkan ke dalam
botol selai yang steril dengan ukuran yaitu sekitar 2/3 dari bagian botol.
7) Medium didinginkan dalam botol dengan direndam air dingin atau
dibiarkan sejenak
8) Tambahkan 3-4 butir yeast dan kertas pupasi ke dalam botol
9) Botol ditutup dengan spons bersih yang telah dipotong menyesuaikan
dengan ukuran mulut botol.
b) Peremajaan Stok
1) Medium baru disiapkan pada botol yang steril, kemudian diberi
fermipan (3-5 butir) dan kertas pupasi.
2) Kemudian botol ditutup dengan spons yang bersih.
3) Memasukkan 3-5 pasang Drosophila melanogaster dari strain yang
akan diremajakan.

20
4) Botol peremajaan dilabeli dengan menggunakan kertas label yang berisi
tanggal peremajaan dan nama strain.
c) Pengampulan Pupa
1) Menyiapkan selang panjang berukuran 5 - 7 cm.
2) Memotong pisang kemudian dimasukkan hingga bagian tengah dari
selang.
3) Memasukkan 2 pupa Drosophila melanogaster yang pada setiap kedua
sisi pisang dalam selang menggunakan kuas atau cuttonbud yang sudah
dibasahi
4) Kedua sisi selang ditutup dengan menggunakan spons.
5) Masing - masing selang ampul dilabeli dengan tanggal pengumpulan
dan nama strain.
6) Ampulan ditunggu hingga menetas menjadi lalat kemudian lalat siap
untuk disilangkan.
d) Persilangan F1
1) Menyiapkan botol berisi medium, kertas pupasi dan yeast.
2) Memasukkan Drosophila melanogaster ♀N >< ♂w hasil ampulan pada
botol yang berbeda.
3) Memberi label pada botol yang disesuaikan dengan perlakuan dan
diberi catatan berupa ulangan dan tanggal persilangan.
4) Setelah 2 hari persilangan, induk jantan Drosophila melanogaster
dilepas.
5) Kemudian induk betina dipindahkan ke botol B hingga seterusnya pada
saat sudah muncul larva pada botol persilangan sebelumnya. Hal ini
dilaksanakan sampai induk betina tidak lagi menghasilkan anakan.
6) Kemudian fenotip hasil persilangan F1 dihitung dan diamati selama 7
hari berturut–turut, dan dihitung sejak imago muncul pertama kali.

G. Teknik Pengumpulan Data


Data yang didapatkan dalam penelitian ini diperoleh menurut ciri fenotip
dan jenis kelamin jumlah anakan (F1) yang terdapat pada persilangan Drosophila

melanogaster strain ♀N >< ♂w beserta resiproknya selama 7 hari berturut-turut.

21
Tabel. 4 Teknik Pengumpulan Data
Ulangan ∑
Perlakuan Persilangan Sex Strain
1 2 3
♀ we

♂ we
♂N >< ♀ we
♀ N
♂ N
Kontrol
♀ we
♂ we
♀N >< ♂ we
♀ N
♂ N
♀ we
♂ we
♂N >< ♀ we
♀ N
♂ N
Konsentrasi X
♀ we
♂ we
♀N >< ♂ we
♀ N
♂ N

H. Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang digunakan adalah dengan rekonstruksi
kromosom kelamin yang mengalami peristiwa non-disjunction atau gagal
berpisah untuk mengetahui fenotip dari F1 Drosophila melanogaster strain ♀N
>< ♂w beserta resiproknya. Kemudian data dianalisis dengan rumus frekuensi
nondisjunction:

22
BAB IV
ANALISIS DATA

4.1 Pengumpulan Data

4.1.1 Strain Drosophila melanogaster


Strain Drosophila melanogaster yang digunakan pada penelitian ini, sebagai
berikut
Tabel 4.1 Hasil Identifikasi strain Drosophila melanogaster
Gambar Jenis Strain Keterangan
Strain mutan (white)
JANTAN
 Warna Mata: Putih
 Bentuk mata: Bulat
 Sayap: Panjang
Drosophila
sayap melebihi
melanogaster white
panjang tubuh
 Warna tubuh:
Strain ♂w Kuning kecoklatan
(Dokumentasi pribadi, 2022)
BETINA
 Warna mata: Putih
 Bentuk mata: Bulat

Drosophila  Sayap: Panjang

melanogaster white sayap melebihi


panjang tubuh
 Warna tubuh:
Strain ♀w
Kuning kecoklatan
(Dokumentasi pribadi, 2022)
Strain wild type (Normal)
Drosophila JANTAN
melanogaster Normal  Warna mata:

23
Gambar Jenis Strain Keterangan
merah
 Bentuk mata: bulat
 Sayap: Panjang
sayap melebihi
panjang tubuh
 Warna tubuh:
Strain ♂N
kuning kecoklatan
(Dokumentasi pribadi, 2022)
BETINA
 Warna mata:
merah
 Bentuk mata: bulat
Drosophila
 Sayap: Panjang
melanogaster Normal
sayap melebihi

Strain ♀N panjang tubuh

(Dokumentasi pribadi, 2022)  Warna tubuh:


kuning kecoklatan

4.1.2 Data Hasil Pengamatan


Berdasarkan pengamatan persilangan antara ♀ w >< ♂N beserta
resiproknya dengan empat perlakuan yaitu penambahan zat kimia pewarna
sintesis wantex (biru) dimana terdapat perbedaan konsentrasi zat, antara lain
perlakuan control (0%); 0,25%; 0,50%; dan 0,75%. Hasil yang didapatkan
sebagai berikut:

Tabel 4.2 Data Hasil Pengamatan

24
Perlakuan Persilangan Sex Strain Ulangan ∑
1 2 3 4 5
♀ w 53 - - - - 53
♂ w 60 - - - - 60
♂N >< ♀ w ♀ N 37 - - - - 37
♂ N 63 - - - - 63
Kontrol
♀ w 0 - - - - 0
♂ w 3 - - - - 3
♀N >< ♂ w ♀ N 101 - - - - 101
♂ N 88 - - - - 88
♀ w 9 - - - - 9
♂ w 32 - - - - 32
♂N >< ♀ w ♀ N 5 - - - - 5
♂ N 25 - - - - 25
Konsentrasi 0,25%
♀ w 3 - - - - 3
♂ w 23 - - - - 23
♀N >< ♂ w ♀ N 6 - - - - 6
♂ N 28 - - - - 28
♀ w 5 - - - - 5
♂ w 12 - - - - 12
♂N >< ♀ w ♀ N 7 - - - - 7
♂ N 3 - - - - 3
Konsentrasi 0,50%
♀ w 2 - - - - 2
♂ w 0 - - - - 0
♀N >< ♂ w ♀ N 9 - - - - 9
♂ N 37 - - - - 37
♀ w 25 - - - - 25
♂ w 1 - - - - 1
♂N >< ♀ w ♀ N 25 - - - - 25
♂ N 1 - - - - 1
Konsentrasi 0,75%
♀ w 20 - - - - 20
♂ w 0 - - - - 0
♀N >< ♂ w ♀ N 0 - - - - 0
♂ N 0 - - - - 0

4.2 Analisis Data


Determinasi kelamin pada Drosophila melanogaster

25
Jumlah Jumlah A
Kromoso (Autosom) Rasio X/A Fenotip Kelamin
mX Pada Tiap
Pasang A
3 2 1,5 Betina super (mata female)
4 3 1,331 Betina super (mata female)
4 4 1 Betina normal tetraploid
3 3 1 Betina normal triploid
2 2 1 Betina normal triploid
1 1 1 Betina normal triploid
3 4 0,75 Inter-sex
2 3 0,67 Inter-sex
2 4 0,5 Jantan tetraploid
1 2 0,5 Jantan normal
1 3 0,33 Jantan super (meta mele)

4.2.1 Rekonstruksi Kelamin

A. Rekonstruksi Persilangan N♂ >< w♀


1) Rekonstruksi persilangan yang tidak mengalami gagal berpisah
P1 : N♂ >< w♀
w
w +¿>¿ w ¿
Genotip :
¬
Gamet : W+, ¬; w

F1 :
♀ W

+¿¿
W+ w
(N♀ / betina normal)
w

26
¬ w
(w♂ / jantan white)
¬

2) Rekonstruksi persilangan yang mengalami gagal berpisah pada w♀


P1 : N♂ >< w♀
w +¿>¿ ww ¿
Genotip :
¬
w
Gamet : W+, ¬; w, ,0
w
F1 :
♀ W w 0
w

+¿¿ +¿¿
W+ w w
+¿ w
w
(N♀ / ¿ (N♀ / (N♂ Steril/
w w 0
betina betina normal jantan normal
normal) super) steril)

¬ w ww 0
(w♂ / (w♀/ (Letal)
¬ ¬ ¬
jantan white) betina white)

3) Rekonstruksi persilangan yang mengalami gagal berpisah pada N♂


P1 : N♂ >< w♀
w
w +¿>¿ w ¿
Genotip :
¬
+¿¿
w
Gamet : , W+, ¬, 0; w
¬
F1 :
♀ W

27

+¿¿ +¿ w
w w
¿ (N♀)
¬ ¬

26
+¿¿
W+ w
(N♀ / betina normal)
w

¬ w
(w♂ / jantan white)
¬

0 w
(w♂ Steril/ jantan white steril)
0

B. Rekonstruksi Persilangan N♀ >< w♂

1) Rekonstruksi persilangan yang tidak mengalami gagal berpisah


P1 : N♀ >< w♂
w +¿ w
Genotip : +¿ w ¿ ><
w ¿ ¬
Gamet : W+; w, ¬
F1 :
♀ W

+¿¿
w w
(N♀/ betina normal)
w

+¿
¬ W
¿ (N♂ / jantan normal)
¬

2) Rekonstruksi persilangan yang mengalami gagal berpisah pada N♀


P1 : N♀ >< w♂
Genotip : w +𝑤+ >< 𝑤¬
Gamet : w+, w +𝑤+ , 0; w, ¬

29
F1 :
♀ W w +¿ 0
+¿ ¿
♂ w ¿

w
w w
+¿¿
w
+¿w (w♂ Steril /
(N♀/ betina +¿ ¿ (N♀/ 0
w w ¿
betina normal jantan white steril)
normal)
super)

+¿¿
¬ w w
+¿ w +¿ ¿
0
(N♂ / jantan ¿ (w♀/ (Letal)
¬ ¬ ¬
normal) betina normal)

3) Rekonstruksi persilangan yang mengalami gagal berpisah pada w♂


P1 : N♀ >< w♂
Genotip : w +𝑤+ >< 𝑤¬
Gamet : w+, w +𝑤+, 0; w, ¬
F1 :
♀ W+

w w
+¿ w
¿ (N♀)
¬ ¬

+¿¿
W w
(N♀ / betina normal)
w

+¿
¬ w
¿ (N♂ / jantan normal)
¬

28
+¿
0 w
¿ (N♂ Steril/ jantan normalsteril)
0

29
Frekuensi NDJ dihitung menggunakan persentase dengan rumus frekuensi
nondisjunction yaitu:

NDJ =
∑ Keturunan NDJ x 100 %
∑ Total keturunan

A. Frekuensi NDJ pada persilangan ♀N >< ♂w


1) Perlakuan 1 Kontrol (Tanpa Pewarna)
101+3
 NDJ = x 100 %=54,1 %
192
2) Perlakuan 2 (Konsentrasi Pewarna 0,25%)
23+6
 NDJ = x 100 %=48,3 %
60
3) Perlakuan 3 (Konsentrasi Pewarna 0,50%)
9
 NDJ = x 100 %=18,75 %
48
4) Perlakukan 4 (Konsentrasi Pewarna 0,75%)
0
 NDJ = x 100 %=0(Tidak dihasilkan keturunan NDJ )
0

B. Frekuensi NDJ pada persilangan ♀ w >< ♂N


1) Perlakuan 1 Kontrol (Tanpa Pewarna)
53+63
 NDJ = x 100 %=54,5 %
213
2) Perlakuan 2 (Konsentrasi Pewarna 0,25%)
9+25
 NDJ = x 100 %=47,9 %
71
3) Perlakuan 3 (Konsentrasi Pewarna 0,50%)
5+3
 NDJ = x 100 %=29,6 %
27
4) Perlakukan 4 (Konsentrasi Pewarna 0,75%)
25+1
 NDJ = x 100 %=50 %
52

30
Grafik Frekuensi NDJ
60.00%

50.00%

40.00%

30.00%

20.00%

10.00%

0.00%
0.00% 0.25% 0.50% 0.75%

♀N >< ♂w ♀ w>< ♂N

Grafik Frekuensi NDJ


60.00%

50.00%

40.00%

30.00%

20.00%

10.00%

0.00%
0.00% 0.25% 0.50% 0.75%

♀N >< ♂w ♀ w>< ♂N

Frekuensi NDJ pada persilangan ♀N >< ♂w

 Pada perlakuan 0% zat pewarna menghasilkan 101 ekor betina normal dan
jantan white 3 dengan frekuensi sebesar 54,1%. 
 Pada perlakuan 0,25% zat pewarna menghasilkan 23 ekor betina normal dan
jantan 6 ekor jantan white dengan frekuensi sebesar 48,3%

31
 Pada perlakuan 0,50% zat pewarna menghasilkan 9 ekor betina normal dengan
frekuensi sebesar 18,75%
 Pada perlakuan 0,75% zat pewarna tidak menghasilkan anakan sehingga
frekuensi sebesar 0%

Frekuensi NDJ pada persilangan ♀w >< ♂N


 Pada perlakuan 0% zat pewarna menghasilkan 53 ekor betina white dan 63
ekor jantan normal dengan frekuensi sebesar 54,5%
 Pada perlakuan 0,25% zat pewarna menghasilkan 9 ekor betina white dan 25
ekor jantan normal dengan frekuensi sebesar 47,9%
 Pada perlakuan 0,50% zat pewarna menghasilkan 5 ekor betina white dan 3
ekor jantan normal dengan frekuensi sebesar 29,6%
 Pada perlakuan 0,75% zat pewarna menghasilkan 25 ekor betina white dan 1
ekor jantan normal dengan frekuensi sebesar 50%

32
BAB V
PEMBAHASAN

Perlu diketahui, bahwa pada ilmu biologi, terdapat pembelahan mitosis dan
meiosis. Mitosis adalah proses pembelahan sel membentuk dua anakan sel yang
identik dengan induknya, sedangkan meiosis menyebabkan pengurangan jumlah
kromosom dalam sel. Peristiwa mitosis dan meiosis dapat mengalami
penyimpangan, salah satunya adalah peristiwa gagal berpisah (Nondisjunction)
(Kadi, 2007).

1. Konsetrasi Pewarna 0%
Berdasarkan data hasil pengamatan, pada perlakuan kontrol/pertama
(konsentrasi pewarna 0%) untuk persilangan antara ♀N >< ♂w, tanpa
penambahan konsentrasi pewarna (0%) menghasilkan F1 yaitu jantan white
(♂w), betina normal (♀N) dan jantan normal (♂N). Jumlah total keturunan F1
dari persilangan resiprok ini adalah 192 dengan spesifikasi ♂w berjumlah 3,
♀N berjumlah 101 dan ♂N berjumlah 88. Berdasarkan rekonstruksi
persilangan yang tidak mengalami gagal berpisah (baik pada induk jantan
maupun betina) untuk persilangan ♀N >< ♂w, F1 yang seharusnya muncul
adalah betina normal (♀N) dan jantan normal (♂N). Karena F1 yang
dihasilkan pada persilangan ini terdapat jantan white (♂w), maka fonotip
inilah yang dianggap sebagai keturunan Nondisjunction (NDJ).
Kemudian untuk resiprok dari persilangan Drosophila melanogaster di
atas, yaitu persilangan Drosophila melanogaster strain ♂N >< ♀w
menghasilkan F1 yaitu betina white (♀w), jantan white (♂w), betina normal
(♀N) dan jantan normal (♂N). Jumlah total keturunan F1 dari persilangan
resiprok ini adalah 213 dengan spesifikasi ♀w berjumlah 53, ♂w berjumlah
60, ♀N berjumlah 37 dan ♂N berjumlah 63. Berdasarkan rekonstruksi
persilangan yang tidak mengalami gagal berpisah (baik pada induk jantan
maupun betina) untuk persilangan N♂ >< w♀, F1 yang seharusnya muncul
adalah betina normal (♀N) dan jantan white (♂w). Karena F1 yang dihasilkan

33
pada persilangan ini terdapat betina white (♀w) dan jantan normal (♂N),
maka kedua fonotip inilah yang dianggap sebagai keturunan Nondisjunction
(NDJ).

2. Konsetrasi Pewarna 0,25%


Berdasarkan data hasil pengamatan, pada perlakuan kedua (konsentrasi
pewarna 0,25%) untuk persilangan antara ♀N >< ♂w, dengan penambahan
konsentrasi pewarna (0,25%) menghasilkan F1 yaitu jantan white (♂w),
betina normal (♀N) dan jantan normal (♂N). Jumlah total keturunan F1 dari
persilangan resiprok ini adalah 62 dengan spesifikasi ♀w berjumlah 3, ♂w
berjumlah 32, ♀N berjumlah 5 dan ♂N berjumlah 25. Berdasarkan
rekonstruksi persilangan yang tidak mengalami gagal berpisah (baik pada
induk jantan maupun betina) untuk persilangan ♀N >< ♂w, F1 yang
seharusnya muncul adalah betina normal (♀N) dan jantan normal (♂N).
Karena F1 yang dihasilkan pada persilangan ini terdapat jantan white (♂w),
maka kedua fonotip inilah yang dianggap sebagai keturunan Nondisjunction
(NDJ).
Kemudian untuk resiprok dari persilangan Drosophila melanogaster dia
ats yaitu, persilangan Drosophila melanogaster strain ♂N >< ♀w
menghasilkan F1 yaitu betina white (♀w), jantan white (♂w), betina normal
(♀N) dan jantan normal (♂N). Jumlah total keturunan F1 dari persilangan
resiprok ini adalah 71 dengan spesifikasi ♀w berjumlah 9, ♂w berjumlah 23,
♀N berjumlah 5 dan ♂N berjumlah 25. Berdasarkan rekonstruksi persilangan
yang tidak mengalami gagal berpisah (baik pada induk jantan maupun betina)
untuk persilangan N♂ >< w♀, F1 yang seharusnya muncul adalah betina
normal (♀N) dan jantan white (♂w). Karena F1 yang dihasilkan pada
persilangan ini terdapat betina white (♀w) dan jantan normal (♂N), maka
kedua fonotip inilah yang dianggap sebagai keturunan Nondisjunction (NDJ).

3. Konsetrasi Pewarna 0,50%


Berdasarkan data hasil pengamatan persilangan Drosophila
melanogaster strain ♀N >< ♂w untuk perlakuan konsentrasi 0,50% pewarna

34
wantex biru menghasilkan F1 berupa ♀N, ♂N, ♀w, dan ♂w. Jumlah total
keturunan F1 dari persilangan ini adalah 48 dari ♀N yang berjumlah 9, ♂N
yang berjumlah 37, ♀w yang berjumlah 2, dan ♂w tidak ditemui anakan atau
0. Kemudian berdasarkan data hasil pengamatan pada persilangan resiprok
Drosophila melanogaster strain ♂N >< ♀w untuk perlakuan konsentrasi
0,50% pewarna wantex biru menghasilkan F1 berupa ♂N, ♀N, ♂w, dan ♀w.
Jumlah total keturunan F1 dari persilangan ini adalah 27 dari ♂N yang
berjumlah 3, ♀N yang berjumlah 7, ♂w yang berjumlah 12, dan ♀w yang
berjumlah 5.
4. Konsetrasi Pewarna 0,75%
Berdasarkan data hasil pengamatan persilangan Drosophila
melanogaster strain ♀N>< ♂w untuk perlakuan konsentrasi 0,75% pewarna
wantex biru menghasilkan F1 berupa ♀w. Jumlah keturunan F1 dari
persilangan ini adalah 20 dari ♀w. Kemudian berdarakan data hasil
pengamatan pada persilangan resiprok Drosophila melanogaster strain ♂N
>< ♀w untuk perlakukan 0,75% pewarna wantex biru menghasilkan F1
berupa ♂N, ♀N, ♂w, dan ♀w. Jumlah total keturunan F1 dari persilangan ini
adalah ♂N, ♀N, ♂w, dan ♀w adalah 52 dari ♂N yang berjumlah 1, ♀N yang
berjumlah 25, ♂w yang berjumlah 1, dan ♀w yang berjumlah 25.

5. Rekonstruksi Persilangan ♀N >< ♂w


Berdasarkan hasil rekonstruksi kelamin yang mengalami NDJ, yang
dianggap mengalami gagal berpisah adalah ♀N didapatkan hasil F1 yaitu
+¿¿ +¿w
w w w
(N♀/ betina normal), +¿ ¿ (N♀/ betina normal super), (w♂ Steril /
w w ¿ 0
+¿¿
w w+¿ w +¿ ¿
jantann white steril), (N♂ / jantan normal), ¿ (w♀/ betina
¬ ¬
0
normal), (Letal). Berdasarkan hasil rekonstruksi kelamin yang mengalami
¬
NDJ, yang dianggap mengalami gagal berpisah adalah ♂w didaptkan hasil F1

35
+¿ w +¿¿ +¿
w w w
yaitu ¿ (N♀), (N♀ / betina normal), ¿ (N♂ /jantan normal),
¬ w ¬
+¿
w
¿ (N♂ Steril/ jantan normal steril).
0

6. Rekonstruksi Persilangan ♂N >< ♀W

34
Berdasarkan rekonstruksi persilangan yang tidak mengalami gagal
berpisah (baik pada induk jantan maupun betina) untuk persilangan N♂ ><
w♀, F1 yang dihasilkan adalah betina normal (♀N) dan jantan white (♂w).
Berdasarkan rekonstruksi persilangan yang mengalami gagal berpisah pada
N♂ untuk persilangan N♂ >< w♀ menghasilkan empat keturunan F1, yaitu:
w
+¿ w
w +¿¿ w w
¿ (N♀), (N♀ / betina normal), (w♂ / jantan white) dan (w♂
¬ w ¬ 0
Steril / jantan white steril). Sedangkan berdasarkan rekonstruksi persilangan
yang mengalami gagal berpisah pada ♀w untuk persilangan N♂ >< w♀
+¿¿
w w+¿ w
menghasilkan enam keturunan F1, yaitu: (N♀ / betina normal), ¿
w w
w +¿¿ w
(N♀ / betina normal super), (N♂ Steril/ jantan normal steril), (w♂ /
0 ¬
ww 0
jantan white), (w♀/ betina white) dan (letal).
¬ ¬

7. Frekuensi Nondisjunction
Frekuensi NDJ dihitung menggunakan persentase dengan rumus frekuensi
Nondisjunction yaitu:

NDJ =
∑ Keturunan NDJ x 100 %
∑ Total keturunan
Berdasarkan hitungan frekuensi Nondisjunction (NDJ) keturunan F1 dari
persilangan ♀N >< ♂w, diperoleh frekuensi NDJ dari perlakuan 1
(kontrol/tanpa pewarna) sebesar 54,1 %. Dan untuk perlakuan 2 (konsentrasi
pewarna 0,25%) diperoleh frekuensi NDJ sebesar 48,3 % . Kemudian untuk
perlakuan 3 (konsentrasi pewarna 0,5%) diperoleh frekuensi NDJ sebesar
18,75 %. Sedangkan untuk perlakuan 4 (konsentrasi pewarna 0,75%) tidak
dihasilkan keturunan NDJ (frekuensi NDJ 0%).
Berdasarkan hitungan frekuensi NDJ keturunan F1 dari persilangan ♂N
>< ♀w (resiprok) diperoleh beberapa macam perbedaan presentase di tiap
perlakuannya. Pada hitungan frekuensi Nondisjunction dari perlakuan 1
Kontrol (tanpa pewarna) sebesar 54,5%, perlakuan 2 (konsentrasi pewarna
0,25%) sebesar 47,9%, perlakuan 3 (konsentrasi pewarna 0,50%) sebesar

35
29,6%, dan yang terakhir untuk perlakuan 4 (konsentrasi pewarna 0,75%)
sebesar 50%.
Faktor eksternal yang dapat menyebabkan hal tersebut adalah radiasi
tinggi, paparan zat kimia (dalam penelitian ini adalah zat pewarna sintetis
Wantex warna biru yang mengandung senyawa Indigo carmine), serta suhu
(mempengaruhi frekuensi gagal berpisah primer kromosom kelamin X
Drosophila melanogaster. Faktor internal yang mempengaruhi peristiwa gagal
berpisah adalah usia induk, peluang terjadinya peristiwa NDJ akan meningkat
seiring pertambahan usia induk. Adanya gen mutan dalam suatu kromosom
menyebabkan sentromer berada dalam keadaan abnormal, karena sentromer
saudara gagal menutup sehingga peluang NDJ semakin besar.
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa frekuensi NDJ terbesar
hingga terkecil berturut-turut adalah 0% konsentrasi pewarna, dilanjut 0,25%
konsentrasi pewarna, kemudian 0,5% konsentrasi pewarna, dan terakhir adalah
0,75% konsentrasi pewarna. Frekuensi NDJ di setiap perlakuan ini memiliki
perbedaan, hal tersebut bisa jadi disebabkan keberadaan faktor eksternal dan
internal yang dapat mempengaruhi peristiwa NDJ.
Cara untuk menentukan jenis kelamin pada D. melanogaster dapat
menggunakan rasio X/A dan melihat determinasi kelamin D. melanogaster.
Untuk menentukan fenotip keturunan juga perlu melihat tanda pada
kromosom, jika terdapat tanda + berarti menunjukan strain normal, karena +
berarti dominan. Terdapat tanda ¬ yang berguna untuk penanda jantan. Pada
+¿
w
hasil rekonstruksi w +¿ ¬ ¿ ¿ menunjukkan fenotip betina normal diploid dilihat

dari rasio X/A, sehingga hasil rasio yang diperoleh yaitu 2/2 yang
+¿
w
+¿ ¿
menghasilkan betina normal diploid. Pada hasil rekonstruksi w w+¿¿
¿
menunjukkan fenotip betina normal super (meta female) dengan jumlah
kromosom X sebanyak 3 dan autosom berjumlah 2, sehingga rasio X/A
diperoleh 3/2 menunjukkan genotip betina super (meta female) dan biasanya
akan mati.

36
+¿
w
Pada hasil rekonstruksi ¿ menunjukkan jantan normal steril, gamet
0
w+ adalah dari kromosom X hasil pembelahan meiosis pada induk betina
normal,

37
sedangkan gamet 0 adalah gamet yang tidak membawa kromosom sex yang
berarti induk jantan white tidak mewariskan kromosom X. Oleh karena itu
+¿
w
pada ¿ menunjukkan sifat steril karena tidak memiliki kromosom sex.
0
Sesuai dengan pendapat Corebima (2013) yang menyatakan jika adanya
penyimpangan tersebut dikarenakan selama tahap meiosis kromosom X
menuju kutub yang sama sehingga terbentuk telur yang memiliki dua
kromosom X maupun tidak memiliki kromosom X.
0
Pada hasil rekonstruksi menunjukan gamet 0 (tanpa kromosom sex)
¬
yang dibuahi oleh Y yang akan dibawa sperma menghasilkan lalat Y0 yang
bersifat letal dan selalu mati. Keturunan tersebut mati dikarenakan keturunan
tidak akan bisa berkembang karena tidak memiliki kromosom X yang
membawa banyak gen esensial untuk perkembangan lalat buah (Fauzi &
Corebima, 2016).
Berdasarkan pengamatan yang telah kelompok kami lakukan dapat
diketahui jika Drosophila melanogaster dapat menunjukkan fenomena pada
pola pewarisan sifat salah satunya nondisjunction. Peristiwa NDJ dapat terjadi
pada jantan maupun betina, karena baik individu jantan maupun betina
mengalami pembentukan gamet yang sama dan mekanisme pembelahan selnya
sama, ada meiosis dan mitosis. Nondisjunction dapat terjadi saat meiosis
maupun mitosis. Pada meiosis I, kegagalan berpisah disebabkan karena
kromosom homolog tidak mampu bergerak memisahkan diri pada tahap
anafase I, sementara pada meiosis II (anafase II), fenomena gagal berpisah
terjadi karena kromatid saudaranya gagal berpisah (sister kromatid). Peristiwa
gagal berpisah (Nondisjunction) dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor
luar serta dari faktor dalam. Herskowitz (1977) dalam Abidin (1997)
menyatakan bahwa faktor dari dalam lainnya yang mempengaruhi peristiwa
gagal berpisah ialah karena adanya gen mutan yang mengakibatkan sentromer
tidak terdapat pada kondisi yang normal.
Herskowitz (1997) menyatakan bahwa pada kondisi yang normal dua
sentromer sesaudara akan saling menutup. Yang mempunyai maksud bahwa

38
satu sentromer akan menuju salah satu kutub, sementara satu sentromer yang
lainnya akan bergerak menuju ke salah satu kutub yang berlawanan.

37
Kemudian karena adanya, gen mutan, tepatnya gen mei-s332, yang merupakan
gen semidominan pada meiosis I Drosophila melanogaster, maka akan
menyebabkan metaphase II dua sentromer sesaudara akan terpisah, dengan
begitu kedua sentromer ini akan bergerak menuju kutub yang sama, sehingga
berakibat yaitu pada anafase II terjadi peristiwa Nondisjunction atau disebut
juga dengan gagal berpisah. Tak hanya itu, menurut King (1975) juga
sependapat dengan hal itu, bahwa gen tersebut akan mengakibatkan fungsi
sentromer menjadi buruk ketika peristiwa replikasi pada tahap meiosis II,
dengan begitu maka akan menyebabkan sentromer membelah lebih cepat,
sebelum pasangan kromosom memisah ke arah kutub yang arahnya
berlawanan.
Terjadinya mutasi pada gen mei-s332 dan ord, pada D. melanogaster
akan mengakibatkan segregasi kromosom seks ketika tahap meiosis akan
terganggu, baik itu pada individu jantan atau pun pada betina sehingga akan
menimbulkan meningkatkan peristiwa Nondisjunction (Baker, 1976).
Peristiwa mutasi dapat terjadi pada lalat baik individu jantan maupun betina
jika terdapat perbedaan dosis gen mei-s332 yang dibutuhkan oleh kedua jenis
kelamin lalat tersebut.
Karena kedua gen tersebut, berperan dalam menjaga daya gerakan kohesi
kromatid sister hingga tahap anafase dalam tahap meiosis (Bakker, 1976).
Kestabilan dan kemampuan transkripsi protein pada lalat buah individu jantan
dan betina dapat dipengaruhi oleh mutasi gen mei-s332.
Salah satu gen yang berperan dalam pembentukan struktural benang-
benang spindel (mikrotubul) yaitu gen haync2, dengan adanya gen ini maka
satu sentromer akan bergerak menuju ke salah satu kutub, sementara
sentromer lain akan menuju ke salah satu kutub yang berlawanan. Namun,
karena adanya mutasi maka struktur benang-benang spindel tersebut akan
rusak sehingga mengakibatkan benang spindel lemah dalam melakukan
penarikan kromatid
dari bidang ekuator menuju ke arah kutub yang berlawanan, dengan begitu
maka kromatid sisters tidak dapat melakukan pemisahan dan mengalami NDJ
(Herkowitz (1977) dalam Abidin (1997).

38
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan dari penelitian yang telah
dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1) Fenotip F1 pada persilangan D. melanogaster strain ♀N >< ♂w beserta
resiproknya adalah betina white (♀w), jantan white (♂w), betina normal
(♀N) dan jantan normal (♂N).
2) Terdapat fenomena gagal berpisah (Nondisjunction) yang terjadi pada
persilangan D. melanogaster strain ♀N >< ♂w beserta resiproknya.
3) Terdapat perbedaan pada frekuensi NDJ pada persilangan D.
melanogaster strain ♀N >< ♂w beserta resiproknya yang disebabkan oleh
perbedaan macam strain dan jumlah keturunan yang didapat serta
pengaruh dari faktor eksternal dan internal yang dapat mempengaruhi.

B. Saran
Dalam penyusunan laporan penelitian proyek ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak kekurangan yang ada. Oleh karena itu, besar
harapan penulis agar pembaca berkenan memberikan tanggapan, kritik, dan
saran yang membangun guna memperbaiki kesalahan agar kedepannya bias
lebih baik
DAFTAR RUJUKAN

Abidin, K.1997. Pengaruh Sodium Siklamat Terhadap Frekuensi


Nondisjunction D.melanogaster strain N><w. (Skripsi tidak diterbitkan).
Malang: IKIP Malang.
Campbell, N.A.; J.B. Reece And L.G Mitchell 2000. Biology. Edisi V
(terjemahan). Jakarta: Penerbit Erlangga, IKAPI.
Capy P dan Gilbert P, 2004. Drosophila melanogaster, Drosophila simulans:
so Similar yet so Different. Genetica, 120: 5-16.
Chumaisiah, N. 2002. Pengaruh Inbreeding Terhadap Viabilitas dan Fenotip
Lalat Buah (Drosophila melanogaster M.) Tipe Liar dan Strain Sepia.
Skripsi. Jember: FKIP UNEJ Jurusan Biologi.
Corebima, A. D. 2013. Genetika Kelamin. Surabaya: Airlangga University
Press.
Dubnau J, 2014. Behavioral Genetics of the Fly (Drosophila melanogaster).
Cambridge: Cambridge University Press.
Gompel, N. 2013. Atlas of Drosophila Morphology. USA: Elsevier Inc.
Gardner, E. J., dkk.1991. Principle Of Principle of Genetics. New York: John
Willey and Sons, INC
Herskowitz, J. H.1977. Genetics. Canada: Little, Brown and Company. James,
H.S. Drosophila melanogaster: The Fruit Fly. USA: Fitzroy Dearborn
Publishers.
Hadi., M. 2009. Biologi Insekta Entamologi. Yogyakarta: Graha Illmu.
Kadi, Achmad. 2007. Manipulasi Poliploidi untuk Memperoleh Jenis Baru
yang Unggul. Oseana XXXII (4): 1-11. ISSN 0216-1877.
Karmana, I. W. 2010. Pengaruh Macam Strain dan Umur Betina Terhadap
Jumlah Ketururnan Latat Buah (Drosophila melanogaster). Ganec
Swara, 2(4).
Nawawi, Y.S. 2009.  Karakteristik Dismorfologi pada Pasien
dengan Kelainan Kromosom Seks. SKRIPSI. Semarang: Universitas
Diponegoro.

40
Robert, J.B. 2005. Genetic Analysis and Principles. Third Edition
McMcGrow: Hi International edition.
Sri Wahyuni. 2013. Pengaruh Maternal Terhadap Viabilitas Lalat Buah
(Droshopilla melanogaster Meigen) Strain Vestigial (Vg). Jember:
Jurusan Biologi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Jember

41
LAMPIRAN

Gambar 1. Pembuatan Media Gambar 2. Ampulan anak D.melanogaster

Gambar 3. Botol Peremajaan Gambar 4. Botol Perlakuan

Gambar 5. Botol Kaca Gambar 5. Selang

42

Anda mungkin juga menyukai