Anda di halaman 1dari 12

PENGARUH PERBEDAAN KONSENTRASI PEWARNA SINTESIS (DYLON) DAN

MACAM STRAIN TERHADAP FREKUENSI GAGAL BERPISAH (Non Disjunctions)


PADA PERSILANGAN Drosophila melanogaster PERSILANGAN N >< wa dan N
>< we BESERTA RESIPROKNYA

LAPORAN PROYEK
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Genetika II yang Dibina Oleh
Dr. Hj. Siti Zubaidah, M. Pd

Oleh:
Kelompok 3 off. C/Rabu
1 Mayang Puspa Rena
2 Sintya Yuliandini

(130341614833)
(130341614838)

The Learning University

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
Oktober 2015
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Genetika adalah salah satu cabang ilmu biologi yang mempelajari materi
genetik, khususnya mengenai struktur, reproduksi, kerja (ekspresi), perubahan,
keberadaan dalam populasi, serta perekayasaannya. Berdasarkan sejarahnya, genetika
tumbuh dan berkembang sejak temuan hasil percobaan J. G. Mendel yang diumumkan
pada tahun 1865. Genetika Mendel mengacu pada beberapa konsepsi, yaitu hukum
pemisahan Mendel (Mendels laws of segregation), hukum pilihan bebas Mendel
(Mendels laws of independent assortment), populasi Mendel (Mendelian population),
dan gen-gen Mendel (Mendelian genes) (Corebima, 2013).
Berkenaan dengan hukum pemisahan Mendel, Ayala dkk. (1984) dalam
Corebima (2013) menyebutkan kesimpulan Mendel sebagai Beliau menyimpulkan
bahwa kedua faktor (gen) untuk tiap sifat tidak bergabung dengan cara apapun, tetapi
tetap berdiri sendiri selama hidupnya individu, dan memisah di saat pembentukan
gamet, sehingga separuh gamet mengandung satu gen sedangkan separuhnya lagi
mengandung gen lainnya. Kesimpulan ini dikenal sebagai hukum pemisahan
Mendel. Untuk selanjutnya, hukum pemisahan Mendel ini dikenal sebagai Hukum
Mendel I.
Ada beberapa fenomena yang dapat menolak dari hukum Mendel diantaranya
adalah peristiwa gagal berpisah (nondisjunction). Fenomena gagal berpisah yang
didasari oleh kenyataan bahwa faktor (gen) adalah bagian dari kromosom, merupakan
perangkat alat evaluasi terhadap hukum pemisahan Mendel dan hukum pilihan bebas
Mendel yang mula-mula (Corebima, 1997).
Peristiwa gagal berpisah pada makhluk hidup dapat menyebabkan perubahanperubahan jumlah kromosom yang merupakan salah satu bentuk mutasi kromosom.
Peristiwa gagal berpisah dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor luar dan faktor
dalam. Faktor luar meliputi energi radiasi yang tinggi, karbondioksida, zat kimia
tertentu, dan suhu. Sedangkan faktor dalam meliputi umur, gen mutan, dan faktor
yang berkaitan dengan kelainan-kelainan tingkah laku genetik yang disebabkan oleh
adanya unsur mobile dalam genom (Balqis, 1995).
Mengenai macam strain, Sved (1979) dalam Balqis (1995) menyatakan bahwa gengen pada strain juga berperan dalam menyebabkan fenomena gagal berpisah. Selain

itu, Sved menyatakan gagal berpisah juga disebabkan oleh adanya fenomena hybrid
dysgenesis yaitu suatu sindrom yang berkaitan dengan penyimpangan genetik yang
terjadi secara spontan pada hybrid (hasil persilangan antara dua individu yang secara
genetik berbeda) hasil persilangan dua strain yang berlainan.
Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi kemunculan fenotip makhluk
hidup di antaranya adalah medium sebagai sumber nutrisi atau makanan. Medium
yang digunakan bisa ditambahkan zat-zat tertentu untuk menguji pengaruhnya
terhadap pertumbuhan Drosophila melanogaster. Salah satu zat yang bisa
ditambahkan adalah zat pewarna sintetis untuk tekstil. Zat warna tekstil adalah semua
zat berwarna yang mempunyai kemampuan untuk diserap oleh serap tekstil dan
mudah dihilangkan kembali (Mimir, 2011). Pewarna tekstil Dylon hampir sama
dengan wantex atau pewarna lainnya. Pewarna ini berbentuk serbuk dengan aneka
jenis warna, perbedaannya dengan pewarna tekstil lainnya adalah Dylon
menghasilkan warna secerah warna bubuknya (Arini, 2012).
Sampai saat ini banyak penelitian mengenai pewarna sintetis. Berdasarkan
data dari berbagai studi yang telah dilakukan, EFSA (2009) menyimpulkan bahwa
pewarna sintetis berpotensi memiliki sifat karsinogenik dan genotoksik. Pemberian
dosis pewarna sintetis 150 ppm, 300 ppm, dan 600 ppm pada mencit menunjukkan
terjadinya perubahan bentuk dan organisasi sel dalam jaringan hati dari normal ke
patologis, yaitu perubahan sel hati menjadi nekrosis dan jaringan di sekitarnya
mengalami desintegrasi atau disorganisasi (Aroni, 2011).
Pemberian pewarna sintetis dapat memberikan pengaruh negatif dan
mengubah beberapa penanda biokimia pada organ-organ penting seperti hati dan
ginjal, baik pada dosis tinggi ataupun rendah. Lebih jauh lagi, pewarna sintetis juga
memberikan efek yang lebih beresiko pada dosis yang lebih tinggi karena dapat
menginduksi stress oksidatif melalui pembentukan radikal bebas (Aroni, 2011).
Persilangan dapat dilakukan dengan perlakuan pemberian pewarna sintetis dengan
menyilangkan strain yang satu dengan strain lainnya. Strain mutan memiliki gen-gen
mutan yang menyebabkan sentromer tidak dalam keadaan normal. Dalam keadaan
normal, dua sentromer sesaudara terletak saling menutup pada saat metafase. Satu
sentromer akan berorientasi ke salah satu kutub dan sentromer lain akan berorientasi
ke kutub yang berlawanan (Herkowitz, 1973). Beberapa contoh strain mutan adalah
strain wa dan strain we.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dilakukan penelitian dengan judul
Pengaruh Konsentrasi Pewarna Sintetik (Dylon) dan Macam Strain terhadap

Frekuensi Gagal Berpisah (Non Disjuncions)

pada Persilangan Drosophila

melanogaster N >< Wa dan N >< We Beserta Resiproknya.


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti membuat rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apakah ada pengaruh perbedaan konsentrasi pewarna sintesis (dylon) (0%,0,05%,
0,25%, 0,75%, 1%) terhadap frekuensi gagal berpisah pada persilangan
Drosophila melanogaster N >< Wa dan N >< We beserta resiproknya?
2. Apakah ada pengaruh macam strain terhadap frekuensi gagal berpisah pada
persilangan N >< Wa dan N >< We beserta resiproknya?
3. Apakah ada interaksi antara perbedaan konsentrasi pemberian pewarna sintesis
(dylon) dan macam strain terhadap frekuensi gagal berpisah pada persilangan N
>< Wa dan N >< We beserta resiproknya?
C. Tujuan Peneliatian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Mengetahui adanya pengaruh perbedaan konsentrasi pewarna sintesis (dylon)
(0%,0,05%, 0,25%, 0,75%, 1%) terhadap frekuensi gagal berpisah pada
persilangan Drosophila melanogaster N >< Wa dan N >< We beserta
resiproknya.
2. Mengetahui adanya pengaruh macam strain terhadap frekuensi gagal berpisah
pada persilangan Drosophila melanogaster N >< Wa dan N >< We beserta
resiproknya.
3. Mengetahui adanya interaksi antara perbedaan konsentrasi pemberian pewarna
sintetis (dylon) dan macam strain terhadap frekuensi gagal berpisah pada
persilangan Drosophila melanogaster N >< Wa dan N >< We beserta
resiproknya.
D. Manfaat Penelitian
Adapun beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagi peneliti
Menambah wawasan mengenai genetika, memberikan informasi dan pemahaman
serta bukti tentang adanya pengaruh perbedaan konsentrasi pewarna sintetik
(dylon) terhadap frekuensi gagal berpisah pada persilangan D. melanogaster N
>< Wa dan N >< We beserta resiproknya.
2. Bagi mahasiswa
Memberikan informasi dan pengetahuan lebih lanjut tentang frekuensi gagal
berpisah pada persilangan N>< y dan N >< we beserta resiprok yang
dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi pewarna sintetis Dylon dan macam strain.
E. Asumsi Penelitian
Anggapan dasar peneliti adalah sebagai berikut:

1. Semua aspek biologis D. Melanogaster dianggap sama kecuali warna mata, warna
tubuh, dan bentuk sayap.
2. Faktor internal D. Melanogaster seperti umur dianggap sama.
3. Faktor eksternal seperti kondisi medium dalam tiap botol pada stok maupun
ulangan persilangan dari awal hingga akhir penelitian dianggap sama dan kondisi
lingkungan, seperti suhu, cahaya, kelembaban, pewarna sintetis (dylon) dan
medium juga dianggap sama.
4. Semua perlakuan yang dilakukan pada setiap ulangan persilangan selama proses
penelitian dianggap tidak sama, hal ini disebabkan karena ada perbedaan
konsentrasi adalah 0%,0,05%, 0,25%, 0,75%, 1%.
F. Ruang Lingkup dan Batasan Masalah
Adapun ruang lingkup dan batasan masalah penelitian ini sebagai berikut:
1. Strain D. melanogaster yang digunakan dalam penelitian ini adalah strain N, wa,
dan we yang diperoleh dari laboratorium Genetika Jurusan Biologi FMIPA UM.
2. Pengamatan fenotip yang dilakukan meliputi ciri morfologi yaitu warna mata,
warna tubuh, dan sayap.
3. Pengambilan data diperoleh dari pengamatan fenotip dan hasil persilangan
Drosophila melanogaster pada strain N >< wa dan N >< we beserta
masing-masing resiproknya yang meliputi F1
4. Konsentrasi dylon yang digunakan dalam penelitian adalah 0%,0,05%, 0,25%,
0,75%, 1%.
G. Definisi Operasional
Adapun definisi operasional dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Strain merupakan suatu kelompok-kelompok intraspesifik yang memiliki hanya
satu atau sejumlah kecil ciri yang berbeda, biasanya secara genetik homozigot
untuk ciri-ciri tersebut atau galur murni (Klug dan Cummings, 2000). Strain yang
digunakan dalam penelitian strain N, wa, dan we.
2. Fenotip adalah karakter yang dapat diamati pada suatu individu seperti morfologi,
fisiologi, tingkah laku yang merupakan hasil interaksi antara genotip dengan
lingkungan tempat hidup berkembang (Corebima, 1997).
3. Gagal berpisah (nondisjuction) adalah suatu peristiwa dimana bagian-bagian dari
sepasang kromosom yang homolog tidak bergerak memisahkan diri sebagaimana
mestinya pada meiosis I, atau dimana kromatid saudara gagal berpisah selama
meosis II (Campbell,dkk, 2002).
4. Pewarna tekstil Dylon adalah pewarna yang berbentuk serbuk dengan aneka jenis
warna yang dapat menghasilkan warna secerah warna bubuknya (Arini, 2012).

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Sistematika Drosophila melanogaster
Sistematika Drosophila melanogaster secara lengkap menurut Storer, 1979
sebagai berikut :
Filum
Kelas
Anak Kelas
Bangsa
Anak Bangsa
Suku
Anak Suku
Marga
Jenis

: Arthropoda
: Insecta
: Pterygota
: Diptera
: Cyclorrhapha
: Drosophilidae
: Drosophilinae
: Drosophila
: Drosophila melanogaster

Jenis Drosophila melanogaster di Indonesia terdapat sekitar 600 jenis, di Pulau


Jawa sekitar 120 jenis dari suku Drosophilidae (Wheeler, 1981). Kimball (1983)
menyebutkan D. melanogaster digunakan dalam penelitian genetika karena beberapa
alasan; ukuran tubuh relatif kecil, sehingga dalam populasi besar mudah dipelihara
dalam laboratorium, mudah diamati, mempunyai daur hidup yang sangat cepat, dalam
dua minggu dapat dihasilkan satu generasi dewasa yang baru, dan lalat betina
menghasilkan ratusan telur yang dibuahi dalam siklus hidupnya yang sangat pendek.
Setiap jenis Drosophila melanogaster khususnya jantan memiliki susunan
yang berbeda antara jenis yang satu dengan yang lainnya. Lalat Drosophila jantan
memiliki perbedaan dengan lalat Drosophila betina yang terletak pada ukuran tubuh,
bentuk ujung abdomen posterior, segmen garis hitam pada abdomen posterior serta
ada tidaknya sisir kelamin (sex comb) (Suryo,1984).
B. Macam Strain pada Drosophila melanogaster
Drosophila melanogaster memiliki empat macam kromosom di dalam
tubuhnya. Tiga diantaranya merupakan kromosom tubuh dan satu kromosom
merupakan kromosom X atau kromosom kelamin. Macam strain Drosophila
melanogaster berkaitan erat dengan gen-gen yang mempengaruhinya. Di kalangan
Drosophila melanogaster, gen-gen yang terpaut kromosom kelamin X antara lain
(ditunjukkan dalam bentuk mutan) yellow, white, vermilion, miniature, rudimentary
(Ayala dalam Corebima, 1997).
Menurut Corebima (2003:46) dari dua kromosom X pada individu betina itu,
satu kromosom diwariskan kepada keturunan betina, dan yang lainnya diwariskan
kepada keturunan jantan, sedangkan dari kromosom XY pada individu jantan,
kromosom X diwariskan kepada turunan betina, dan kromosom Y diwariskan pada

turunan jantan. Dengan demikian terlihat jelas bahwa suatu sifat yang dikendalikan
oleh faktor yang terletak pada kromosom X akan mengalami suatu pewarisan
menyilang (crisscross inheritance), dalam hal ini individu jantan akan mewariskan
sifat semacam itu kepada cucu turunan jantan melalui betinanya (anaknya), dan tidak
pernah melalui turunan jantan (anak).
Atas dasar kenyataan bahwa individu jantan hanya memiliki sebuah
kromosom X dan sebuah kromosom Y yang tidak memiliki sebagian besar gen pada
kromosom

X, dinyatakan bahwa alela mata putih tersebut pada individu jantan

tergolong hemizigot, oleh karena itu, alela diekspresikan. Lebih lanjut dikemukakan
bahwa alela mutan mata putih yang ada pada kromosom X dari individu jantan induk
bermata putih, mula-mula diwariskan kepada turunan betina (kromosom Y diwariskan
kepada turunan jantan). Semua turunan betina merupakan carrier alela mutan
tersebut. Demikian pula turunan jantan F2 bersifat hemizigot, dan 50% sari seluruh
turunan jantan F2 itu memperoleh kromosom X yang membawahi alela mutan mata
putih dari induk betina yang heterozigot (Corebima, 2004:43).
C. Peristiwa Gagal Berpisah pada Drosophila melanogaster
Gagal berpisah adalah suatu peristiwa di mana bagian-bagian dari sepasang
kromosom yang homolog tidak bergerak memisahkan diri sebagaimana mestinya
pada meiosis I, atau di mana kromatid saudara gagal berpisah selama meosis II. Pada
kasus ini, satu gamet menerima dua jenis kromosom yang sama dan satu gamet
lainnya tidak mendapat salinan sama sekali (Campbell dkk. 2002). Dalam hal ini
kedua kromosom kelamin X gagal memisah selama meiosis sehingga keduanya
menuju ke kutub yang sama dan terbentuklah telur yang memiliki dua kromosom
kelamin X maupun yang tidak memiliki kromosom kelamin X (Corebima, 2003).
Berkenaan dengan kejadian gagal berpisah (nondisjunction) pada Drosophila
melanogaster seperti yang dikemukakan pertama kali oleh Bridges tahun 1916, dalam
Novitasari (1997) menjelaskan bahwa kejadian nondisjunction tersebut dijelaskan
melalui kejadian nondisjunction pada betina bermata putih dalam hal ini betina
bermata putih yang mengalami nondisjunction saat meiosis akan menghasilkan telur
Xw Xw dan 0 (tanpa kromosom sex). Jika telur X w Xw dibuahi oleh Y yang dibawa
sperma akan dihasilkan keturunan betina bermata putiih (X w XwY). Jika telur tanpa
kromosom sex dibuahi oleh X yang dibawa sperma, akan menghasilkan keturunan
jantan normal (X+0). Tipe lain dari kejadian nondisjunction adalah telur XX yang
akan dibuahi oleh X yang dibawa sperma dan telur 0 yang akan dibuahi oleh Y yang
akan dibawa sperma. Zigot XXX yang bergenotip Xw XwX+ (betina) biasanya mati dan

lalat YO selalu mati. Contoh persilangan antara D. melanogaster strain N >< w


yang menghasilkan keturunan nondisjunction dapat dilihat pada gambar 2.1.

Peristiwa gagal berpisah merupakan salah satu bentuk mutasi kromosom


karena menyebabkan perubahan dalam jumlah kromosom. Gagal berpisah dapat
terjadi pada autosom maupun gonosom, selama meiosis maupun mitosis, pada betina
maupun jantan. Peristiwa nondisjunction dibedakan menjadi nondisjunction primer
dan sekunder. Nondisjunction primer dapat terjadi pada induk lalat yang belum
mengalami nondisjunction atau lalat normal, sedangkan nondisjunction sekunder
terjadi pada keturunan yang merupakan hasil nonodisjunction primer. Peristiwa itu
disebut sebagai gagal berpisah sekunder karena kejadiannya berlangsung pada
turunan dari individu betina, yang keberadaannya merupakan produk gagal berpisah
primer. Dalam hal ini individu betina yang dimaksud memiliki dua kromosom
kelamin X dan satu kromosom Y (Corebima, 2003).
D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peristiwa Gagal Berpisah
Faktor yang mempengaruhi terjadinya peristiwa

gagal

berpisah

(nondisjunction) terdiri dari faktor luar dan faktor dalam. Menurut Herkowith (1965)
dalam Ellinda (1999) menyatakan bahwa peristiwa gagal berpisah kromosom X pada
Drosophila melanogaster dipengaruhi oleh faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar
meliputi suhu, energi matahari, dan zat kimia. Salah satu zat kimia yang dapat
menyebabkan gagal berpisah adalah pewarna sintetis.
Faktor dalam yang mempengaruhi yaitu umur dan gen mutan. Gen mutan
menyebabkan sentromer tidak berada dalam keadaan normal dimana sentromer
sesaudara terletak saling menutup pada saat metaphase. Dua sentromer sesaudara

terletak berdekatan pada metaphase dalam keadaan normal, sampai ketika satu
sentromer menuju kutub dan sentromer lain menuju kutub yang berlawanan. Adanya
gen mutan (gen mei-s322) yang merupakan gen semi dominan pada kromosom II
Drosophila melanogaster, maka pada metaphase II sentromer sesaudara terletak
menjauh, dan masing-masing akan berorientasi bebas, konsekuensinya kedua
sentromer kadang-kadang menuju kutub yang sama sehingga pada anaphase II terjadi
peristiwa nondisjunction (gagal berpisah). Pai (1985) dalam Balqis (1995),
menyatakan bahwa peristiwa gagal berpisah cenderung meningkat dengan semakin
bertambahnya umur khususnya pada bentuk kehidupan yang rendah.
E. Kajian Pewarna (Dylon)
Pewarna sintetik adalah salah satu zat pewarna sintetik yang biasa digunakan
pada industri tekstil dan kertas. Pewarna sintetik ini digunakan sebagai bahan pewarna
dasar dalam tekstil dan kertas. Menurut Menteri Kesehatan (Permenkes) No.
239/Menkes/Per/V/85, zat ini ditetapkan sebagai zat yang dilarang penggunaannya
pada makanan. Namun penggunaan pewarna sintetik dalam makanan masih terdapat
di masyarakat. Di Makasar ditemukan pewarna sintetik e-B pada kerupuk, sambal
botol, dan sirup melalui pemeriksaan pada sejumlah sampel makanan dan minuman.
Pada awalnya zat ini digunakan untuk kegiatan histologi dan sekarang berkembang
untuk berbagai keperluan yang berhubungan dengan sifatnya dapat berfluorensi dalam
sinar matahari (Fitrah, 2010).
Menurut Arini (2012), pewarna tekstil dylon hampir sama dengan wantex atau
pewarna lainnya. Dylon menghasilkan warna yang secerah warna bubuknya. Pewarna
sintetik dylon ini berbentuk serbuk dengan aneka jenis warna.
Kelarutan pewarna sintetik ada dua macam yaitu lakes dan dyes. Lakes adalah
pigmen yang dibuat melalui pengendapan dari penyerapan dyes pada bahan dasar,
biasa digunakan pada pelapisan tablet, campuran adonan kue, cake dan donat. Dyes
merupakan zat warna yang larut air dan diperjual belikan dalam bentuk granula,
cairan, campuran warna dan pasta. Digunakan untuk mewarnai minuman berkarbonat,
minuman ringan, roti, kue-kue produk susu, pembungkus sosis, dan lain-lain. Dylon
termasuk pewarna dyes. (Anonim, 2011).
Proses pembuatan zat pewarna sintetik biasanya melalui perlakuan pemberian
asam sulfat atau asam nitrat yang sering kali terkontaminasi oleh arsen atau logam
berat lain yang bersifat racun. Pada pembuatan zat pewarna organik sebelum

mencapai produk akhir, harus melalui suatu senyawa antara yang kadang-kadang
berbahaya dan sering kali tertinggal dalam hasil akhir, atau terbentuk senyawasenyawa baru yang berbahaya. Untuk zat pewarna yang dianggap aman, ditetapkan
bahwa kandungan arsen tidak boleh lebih dari 0,00014 persen dan timbal tidak boleh
lebih dari 0,001 persen, sedangkan logam berat lainnya tidak boleh ada.
Pewarna tekstil ini sering disalahgunakan untuk pewarna makanan dan
pewarna kosmetik, Dylon ini terbuat dari dietillamniphenol dan phatalic anchidria
dimana kedua bahan baku ini sangat toksik bagi manusia (Soneta, 2007). Cahyadi,
2006 menyebutkan bahan zat warna ini dapat menyebabkan iritasi dan merupakan zat
karsinogenik (dapat menyebabkan kanker). Efek kronis pewarna sintetik dalam
konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada hati.
Djarismamti, 2004 (dalam Soneta, 2007) menyebutkan bahwa dalam uji
toksisitas pewarna sintetik terhadap hewan, menunjukkan terjadinya perubahan
bentuk dan organisasi sel dalam jaringan hati dari normal ke patologis, yaitu
perubahan sel hati menjadi nekrosis dan jaringan di sekitarnya mengalami
desintegrasi atau disorganisasi. Kerusakan pada jaringan hati ditandai dengan
terjadinya piknotik dan hiperkromatik dari nukleus, degenerasi lemak dan sitolisi dari
sitoplasma. Degenerasi lemak ini disebabkan karena terhambatnya pasokan energi
yang digunakan untuk memelihara fungsi dan struktur reticulum endoplasmic
sehingga proses sintesa protein menjadi menurun dan sel kehilangan daya untuk
mengeluarkan trigliserida, akibatnya menyebabkan necrosis hati.
Dalam analisis penelitian menggunakan metode

destruksi

dan

spektrofotometri telah diketahui bahwa sifat racun pewarna sintetik tidak hanya
disebabkan senyawa organik, tetapi oleh karena kontaminasi senyawa anorganik
terutama timbal dan arsen (Subandi, 1999). Dengan terkontaminasinya pewarna
sintetik dengan kedua unsur tersebut, menyebabkan pewarna sintetik ini berbahaya
jika digunakan sebagai pewarna pada makanan, obat maupun kosmetik. Hal ini
didukung oleh Winarno (2004) yang menyatakan bahwa timbal memang banyak
digunakan sebagai pigmen atau zat pewarna dalam industri kosmetik dan kontaminasi
dalam makanan dapat terjadi akibat penggunaan zat pewarna tekstil tersebut.
Di dalam strukturnya terdapat ikatan dengan senyawa klorin (Cl) di mana
atom klorin tergolong sebagai senyawa halogen dan sifat halogen yang berada di
dalam senyawa organik sangat berbahaya dan memiliki reaktivitas yang tinggi untuk
mencapai kestabilan dalam tubuh dengan cara berikatan terhadap senyawa-senyawa di
dalam tubuh yang menimbulkan efek toksik dan memicu kanker pada manusia

(Kusmayadi dan Sukandar 2009). Juga senyawa Alkilating (CH3-CH3 ) dan bentuk
struktur kimia yang poli aromatik hidrokarbon (PAH) di mana bentuk senyawa
tersebut bersifat sangat radikal, menjadi bentuk metabolit yang reaktif setelah
mengalami aktivasi dengan enzim sitokrom P-450. Bentuk radikal ini akan berikatan
dengan protein, lemak dan DNA (Zakaria et al., 1996). Respon bervariasi tidak hanya
sesuai dengan dosis, usia, jenis kelamin, status gizi dan genetik faktor, tetapi juga
sesuai dengan jangka panjang paparan dosis rendah (Sasaki et al.,dalam Hassan
2010). Beberapa metabolit dari zat ini, seperti senyawa nitrat, juga telah ditemukan
menjadi karsinogen (Hassan, 2010).
Beberapa aditif makanan sebenarnya, telah dilarang dari penggunaan karena
toksisitas bahan aditif makanan tersebut. Aditif ini terbukti menyebabkan kerusakan
DNA pada bakteri, jamur, serangga dan mamalia sel in vivo dan in vitro. Mereka juga
menyebabkan penyimpangan kromosom dalam sel mamalia, termasuk sel manusia
(IARC, 1982). Dengan mengguanakan teknik alat tes komet menunjukkan adanya
kerusakan DNA. Pengujian dengan in vivo komet adalah cara yang cepat, sederhana
dan sensitif genotoxicological teknik untuk mengukur kerusakan DNA dalam tipe sel
individu hewan atau tanaman asal. Pengujian dengan teknik komet akan menjadi alat
yang lebih efektif untuk mendeteksi genotoxisitas dari aditif makanan. Pengujian
tersebut di dirikan sebagai tes genotoksititas dengan banyak lipat aplikasi in vitro dan
in vivo (Speit et al.,1999).

BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL
A. Kerangka Konseptual

Anda mungkin juga menyukai