Anda di halaman 1dari 23

TEORI EVOLUSI

Di susun oleh :

1. Fika Ambarwaty ( 1813024038 )


2. Irma Tia Intenti ( 1813024044 )
3. Widiya Okta Indriyani ( 1813024024 )

Dosen Pengampu:

1. Rini Rita T. Marpaung, S.Pd., M.Pd.


2. Berti Yolida, S.Pd., M.Pd.
3. Ismi Rakhmawati, S.Pd., M.Pd.

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
UNIVERSITAS LAMPUNG 2019
PEMBAHASAN

A. Keanekaragaman Spesies dan Variabilitas

Kata keanekaragaman memang untuk menggambarkan keadaan bermacam-


macam suatu benda, yang dapat terjadi akibat adanya perbedaan dalam hal ukuran,
bentuk, tekstur, ataupun jumlah. Hal ini berlaku bagi setiap spesies di bumi. Individu
bervariasi dalam banyak ciri, misalnya bentuk, tinggi, warna, nada suara, kecepatan,
metabolisme, serta jumlah daun dan bunga. Karena setiap individu bersifat unik.
(Rudolf H. Marx, 2017)
Perbedaan tidak hanya ditemukan dalam satu jenis spesies saja. Di
khatulistiwa saja, ada banyak spesies yang berbeda. Sebagian dari mereka nyaris
tidak terlihat karena terlalu kecil ataupun tersembunyi. Varietas karenanya, mengacu
kepada dua aspek : di satu sisi ada verietas antarspesies , sementara di sisi lain ada
verietas dalam satu spesies. (Rudolf H. Marx, 2017)
Varietas inilah yang akan menjadi objek penelitian evolusi. Ada dua
permaslahan yang harus dipecahkan. Di satu sisi, kita perlu memahami mekanisme –
mekanisme yang bekerja saat ini, yaitu mekanisme - mekanisme yang mengubah
spesies atau membantu mencipatakan spesies baru ; mekanisme – mekanisme ini
harus diverifikasi. Di sisi lain, ada aspek sejarah dalam penelitian evolusi karena
penelitian tersebut mencoba mengungkapkan urutan aktual dari peristiwa – peristiwa
yang telah terjadi selama evolusi. (Rudolf H. Marx, 2017)
Spesies merupakan makhluk hidup yang berdasarkan semua ciri pembeda
utama, menyerupai satu sama lain maupun keturunan mereka. Perbedaan inilah yang
menjadi dasar bagi konsep spesies morfologis. Demi klasifikasi organisme dalam
bidang ini, definisi morfologis spesies mutlak diperlukan. Akan tetapi, berbagai
spesies mungkin ditemukan diwilayah yang luas di seluruh satu benua atau lebih,
sehingga membutuhkan pendekatan berbeda untuk mengidentifikasi golongan spesies
hewan - hewan tersebut. (Rudolf H. Marx, 2017)
Semua individu dalam satu populasi yang dalam kondisi – kondisi alami,
berpotensi bereproduksi dengan satu sama lain, merupakan bagian dari kohesi
reproduktif ( populasi ) yang sama, sehingga terggolong ke dalam satu spesies ; gen –
gen mereka membentuk lungkang gen bersama, yeng terpisah dari lungkang gen
spesies lain. (Rudolf H. Marx, 2017)
Di bumi ini terdapat sekitar 300.000 spesies tumbuhan dan 1.5 juta spesies
hewan telah dikenal. Akan tetapi, jumlah sebenarnya tidaklah diketahui. Dalam hal
jumlah spesies di seluruh dunia, hanya ada estimasi jumlah, termasuk jumlah
kemungkinan dari spesies dari spesies yang belum pernah ditemukan. Metode –
metode estimasi lain terkadang memberikan hasil – hasil serupa, sedangkan hasil –
hasil yang sangat berbeda juga bisa diperoleh dan berkisar antara tiga sampai sekitar
100 juta spesies. (Rudolf H. Marx, 2017)

B. Alasan – Alasan Adanya Variabilitas

Variabilitas memiliki penyebab genetik dan lingkungan. Variabilitas yang


disebabkan oleh lingkungan misalnya, factor lingkungan yang berbeda, kelembapan
tanah atau paparan sinar matahari. Sedangkan variabilitas yang disebabkan oleh gen
disebut variabilitas genetik. (Rudolf H. Marx, 2017). Variabilitas genetik
menjelaskan kecenderungan atau kemampuan suatu karakter/sifat untuk bervariasi
yang dikendalikan secara genetik. (Irmawati, 2016)
1. Mutasi Mengembangkan Lungkang Gen
Variabilitas genetik populasi ditentukan oleh keseluruhan gen, alias lungkang
gen. Alel – alel baru tercipta melalui mutasi. Sumber pamungkas dari alel-alel baru
adalah mutasi (mutation), perubahan dalam sekuens nukloetida dari DNA suatu
organisme. Mutasi bagaikan judi-kita tidak bisa memperkirakan secara akurat segmen
DNA mana yang akan berubah atau dengan cara seperti apa. Dalam oranisme
multiseluler, hanya mutasi pada garis keturunan sel yang menghasilkan gamet dapat
diteruskan pada keturunan. Pada tumbuhan dan fungi, ini tidak seterbatas seperti
kedengarannya, sebab banyak garis keturunan sel berbeda yang dapat menghasilkan
gamet. Namun pada hewan kebanyakan mutasi terjadi pada sel somatik dan lenyap
sewaktu individu tersebut mati. (Rudolf H. Marx, 2017)
Mutasi merupakan peistiwa langka. Sebagai tambahan, sebagian besar alel
alel baru ini tidak memiliki efek, misalnya ketika alel tersebut bersifat ressif. Di sisi
lain, pada populasi-populasi dengan siklus reproduksi sangat pendek, mutasi dapat
dengan cepat dan signifikan mengubah spektrum variasi genetik. (Rudolf H. Marx,
2017)
 Mutasi Titik
Perubahan seketika satu basa pada suatu gen-mutasi titik-dapat memiliki
dampak yang signifikan pada fenotipe, seperti pada penyakit sel-sel sabit. Organisme
mencerminkan ribuan generasi dari seleksi masa lalu, dengan demikian fenotipe
mereka umumunya sangat sesuai dengan lingkungannya. Akibatnya kecil
kemungkinan mutasi baru yang mengubah suatu fenotipe akan memperbaiki fenotipe
tersebut. Faktanya, kebanyakan mutasi semacam itu setidaknya sedikit
membahayakan. (Campbell, 2012)
Namun banyak DNA pada genom eukariotik tidak mengkodekan produk
protein, dan mutasi titik pada wilayah bukan-pengkode itu seringkali tidak berbahaya.
Selain itu, akibat redudansi pada kode genetik (satu asam amino dapat dikodekan oleh
lebih dari satu macam kode triplet), sebuah mutasi titik dalam suatu gen yang
mengkodekan protein tidak akan berpengaruh pada fungsi protein jika komposisi
asam aminonya tidak berubah. Bahkan jika asam amino berubah, ini mungkin tidak
mempengaruhi bentuk dan fungsi protein. Akan tetapi pada kejadian-kejadian langka,
alel-alel mutan mungkin benar-benar membuat pemiliknya lebih sesuai dengan
lingkungannya, sehingga tingkat keberhasilan reproduksinya pun meningkat.
(Campbell, 2012).
 Mutasi yang mengubah Jumlah atau Sekuens Gen
Perubahan kromosomal yang melenyapkan, mengacaukan, atau menyusun
ulang banyak lokus sekaligus hampir pasti membahayakan. Akan tetapi, sewaktu
mutasi berskala besar semacam itu tidak mengubah gen, efeknya pada organisme
mungkin netral. Dalam sejumlah peristiwa langka, penyusunan-ulang kromosom
bahkan bisa menguntungkan. Misalnya, translokasi salah satu bagian dari suatu
kromosom ke kromosom yang berbeda mungkin mengaitkan segmen DNA dalam
satu cara yang mendatangkan efek positif. (Campbell, 2012)
Salah satu sumber penting dari variasi berawal ketika gen-gen terduplikasi
akibat kesalahan dalam meiosis (misalnya pindah-silang yaang tak setara), kesalahan
replikasi DNA akibat polimerase yang tergelincir atau aktivitas elemen transposabel.
Duplikasi segmen kromosom yang berukuran besar, seperti pada penyimpanan
kromosom, sering kali membahayakan; namun duplikasi potongan DNA yang lebih
kecil mungkin tidak membahayakan. Dulplikasi gen yang tidak memiliki efek parah
dapat bertahan selama beberapa generasi, memungkinkan mutasi untuk terakumulasi.
Hasilnya adalah genom yang memanjang dengan lokus-lokus baru yang mungkin
mmperoleh fungsi-fungsi baru. (Campbell, 2012)
Peningkatan yang menguntungkan semacam itu dalam jumlah gen tampaknya
memainkan peranan yang besar dalam evolusi. Misalnya, nenek moyang jauh
mamalia memiliki satu gen tunggal untuk mendeteksi bau yang telah terduplikasi
berkali-kali. Akibatnya, manusia kini memiliki sekitar 1.000 gen reseptor penciuman
sementara mencit memiliki 1.300. Peningkatan dramatis semacam itu dalam jumlah
gen penciuman mungkin telah membantu mamalia awal hingga mampu mencium bau
yang samar dan membedakan banyak bau-bau yang lain. Namun, sekitar 60% gen
reseptor penciuman manusia telah dinaktivasi oleh mutasi, sementara mencit hanya
kehilangan 20% dari gen-gen tersebut. Perbedaan dramatis ini menunjukkan bahwa
indra penciuman yang tajamlebih penting bagi mencit dibandingkan dengan manusia.
(Campbell, 2012)
 Laju mutasi
Laju mutasi cenderung rendah pada tumbuhan dan hewan, rata-rata sekitar 1
mutasi dalam setiap 100.000 gen per generasi, dan laju tersebut seringkali lendah lagi
pada prokariota. Namun prokariota umumnya memiliki rentang generasi yang
pendek, sehingga mutasi dengan cepat dapat memunculkan variasi genetikpada
organisme tersebut. Hal yang sama berlaku pada virus. Misalnya, HIV memiliki
rentang generasi sekitar 2 hari. HIV jugamemiliki genom RNA yang mempunyai laju
mutasi jauh lebih tinggi dari pada genom DNA tipikal, akibat ketiadaan mekanisme
perbaikan RNA pada tingkat sel inang.
Karena alasan ini, tak mungkin bahwa pemakaian obat tunggal dapat melawan
HIV secara efektif, bentuk mutan virus tersebut yang resisten terhadap obat tertentu
jelas akan memperbanyak diri dalamwaktu yang relatif cepat. Terapi AIDS yang
paling efektif sampai saat ini adalah ‘koktail’ obat yang mengkombinasikan sejumlah
obat-obatan. Kecil kemungkinan bahwa banyak mutasi yang menyababkan resistensi
terhadap semua obat akan terjadi dalam jangka waktu yang panjang. (Campbell,
2012)
 Reproduksi Seksual
Pada organisme yang bereproduksi secara seksual, kebanyakan variasi genetik
dalam populasi merupakan akibat dari berbagai kombinasi unik dari alel-alel yang
diterima oleh setiap individu. Tentu saja pada tingkat nukleotida, semua perbedaan
diantara alel-alel tersebut disebabkan oleh mutasi-mutasi yang telah terjadi.
(Campbell, 2012)
2. Rekombinasi Juga Meningkatkan Variabilitas
Penyebab lain dari variasi genetik pada populasi organisme diploid adalah
rekombinasi alel – alel yang sudah ada. Jumlah gamet yang mungkin, meningkat
secara eksponensial seiring jumlah pasangan kromosom. Manusia misalnya, memiliki
23 pasang kromosom, sehingga dapat membentuk 223 gamet berbeda, yaitu lebih dari
8 juta. (Rudolf H. Marx, 2017)
Modifikasi, mutasi dan rekombinasi, memengaruhi variabilitas nyata suatu
populasi. Akan tetapi, modifikasi selalu lenyap saat individu pembawanya mati. Oleh
karena itu, hanya mutasi dan rekombinasi yang dapat memiliki efek jangka panjang
terhadap variabilitas suatu populasi. (Rudolf H. Marx, 2017)
C. Seleksi Alam Mengubah Populasi

1. Seleksi Alam Mengubah Populasi

Ngengat peppered adalah ngengat yang bersifat nokturnal ( aktif kala malam).
Di siang hari, biasanya ngengat ini bertengger bergeming di kulit pohon, terutama
pohon birch dan ek. Sampai petengahan abad ke – 19 di Inggris, selain beberapa
temuan yang jarang terjadi, hanya ada varietas ngengat berwarna lebih terang. Pada
1948, segelintir spesimen berwarna gelap pertama ditemukan. Perhitungan populasi
sejar 1960-an mengonfirmasi bahwa komposisi populasi ngengat pepperedtelah
berubah secara drastis. Di beberapa bagian Britania Raya, varian gelap mendominasi,
sementara di bagian-bagian lain negara tersebut, masih lebih sering ditemukan varian
berwarna terang. (Rudolf H. Marx, 2017)

H.D.B. Kettlewell menyelidiki perubahan – perubahan dalam populasi


ngengat peppereddan mengembangkan penjelasan berikut : warna sayap yang gelap
dapat dijelaskan sebagai akibat mutasi yang memicu peningkatan produksi pigmen
melanin. Alel melanisme ini bersifat dominan. Di daerah-daerah yang jauh dari
industri berat, kulit pohon birchdan ek banyak ditumbuhi lichenberwarna terang.
Situasi yang dianggap serupa dengan situasi meningkatnya industrialisasi, lichen
yang sensitif mati di hutan-hutan dekat dengan pusat industri seiring meningkatnya
kadar sulfur dioksida di udara. Selain itu, partikel jelaga dan debu betumpuk di kulit
kayu, dan menjadikannya lebih gelap . Ngengat pepperedberwarna lebih terang yang
tadinya nyaris tidak terlihat dikulit pohon berlapis lichen berwarna terang., kini
tampak jauh lebih mencolok di kulit kayu berwarna coklat-kehitaman berlapis jelaga
dan lebih mudah terlihat dari jauh. Akan tetapi, ngengat yang berwarna lebih gelap
menjadi sangat terkamuflase pada permukaan yang berubah ini. Meskipun dapat
menghasilkan keturunan, varian-varian berwarna lebih terang kerap terdeteksi oleh
burung dan dimakan sebelum bisa mencapai kedewasaan seksual. (Rudolf H. Marx,
2017)
Kettlewell menyediakan bukti bagi hipotesisnya dari berbagai percobaan luar
ruang, ia menandai sejumlah ngengat peppereddengan bintik-bintik kecil warna di
bagian bawah sayap mereka dan melepaskan mereka di hutan-hutan dekat
Birmingham. Selama beberapa malam berikutnya ngengat pepperedyang dilepaskan
ditangkap lagi menggunakan perangkap cahaya. Ternyata lebih dari dua kali lipat
varian gelap kembali dan karenanya sintas, dibandingkan dengan ngengat-ngengat
berwarna terang. Dalam sebuah percobaan paralel, Kettlewell melepaskan ngengat
peppereddalam sebuah hutan di Cornwall, daerah pedesaan yang jauh dfari industri
berat. Di sini, ia menangkap dua kali lipat lebih banyak ngengat berwarna terang
daripada yang berwarna gelap. Menggunakan rekaman film, Kettlewell dapat
semakin memastikan bahwa pemangsa alami, seperti gelatik biru, anis pengicau,
robin, dan redstart hanya membutuhkan beberapa hari sebelum mereka bisa
mengenali dan segera menangkap ngengat tidak tersamarkan yang tadinya “ tidak
mereka kenali “(Rudolf H. Marx, 2017)

Warna tubuh ngengat pepperedmerupakan contoh efek – efek seleksi alam. Di


daerah-daerah industri, ngengat berwarna gelap terkamuflase secara lebih baik
daripada yang berwarna terang. Oleh karena itu, mereka teradaptasi lebih baik
terhadap kondisi – kondisi lingkungan dan, dibandingkan dengan ngengat berwarna
terang, menghasilkan lebih banyak keturunan. Dengan demikian alel mereka lebih
banyak yang mencapai lungkang gen generasi berikutnya. Di daerah-daerah industri,
ngengat pepperedberwarna gelap memiliki kebugaran reproduksi yang lebih tinggi
daripada yang berwarna terang. Selama beberapa generasi, presentase mereka dalam
keseluruhan populasi meningkat, sementara proporsi ngengat yang kurang teradaptasi
dengan baik pun menurun. Sesuai dengan itu, pada biolog mendefinisikan evolusi
sebagai perubahan genitipe dan frekuensi alel dari generasi ke generasi. Evolusi
adalah proses yang disebabkan oleh seleksi dan terjadi pada populasi. Individu sendiri
tidak bisa berevolusi. (Rudolf H. Marx, 2017)

Pada 1898, 99% ngengat peppereddi daerah – daerah industri memiliki sayap
gelap. Evolusi mereka berlangsung sedemikian cepat karena kondisi lingkungan telah
berubah dengan sedemikian cepat, dan karena setiap tahun ada generasi ngengat baru.
Biasanya, proses-proses evolusi terjadi secara lebih lambat dan membutuhkan
pertimbangan dalam skala waktu sangat panjang yang tidak dikenal manusia. (Rudolf
H. Marx, 2017)

D. Genetika Populasi

Gen adalah unit pewarisan sifat genetik bagi suatu organisme. Bentuk fisik
gen adalah urutan basa dari DNA yang diapit oleh promoter dan terminator yang
menyandikan protein. Setiap organisme memiliki ukuran gen yang berbeda-beda .
gen merupakan segmen DNA yang mengkode suatu produk fungsional seperti
molekul RNA dan polipeptida. (Irmawati, 2016)
Keanekaragaman gen dalam spesies, baik intra maupun antar populasi akan
memungkinkan individu-individu dalam populasi tersebut memiliki daya adaptasi
yang berbeda-beda terhadap kondisi lingkungan yang saat ini sangat fluktuatif. Ketika
lingkungan berubah, keanekaragaman gen yang besar diperlukan agar populasi suatu
spesies dapat beradaptasi dan bertahan hidup. Hanya populasi yang memiliki derajat
keanekaragaman genetik yang tinggi yang akan dapat beradaptasi karena memiliki
lebih banyak variasi alel yang dapat berfungsi, sedangkan populasi dengan variasi
genetik yang rendah cenderung memiliki rasio yang tinggi untuk punah. (Irmawati,
2016)
Populasi bisa berubah; seiring dengan berubahnya alel dalam lungkang ge,
frekunsi genotip yang terkait langsung dengannya pun berubah. Karena itu evolusi
dapat dipahami sebagai perubahan apapun yang berkenaan dengan frekuensi alel
dalam suatu lungkang gen. Genetika populasi adalah bidang penelitian yang mencoba
menjelaskan asas-asas yang mendasari perubahan semacam itu. (Rudolf H. Marx,
2017)
Karakter yang bervariasi di dalam suatu populasi bisa bersifat diskret atau
kuantitatif. Karakter diskret, misalnya warna bunga ungu atau putih pada tumbuhan
ercis Mendel. Setiap tumbuhan memiliki bunga ungu saja atau putih saja. Banyak
karakter diskret ditentukan oleh satulokus gen tunggaldengan alel-alel berbeda yang
menghasilkan fenotipe yang berbeda. Akan tetapi, kebanyakan variasi terwariskan
melibatkan karakter kuantitatif, yang bervariasi dalam suatu kontinum dalam
populasi. Variasi kuantitatif yang terwariskan biasanya merupakan hasil dari
pengaruh dua atau lebih gen pada satu karakter fenotip. (Campbell, 2012)
Dengan mempertimbangkan karakter diskret maupun kuantitatif, para ahli
biologi dapat mengukur variasi genetik dalam suatu populasi pada tingkat
keseluruhan gen (variabilitas gen) dan tingkat molekuler DNA (variabilitas
nukleotida). Variabilitas gen dapat dikuantifikasi sebagai heterozigositosi rata-rata
(average heterozigosity), persentase rata-rata dari lokus heterozigot. Contohnya
adalah lalat buah Drosophila melanogaster, yang memiliki sekitar 13.700 gen di
dalam genomnya. Sesekor lalat buah rata-rata bersifat heterozigot sekitar 1.920
lokusnya (14%) dan sisanya bersifathomozigot. Oleh karena itu, populasi D.
melanogaster memiliki heterozigisitas rata-rata 14%. (Campbell, 2012)
Heterozigositas rata-rata kerap diestimasi dengan cara mensurvei produk
protein gen menggunakan elektroforesis gel. Walaupun berguna, pendekatan ini tidak
dapat mendeteksi mutasi bisu yang mengubah sekuens asam amino dalam protein.
Untuk menyertakan mutasi bisu dalam estimasi heterozigositas rata-rata, para peneliti
harus menggunakan pendekatan lain, misalnya metode-PCR dan analisis fragmen
restriksi. (Campbell, 2012)
Variabilitas nukleotida diukur dengan membandingkan sekuens DNA dari dua
individu dalam populasi dan kemudian menghitung rata-rata data dari banyak
pembandingan semacam itu. Genom D. melanogaster memliki sekitar 180 juta
nukleotida, dansekuens dari dua lalat buah yang sama saja memiliki perbedaan rata-
rata sekitar 1,8 juta (1%) dari nukleotidanya. Dengan demikian variabilitas nukleotida
dari populasi D. melanogaster kira-kira 1%. (Campbell, 2012)
Selain variasi yang teramati dalam suatu populasi, spesies juga menunjukkan
variasi geografis (geograpic variation), yakni perbedaan dalam komposisi genetik
dari populasi-populasi yang terpisah. Misalnya, variasi geografis dalam populasi-
populasi mencit rumah (Mus musculus) yang terpisahkan oleh pegunungan di sebuah
pulau Atlantik, Madeira. Mencit rumah terbawa ke Madeira secara tidak sengaja
melalui pendatang dari Portugal pada abad ke-15. Sejumlah populasi mencit telah
berevolusi di dalam isolasi. Para peneliti telah mengamati perbedaan-perbedaan pada
karotipe (set kromosom) dari populasi-populasi yang terisolasi itu. Pada beberapa
populasi, sejumlah kromosom awal telah berfusi (bergabung). Akan tetapi, pola dari
kromosom yang berfusi berbeda dari satu populasi ke populasi lain. Karena
perubahan tingkat kromosom tidak mengubah gen, efek-efek fenotipedari berbagai
perubahan tersebut pada mencit tampaknya netral. Dengan demikian variasi diantara
populasi-populasi tersebut tampaknya merupakan akibat dari kejadian kebetulan
(kehanyutan), bukan akibat dari seleksi alam. (Campbell, 2012)
1. Frekuensi Genotipe

Sebagai contoh, populasi ngenat terdiri atas 100 ekor; lungkang gen
karenanya terdiri atas 200 alel. Diantara 200 alel itu, terdapat 120 alel A (genap) dan
80 alel a (terang). (Rudolf H. Marx, 2017)

Frekuensi alel A dalam lungkang gen dinamakan p dan dalm kasus ini adalah
120:200 = 0,6 atau 60%. Frekuensi alel a disebut q dan adalah 80:200= 0,4 atau 40%.
Oleh karena dua alel inilah yang ada dalam contoh ini, jumlahnya tentulah 1,0 atau
100%: p + q = 1. (Rudolf H. Marx, 2017)

Frekuensi genotip adalah hasil dari probabilitas semua kemungkinan


kombinasi alel, seperti yang diketahui dari persilngan genetik. (Rudolf H. Marx,
2017)

 Frekuensi AA sama dengan p2 , dalam contoh ini 0,36 atau 36%.


 Frekuensi alel Aa atau aA sama dengan 2 pq, dalam contoh ini 0,48
atau 48%.
 Frekuensi aa sama dengan q2 , dalam contoh ini 0,16 atau 16%.

Oleh karena semuanya adalah genotip yang terdapat dalam contoh ini, lagi-
lagi jumlahnya pastilah 1,0 atau 100%: p2 + 2pq + q2 = 1. Dengan frekuensi-frekuensi
alel yang dipilih dalam contoh ini, hanya 16% ngengat akan memiliki warna sayap
terang, sementara 84% sisanya bewarna gelap. (Rudolf H. Marx, 2017)

2. Frekuensi Alel dalam Generasi Berikutnya

Sesuai dengan genotipe dalam gamet mereka, induk hewan mewariskan alel A
atau alel a kepada keturunannya. Frekuensi alel-alel dalam generasi berikutnya paling
mudah dihitung dengan asumsi bahwa hanya ada satu keturunan. Untuk krturunan
selanjutnya, penghitungan yang samajuga berlaku. pE dan qE adalah frekuensi alel
pada generasi parental (induk); pN dan qN mempresentasikan frekuensi alel pada
generasi keturuna (anakan). (Rudolf H. Marx, 2017)

 Setiap induk bergenotipe AA mewariskan satu alel A ke lungkang gen


generasi berikutnya. Induk-induk semacam ini muncul dengan frekuensi pE2 ,
sehingga persentase frekuensi mereka untuk alel A adalah pE2. Dalam
contoh ini nilainya sama dengan 36%. (Rudolf H. Marx, 2017)
 Induk-induk bergenotipe Aa mewariskan satu alel, entah itu A atau a, ke
lungkang gen generasi berikutnya. Induk-induk semacam ini muncul dengan
frekuensi 2 pEqE (48%). Persentase mereka ba gi alel A dan a masing-
masing adalah pEqE (24%). (Rudolf H. Marx, 2017)
 Induk-induk bergenotipe aa dengan demikian akan mewariskan alel a dengan
frekuensi qE2 (16%) ke lungkang gen generasi berikutnya. (Rudolf H. Marx,
2017)
Jumlah persentase alel A sama dengan frekuensi A dalam generasi berikutnya,
yaitu:
pN = pE2+ pEqE
atau 36% + 24% = 60%. (Rudolf H. Marx, 2017)
Berhubung pE + qE = 1, maka qE = 1 – pE. Setelah substitusi, diperoleh:
pN = pE2 + pE + (1 - pE) = pE2 + pE - pE2 = pE.
Menurut persamaan ini, frekuensi alel A tetap sama pada dua generasi. (Rudolf H.
Marx, 2017)
Perhitungan frekuensi bagi alela memberikan hasil yang sangat selaras:
qN = qE. Ini berarti hanya rekombinasi yang menyebabkan perubahan apapun dalam
lungkang gen selama beberapa generasi. Oleh karena frekuensi alel tertaut langsung
dengan frekuensi genotipe, frekuensi genotipe pun tidak berubah. (Rudolf H. Marx,
2017)
Gen diploid adalah dominan pada golongan pertama sedangkan banyak dari
golongan kedua dalam sebagian hidupnya adalah haploid. Dapat dianggap bahwa
hewan dan tumbuhan tingkat tinggi itu merupakan hasil urutan perubahan evolusi
yang lebih rumit danlebih berhasil, maka terjadinya diploidi dalam hal ini mungkin
merupakan hasil urutan perubahan evolusi yang lebih rumit dan lebih berhasil, maka
terjadinya diploidi mungkin merupakan faktor terjadinya evolusi. Gen resesif pada
individu heterozigot seringkali tersembunyi karena alel dominan terwujud penuh
dalam fenotipe. Tetapi hal ini hanya berlaku bagi organisme diploid. Pada organisme
haploid hanya terdapat satu gen dalam tiap lokus gen. Akibatnya gen resesif
mengekspresikan diri dalam fenotipe. (John W Kimball, 2001)

Seluruh populasi organisme yang berkembang biak, jumlah gamet yang turut
dalam pembentukan generasi berikutnya umumnya tidak akan terbagi sama banyak
antara gamet yang membawa alel dominan dan gamet yang membawa alel resesif.
Misalnya, pada suatu populasi hamster, 80% dari semua gamet yang terbentuk
mempunyai alel dominan untuk warna bulu hitam (B) dan 20% mempunyai alel
resesif untuk warna kelabu (b). Maka, 80% spermadalam lungkang gemet membawa
B, dengan demikian dapat diprediksi bahwa 64% (0,80 x 0,80 = 0,64) dari semua
zigot akan berupa BB. 0,64 merupakan hasil daripeluang bahwa setiap sperma
tunggal membawa B (0,80) dan bahwa tiap telur tunggal membawa B (0,80) juga.
20% sperma membawa b dan membuahi telur secara acak. Dengan demikian kita
harapkan 16% zigot yang terbentuk oleh kombinasi ini dan sifatnya menjadi
hetozigot (Bb). 16% lainnya dari zigot juga akan mrnjadi heterozigot karena
dihasikan dari 80% sperma B membuahi 20% telur b. Hanya 4% dari semua zigot
yang dihasilkan akan homozigot untuk bulu kelabu (bb) karena 20% dari sperma
yang membawa alel b hanya mempunyai 1 dalam5 kesempatan untuk membuahi telur
yang membawa b (0,20 x 0,20 = 0,04). (John W Kimball, 2001)

Variasi individual terjadi pada semua spesies. Selain perbedaan yang dapat
dilihat atau didengar, spesies memiliki variasi genetik luar biasa yang hanya dapat
teramati pada tingkat molekular. Misalnya, golongan darah seseorang tidak dapat
diidentifikasi hanya dari wujud fisiknya. (Campbell, 2012)
Beberapa variasi fenotip tidak diwariskan. Fenotipe adalah produk dari
genotipe yang terwariskan dan berbagai pengaruh lingkungan. Salah satu contohnya
pada manusia: para binaragawan mengubah fenotipe mereka secara drastis, namun
tidak mewariskan otot besar mereka ke generasi berikutnya. Hanya bagian genetik
dari variasi yang memiliki konsekuensi evolusioner. (Campbell, 2012)
3. Populasi Ideal
Hal di atas hanya berlaku jika kondisi-kondisi berikut terpenuhi:
 Tidak ada genotipe tertentu yang kalah unggul dalam seleksi
 Tidak ada mutasi
 Tidak ada preferensi genotipe tertentu dalam reproduksi
 Percampuran genotipe sempurna terjadi dalam populasi (panmiksia)
 Tidak ada efek acak; populasi haruslah cukup besar sehingga frekuensi
mencerminkan nilai-nilai probabilitas
 Tidak terjadi migrasi ataupun emigrasi

Jika kondisi-kondisi tersebut terpenuhi, populasi dapat dianggap ideal. Akan


tetapi, pada kenyataannya, kondisi-kondisi semacam itu tidak nyata. Ini berarti bahwa
dalam kenyataan, frekuensi memang berubah. Oleh karena itu, populasi terus
berubah; evolusi terjadi. Sebaliknya, semua faktor yang dapat mengubah frekuensi
alel dapat diidentifikasi. (Rudolf H. Marx, 2017)

4. Kondisi Tercapainya Ekuilibrium Hardy-Weinberg


Untuk memahami evolusi sebagai perubahan materi genetik populasi, perlu
diketahui batasan genetika populasi yang di dasarkan kepada konsep gene pool
(susunan genotip suatu populasi). Gene pool adalah keseluruhan jumlah jumlah gen
yang dipunyai individu di dalam populasi. Individu-individu diploid hanya
mengandung dua alel untuk tiap-tiap gen, tetapi tidak pada gene pool populasi.
Populasi dapat mengandung sejumlah bentuk alel yang berbeda dari suatu gen.
Dengan memperhatikan suatu gen tertentu, gene pool menunjukkan banyaknya alel
gen yang ditemukan di dalam populasi. (Oman Karmana, 2007)
Apabila diasumsikan bahwa di dalam suatu gene pool terdapat pasangan alel
A dan a , maka presentase gamet A atau gamet a dalam gene pool tersebut akan
tergantung pada frekuensi genetik generasi parentalnya. Contohnya: apabila sebagian
parental bergenotipe aa resesif , maka frekuensi alel resesif tersebut di dalam gene
pool akan relatif lebih tinggi dari presentase alel yang mengandung alel dominan A
akan lebih rendah. (Irmawati, 2016)
Ketika di antara individu – individu populasi terjadi perkwinan secara acak
(random mating ), atau dengan kata lain, apabila setiap gamet jantan di dalam gene
pool memiliki peluang yang sama untuk membuahi gamet betina, maka frekuensialel
zigot pada generasi berikutnya akan dapat diprediksi. Prediksi dilakukan dengan
mengetahui atau mendapatkan data tentang frekuensi gen ( alel ) di dalam gene pool
generasi parental. Apabila frekuensi relatif gamet A atau a di dalam gene pool
diketahui, maka frekuensi genotipe dan fenotipe progeni juga dapat dihitung.
Apabila diketahui :
p = presentase gamet A di dalam gene pool,
q = presentase gamet a di dalam gene pool,
maka kombinasi yang mungkin bagi gamet – gamet tersebut adalah :
Dimana p + q = 1 atau presentase gamet A dan a harus berjumlah total100%
agar grnotipe/semua gamet tercakup di dalam gene pool progeni. Dengan demikian,
presentase gamet A dan a yang diharapkan pada generasi berikutnya ( progeni )
adalah :
(p + q )2 = p2 + 2pq + q2 = 1
AA Aa aa
Dimana :
p2 = alel progeni himizigot dominan
q2 = alel progeni homozigot prosesif
2pq = alel progeni heterozigot
(AA) = frekuensi genotipe AA
(Aa) = frekuensi genotipe Aa
(aa) = frekuensi genotipe aa
Rumus diatas adalah dugaan – dugaan genotipe generasi progeni berdasarkan
frekuensi gamet (alel) gene pool parental yang mengikuri aturan Hardy-Weinberg.
Hukum Hardy-Weinberg menjelaskan bahwa populasi tidak mengalami evolusi :
“ frekuensi alel dan genotipe dalam gene pool tidak mengalami perubahan selama
beberapa generasi “. Apabila perkawinan yang terjadi adalah perkawinan individu
monohibrid (Aa) maka frekuensi genotipenya berdasarkan hukum Hardy-Weinberg
adalah :
 25% homozigot dominan (AA),
 50% heterozigot (Aa),
 25% homozigot resesif (aa).
Apabila:
p = frekuensi alel A
q = frekuemsi alel a
(p + q )2 = p2 + 2pq + q2 = 1
Maka :
p2 = frekuensi genotipe AA
q2 = frekuensi genotipe aa
2pq = frekuensi genotipe Aa

Hal-hal yang mempengaruhi frekuensi genotipe dan alel dikemukakan oleh


Hardy-Weiberg. G.H. Hardy merupakan seorang ahli matematika berkebangsaan
inggris, sedangkan W. Weinberg merupakan seorang dokter berkebangsaan Jerman.
Untuk mengetahui frekuensi gen atau genotipe di alam bebas, G.H. Hardy dan W.
Weinberg menemukan prinsip-prinsip perhitungan frekuensi gen atau alel (genotipe)
yang dinamakan hukum Hardy-Weinberg. (Oman Karmana, 2007)
Prinsip Hardy-Weinberg menjabarkan sebuah populasi hipotesis yang tidak
berevolusi. Namun pada populasi sungguhan, frekuensi alel dan genotipe seringkali
memang berubah seiring waktu. Perubahan-perubahan semacam itu terjadi ketika
setidaknya satu dari kelima kondsi ekuilibrium Hardy-Weinberg berikut tidak
terpenuhi: (Campbell, 2012)
1) Tidak ada mutasi. Dengan cara mengubah alel-alel atau (dalam perubahan
berskala besar) menghapuskan atau menduplikasikan keseluruhan gen, mutasi
memodifikasi lungkang gen. (Campbell, 2012).
2) Perkawinan acak. Jika individu kawin menuruti pilihan tertentu dalamsuatu subset
populasi, misalnya dengan kerabat dekatnya sendiri (perkawinan sanak),
percampuran gamet secara acak tidak terjadi, dan frekuensi genotipe berubah.
(Campbell, 2012)
3) Tidak ada seleksi alam. Perbedaan dalam kesintasan dan keberhasilan reproduksi
dari individu yang membawa genotipe berbeda dapat mengubah frekuensi alel.
(Campbell, 2012)
4) Ukuran populasi sangat besar. Semakin kecil populasi, semakin besar
kemungkinan frekuensi alelnya berfluktuasi secara kebetulan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. (Campbell, 2012)
5) Tidak ada aliran gen. Dengan memindahkan alel ke dalam atau ke luar populasi,
aliran gen dapat mengubah frekuensi alel. (Campbell, 2012)
Penyimpangan dari salah satu kondisi ini biasanya berakibat pada perubahan
evolusioner. Umumnya ditemukan pada populasi ilmiah umumnya juga berada dalam
ekuilibrium Hardy-Weinberg untuk gen-gen spesifik. Hal yang sepertinya
kontradiktif ini terjadi karena populasi dapat berevolusi pada beberapa lokus, namun
secara bersamaan berada pada ekuilibrium Hardy-Weinberg pada lokus yang lain.
sebagai tambahan, sejumlah populasi berevolusi dengan sangat lambat sehingga
perubahan pada frekuensi alel dan genotipe mereka sulit dibedakkan dari frekuensi
yang diprediksi begi populasi yang tidak berevolusi. (Campbell, 2012)-Weinberg.
Sedangakan menurut buku (Irmawati, 2016) Hukum Hardy-Weinberg hanya
dapat terjadi apabila asumsi – asumsi berikut terpenuhi :
1. Jumlah individu dalam populasi banyak ( tidak terbatas ) dan melakukan
perkawinan secara acak. Pada populasi yang sangat besar terjadinya genetic drift
tidak menyebabkan perubahan frekuensi gen di dalam gene pool. Tetapi dalam
populasi yang kecil penyimpangan genetik bisa mengubah frekuensi gen.
(Irmawati, 2016)
2. Populasi bersifat tertutup, yaitu tidak terjadi migrasi individu dan populasi satu ke
populasi lainnya. Populasi yang terisolasi, peluang terjadinya kawin antarkeluarga
(inbreeding) menjadi tinggi, dan aliran genetiknya (gene flow) menjadi rendah.
Jika kejadian seperti ini terus terjadi, akan menyebabkan variasi genetik
(heterosigositasi) dalam populasi tersebut menjadi rendah dan akan mengancam
populasi in situ. (Irmawati, 2016)
3. Variasi genetik diperlukan bagi suatu populasi untuk menghadapi perubahan
lingkungan. Akibatnya jika tida terdapat variasi genetik pada suatu populasi atau
spesies maka sangat mungkin akan terjadi kepunahan karena tidak dapat bertahan
dari perubahan lingkungan. Selain penentuan variasi genetik, penentuan nilai
aliran gen ( gene flow ) antarpopulasi juga diperlukan untuk melihat tingkat
penyebaran antarpopulasi. Aliran gen merupakan pertukaran gen antarpopulasi,
yang terjadi pada spesies yang sama. Aliran gen ke dalam atau ke luarpopulasi
dapat mengubah frekuensi alel, serta menambah variasi genetik ke dalam suatu
populasi. (Irmawati, 2016)
4. Tidak terjadi mutasi. Perubahan satu alel menjadi bentuk alel lain akan mengubah
gene pool. (Irmawati, 2016)
5. Perkawinan terjadi secara acak. Dalam suatu populasi setiap anggota di dalam
populasi memiliki peluang yang sama untuk saling melakukan perkawinan. Kalau
ada faktor keinginan untuk memilih pasangan kawin, maka hukum H-W tidak
akan terjadi. (Irmawati, 2016)
6. Tidak ada seleksi alam. Apabila semua individu memiliki kemampuan hidup,
tidak ada persaingan dalam mempertahankan hidup, maka dunia akan penuh
dengan dengan makhluk hidup yang beraneka macam jenisnya. Kenyataanya
populasi makhluk hidup relatif stabil, berarti ada yang mati karena tidak dapat
mempertahankan hidup atau populasinya makin menurun karena menurunnya
kemampuan memperbanyak diri. Seleksi alam dan persebaran gen (gene
dispersal) mengontrol pola spesial dari variasi genetik di dalam populasi.
Terdapat beberapa teori yang tepat untuk menjelaskan bagaimana seleksi
mengubah pola spasial dari variasi genetik. Pada jarak geografis yang pendek,
aliran gen memengaruhi struktur genetik di dalam populasi, autokorelasi spasial
dari genotipe untuk lokus netral yang berbeda, meskipun frekuensi alel berbeda
diantara lokus. (Irmawati, 2016)

Jika syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka frekuensi alel dan frekuensi


genotipe dalam suatu populasi akan konstan dan evolusipun tidak akan terjadi. Akan
tetapi dalam kehidupan, syarat-syarat tersebut tidak mungkin terpenuhi sehingga
evolusi dapat terjadi. Kondisi di lapangan yang dapat menjadi penyebab terjadinya
perubahan frekuensi gen adalah: (Irmawati, 2016)

1. Kesalahan dalam pengambilan sampel (sampling error). (Irmawati, 2016)


2. Ukuran populasi yang kecil (populasi efektif yang kecil) yang dapat
menyebabkan terjadinya hanyutan gen (genetik drift). (Irmawati, 2016)
3. Tekanan seleksi, baik seleksi alamiah seperti cekaman lingkungan atau penyakit
maupun seleksi buatan. (Irmawati, 2016)
4. Tekanan penangkapan. (Irmawati, 2016)
5. Terjadi migrasi atau mutasi. (Irmawati, 2016)
E. Pradisposisi

Nyaris tidak ada lingkungan yang kondisinya tidak berubah untuk waktu
sangat lama. Zaman es, letusan gunung berapi, dan juga perubahan-perubahan iklim
yang terkait musim mengubah kondisi hidup. Temuan-temuan paleontologi
menunjukkan bahwa sejumlah populai berhasl adaptasi terhadap kondisi yang
berubah, sementara yang lain menjadi punah. Dalam percobaan, pross adaptasi ini
hanya dapat diselidiki dengan populasi-populasi yang generasinya pendek. (Rudolf
H. Marx, 2017)

Dalam kondisi-kondisi ideal, bakteri dapat membelah tiap 20 menit sekali.


Ketika ditanam dalam cawan petri (plating) berisi Agar yang mengandung antibiotik,
seperti penisilin, biasanya tidak ada koloni yang bisa berkembang sebab bakteri
terbunuh oleh penisilin. Akan tetapi, dalam beberapa kasus, beberapa koloni tetap
tumbuh, antibiotik seolah tidak berpengaruh. Bakteri-bakteri ini disebut resisten atau
kebal terhadap penisilin. (Rudolf H. Marx, 2017)

Ada dua penjelasan yang mungkin bagi perkembangan resistensi terhadap


antibiotik. Bisa jadi sebagian bakteri yang ditumbuhkan dalam cawan menjadi
resisten akibat pengaruh penisislin, alias faktor lingkungan itu sendirilah yang
menyebabkan resisten. Kemungkinan kedua, koloni-koloni bakteri yang resisten
bertumbuh dari mutan-mutan yang resisten terhadap penisislin, bagian dari populasi
bakteri sebelum bakteri ditanam di cawan. (Rudolf H. Marx, 2017)
Plating replika menggunakan replikator memberikan wawasan tentang
perkembangan resistensi. Bakteri ditanam (melalui metode gores/streaked) ke substrat
Agar normal dan diinkubasi sampai beberapa koloni telah berkembang. Sebuah
replikator berlapis beludru digunakan untuk memindahkan bakteri dari koloni-koloni
ini ke cawan-cawan petri berisikan Agar yang mengandung penisilin, setelah cawan-
cawan ini diinkubasi, hanya beberapa koloni bakteri resisten yang tumbuh. Dari
cawan Agar pertama, sejumlah bakteri kini diangkat dari wilayah yang sesuai dengan
tempat bakteri resisten telah bertumbuh di Agar yang mengandung penisilin. Bakteri-
bakteri tersebut dipindahkan kecawan baru berisikan penisilin, tempat mereka terus
bertumbuh. Mereka bersifat resisten jika bakteri yang digunakan berasal dari daerah
lain, pertumbuhan tidak terjadi. Dengan demikian resitensi itu pastilah sudah ada
sebelum penisilin bisa memberikan efek. Penisilin karenanya tidak menyebabkan
resistensi pada organisme individual, melainkan menyeleksi individu-individu yang
sudah terlebih dahulu resisten. Bakteri-bakteri tersebut memiliki sifat yang
membuktikan keunggulan selektif dalam kondisi-kondisi lingkungan yang berubah,
tetapi tidaak terduga ini, bakteri-bakteri itu dapat dikatakan terpradisposisi. (Rudolf
H. Marx, 2017)
Pradisposisi juga dapat ditemukan dalam evolusi orgnisme yang lebih tinggi.
Bukti fosil menunnjukan bahwa tampaknya coelacanth merupakan ikan air tawar
terestrial selama zaman Devon. Siripnya ditopang oleh bagian-bagian rangka
sehingga coelacanth bisa bergerak di atas tanah padat. Di masa curah hujan rendah,
perairan yang dihuni mengering, ikan ini bisa menyeret diri menyebrangi tanah
menuju kolam lainnya. Dengan demikian, hewan-hewan kuadrupedal pertama
barangkali berkembangdari kelompok coelacanth semacam itu. Pradisposisi
karenanya merupakan ciri dan struktur yang terjadi dalam variabilitas suatu populasi,
dan yang bisa menguntungkan ketika kondisi-kondisi berubah. (Rudolf H. Marx,
2017)
DAFTAR PUS TAKA

Campbell. Biologi Edisi Kedelapan Jilid 2. Jakarta: Erlangga


Irmawati. 2016. Genetika Populasi Ikan. Yogyakarta: Andi
Karmana, Oman. 2007. Cerdas Belajar Biologi. Bandung: Grafindo Media Pratama
H. Marx, Rudolf. 2017. Referensi Biologi Lengkap Evolusi. Jakarta: Erlangga
Kimball, John W. 2001 . Biologi Edisi Kelima Jilid 3. Jakarta: Erlangga

Anda mungkin juga menyukai