Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Keanekaragaman yang terjadi di Indonesia merupakan sebuah potensi sekaligus
tantangan. Dikatakan sebagai sebuah potensi, karena keanekaragaman yang dimiliki tersebut
akan membuat bangsa kita menjadi bangsa yang besar dan memiliki kekayaan yang melimpah
baik kekayaan alam maupun kekayaan budaya yang dapat menarik minat wisatawan asing untuk
mengunjungi Indonesia. Keanekaragaman bangsa Indonesia juga merupakan sebuah tantangan
bahkan ancaman.
    Walaupun keanekaragaman bangsa Indonesia selalu diarahkan pada persatuan dan kesatuan
bangsa dan negara, tetap saja bangsa Indonesia selalu menghadapi ancaman, tantangan,
hambatan dan gangguan baik yang datang dari dalam maupun dari luar Indonesia. Salah satunya
adalah ancaman terhadap aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya bangsa Indonesia
yang merupakan ancaman non-militer.   

B. RUMUSAN MASALAH
1) Bagaimanakah Ancaman Integrasi di Bidang Politik ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. ANCAMAN DI BIDANG POLITIK


      Politik berasal dari bahasa Yunani (politicos) yang berarti dari, untuk, atau yang berkaitan
dengan warga negara. Politik merupakan instrument utama untuk menggerakkan pemerintahan
sehingga sangat rentan akan terjadinya konflik dan ancaman . Hal ini membuktikan bahwa
ancaman politik dapat menumbangkan suatu rezim pemerintahan bahkan dapat menghancurkan
suatu negara .
     Dalam bidang politik , berbagai ancaman actual yang mungkin akan timbul yaitu terjadinya
pertikaian antarkelompok masyarakat akibat terjadinya berbagai perbedaan pendapat dalam
memaknai amandemen UUD 1945 , tuntutan otonomi khusus dan kebebasan pers yang tidak
diimbangi dengan tanggung jawab moral , sehingga akan berpotensi terhadap disentegrasi suatu
bangsa . Disintegrasi merupakan suatu peristiwa yang terjadi pada suatu negara yaitu berupa
perpecahan di dalam negara tersebut. Disintegrasi ada yang berkaitan dengan ideologi,
kepentingan, dan juga pemerintahan.
     Pengertian Ancaman Integrasi Nasional Dalam Bidang Politik adalah setiap usaha dan
kegiatan baik dalam negeri maupun luar negeri yang dikategorikan sebagai hal yang
membahayakan dan memecah belah persatuan dengan mengatas namakan politik. Ancaman di
bidang politik dapat bersumber dari luar negeri maupun dalam negeri. Dari luar negeri, ancaman
di bidang politik dilakukan oleh suatu negara dengan melakukan tekanan politik terhadap
Indonesia. Intimidasi, provokasi, atau blokade politik merupakan bentuk ancaman non-militer
berdimensi politik yang sering kali digunakan oleh pihak-pihak lain untuk menekan negara lain.
    Ancaman yang berdimensi politik yang bersumber dari dalam negeri dapat berupa penggunaan
kekuatan berupa pengerahan massa untuk menumbangkan suatu pemerintahan yang berkuasa,
atau menggalang kekuatan politik untuk melemahkan kekuasaan pemerintah.
    Ancaman di bidang politik dapat dilihat dari gerakan separatis . Gerakan Separatis atau
Separatisme adalah kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat di Indonesia yang
ingin memisahkan dari Negara Indonesia . Kelompok Separatis telah melakukan berbagai aksi di
beberapa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia . Aksi – aksi dalam bentuk tindakan
kejahatan dan kekerasan itu telah menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan masyarakat .
 CONTOH KASUS ANCAMAN PADA BIDANG POLITIK
a. Republic Maluku Selatan (RMS)
Republik Maluku Selatan (RMS) diproklamasikan oleh sekelompok orang mantan
prajurit KNIL dan masyarakat Pro-Belanda yang di antaranya ialah Dr. Christian Robert Steven
Soumokil, mantan jaksa agung Negara Indonesia Timur. Pemberontakan RMS ini merupakan
suatu gerakan yang tidak hanya ingin memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur melainkan
untuk membentuk Negara sendiri yang terpisah dari wilayah RIS. Pada awalnya, Soumokil, salah
seorang mantan jaksa agung NIT ini, juga pernah terlibat dalam pemberontakan Andi Azis. Akan
tetapi, setelah upayanya untuk melarikan diri, akhirnya dia berhasil meloloskan diri dan pergi ke
Maluku. Selain itu, Soumokil juga dapat memindahkan anggota KNIL dan pasukan Baret Hijau
dari Makasar ke Ambon.
1. Penyebab / Latar Belakang Pemberontakan RMS
     Pemberontakan Andi Azis, Westerling, dan Soumokil memiliki kesamaan tujuan yaitu,
mereka tidak puas terhadap proses kembalinya RIS ke Negara Kesatuan Republik Indoneisa
(NKRI). Pemberontakan yang mereka lakukan mengunakan unsur KNIL yang merasa bahwa
status mereka tidak jelas dan tidak pasti setelah KMB. Keberhasilan anggota APRIS mengatasi
keadaan yang membuat masyarakat semakin bersemangat untuk kembali ke pangkuan NKRI.
Namun, dalam usaha untuk mempersatukan kembali masyarakat ke Negara Kesatuan Republik
Indonesia terjadi beberapa hambatan yang diantaranya terror dan intimidasi yang di tujukan
kepada masyarakat, terlebih setelah teror yang dibantu oleh anggota Polisi yang telah dibantu
dengan pasukan KNIL bagian dari Korp Speciale Troepen yang dibentuk oleh seorang kapten
bernama Raymond Westerling yang bertempat di Batujajar yang berada di daerah Bandung. Aksi
teror yang dilakukannya tersebut bahkan sampai memakan korban jiwa karena dalam aksi terror
tersebut terjadi pembunuhan dan penganiayaan. Benih Separatisme-pun akhirnya muncul. Para
biokrat pemerintah daerah memprovokasi masayarakat Ambon bahwa penggabungan wilayah
Ambon ke NKRI akan menimbulkan bahaya di kemudian hari sehingga seluruh masyarakat
diingatkan untuk menghindari dan waspada dari ancaman bahaya tersebut.
      Pada tanggal 20 April tahun 1950, diajukannya mosi tidak percaya terhadap parlemen NIT
sehingga mendorong kabinet NIT untuk meletakan jabatannya dan akhirnya kabinet NIT
dibubarkan dan bergabung ke dalam wilayah NKRI. Kegagalan pemberontakan yang di lakukan
oleh Andi Abdoel Azis (Andi Azis) menyebabkan berakhirnya Negara Indonesia Timur. Akan
tetapi Soumokil bersama para anggotanya tidak akan menyerah untuk melepaskan Maluku
Tengah dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indoneisa. Bahkan dalam perundingan yang
berlangsung di Ambon dengan pemuka KNIL beserta Ir. Manusaman, ia mengusulkan supaya
daerah Maluku Selatan dijadikan sebagai daerah yang merdeka, dan bila perlu seluruh anggota
dewan yang berada di daerah Maluku Selatan dibunuh. Namun, usul tersebut ditolak karena
anggota dewan justru mengusulkan supaya yang melakukan proklamasi kemerdekaan di Maluku
Selatan tersebut adalah Kepala Daerah Maluku Selatan, yaitu J. Manuhutu. Akhirnya, J.
Manuhutu terpaksa hadir pada rapat kedua di bawah ancaman senjata.
2. Tujuan Pemberontakan RMS di Maluku
     Pemberontakan RMS yang didalangi oleh mantan jaksa agung NIT, Soumokil bertujuan
untuk melepaskan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebelum
diproklamasikannya Republik Maluku Selatan (RMS), Gubernur Sembilan Serangkai yang
beranggotakan pasukan KNIL dan partai Timur Besar terlebih dahulu melakukan propaganda
terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memisahkan wilayah Maluku dari Negara
Kesatuan RI. Di sisi lain, dalam menjelang proklamasi RMS, Soumokil telah berhasil
mengumpulkan kekuatan dari masyarakat yang berada di daerah Maluku Tengah. Sementara itu,
sekelompok orang yang menyatakan dukungannya terhadap Negara Kesatuan Republik
Indonesia diancam dan dimasukkan ke penjara karena dukungannya terhadap NKRI dipandang
buruk oleh Soumokil. Dan pada tanggal 25 April 1950, para anggota RMS memproklamasikan
berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS), dengan J.H Manuhutu sebagai Presiden dan Albert
Wairisal sebagai Perdana Menteri. Para menterinya terdiri atas Mr.Dr.C.R.S Soumokil, D.j.
Gasperz, J. Toule, S.J.H Norimarna, J.B Pattiradjawane, P.W Lokollo, H.F Pieter, A. Nanlohy,
Dr.Th. Pattiradjawane, Ir.J.A. Manusama, dan Z. Pesuwarissa.
      Pada tanggal 27 April 1950 Dr.J.P. Nikijuluw ditunjuk sebagai Wakil Presiden RMS untuk
daerah luar negeri dan berkedudukan di Den Haang, Belanda, dan pada 3 Mei 1950, Soumokil
menggantikan Munuhutu sebagai Presiden Rakyat Maluku Selatan. Pada tanggal 9 Mei, dibentuk
sebuah Angkatan Perang RMS (APRMS) dan Sersan Mayor KNIL, D.J Samson diangkat sebagai
panglima tertinggi di angkatan perang tersebut. Untuk kepala staf-nya, Soumokil mengangkat
sersan mayor Pattiwale, dan anggota staf lainnya terdiri dari Sersan Mayor Kastanja, Sersan
Mayor Aipassa, dan Sersan Mayor Pieter. Untuk sistem kepangkatannya mengikuti system dari
KNIL.
3. Upaya Penumpasan Pemberontakan RMS di Maluku 
      Dalam upaya penumpasan, pemerintah berusaha untuk mengatasi masalah ini dengan cara
berdamai. Cara yang dilakukan oleh pemerintah yaitu, dengan mengirim misi perdamaian yang
dipimpin oleh seorang tokoh asli Maluku, yakni Dr. Leimena. Namun, misi yang diajukan
tersebut ditolak oleh Soumokil. Selanjutnya misi perdamaian yang dikirim oleh pemerintah
terdiri atas para pendeta, politikus, dokter, wartawan pun tidak dapat bertemu langsung dengan
pengikut Soumokil.
      Karena upaya perdamaian yang diajukan oleh pemerintah tidak berhasil, akhirnya pemerintah
melakukan operasi militer untuk membersihkan gerakan RMS dengan mengerahkan pasukan
Gerakan Operasi Militer (GOM) III yang dipimpin oleh seorang kolonel bernama A.E
Kawilarang, yang menjabat sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur. Setelah
pemerintah membentuk sebuah operasi militer, penumpasan pemberontakan RMS pun akhirnya
dilakukan pada tanggal 14 Juli 1950, dan pada tanggal 15 Juli 1950, pemerintahan RMS
mengumumkan bahwa Negara Republik Maluku Selatan sedang dalam bahaya. Pada tanggal 28
September, pasukan militer yang diutus untuk menumpas pemberontakan menyerbu ke daerah
Ambon, dan pada tanggal 3 November 1950, seluruh wilayah Ambon dapat dikuasai termasuk
benteng Nieuw Victoria yang akhirnya juga berhasil dikuasai oleh pasukan militer tersebut.
      Dengan jatuhnya pasukan RMS yang berada di daerah Ambon, maka hal ini membuat
perlawanan yang dilakukan oleh pasukan RMS dapat ditaklukan. Pada tanggal 4 sampai 5
Desember, melalui selat Haruku dan Saparua, pusat pemerintahan RMS beserta Angkatan Perang
RMS berpindah ke Pulau Seram. Pada tahun 1952, J.H Munhutu yang tadinya menjabat sebagai
presiden RMS tertangkap di pulau Seram, Sementara itu sebagian pimpinan RMS lainnya
melarikan diri ke Negara Belanda. Setelah itu, RMS kemudian mendirikan sebuah organisasi di
Belanda dengan pemerintahan di pengasingan (Government In Exile).
Beberapa tokoh dari pimpinan sipil dan militer RMS yang tertangkap akhirnya dimajukan ke
meja hijau. Pada tanggal 8 Juni 1955, hakim menjatuhi sanksi hukuman tehadap :
1. J.H Munhutu, Presiden RMS di Hukum selama 4 Tahun
2. Albert Wairisal, menjabat sebagai Perdana Menteri Dalam Negeri di jatuhi hukuman 5
Tahun
3. D.J Gasper,  menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri di jatuhi hukuman 4 ½ Tahun
4. J.B Pattirajawane, menjabat sebagai Menteri Keuangan di jatuhi hukuman selama 4 ½
Tahun
5. G.G.H Apituley, menjabat sebagai Menteri Keuangan di jatuhi hukuman selama 5 ½
Tahun
6. Ibrahim Oharilla, menjabat sebagai Menteri Pangan di jatuhi hukuman selama 4 ½ Tahun
7. J.S.H Norimarna, menjabat sebagai Menteri Kemakmuran di jatuhi hukuman selama 5 ½
Tahun
8. D.Z Pessuwariza, menjabat sebagai Menteri Penerangan di jatuhi hukuman selama 5 ½
Tahun
9. Dr. T.A Pattirajawane, menjabat sebagai Menteri Kesehatan di jatuhi hukuman selama 3
Tahun
10. F.H Pieters, menjabat sebagai Menteri Perhubungan di jatuhi hukuman selama 4 Tahun
11. T. Nussy, menjabat sebagai Kepala Staf Tentara RMS di jatuhi hukuman selama 7 tahun
12. D.J Samson, menjabat sebagai Panglima Tertinggi Tentara RMS di jatuhi hukuman
selama 10 Tahun
       Sementara itu, Dr. Soumokil, pada masa itu ia masih bertahan di hutan-hutan yang berada di
pulau Seram sampai akhirnya ditangkap pada tanggal 2 Desember 1963. Pada Tahun 1964,
Soumokil dimajukan ke meja hijau. Selama persidangan Soumokil berlangsung, meskipun ia
bisa berbahasa Indonesia, namun pada saat itu ia selalu memakai Bahasa Belanda, sehingga pada
saat persidangan di mulai, hakim mengutus seorang penerjemah untuk membantu persidangan
Soumokil. Akhirnya pada tanggal 24 April 1964, Soumokil akhirnya dijatuhi hukuman mati.
Eksekusi pun dilaksanakan pada tanggal 12 April 1966 dan berlangsung di Pulau Obi yang
berada di wilayah kepulauan Seribu di sebelah Utara Kota Jakarta.
       Sepeninggal Soumokil, sejak saat itu RMS berdiri di pengasingan di Negeri Belanda.
Pengganti Soumokil adalah Johan Manusama. Ia menjadi presiden RMS pada tahun 1966-1992,
selanjutnya digantikan oleh Frans Tutuhatunewa sampai tahun 2010 dan kemudian digantikan
oleh John Wattilete.
b. Gerakan Andi Azis
1. Latar Belakang Pemberontakan Andi Azis
Pemberontakan di bawah naungan Andi Azis ini terjadi di Makassar yang diawali dengan
adanya konflik di Sulawesi Selatan pada bulan April 1950. Kekacauan yang berlangsung di
Makassar ini terjadi karena adanya demonstrasi dari kelompok masyarakat yang anti federal,
mereka mendesak NIT supaya segera menggabungkan diri dengan RI. Sementara itu di sisi lain
terjadi sebuah konflik dari kelompok yang mendukung terbentuknya Negara Federal. Keadaan
tersebut menyebabkan terjadinya kegaduhan dan ketegangan di masyarakat.
Untuk menjaga keamanan di lingkungan masyarakat, maka pada tanggal 5 April 1950
pemerintah mengutus pasukan TNI sebanyak satu Batalion dari Jawa untuk mengamankan
daerah tersebut. Namun kedatangan TNI ke daerah tersebut dinilai mengancam kedudukan
kelompok masyaraat pro-federal. Selanjutnya para kelompok masyarakat pro-federal ini
bergabung dan membentuk sebuah pasukan “Pasukan Bebas” di bawah komando kapten Andi
Azis. Ia menganggap bahwa masalah keamanan di Sulawesi Selatan menjadi tanggung
jawabnya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa latar belakang pemberontakan Andi Azis adalah :
 Menuntut bahwa keamanan di Negara Indonesia Timur hanya merupakan tanggung jawab
pasukan bekas KNIL saja.
 Menentang campur tangan pasukan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat)
terhadap konflik di Sulawesi Selatan.
 Mempertahankan berdirinya Negara Indonesia Timur.

2. Dampak Pemberontakan Andi Aziz


Pada tanggal 5 April 1950, anggota pasukan Andi Azis menyerang markas Tentara
Nesional Indonesia (TNI) yang bertempat di Makassar, dan mereka pun berhasil menguasainya.
Bahkan, Letkol Mokoginta berhasil ditawan oleh pasukan Andi Azis. Akhirnya, Ir.P.D Diapri
(Perdana Mentri NIT) mengundurkan diri karena tidak setuju dengan apa yang sudah dilakukan
oleh Andi Azis dan ia digantikan oleh Ir. Putuhena yang pro-RI. Pada tanggal 21 April 1950,
Sukawati yang menjabat sebagai Wali Negara NIT mengumumkan bahwa NIT bersedia untuk
bergabung dengan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
3. Upaya Penumpasan Pemberontakan Andi Aziz
Untuk menanggulangi pemberontakan yang di lakukan oleh Andi Azis, pada tanggal 8
April 1950 pemerintah memberikan perintah kepada Andi Azis bahwa setiap 4 x 24 Jam ia harus
melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang sudah ia
lakukan. Untuk pasukan yang terlibat dalam pemberontakan tersebut diperintahkan untuk
menyerahkan diri dan melepaskan semua tawanan. Pada waktu yang sama, dikirim pasukan yang
dipimpin oleh A.E. Kawilarang untuk melakukan operasi militer di Sulawesi Selatan.
Tanggal 15 April 1950, Andi Azis pergi ke Jakarta setelah didesak oleh Sukawati,
Presiden dari Negara NIT. Namun karena keterlambatannya untuk melapor, Andi Azis akhirnya
ditangkap dan diadili untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, sedangkan untuk pasukan
TNI yang dipimpin oleh Mayor H. V Worang terus melanjutkan pendaratan di Sulawesi Selatan.
Pada tanggal 21 April 1950, pasukan ini berhasil menguasai Makassar tanpa adanya perlawanan
dari pihak pemberontak.
Pada Tanggal 26 April 1950, anggota ekspedisi yang dipimpin oleh A.E Kawilarang
mendarat di daratan Sulawesi Selatan. Keamanan yang tercipta di Sulawesi Selatan-pun tidak
berlangsung lama karena keberadaan anggota KL-KNIL yang sedang menunggu peralihan
pasukan APRIS keluar dari Makassar. Para anggota KL-KNIL memprovokasi dan memancing
emosi yang menimbulkan terjadinya bentrok antara pasukan KL-KNIL dengan pasukan APRIS.
Pertempuran antara pasukan APRIS dengan KL-KNIL berlangsung pada tanggal 5
Agustus 1950. Kota Makassar pada saat itu sedang berada dalam kondisi yang sangat
menegangkan karena terjadinya peperangan antara pasukan KL-KNIL dengan APRIS. Pada
pertempuran tersebut pasukan APRIS berhasil menaklukan lawan, dan pasukan APRIS-pun
melakukan strategi pengepungan terhadap tentara-tentara KNIL tersebut.
Tanggal 8 Agustus 1950, pihak KL-KNIL meminta untuk berunding ketika menyadari
bahwa kedudukannya sudah tidak menguntungkan lagi untuk perperang dan melawan serangan
dari lawan. Perundingan tersebut akhirnya dilakukan oleh Kolonel A.E Kawilarang dari pihak RI
dan Mayor Jendral Scheffelaar dari pihak KL-KNIL. Hasil perundingan kedua belah pihakpun
setuju untuk menghentikan baku tembak yang menyebabkan terjadinya kegaduhan di daerah
Makassar tersebut, dan dalam waktu dua hari pasukan KNIL harus meninggalkan Makassar.

c. PRRI (PERMESTA)
1. Latar Belakang Pemberontakan PRRI/PERMESTA
      Awal Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan
PERMESTA sebenarnya sudah muncul pada saat menjelang pembentukan Republik Indonesia
Serikat (RIS) pada tahun 1949 dan pada saat bersamaan Divisi Banteng diciutkan sehingga
menjadi kecil dan hanya menyisakan satu brigade. Brigade ini pun akhirnya diperkecil lagi
menjadi Resimen Infanteri 4 TT I BB. Hal ini memunculkan perasaan kecewa dan terhina pada
para perwira dan prajurit Divisi IX Banteng yang telah berjuang mempertaruhkan jiwa dan
raganya bagi kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu juga, terjadi ketidakpuasan dari beberapa
daerah yang berada di wilayah Sumatra dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan yang
diberikan oleh pemerintah pusat. Kondisi ini diperparah dengan tingkat kesejahteraan prajurit
dan masyarakat yang sangat rendah. 
       Ketidakpuasan tersebut akhirnya memicu terbentuknya dewan militer daerah yaitu Dewan
Banteng yang berada di daerah Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1956. Dewan ini
diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah (mantan Panglima Divisi IX Banteng) bersama dengan
ratusan perwira aktif dan para pensiunan yang berasal dari Komando Divisi IX Banteng yang
telah dibubarkan tersebut. Letnan Kolonel Ahmad Husein yang saat itu menjabat sebagai
Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB diangkat menjadi ketua Dewan Banteng. Kegiatan ini
diketahui oleh KASAD dan karena Dewan Banteng ini bertendensi politik, maka KASAD
melarang perwira-perwira AD untuk ikut dalam dewan tersebut. Akibat larangan tersebut,
Dewan Banteng justru memberikan tanggapan dengan mengambil alih pemerintahan Sumatera
Tengah dari Gubernur Ruslan Muloharjo, dengan alasan Ruslan Muloharjo tidak mampu
melaksanakan pembangunan secara maksimal.
       Selain Dewan Banteng yang bertempat di daerah Sumatra Barat, di Medan terdapat juga
Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Tentara dan Teritorium
I, pada tanggal 22 Desember 1956. Dan juga di Sumatra Selatan terbentuknya Dewan Garuda
yang dipimpin oleh Letkol Barlian.
       Selain itu pemberontakan ini juga disebabkan karena ada pengaruh dari PKI terhadap
pemerintah pusat dan hal ini menimbulkan terjadinya kekecewaan pada daerah tertentu. Keadaan
tersebut diperparah dengan pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang
berada di dalam pemerintah pusat, tidak terkecuali Presiden Soekarno.
        Selanjutnya, PRRI membentuk Dewan Perjuangan dan tidak mengakui kabinet Djuanda.
Dewan Perjuangan PRRI akhirnya membentuk Kabinet baru yang disebut Kabinet Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (Kabinet PRRI). Pembentukan kabinet ini terjadi pada saat
Presiden Soekarno sedang melakukan kunjungan kenegaraan di Tokyo, Jepang. Pada tanggal 10
Februari 1958, Dewan Perjuangan PRRI melalui RRI Padang mengeluarkan pernyataan berupa
“Piagam Jakarta” yang berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan kepada Presiden Soekarno
supaya “bersedia kembali kepada kedudukan yang konstitusional, menghapus segala akibat dan
tindakan yang melanggar UUD 1945 serta membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan
perbuatan…”. Tuntutan tersebut antara lain :
1. Mendesak kabinet Djuanda supaya mengundurkan diri dan mengembalikan mandatnya
kepada Presiden Soekarno.
2. Mendesak pejabat presiden, Mr. Sartono untuk membentuk kabinet baru yang disebut
Zaken Kabinet Nasional yang bebas dari pengaruh PKI (komunis).
3. Mendesak kabinet baru tersebut diberi mandat sepenuhnya untuk bekerja hingga
pemilihan umum yang akan datang.
4. Mendesak Presiden Soekarno membatasi kekuasaannya dan mematuhi konstitusi.
5. Jika tuntutan tersebut di atas tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam maka Dewan
Perjuangan akan mengambil kebijakan sendiri.
       Setelah tuntutannya di tolak, PRRI membentuk sebuah Pemerintahan dengan anggota
kabinetnya. Pada saat pembangunan Pemerintahan tersebut di mulai, PRRI memperoleh
dukungan dari PERMESTA dan rakyat setempat.
       Pada tanggal 2 Maret 1957, di Makasar yang berada di wilayah timur Negara Indonesia
terjadi sebuah acara proklamasi Piagam Perjuangan Republik Indonesia (PERMESTA) yang
diproklamasikan oleh Panglima TT VII, Letkol Ventje Sumual. Pada hari berikutnya,
PERMESTA mendukung kelompok PRRI dan pada akhirnya kedua kelompok itu bersatu
sehingga gerakan kedua kelompok itu disebut PRRI/PERMESTA. Tokoh-tokoh PERMESTA
terdiri dari beberapa pasukan militer yang diantaranya adalah Letnan Kolonel D.J Samba, Letnan
Kolonel Vantje Sumual, Letnan Kolonel saleh Lahade, Mayor Runturambi, dan Mayor
Gerungan.
2. Tujuan Dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA
      Tujuan dari pemberontakan PRRI ini adalah untuk mendorong pemerintah
supaya memperhatikan pembangunan negeri secara menyeluruh, sebab pada saat itu pemerintah
hanya fokus pada pembangunan yang berada di daerah Pulau jawa. PRRI memberikan usulan
atas ketidakseimbangan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat.
       Meskipun alasan yang dilakukan oleh PRRI ini benar, namun cara yang digunakan untuk
mengoreksi pemerintah pusat itu salah. PRRI menuntut kepada pemerintah pusat dengan nada
paksaan, sehingga pemerintah menganggap bahwa tuntutannya itu bersifat memberontak. Hal
tersebut menimbulkan kesan bagi pemerintah pusat bahwa PRRI adalah suatu bentuk
pemberontakan. Akan tetapi, jika PRRI itu dikatakan sebagai pemberontak, hal ini merupakan
anggapan yang tidak tepat sebab sebenarnya PRRI ingin membenahi dan memperbaiki sistem
pembangunan yang dilakukan pemerintah pusat, bukan untuk menjatuhkan pemerintahan
Republik Indonesia.
       Karena ketidakpuasan PRRI terhadap keputusan pemerintah pusat, akhirnya PRRI
membentuk dewan-dewan daerah yang terdiri dari Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan Dewan
Garuda. Pada tanggal 15 Februari 1958, Achmad Husein memproklamasikan bahwa berdirinya
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia dengan Syarifudin Prawiranegara sebagai
perdana menterinya. Proklamasi PRRI tersebut mendapat sambutan hangat dari masyarakat
Indonesia bagian Timur. Tidak lama setelah proklamasi PRRI dilakukan, pasukan gerakan
PERMESTA memutuskan untuk bergabung ke dalam kelompok PRRI.
3. Usaha Pemerintah Untuk Menumpas Pemberontakan PRRI/PERMESTA
      Terjadinya pemberontakan PRRI/PERMESTA ini mendorong pemerintahan RI untuk
mendesak Kabinet Djuanda dan Nasution aupaya menindak tegas pemberontakan yang dilakukan
oleh organisasi PRRI/PERMESTA tersebut. Kabinet Nasution dan para mayoritas pimpinan PNI
dan PKI menghendaki supaua pemberontakan tersebut untuk segera di usnahkan dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, untuk pimpinan Masyumi dan PSI yang berada di
Jakarta sedang mendesak adanya perundingan dan penyelesaian secara damai. Namun pada
akhirnya, pemerintah RI memilih untuk menindak para pemberontak itu dengan tegas. Pada akhir
bulan Februari, Angkatan Udara Republik Indonesia memulai pengeboman instansi-instansi
penting yang berada di kota Padang, Bukit Tinggi, dan Manado.
      Pada awal bulan Maret, pasukan dari Divisi Diponogoro dan Siliwangi yang berada di bawah
pimpinan Kolonel Achmad Yani didaratkan di daratan Pulau Sumatera. Sebelum pendaratan itu
dilakukan, Nasution telah mengiriman Pasukan Resmi Para Komando Angkatan Darat di ladang-
ladang minyak yang berada di kepulauan Sumatera dan Riau. Pada tanggal 14 Maret 1958,
daerah Pecan Baru berhasil dikuasai, dan Operasi Militer kemudian dikerahkan ke pusat
pertahanan PRRI. Pada tanggal 4 Mei 1958 Bukit tinggi berhasil dikuasai dan selanjutnya
Pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) membereskan daerah-daerah bekas pemberontakan
PRRI. Pada penyerangan tersebut, banyak pasukan PRRI yang melarikan diri ke area perhutanan
yang berada di daerah tersebut.
     Untuk melancarkan penumpasan terhadap Pemberontakan tersebut, pemerintah membentuk
sebuah pasukan Operasi Militer yang operasinya disebut Operasi Merdeka pada bulan April 1958
dan operasi tersebut di pimpin oleh Letkol Rukminto Hendradiningrat. Organisasi PERMESTA
diduga mendapatkan bantuan dari tentara asing, dan bukti dari bantuan tersebut adalah jatuhnya
pesawat yang dikemudikan oleh A.L Pope (Seorang Warga negara Amerika) yang tertembak
jatuh di Ambon pada tanggal 18 Mei 1958. Pada tanggal 29 Mei 1961, Achmad Husein
menyerahkan diri, dan pada pertengahan tahun 1961, para tokoh-tokoh yang bergabung dalam
gerakan PERMESTA juga menyerahkan diri.
4. Dampak Dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA
      Pemberontakan yang dilakukan oleh gerakan PRRI/PERMESTA ini membawa dampak besar
terhadap hubungan dan politik luar negeri Indonesia. Dukungan dari negara Amerika Serikat
terhadap pemberontakan tersebut membuat hubungan antara Indonesia dengan Amerika menjadi
tidak harmoni .
       Akibat dari pemberontakan ini, pemerintah pusat akhirnya membentuk sebuah pasukan
untuk menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI. Hal ini mengakibatkan
pertumpahan darah dan jatuhnya korban jiwa baik dari TNI maupun PRRI. Selain itu,
pembangunan menjadi terbengakalai dan juga menimbulkan rasa trauma di masyarakat Sumatera
terutama daerah Padang.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
 Ancaman Integrasi Nasional Dalam Bidang Politik adalah setiap usaha dan kegiatan baik
dalam negeri maupun luar negeri yang dikategorikan sebagai hal yang membahayakan
dan memecah belah persatuan dengan mengatas namakan politik
 Ekonomi merupakan salah satu penentu posisi tawar setiap negara dalam pergaulan
Internasional.ancaman ekonomi dibagi menjadi 2 yaitu :
1) Ancaman Internal, dapat berupa inflasi, pengangguran, infranstruktur yang tidak
memadai, dan sistem ekonomi yang tidak jelas.
2) Ancaman Eksternal, dapat berbentuk kinerja ekonomi yang buruk, daya saing
rendah, ketidak siapan menghadapi globalisasi, dan tingkat ketergantungan pada
pihak asing.

B. SARAN
Sebagai Generasi penerus Bangsa , Kita harus memahami dan mewujudkan keadilan,
kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dengan tidak membedakan ras, suku, agama, bangsa,
dan sebagianya. Dengan demikian, uapaya integrasi nasional dengan strategi yang mantap perlu
terus dilakukan agar terwujud integrasi bangsa Indonesia yang diinginkan. Upaya pembangunan
dan pembinaan integrasi nasional ini perlu karena pada hakikatnya integrasi nasional tidak lain
menunjukkan tingkat kuatnya persatuan dan kesatuan bangsa yang diinginkan. Pada akhirnya
persatuan dan kesatuan bangsa inilah yang dapat lebih menjamin terwujudnya negara yang
makmur, aman, dan tentram.
Selain itu , Pemahaman nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika harus dijadikan arahan,
pedoman, acuan, dan tuntunan bagi setiap individu dalam bertindak dan membangun serta
memelihara tuntutan bangsa yang terintegrasi secara nasional demi keutuhan NKRI yang dikenal
dengan masyarakat multikultural. Oleh karena itu, implementasi atau penerapan nilai-nilai
Bhinneka Tunggal Ika harus tercermin pada pola pikir, pola sikap, dan pola tindak yang
senantiasa mendahulukan kepentingan bangsa dan NKRI daripada kepentingan pribadi atau
kelompok.   

Anda mungkin juga menyukai