Anda di halaman 1dari 2

Lelaki periang itu masih berdiri mematung di ambang

pintu. Tatapan netranya begitu sendu menyisir seisi


ruangan yang selama ini mengakrabi dirinya. Ia
sepertinya juga tak percaya jika ini menjadi hari terakhir
baginya menyatu bersama kami, para rekan
seperjuangannya selama ini. Di luar udara begitu terik,
terjerang oleh amuk sang raja siang. Melelehkan
kebekuan yang sedang terjadi, menghangatkan kembali
memori tentang kebersamaan kami selama ini. Tetapi,
kenyataan telah memaksa kesadaran untuk menerima
takdirnya. Hari ini yang kuharap hanya mimpi, nyatanya
ia benar terjadi.

“Aku harus pulang kampung, Nay. Ibuku sakit.


Dia sendirian tanpa penjaga,” Manggala menggumam
pelan di suatu sore nan temaram. Dia menyebut namaku,
tanpa menoleh ke arahku. Seperti kebiasaannya, sejak
dulu pertama bertemu. Dia mengajakku bicara dengan
suara yang nyaris hanya dia yang mampu
menangkapnya. Aku menunggu kalimat apa lagi yang
akan disampaikannya. Sesaat suasana hening. Suara deru
angin kering menerobos masuk ke ruangan kerjaku.
Mengibaskan kalender yang tergantung di tembok
samping pintu.

“Maksud kakak? Mau berhenti dari sini?”


responsku memburu. Aku ingin memastikan bahwa
semua itu hanya omong kosong.

“Ya. Tidak ada pilihan lain yang lebih bijak


selain itu, Dik!” kata lelaki itu seraya tetap memandang
ke arah lain. Dia tetap seperti biasanya jika harus
berbicara dengan lawan jenis, dia tidak akan menatap
lawan bicaranya. Ketika kutanyakan alasannya, dia
hanya tersenyum tanpa melihat ke arahku. Tetapi seiring
dengan berjalannya waktu, aku mulai dapat memahami
alasan di balik semua itu. Yang pasti kutahu, dia sangat
menjaga diri. Menjaga pandangan terhadap sesuatu yang
tidak halal.

Hari ini tepat tahun kelima kebersamaan kami,


ketika perpisahan itu datang.

Anda mungkin juga menyukai