Kaur, 2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang mempunyai beban tuberkulosis (TB) yang tinggi
dan menempati posisi ke-3 di dunia saat ini. Selain itu, kasus TB-MDR, TB-HIV, TB-
DM, TB pada anak dan masyarakat rentan lainnya juga semakin bertambah dan
menjadi tantangan. Berdasarkan Laporan Global TB tahun 2018, estimasi insiden
kasus TB di Indonesia sebanyak 842.000 kasus (termasuk 36.000 kasus TB-HIV) dan
23.000 kasus TB-RR/MDR. Dari total kasus tersebut, hanya 446.732 kasus TB (53%)
yang dilaporkan sehingga masih terdapat 395.268 kasus TB yang belum ditemukan
dan dilaporkan (missing cases). Terdapat lebih dari 15.000 fasilitas kesehatan (faskes)
yang terdiri atas rumah sakit (RS) pemerintah dan swasta, Balai Besar/Balai
Kesehatan Paru Masyarakat (B/BKPM), puskesmas, Dokter Praktik Mandiri (DPM),
klinik dan lain-lain. Sebanyak 75% dari total RS pemerintah dan hampir semua
puskesmas sudah terlibat dalam Program Nasional TB (National TB Program/NTP).
RS pemerintah dan puskesmas berkontribusi dalam tatalaksana kasus TB masing-
masing sebesar 27% dan layanan swasta sebesar 42%. Angka notifikasi kasus TB dari
RS pemerintah (18%), puskesmas (72%), RS swasta (8%) dan DPM (1%) (Laporan
JEMM 2017). Berdasarkan Studi Patient Pathway Analysis tahun 2017, data pola
masyarakat dengan gejala TB dalam hal mencari pengobatan awal lebih memilih
fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) swasta (74%) dibanding puskesmas dan RS
pemerintah (24%). Hal ini mungkin dikarenakan masyarakat lebih mudah menuju
akses swasta (private) dibandingkan publik. Rasio pencarian pengobatan di fasyankes
swasta paling besar ada di farmasi/apotek (52%), DPM (19%) dan RS (3%). Studi
yang dilakukan Boston Consulting Group di tahun 2018 menunjukkan 65% kasus TB
memperoleh diagnosis TB di FKTP termasuk 44% di puskesmas, namun 82% kasus
TB menyelesaikan pengobatan di rumah sakit, di mana 79% nya di RS swasta. Dari
kondisi di atas yang menunjukkan tingginya prevalensi TB di Indonesia dan angka
penemuan kasus yang rendah, diperlukan adanya penguatan jejaring layanan dengan
melibatkan fasyankes pemerintah maupun swasta (Public-Private Mix/PPM).
Indonesia menganut asas desentralisasi pemerintahan, di mana wewenang
pemerintahan berada di tingkat kabupaten/kota. Berdasarkan asas tersebut, urusan
bidang kesehatan termasuk penanggulangan TB adalah tanggung jawab pemerintah
kabupaten/kota.
Oleh karena itu, diperlukan jejaring layanan TB berbasis kabupaten/kota. Jejaring
Layanan TB di Fasilitas Kesehatan Pemerintah-Swasta Berbasis Kabupaten/Kota atau
District-Based Public-Private Mix (DPPM) merupakan pendekatan komprehensif
untuk melibatkan secara sistematis semua fasyankes, baik pemerintah maupun swasta
dalam penanggulangan TB di kabupaten/kota. Dalam penerapan DPPM tersebut,
diperlukan panduan dalam pelaksanaan DPPM TB.
B. Tujuan
ini digunakan sebagai acuan dalam penerapan jejaring layanan TB di fasilitas
kesehatan pemerintah dan swasta berbasis kabupaten/kota (DPPM).
C. Sasaran Sasaran buku ini, yaitu:
1. Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota
2. Fasilitas Kesehatan
3. Organisasi Profesi
D. Ruang Lingkup Ruang lingkup buku ini adalah:
1. Konsep Jejaring Layanan TB di Fasilitas Kesehatan Pemerintah dan Swasta
Berbasis Kabupaten/Kota (District-Based Public-Private Mix/DPPM)
2. Mekanisme Jejaring Layanan Tuberkulosis
3. Koalisi Organisasi Profesi Indonesia dalam Penanggulangan Tuberkulosis (KOPI
TB)
4. Monitoring dan Evaluasi
E. Dasar Hukum
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
5. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan
6. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi Kesehatan
7. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
Bidang Kesehatan
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 411/Menkes/PER/III/2010 tentang
Laboratorium Klinik
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2052/Menkes/PER/X/2011 tentang Izin
Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran
10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran
11. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 45 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Surveilans Kesehatan
12. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan
Masyarakat
13. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik
14. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 2014 tentang Penanggulangan
Penyakit Menular
15. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan
Tuberkulosis
16. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 43 Tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan
17. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek
18. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 9 Tahun 2017 tentang Apotek
19. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah
Sakit dan Kewajiban Pasien
20. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 4 Tahun 2019 tentang Standar Teknis
Pemenuhan Mutu Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Bidang
Kesehatan
memperoleh logistik tersebut dari Dinas Kesehatan setempat. Semua pasien TB dan
penggunaan OAT baik OAT program maupun non-program harus dicatat dan
dilaporkan ke puskesmas atau Dinas Kesehatan setempat. Logistik yang dimaksudkan
adalah logistik baik OAT maupun non-OAT, seperti pot dahak, formulir pencatatan
TB, reagen, modul TCM dan sebagainya. Pemenuhan logisitik ini sesuai dengan
kebutuhan masing-masing fasyankes dan perencanaan logistik fasyankes ini diajukan
secara berjenjang.
F. Pencatatan dan Pelaporan Seluruh fasyankes yang menangani kasus TB harus
mencatat kasus TB yang ditanganinya dan melaporkan kepada Puskesmas/Dinas
Kesehatan. Pencatatan dan Pelaporan kasus TB dilaksanakan melalui:
1. Puskesmas, B/BKPM dan RS menggunakan SITT/SITB.
2. FKTP non Puskesmas (DPM dan klinik) melaporkan kasus TB melalui:
a. SITT/SITB
- Bagi DPM dan klinik yang memiliki akses SITT/SITB. - WIFI TB Bagi daerah
yang mempunyai akses internet, DPM dan klinik dapat melaporkan kasus TB
dengan menggunakan WiFi TB yang sudah terkoneksi langsung dengan
SITT/SITB.
b. Manual
- Bagi yang tidak mempunyai akses terhadap kedua aplikasi di atas, DPM dan
klinik dapat melaporkan kasus TB melalui format pelaporan yang standar ke
puskesmas maupun melalui media komunikasi lain yang disepakati (misalnya
telepon, SMS, WhatsApp Group, dan sebagainya).
- Puskesmas melakukan pencatatan kasus yang telah dilaporkan dari media
komunikasi lain ke dalam format pelaporan yang standar, serta mengisi kolom asal
rujukan.
3. Khusus fasilitas kesehatan layanan TB RO dan/atau memiliki alat TCM
menggunakan e-TB Manager.
4. Fasilitas penunjang kesehatan dilakukan secara manual dan elektronik dalam
format pelaporan yang standar.
BAB II
KONSEP JEJARING LAYANAN TB DI FASILITAS KESEHATAN PEMERINTAH
DAN SWASTA BERBASIS KABUPATEN/KOTA (DISTRICT-BASED PUBLIC-
PRIVATE MIX/DPPM)
Upaya peningkatan akses terhadap layanan TB yang berkualitas dan sesuai standar
membutuhkan jejaring layanan TB yang saling terintegrasi antar semua layanan di kabupaten/
kota. Penerapan DPPM di fasilitas kesehatan (puskesmas, rumah sakit, B/BKPM, DPM,
klinik, apotek dan laboratorium) yang dikoordinasikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
merupakan salah satu upaya perluasan layanan TB yang berkualitas sehingga akan
menambah jumlah layanan TB yang sesuai standar nasional, termasuk dalam sistem
pencatatan dan pelaporannya.
A. Pengertian
Jejaring Layanan TB di Fasilitas Kesehatan Pemerintah dan Swasta Berbasis
Kabupaten/ Kota (District-Based Public-Private Mix/DPPM) adalah jejaring
layanan tuberkulosis dalam satu kabupaten/kota yang melibatkan seluruh fasilitas
kesehatan pemerintah dan swasta yang dikoordinasikan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Jejaring ini terdiri dari seluruh layanan kesehatan baik milik
pemerintah maupun swasta mulai dari puskesmas, rumah sakit pemerintah, rumah
sakit swasta, klinik dan DPM, serta layanan pendukung (apotek dan
laboratorium). Dinkes Kab/Kota Tim PPM Fasyankes Pemerintah/ Public
Fasyankes Swasta/ Private Koordinasi Kerja sama
B. Tujuan
1. Tujuan Umum:
Penerapan DPPM bertujuan agar semua fasilitas layanan kesehatan yang
menangani TB berpartisipasi dalam jejaring sehingga semua pasien TB dapat
ditemukan dan diobati sesuai standar dan tercatat dalam sistem informasi
Program TB Nasional.
2. Tujuan Khusus:
a. Peningkatan komitmen pemerintah daerah dalam kepemimpinan (regulasi/
kebijakan) dan ketersediaan anggaran dan pembiayaan terhadap Program
Penanggulangan TB di kabupaten/kota.
b. Peningkatan peran Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebagai koordinator
dan pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan DPPM di
wilayahnya.
c. Peningkatan peran organisasi profesi (Koalisi Organisasi Profesi Indonesia/
KOPI TB) sebagai penggerak DPPM.
d. Percepatan penemuan kasus TB di wilayah kabupaten/kota.
e. Peningkatan layanan TB yang berkualitas dan sesuai standar di seluruh
fasyankes kabupaten/kota.
f. Pemanfaatan teknologi dan inovasi sesuai dengan kondisi masing-masing
kabupaten/kota.
1. Struktur Organisasi
Tim DPPM Secara generik, susunan organisasi tim DPPM terdiri dari ketua,
sekretaris dan minimal tiga bidang yaitu (i) bidang advokasi dan regulasi; (ii)
peningkatan sumber daya manusia (SDM); (iii) perencanaan dan monitoring evaluasi.
Struktur tim DPPM ini dapat dikembangkan sesuai kondisi dan kebutuhan wilayah
masing-masing.
2. Peran dan Tanggung Jawab Tim DPPM TB a.
a.Ketua:
1) Menyusun program kerja DPPM;
2) Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan DPPM.
3) Memastikan jejaring layanan TB yang telah terbentuk di wilayahnya berjalan
dengan baik.
4) Membina hubungan, komunikasi dan koordinasi antar anggota dan tim inti DPPM.
5) Memastikan masing-masing bidang dalam tim DPPM menjalankan peran dan
fungsinya dengan optimal.
b. Sekretaris:
1) Membantu ketua dalam pelaksanaan kegiatan DPPM;
2) Memberikan dukungan pelaksanaan rencana kerja DPPM;
3) Mendokumentasikan program kerja dan pelaksanaan kegiatan DPPM.
c. Bidang Advokasi dan Regulasi:
1) Mengidentifikasi kebijakan-kebijakan di tingkat kabupaten/kota yang mendukung
ataupun menghammbat pelaksanaan DPPM.
2) Mengusulkan kepada Dinas Kesehatan Kab/Kota untuk membuat regulasi yang
mendukung pelaksanaan DPPM.
3) Membantu Dinas Kesehatan Kab/Kota melakukan advokasi terkait regulasi dan
pembiayaan baik kepada pemerintah daerah, pimpinan fasyankes dan institusi
terkait;
4) Membantu Dinas Kesehatan Kab/Kota melakukan koordinasi dengan seluruh
stakeholders PPM di tingkat kabupaten/kota.
5) Membantu Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menyusun alur jejaring layanan TB di
kabupaten/kota.
3) Pengesahan Tim DPPM Tim DPPM TB ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala
Daerah atau Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sesuai kondisi wilayah masingmasing.
Setelah tim disahkan, tim perlu menyusun rencana kerja dan penganggaran kegiatan DPPM
TB.
BAB III
MEKANISME JEJARING LAYANAN TUBERKULOSIS
2. Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) Rumah sakit sebagai FKRTL terdiri
atas beragam unit di dalamnya yang perlu dilibatkan dalam penanggulangan TB. Jejaring
internal TB di rumah sakit bertujuan untuk:
c. Pembentukan Tim DOTS yang melibatkan semua unit pelayanan/instalasi yang ada di
rumah sakit;
d. Memastikan kasus TB dilaporkan secara berkala melalui sistem informasi program
tuberkulosis.
1. Peran dan Fungsi Peran dan tanggung jawab dari unsur-unsur dalam jejaring eksternal
TB adalah sebagai berikut: a. Rumah Sakit Berdasarkan Undang-Undang No. 44
Tahun 2009, salah satu kewajiban Rumah Sakit adalah melaksanakan program
pemerintah di bidang kesehatan baik secara regional maupun nasional. Rumah sakit
baik pemerintah maupun swasta mempunyai peran sebagai penyedia layanan rujukan
TB. Di RS, anggota organisasi profesi yang merupakan bagian dari KOPI TB sangat
diperlukan sesuai dengan peran dan fungsinya. Direktur RS dan seluruh unit yang
terkait dalam tatalaksana TB, mempunyai peran dan fungsi sebagai berikut: 1)
Menjaring terduga TB; 2) Melakukan tatalaksana pasien TB sesuai standar; 3)
Membentuk Tim DOTS dan memastikan adanya manajer kasus TB yang bertanggung
jawab terhadap pelaksanaan program TB; 4) Menjalankan fungsi sebagai fasyankes
rujukan; 5) Membentuk kolaborasi layanan antar unit (jejaring internal) di rumah sakit
untuk memastikan layanan TB sesuai standar; 6) Melakukan pertemuan rutin dengan
melibatkan semua unit (jejaring internal); 7) Menerapkan wajib lapor kasus pasien TB
yang ditemukan dan diobati melalui sistem pelaporan TB di Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota (SITT/ SITB, e-TB Manager); 8) Merujuk pasien TB tanpa penyulit
ke puskesmas; 9) Terlibat dalam jejaring layanan TB berbasis kabupaten/kota (DPPM
TB) (jejaring eksternal) dengan fasilitas kesehatan lainnya dan Dinas Kesehatan. b.
Puskesmas dan FKTP Lain Berdasarkan Permenkes 75 Tahun 2014, Puskesmas
adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung
jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di wilayahnya, dimana
wewenangnya untuk (i) mengkoordinasikan dan melaksanakan pembinaan FKTP; (ii)
melaksanakan penapisan rujukan sesuai dengan indikasi medis dan sistem rujukan.
Berdasarkan fungsi dan wewenang tersebut, puskesmas harus memastikan
berjalannya jejaring layanan TB (dengan melibatkan DPM, klinik dan FKTP lainnya)
di wilayahnya. Puskesmas dan FKTP lain mempunyai peran dan fungsi sebagai
berikut: 1) Puskesmas mengidentifikasi DPM, klinik dan fasilitas kesehatan lain di
wilayah kerjanya; 2) Puskesmas melakukan pembinaan kepada FKTP di wilayah
kerjanya; 3) Puskesmas melakukan penemuan secara pasif di layanan kesehatan dan
secara aktif bekerjasama dengan kader/masyarakat; 4) FKTP lain menjaring terduga
TB dan mengirimnya untuk pemeriksaan mikroskopis dan sebagainya; 5) Puskesmas
dan FKTP memberikan layanan TB mulai dari penemuan kasus sampai pengobatan
secara tuntas; 6) Puskesmas memastikan pelaksanaan kegiatan terpadu program TB
(TB-HIV, TB anak, TB-DM, dan lain-lain) di tingkat puskesmas dan FKTP lain di
wilayahnya; 7) Puskesmas membentuk jejaring layanan TB dengan FKTP lain (DPM,
klinik dan klinik Lapas/Rutan) di wilayah kerjanya; 8) Puskesmas melakukan
penguatan sistem surveilans TB: memantau implementasi sistem wajib lapor pasien
TB baik di puskesmas maupun di FKTP lain (DPM, klinik dan klinik Lapas/Rutan) di
wilayah kerjanya melalui sistem informasi program TB (contohnya WIFI TB,
SITT/SITB, e-TB Manager); 9) FKTP lain melaporkan kasus TB sesuai standar ke
puskesmas; 10) FKTP lain mengambil logistik OAT dan non-OAT ke puskesmas
wilayahnya; 11) FKTP lain berkoordinasi dengan puskesmas di wilayahnya mengenai
pasien TB yang mangkir maupun pasien TB yang dirujuk; 12) Puskesmas melakukan
pelacakan kasus mangkir dan putus obat yang berdomisili di wilayahnya sesuai
laporan dari fasyankes lain berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota;
13) Puskesmas mendorong pelaksanaan promosi kesehatan dan UKBM. c. Organisasi
Profesi Beberapa Organisasi Profesi telah berkomitmen terlibat dalam upaya
penanggulangan TB yang kemudian bergabung dan saling kerjasama dengan
membentuk koalisi Organisasi Profesi (KOPI TB) di tingkat nasional, provinsi dan
kabupaten/kota. Tugas pokok dan fungsi Organisasi Profesi dijelaskankan lebih rinci
dalam BAB IV.
2. d. Laboratorium Laboratorium mempunyai peran dan fungsi sebagai berikut: 1)
Melakukan pemeriksaan spesimen terduga TB; 2) Memastikan pelayanan terkait TB
dilakukan sesuai standar; 3) Berkoordinasi dengan fasyankes dan Dinas Kesehatan
Kabupaten/ Kota. e. Apotek Apotek mempunyai peran dan fungsi sebagai berikut: 1)
Menyediakan OAT sesuai pedoman nasional program pengendalian TB; 2) Melayani
resep OAT dari fasyankes dalam program pengendalian TB; 3) Membantu
memberikan penyuluhan tentang OAT pada pasien (cara minum, efek samping dan
bahaya pengobatan apabila tidak menyelesaikan dengan tuntas); 4) Monitoring pasien
TB dalam pengambilan obat di apoteknya; 5) Melakukan koordinasi dan kerjasama
dengan fasyankes difasilitasi oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota; 6) Melakukan
komunikasi dengan dokter yang mengirimkan resep apabila ada hal-hal yang
meragukan. f. Masyarakat Komponen masyarakat dapat dibagi menjadi organisasi
kemasyarakatan dan upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat (UKBM).
Organisasi kemasyarakatan mempunyai peran dan fungsi sebagai berikut: 1)
Berkoordinasi dengan puskesmas terkait investigasi kontak dan penemuan kasus TB
2) Mengedukasi masyarakat terkait TB; 3) Melakukan penemuan terduga TB secara
aktif; 4) Melakukan pendampingan pasien TB; 5) Membantu advokasi terkait
penanggulangan TB kepada pemerintah daerah; 6) Mobilisasi sumber daya. UKBM
mempunyai peran dan fungsi sebagai berikut: 1) Mengedukasi masyarakat terkait TB;
2) Melakukan penemuan terduga TB. 2. Alur Rujukan Diagnostik TB Pemeriksaan
laboratorium untuk diagnosis TB terdiri dari pemeriksaan bakteriologis dan
pemeriksaan penunjang lain. Pemeriksaan bakteriologis terdiri dari pemeriksaan
mikroskopis, Tes Cepat Molekuler (TCM) dan pemeriksaan
3. biakan, sedangkan pemeriksaan penunjang lain terdiri dari pemeriksaan foto toraks
dan histopatologi. Fasyankes yang tidak memiliki fasilitas pemeriksaan laboratorium
dapat merujuk pasien atau spesimen ke fasyankes lain untuk diagnosis maupun follow
up pasien TB dan TB Resistan Obat. Fasyankes yang dapat melakukan pemeriksaan
mikroskopis TB adalah Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM), Puskesmas
Pelaksana Mandiri (PPM) dan RS DOTS. Beberapa Puskesmas saat ini memiliki
status sebagai Puskesmas Satelit (PS) yang melakukan pemeriksaan mikroskopis
sampai dengan fiksasi, kemudian merujuk sediaan yang telah di fiksasi ke PRM
sesuai pengaturan oleh Dinas Kesehatan setempat. Fasyankes yang dapat melakukan
pemeriksaan biakan adalah laboratorium yang terpantau mutunya oleh Laboratorium
Rujukan Nasional TB BBLK Surabaya. Fasyankes yang dapat melakukan
pemeriksaan TCM adalah RS, Puskesmas maupun laboratorium. Pengaturan rujukan
pasien/spesimen ke fasyankes TCM dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
sesuai beban kerja masing-masing laboratorium TCM. Berdasarkan Permenkes no 67
tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis, diagnosis TB dapat dilakukan
dengan menggunakan TCM jika terdapat akses terhadap pemeriksaan TCM.
Diagnosis TB RO dan TB pada HIV harus diupayakan agar dapat dilakukan dengan
TCM walaupun pasien datang ke fasyankes yang tidak memiliki akses terhadap TCM.
Jika kapasitas laboratorium TCM masih rendah, Dinas Kesehatan dapat mengatur
agar fasyankes di sekitar laboratorium TCM merujuk spesimen dari terduga TB ke
laboratorium TCM terdekat. Fasyankes tersebut merupakan jejaring TCM dan hanya
melakukan pemeriksaan mikroskopis untuk follow up. Jumlah dahak yang diperlukan
untuk pemeriksaan TCM sebanyak 2 (dua) dahak dengan kualitas bagus. Alur
Diagnosis Laboratorium, Pengobatan dan Pencatatan Pelaporan TB disesuaikan
dengan jenis fasyankes dan ketersediaan alat TCM dan dapat dilihat di lampiran 1. 3.
Alur Rujukan Pasien Pindah Pengobatan dan Pasien Mangkir Pasien mangkir ataupun
putus obat dan pasien pindah ke fasyankes non DOTS dapat menghambat
penyelesaian pengobatan. Untuk menjamin pasien TB menyelesaikan pengobatannya
sampai tuntas, dibutuhkan jejaring eksternal di bawah koordinasi Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Mekanisme jejaring untuk pasien yang pindah seperti gambar alur
dibawah:
Koalisi ini dibentuk ditingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Koalisi di tingkat
nasional dibentuk oleh Subdit TB bekerjasama dengan semua organisasi profesi yang terlibat
dalam penanggulangan TB. Koalisi tingkat provinsi dibentuk oleh Dinas Kesehatan Provinsi
bekerjasama dengan organisasi profesi yang ada di provinsi tersebut dengan berkoordinasi
dengan KOPI TB tingkat pusat. Untuk tingkat kab/kota anggota organisasi Profesi sebagai
KOPI TB menjadi bagian dari tim DPPM TB. Secara rinci tugas dan fungsi masing-masing
organisasi profesi dalam koalisi tingkat pusat adalah sebagai berikut: 1. IDI sebagai induk
organisasi profesi dokter mensosialisasikan regulasi yang mewajibkan anggotanya untuk
melakukan tatalaksana TB sesuai standar serta melaporkan kasus TB yang ditemukan dan
atau diobati. 2. PDPI, PAPDI, IDAI, PERDOKI, PDUI, dan PDKI sebagai organisasi profesi
yang menangani TB memberikan informasi teknis tentang manajemen kasus TB dan
memberikan anjuran kepada anggotanya untuk melakukan wajib lapor. 3. PAMKI, PDS
PATKLIN dan PATELKI sebagai organisasi Ahli Mirobilogi Klinik, ahli Patologi Klinik dan
Ahli Teknologi Laboratorium Medik akan mengeluarkan surat edaran kepada anggotanya
agar (1) melakukan pemeriksaan TB sesuai pedoman; (2) memastikan layanan labotoriumnya
ikut dalam uji mutu kualitas labotorium pemeriksaan TB dan (3) memastikan adanya kelanjut
layanan bagi orang yang terindikasi TB. 4. PDSRI sebagai organisasi Ahli Radiologi akan
mengeluarkan surat edaran kepada anggotanya agar (1) mendukung intensifikasi penemuan
kasus TB melalui kegiatan skrining terduga TB menggunakan pemeriksaan radiologis, (2)
memastikan semua pasien sugestif TB berdasarkan pemeriksaan radiologis TB mendapatkan
tatalaksana lanjutan diagnosis sesuai standar. 5. Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) sebagai
induk organisasi apoteker akan mengeluarkan surat edaran kepada anggotanya agar (1) tidak
melayani pembelian OAT tanpa resep; (2) melakukan konfirmasi kepada dokter memberikan
resep OAT yang tidak sesuai standar dan (3) memastikan orang dengan gejala TB untuk
memeriksakan diri ke fasyankes. 6. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) sebagai
induk organisasi perawat akan mengeluarkan surat edaran kepada anggotanya agar (1)
memastikan orang dengan gejala TB mendapatkan pemeriksaan sesuai standard; (2)
mendukung pengobatan TB sesuai standar, (3) Memberikan edukasi dan informasi tentang
penanggulangan TB kepada keluarga dan masyarakat. Pelaksanaan KOPI TB dalam
mendukung DPPM adalah sebagai berikut: A. Tingkat Nasional Tugas pokok dan fungsi,
sebagai berikut: 1. Melakukan pemetaan organisasi profesi yang akan dilibatkan dalam
koalisi dan pemetaan anggota dari masing-masing organisasi profesi;
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan DPPM merupakan salah satu fungsi manajemen
untuk menilai keberhasilan. Monitoring dilakukan secara rutin, berkala dan berjenjang
sebagai deteksi awal masalah dalam pelaksanaan kegiatan program sehingga dapat segera
dilakukan tindakan perbaikan. Evaluasi dilakukan untuk menilai sejauh mana pencapaian
tujuan, indikator, dan target yang telah ditetapkan. Evaluasi dilakukan dalam rentang waktu
lebih lama, biasanya minimal setiap enam bulan s/d satu tahun sekali. Pada tingkat nasional,
Subdit TB bersama dengan mitra dan stakeholder terkait akan melakukan monitoring dan
evaluasi terhadap pelaksanaan DPPM TB. Pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota,
monitoring akan dilaksanakan oleh tim DPPM TB setiap enam bulan dalam pertemuan rutin
dan setiap tahun sebagai bagian dari pertemuan rutin monitoring evaluasi program TB
nasional. A. Monitoring Pelaksanaan monitoring DPPM merupakan tanggung jawab seluruh
pihak yang terlibat di kegiatan DPPM di setiap tingkatan, dimulai dari fasilitas pelayanan
kesehatan, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. Di tingkat kabupaten/kota, monitoring
dilaksanakan di bawah koordinasi kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Tujuan
monitoring DPPM adalah: 1. Memantau proses implementasi DPPM dengan mengacu pada
indikator dan target yang telah ditetapkan dalam dokumen Rencana Operasional DPPM TB;
2. Mengidentifikasi masalah dan kesenjangan saat implementasi DPPM TB; 3. Mengatasi dan
mengantisipasi dampak dari masalah yang teridentifikasi. Kegiatan monitoring DPPM dapat
berupa surveilans, supervisi, dan validasi data yang dilakukan secara berkala sesuai dengan
tingkatannya dengan melibatkan pelaksana DPPM: 1. Tingkat kabupaten, prosesnya
melibatkan seluruh fasyankes yang menangani TB dan organisasi kemasyarakatan. a.
Puskemas melibatkan FKTP non puskesmas (DPM dan klinik) yang berada di wilayah
kerjanya; b. Rumah sakit melibatkan seluruh unit yang terkait dalam tatalaksana TB. 2.
Tingkat provinsi melakukan monitoring dan dukungan teknis pelaksanaan DPPM TB. 3.
Tingkat nasional, Kementerian Kesehatan – Subdit TB melakukan monitoring pencapaian
pelaksanaan DPPM TB. 40 Panduan Penerapan Jejaring Layanan Tuberkulosis Di Fasilitas
Kesehatan Pemerintah Dan Swasta Berbasis Kabupaten/Kota Metode monitoring dapat
melalui: 1. Surveilans Surveilans merupakan salah satu kegiatan untuk memperoleh data epid
epidemiologis yang diperlukan dalam sitem informasi program penanggulangan TB, baik
yang menggunakan data rutin maupun non-rutin. Dalam prosesnya, data rutin dapat berasal
dari sumber data TB seperti SITT/SITB, eTB manager, WIFI TB dan SIMRS. Sementara
untuk data non-rutin dapat menggunakan hasil survei dan penelitian. 2. Supervisi Supervisi
merupakan suatu proses yang sistematis untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan,
sikap dan motivasi petugas. Selain itu, hasil supervisi dapat digunakan sebagai bahan refleksi
keberhasilan dan perbaikan program sehingga seluruh catatan proses supervisi harus
didokumentasikan dengan baik. Supervisi dilakukan secara berjenjang dengan melihat hal-hal
sebagai berikut: a. Observasi b. Interview dan diskusi, termasuk mendiskusikan permasalahan
yang ditemukan c. Analisa pencatatan dan pelaporan d. Manajemen interview e. Stakeholder
interview f. Bantuan teknis g. Mencari pemecahan permasalahan bersama-sama h.
Memberikan temuan, rekomendasi dan saran perbaikan 3. Validasi data Validasi data
merupakan kegiatan untuk memastikan kualitas data yang dilakukan oleh fasilitas pelayanan
kesehatan sesuai kebutuhan. Ini dapat dilakukan dengan melakukan pengecekan kelengkapan
dan keakuratan data antara yang dicatat dan dilaporkan. B. Evaluasi Tujuan evaluasi untuk
menganalisis relevansi, efisiensi, efektivitas, dampak dan keberlanjutan DPPM TB sekaligus
memberikan arah kebijakan program TB. Sumber data yang bisa dipakai adalah data primer
dan berbagai sumber data sekunder seperti laporan monitoring DPPM TB dan pelaporan rutin
fasyankes.