Anda di halaman 1dari 58

HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA

MENURUT IMAM AL-QURTHUBI


DALAM TAFSIR AL-QURTHUBI

Oleh :
MUHAMMAD RUSLAN
NISN: 0034932401

JURUSAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


TARBIYATUL MU’ALLIMIN AL-ISLAMIYAH
PESANTREN MODERN DAARUL ‘ULUUM LIDO
BOGOR - JAWA BARAT
2021-2022
i

HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA


MENURUT IMAM AL-QURTHUBI
DALAM TAFSIR AL-QURTHUBI

Karya Tulis Ilmiah


Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Ujian Akhir
di TMI Pesantren Modern Daarul ‘Uluum Lido

Oleh :
MUHAMMAD RUSLAN
NISN : 0034932401

JURUSAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


TARBIYATUL MU’ALLIMIN AL-ISLAMIYAH
PESANTREN MODERN DAARUL ‘ULUUM LIDO
BOGOR - JAWA BARAT
2021-2022

i
ii

LEMBAR PERSETUJUAN

Nomor :-
Lampiran : 1 Eksmplar
Perihal : Naskah Karya Tulis Ilmiah Saudara Muhammad Ruslan

Kepada Yth. :
Pimpinan dan Pengasuh Pesantren Modern Daarul ‘Uluum Lido
Kiyai Muhammad Yazid Dimyati, S.Th.I., Lc.
di
Tempat

‫السالم عليكم و رحمة اهلل و بركاته‬


Setelah diteliti, dibimbing dan diadakan perbaikan seperlunya sesuai
dengan saran dan petunjuk kami, kami menyatakan bahwa naskah
karya tulis ilmiah saudara:
Nama : Muhammad Ruslan
Asal Daerah : Bogor
NISN : 0034932401
Judul : Hukum Pernikahan Beda Agama Menurut
Imam al-Qurthubi dalam Tafsir al-Qurthubi
Telah dapat diajukan untuk mengikuti ujian munaqosah karya tulis
ilmiah. Demikian harap menjadi maklum dan tidak lupa kami
ucapkan banyak terima kasih.
‫و السالم عليكم و رحمة اهلل و بركاته‬

Bogor,
Pembimbing, Ketua Panitia Ujian,

Ust. Rudi Hartono, M.I.Kom. Ust. Azhari Mochtar, S.Ag.

ii
iii

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Karya Tulis:

Hukum Pernikahan Beda Agama Menurut Imam al-Qurthubi dalam Tafsir al-
Qurthubi

Disusun untuk memenuhi syarat menyelesaikan


Program Kegiatan santri Kelas Akhir
TMI. Pesantren Modern Daarul ‘Uluum Lido 2021/2022

Disusun oleh :

Muhammad Ruslan

Wali Kelas Pembimbing

Ust. Suhud, S.Pd.I Ust. Rudi Hartono, M.I.Kom.

Disahkan oleh :
Panitia ujian,

Ust. Azhari Muchtar, S.Ag

iii
iv

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI MUNAQOSAH KARYA TULIS


ILMIAH
PESANTREN MODERN DAARUL ULUUM LIDO

Karya tulis ilmiah yang berjudul : Hukum Pernikahan Beda Agama


Menurut Imam al-Qurthubi dalam Tafsir al-Qurthubi

Telah dipertanggung jawabkan dalam Ujian Munaqosah Santri Kelas Akhir


TMI Pesantren Modern Daarul ‘Uluum Lido pada:
Hari /Tanggal : Minggu, 13 Februari 2022
Dan telah disahkan sebagai salah satu syarat kelulusan ujian akhir di TMI
Pesantren Modern Daarul ‘Uluum Lido.

Bogor, 13 Februari 2022


Mengesahkan,

Penguji I, Penguji II,

Ust. H. Dindin Syarifudin, Lc Ust. M. Rianto, S.S

iv
v

KATA PENGANTAR

Segala puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt., yang telah
melimpahkan nikmat, rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga
Karya Tulis Ilmiah dengan judul: “Hukum Pernikahan Beda Agama Menurut Imam
al-Qurthubi dalam Tafsir al-Qurthubi” dapat diselesaikan untuk memenuhi salah
satu persyaratan dalam menyelesaikan salah satu ujian akhir di TMI Pesantren
Modern Daarul ‘Uluum Lido Bogor.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad
Saw. Insan Paripurna yang patut menjadi tauladan umat beserta keluarga, sahabat
dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Dengan akal untuk berfikir, dengan lisan
untuk berargumen, dan dengan hati untuk mempertimbangkan baik-buruknya
perbuatan manusia dengan dua petunjuk yang berupa al-Qur'an dan al-Sunnah. Hal
ini merupakan sarana bagi penulis untuk mengungkapkan berbagai argumentasi
serta sarana untuk menuangkan berbagai fakta tentang hasil penelitian guna untuk
dikaji dan dibahas lebih dalam lagi.
Penulis menyadari akan keterbatasan yang penulis miliki. Karena itu, karya
ilmiah ini tidak pernah lepas dari bantuan, arahan dan motivasi dari berbagai pihak.
Maka izinkanlah penulis menyampaikan terimakasih yang tidak terhingga kepada :
1. Kiyai Muhammad Yazid Dimyati, S.Th.I., Lc., sebagai Pimpinan dan
Pengasuh Pesantren Modern Daarul ‘Uluum Lido, yang dengan tulus
ikhlas membimbing, mengarahkan, dan tentunya menjadi salah satu
inspirator bagi penulis dalam penulisan karya ilmiah ini.
2. Kiyai Moh. Affan Afifi, S.H.I., sebagai Direktur Bidang Pengajaran TMI
Pesantren Modern Daarul Uluum Lido, yang selalu memberi motivasi dan
mengingatkan penulis dalam kebaikan.
3. Ust. H. Yalet Nurjalaluddin, S.Ag., sebagai Kepala Sekolah Madrasah
Aliyah (MA) Pesantren Modern Daarul ‘Uluum Lido, yang telah
memotivasi penulis dalam penulisan karya ilmiah ini.

v
vi

4. Ust. Rudi Hartono, S.Sos.I., M.I.Kom., sebagai pembimbing karya tulis


ilmiah ini, yang dengan tulus ikhlas membimbing, mengarahkan, selalu
memberi semangat serta tidak henti-hentinya mengingatkan penulis dalam
kebaikan sehingga karya tulis ini dapat kami selesaikan.
5. Ust. Azhari Muchtar, S.Ag., sebagai Ketua Panitia Ujian Niha’ie beserta
staf, yang telah mencurahkan perhatian dan kesabarannya dalam
pelaksanaan program niha’ie.
6. Para Wali Kelas Niha’ie, yang telah mendidik dan membimbing penulis
dengan ikhlas dan sabar dalam proses pendidikan di pesantren tercinta ini.
7. Kepada Ayah dan Ibu, terimakasih atas kasih sayang dan perhatianmu
selama ini. Jasa-jasamu sangat luar bisa, kalimat-kalimatmu bermain di
alam pikiran dan hatiku, do'amu mengalir di dalam diriku, namamu
ditasbihkan disetiap hembusan nafasku dan dirimu selalu ada disetiap
tatapanku. Dirimu adalah motivator handal bagiku. Sekali lagi terimakasih
Bunda, Ayah.
8. Tak lupa pula kepada teman-teman seperjuangan Angkatan 21, tahun
ajaran 2021-2022.
Serta kepada pihak-pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu,
terimakasih atas kebersamaan dan juga segala bentuk bantuan baik moril maupun
materil. Semoga segala jasa baik kalian mendapatkan pahala dari-Nya. Aamiin…
Sebagai sebuah karya, sudah pasti karya tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun, agar penulis selalu mampu memperbaiki segala kesalahan dan
mengembangkan segala kelebihan.

Bogor, 13 Februari 2022


Penulis

Muhammad Ruslan

vi
vii

ABSTRAK

Muhammad Ruslan, 2022. Hukum Pernikahan Beda Agama Menurut Imam al-
Qurthubi dalam Tafsir al-Qurthubi. Paper, Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam,
MA Daarul ‘Uluum Lido.

Pembimbing: Ust. Rudi Hartono, M.I.Kom.

Kata Kunci: Hukum, Nikah Beda Agama, Imâm Al-Qurthubî

Dalam Islam, nikah beda agama merupakan permasalahan yang sudah


cukup lama tetapi masih hangat untuk didiskusikan hingga saat ini. Banyak
perbedaan dalam kasus ini, umumnya pada persoalan halal dan haramnya
perkawinan tersebut.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan library research
(penelitian pustaka). Penelitian ini mengkaji pandangan Al-Qurthubi tentang
interpretasi ayat-ayat kalam yang berkaitan dengan nikah beda agama dalam Tafsir
Al-Qurthubi. Dalam menganalisa data, penulis menggunakan beberapa metode
yang dianjurkan dalam penelitian, yaitu interpretasi, koherensi intern, dan deskripsi.

Hasilnya penulis menemukan bahwa: pertama, Imam Al-Qurthubi


menafsirkan ayat-ayat pernikahan beda agama pada Surah al-Baqarah ayat 221
bahwa pernikahan pria muslim dan wanita musyrik adalah haram, begitu juga
sebaliknya. Dalam Tafsîr Al-Qurthubi kata musyrikât pada ayat 221 yang dimaksud
adalah wanita penyembah berhala dan wanita yang beragama Majusi. Adapun
dalam penafsiran Surah al-Mâ’idah ayat 5 kata al-Muhshanat menurut Imâm Al-
Qurthubî adalah wanita yang menjaga kehormatan dan dari wanita yang merdeka
bukan budak. Imâm Al-Qurthubî mengharamkan menikahi wanita Ahli Kitab,
karena mereka termasuk golongan musyrik, adapun yang dimaksud Ahli Kitab
disini adalah wanita Yahudi dan Nasrani dari bangsa Arab; kedua, letak pemikiran
Al-Qurthubi lebih condong kepada pendapat Ishak bin Ibrâhîm al-Harabi dan Ibnu
Abbas, yaitu mengharamkan menikahi wanita musyrik termasuk Ahli Kitab, karena
mereka menyembah selain Allah, dan juga Imâm Al-Qurthubî melarang menikahi
Ahli Kitab jika mereka memerangi orang muslim.

vii
‫‪viii‬‬

‫نبذة مختصرة‬

‫محمد رسالن ‪ .2022‬قانون الزواج بني األديان عند اإلمام القرطيب يف تفسري القرطيب‪ .‬ورقة ‪،‬‬
‫‪.‬قسم العلوم الطبيعية ‪ ،‬ماجستري دارول أولوم ليدو‬
‫رودي هارتونو ‪: Ust. ،‬املشرف‬
‫الكلمات املفتاحية‪ :‬القانون ‪ ،‬الزواج بني األديان ‪ ،‬اإلمام القرثيب‬
‫يف اإلسالم ‪ ،‬يعترب الزواج بني األديان مشكلة موجودة منذ فرتة طويلة ولكنها ال تزال ساخنة‬
‫للنقاش اليوم‪ .‬هناك العديد من االختالفات يف هذه احلالة ‪ ،‬بشكل عام حول مسألة الزواج الشرعي‬
‫‪.‬وغري القانوين‬
‫يستخدم املؤلف يف هذه الدراسة منهج البحث يف املكتبات (البحث يف املكتبات)‪ .‬تبحث هذه‬
‫الدراسة يف آراء القرطيب يف تفسري آيات الكالم املتعلقة بزواج األديان يف تفسري القرطيب‪ .‬يف حتليل‬
‫البيانات ‪ ،‬استخدم املؤلف عدة طرق أوصت هبا الدراسة ‪ ،‬وهي التفسري ‪ ،‬والتماسك الداخلي ‪،‬‬
‫‪.‬والوصف‬
‫ونتيجة لذلك ‪ ،‬وجد املؤلفون أن‪ :‬أوالً ‪ ،‬يفسر اإلمام القرطيب آيات زواج األديان يف سورة البقرة‬
‫اآلية ‪ 221‬بأن زواج املسلم من املسلمة حرام ‪ ،‬والعكس صحيح‪ .‬يف تفسري القرثويب ‪ ،‬تشري كلمة‬
‫مشركات يف اآلية ‪ 221‬إىل النساء اللوايت يعبدن األصنام والنساء اجملانيات‪ .‬وأما تفسري سورة‬
‫املائدة اآلية ‪ 5‬فلفظ احملشنات عند اإلمام القرثيب هي املرأة صاحبة الكرامة ومن احلرة ال العبدة‪.‬‬
‫حيرم اإلمام القرثيب الزواج من نساء أهل الكتاب ؛ ألهنن من املشركني ‪ ،‬وأهل الكتاب هنا يعي‬
‫النساء اليهوديات واملسيحيات من العرب‪ .‬ثانياً‪ :‬أن موضع تفكري القرطيب أكثر ميالً إىل رأي‬
‫إسحاق بن إبراهيم احلريب وابن عباس يف النهي عن الزواج من املشركات مبا يف ذلك أهل الكتاب ؛‬
‫‪.‬ألهنم يعبدون غري اهلل ‪ ،‬واإلمام العبد اهلل‪ .‬هنى قرثيب الزواج بأهل الكتاب إذا قاتلوا الناس‪ .‬مسلم‬

‫‪viii‬‬
ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN................................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................. iii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI………………………………………… iv
KATA PENGANTAR......................................................................................... v
ABSTRAK.......................................................................................................... vii
DAFTAR ISI........................................................................................................ viii

BAB I : PENDAHULUAN............................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah............................................................ 1
B. Rumusan Masalah..................................................................... 9
C. Tujuan Penelitian....................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian..................................................................... 9
E. Metode Penelitian...................................................................... 10
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan........................................... 10
2. Sumber Data......................................................................... 10
3. Metode Pengumpulan Data.................................................. 10
4. Metode Analisa Data............................................................ 11

BAB II : TEMUAN PENELITIAN................................................................. 12


A. Kajian Pustaka........................................................................... 12
1. Penjelasan Istilah…..……………….................................... 12
2. Perspektif MUI…………………......................................... 14
3. Perspektif HKI di Indonesia……......................................... 17
4. Perspektif Imam Madzhab……………………………….... 19
B. Profil Singkat Kehidupan Al-Qurthubi…................................. 23
1. Riwayat Hidup………………………….............................. 23
2. Karya-karyanya………………............................................ 25
3. Guru-gurunya…………………........................................... 26
C. Pembahasan............................................................................... 28

ix
x

1. Penafsiran Al-Qurthubi tentang Hukum Menikah Beda 28


Agama…………………………………..............................
2. Akar Pemahaman Al-Qurthubi tentang Menikah Beda 34
Agama………………………………………...................
BAB III : PENUTUP........................................................................................ 38
A. Simpulan.................................................................................... 38
B. Saran-saran................................................................................ 39

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 40
LAMPIRAN-LAMPIRAN

x
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Menikah dan kehidupan berkeluarga merupakan salah satu sunnatullah
terhadap makhluk, yang mana dia merupakan sesuatu yang umum dan mutlak
dalam dunia kehidupan hewan serta tumbuh-tumbuhan. Dengan perkawinan
kehidupan di alam dunia ini bisa berkembang untuk meramaikan alam yang
luas ini dari generasi ke generasi berikutnya.1 Sunnatullah bagi kehidupan
makhluk ini ditegaskan Allah melalui sejumlah firman-Nya, antara lain di
dalam ayat 49 Surah al-Dzâriyât:
ِ ْ ‫وِم ْن ُك ِّل َشي ٍء َخلَ ْقنَا َزْو َج‬
‫ني لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكُرْو َن‬ ْ َ
Artinya :”Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya
kamu mengingat kebesaran Allah”.
Hal senada diungkapkan dalam Surah Yâsin ayat 36:
‫اج َخلَ َق الَّ ِذ ْي ُسْب ٰح َن‬ ِ ِ‫ي علَمون َال وِِمَّا انْف ِس ِهم وِمن ْاالَرض تنۢب‬
َ ‫ت ِمَّا ُكلَّ َها ْاالَْزَو‬
ُ ْ ُ ُ ْ ْ َ ْ ُ َ َ َ ُْ َْ
Artinya: “Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari apa yang
ditumbuhkan oleh bumi dan diri mereka maupun dari apa yang tidak
mereka ketahui.
Perkawinan adalah tuntutan naluri yang berlaku pada semua makhluk-
Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Oleh karena
manusia sebagai makhluk yang berakal, maka bagi manusia perkawinan
merupakan salah satu budaya untuk berketurunan guna kelangsungan dan

1
Syaikh Muhammad. 2012. Ringkasan Fiqih Islam. Diakses dari:
http://books.islamway.net/id/id_06_summary_of_the_islamic_fiqh_tuwajre.pdf .
(02 Januari 2022-pukul 08:32)
2

memperoleh ketenangan hidupnya, yang beraturan dan mengikuti


perkembangan budaya manusia.2
Setiap perkawinan tidak hanya didasarkan kepada kebutuhan biologis
antara pria dan wanita yang diakui sah, melainkan sebagai pelaksana proses
kodrat hidup manusia. Demikian juga dalam hukum perkawinan Islam
mengandung unsur-unsur pokok yang bersifat kejiwaan dan kerohanian
meliputi kehidupan lahir batin, kemanusiaan dan kebenaran. Selain itu
perkawinan juga berdasarkan religius, artinya aspek-aspek keagamaan
menjadi dasar pokok kehidupan rumah tangga dengan melaksanakan
keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Sedangkan dasar-dasar pengertian
perkawinan itu berpokok pangkal kepada tiga keutuhan yang perlu dimiliki
oleh seseorang sebelum melaksanakanya, yaitu: iman, Islam dan ikhlas.3
Berbicara mengenai perkawinan sejati, pada prinsipnya akan berbicara
tentang pilihan pasangan hidup yang benar-benar dari hati yang paling tulus
walaupun dalam pemilihan itu banyak terjadi tantangan. Akan tetapi, bagi
mereka yang telah benar-benar yakin, mereka ingin segera meresmikan ikatan
itu dalam ikatan perkawinan yang sah dimata agama dan Negara.4
Dari pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan
itu bukanlah sesuatu yang remeh. Pernikahan merupakan sesuatu yang
membutuhkan banyak persiapan untuk melakukannya dan harus dilakukan
dengan syarat serta tatacara yang telah di atur oleh hukum.
Kata pernikahan berasal dari Bahasa Arab, yaitu ‘An-nikah’ yang
memiliki beberapa makna. Menurut bahasa, kata nikah berarti

2
Dr. Abd. Rozak A. Sastra, MA. Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan Beda
Agama (Perbandingan Beberapa Negara). Diakses dari:
https://www.bphn.go.id/data/documents/pkj-2011-2.pdf .(02 Januari 2022-pukul
08:43)
3
Santoso. 2021. Marriage law. Diakses dari:
https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Yudisia/article/download/2162/1790 .(02
Januari 2022-Pukul 10:35)
4
Padli Yannor. 2019. Menelaah Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum
Positif. Diakses dari:
https://www.jdih.tanahlautkab.go.id/artikel_hukum/detail/menelaah-perkawinan-
beda-agama-menurut-hukum-positif .(02 Desember-Pukul 09:24)
3

berkumpul, bersatu dan berhubungan. Definisi pernikahan dalam Islam


lebih diperjelas oleh beberapa ahli ulama yang biasa dikenal dengan
empat mahzab fikih. Yakni: 5

1. Imam Maliki. Menurut Imam Maliki, pernikahan adalah sebuah


akad yang menjadikan hubungan seksual seorang perempuan yang
bukan mahram, budak dan majusi menjadi halal dengan shighat. 6
2. Imam Hanafi. Menurut Imam Hanafi, pernikahan berarti
seseorang memperoleh hak untuk melakukan hubungan seksual
dengan seorang perempuan. Dan perempuan yang dimaksud ialah
seseorang yang hukumnya tidak ada halangan sesuai syar’i untuk
dinikahi. 7
3. Imam Syafi’i. Menurut Imam Syafii, pernikahan adalah akad
yang membolehkan hubungan seksual dengan lafadz nikah, tazwij
atau lafadz lain dengan makna serupa. 8
4. Imam Hambali. Menurut Imam Hambali, pernikahan merupakan
proses terjadinya akad perkawinan. Nantinya, akan memperoleh
suatu pengakuan dalam lafadz nikah ataupun kata lain yang
memiliki sinonim. 9

Pada dasarnya, semua pengertian pernikahan yang disampaikan


oleh keempat imam tersebut mengandung makna yang hampir sama.
Yakni, mengubah hubungan antara laki-laki dan perempuan yang
sebelumnya tidak halal menjadi halal dengan akad atau shighat.

5 Fia Afifah R. 2021. Pernikahan dalam Islam, Ketahui Hukum serta Syarat dan
Rukunnya!. Diakses dari: https://www.orami.co.id/magazine/pernikahan-dalam-
islam/ .(02 Januari 2022-Pukul 10:05)
6
Ibid.
7
Ibid.
8
Ibid.
9
Ibid.
4

Perkawinan menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974


tentang Perkawinan, yang dimaksud perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, pernikahan adalah suatu akad
yang secara keseluruhan aspeknya dikandung dalam kata nikah atau tazwīj
dan merupakan ucapan seremonial yang sakral.10
Oleh karena manusia adalah hewan yang berakal, maka perkawinan
merupakan salah satu budaya yang beraturan yang mengikuti perkembangan
budaya manusia dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat sederhana
budaya perkawinannya sederhana, sempit dan tertutup, dalam masyarakat
yang maju (modern) budaya perkawinannya maju, luas dan terbuka. Aturan
tata tertib perkawinan sudah ada sejak masyarakat sederhana yang
dipertahankan anggota-anggota masyarakat dan para pemuka masyarakat
adat dan atau pemuka agama. Aturan tata tertib itu terus terus berkembang
maju dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan pemerintahan dan di
dalam suatu Negara. Di Indonesia aturan tata tertib perkawinan itu sudah ada
sejak zaman kuno, sejak zaman Sriwijaya, Majapahit, sampai masa kolonoal
Belanda dan sampai Indonesia telah merdeka. Bahkan aturan perkawinan itu
sudah tidak saja menyangkut warga negara Indonesia, tetapi juga menyangkut
Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan Negara asing, karena
bertambah luasnya pergaulan bangsa Indonesia.11
Perkawinan merupakan salah satu dimensi kehidupan yang sangat
penting dalam kehidupan manusia di dunia manapun. Begitu pentingnya
perkawinan, maka tidak mengherankan jika agama-agama di dunia mengatur
masalah perkawinan bahkan tradisi atau adat masyaarkat dan juag institusi

10
Santoso. 2021. Marriage law. Diakses dari:
https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Yudisia/article/download/2162/1790 .(02
Januari 2022-Pukul 10:51)
11
Ibid
5

Negara tidak ketinggalan mengatur perkawinan yang berlaku di kalangan


masyarakatnya.
Menikah termasuk dari sunnah yang paling ditekankan oleh setiap
Rasul, dan juga termasuk dari sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW.

1- Allah berfirman:
ٍ ‫ق لَ ُك ْم ِّم ْن اَ ْنفُ ِس ُك ْم اَ ْز َوا ًجا لِّتَ ْس ُكنُ ْٖٓوا اِلَ ْيهَا َو َج َع َل بَ ْينَ ُك ْم َّم َو َّدةً و ََّرحْ َمةً ۗاِ َّن فِ ْي ٰذلِكَ َ َٰل ٰي‬
‫ت‬ َ َ‫َو ِم ْن ٰا ٰيتِ ٖٓه اَ ْن خَ ل‬
َ‫ –لِّقَوْ ٍم يَّتَفَ َّكرُوْ ن‬٢١
"Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir" (Ar-Ruum: 21)
2- Firman Allah:

‫اجا َّوذُِّريَّةً ۗۗ َوَما َكا َن لَِر ُس ْوٍل اَ ْن يَّأِْيتَ بِاٰيٍَة اَِّال بِاِ ْذ ِن ٰالل ِه ۗۗلِ ُك ِّل‬
ً ‫ك َو َج َعلْنَا ََلُ ْم اَْزَو‬
ِ
َ ‫َولَ َق ْد اَْر َسلْنَا ُر ُس ًال ِّم ْن قَ ْبل‬

‫اَ َج ٍل كِتَاب‬

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rosul sebelum kamu dan
Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan .." (Ar-Ra'd: 38)
3- Berkata Abdullah bin Mas'ud r.a: suatu ketika kami beberapa orang
pemuda sedang bersama Nabi SAW dalam keadaan tidak memiliki apa-
apa, berkatalah kepada kami Rasulullah SAW:
‫ َوَم ْن ََْ يَ ْستَ ِط ْع‬،‫ص ُن لِلْ َف ْرِج‬ ْ ‫ص ِر َوأ‬
َ ‫َح‬
ِ ُّ َ‫ فَِإنَّه أَغ‬،‫اب م ِن استطَاع ِمْن ُكم الْباءةَ فَ ْليت زَّوج‬
َ َ‫ض ل ْلب‬ ُ ْ َ ََ َ َ ُ َ َ ْ َ ِ َ‫يَا َم ْع َشَر الشَّب‬
‫الص ْوِم فَِإنَّهُ لَهُ ِو َجاء‬
َّ ِ‫فَ َعلَْي ِه ب‬.
"Wahai sekalian pemuda, barang siapa diantara kalian yang telah mampu
hendaklah dia menikah, karena yang demikian itu lebih menjaga
pandangan dan lebih menjaga kemaluannya, dan barang siapa yang
6

belum mampu hendaklah dia berpuasa, karena itu merupakan benteng


baginya" Muttafaq Alaihi.12
Peristiwa perkawinan merupakan salah satu tahapan yang dianggap
penting dalam kehidupan manusia dan telah dijalani berabad-abad pada suatu
kebudayaan dan komunitas agama. Sebagian orang menganggapnya sebagai
peristiwa sakral, sebagaimana peristiwa kelahiran dan kematian yang
diusahakan hanya terjadi sekali seumur hidup. Sedemikian pentingnya
perkawinan hampir semua agama memiliki pengaturannya secara terperinci
yang terbentuk dalam aturan dan persyaratan-persyaratan perkawinan, adat
istiadat dan berbagai ritualnya, termasuk diantaranya pengaturan perkawinan
beda agama.13
Dalam ayat 13 Surah Al-Hujurât disebutkan manusia diciptakan dari
seorang pria dan seorang wanita, kemudian mereka dijadikan berbangsa dan
bersuku agar saling mengenal. Perkenalan antara pria dan wanita
menimbulkan rasa saling tertarik yang kemudian dapat berlanjut ke jenjang
perkawinan. Di era modern pergaulan pria wanita telah melampaui batas
suku, etnisitas, kebangsaan, kebahasaan bahkan batas keagamaan. Itu berarti
perbedaan-perbedaan tersebut bukan halangan dalam perkenalan dan
akhirnya menikah. Bagi umat Islam perkawinan beda suku, etnis dan bangsa
tidak menjadi halangan, sepanjang kedua belah pihak sama-sama beragama
Islam.14
Dalam Islam perkawinan beda agama atau kawin beda agama
merupakan permasalahan yang sudah cukup lama, tetapi masih selalu hangat

12
Syaikh Muhammad. 2012. Ringkasan Fiqih Islam. Diakses dari:
http://books.islamway.net/id/id_06_summary_of_the_islamic_fiqh_tuwajre.pdf .
(02 Januari 2022-pukul 10:14)
13
Siti Chaerani. 2021. Review Buku "Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan
Seksualitas". Diakses dari:
https://www.kompasiana.com/schrani29/61850df38d947a2dbd7b9773/review-
buku-islam-kepemimpinan-perempuan-dan-seksualitas?page=2&page_images=1
(11 Januari 2022-Pukul 10:05)
14
Quraish Shihab. 2019. Tujuan Penciptaan Manusia. Diakses
dari: https://mediaindonesia.com/tafsir-al-mishbah/238227/tujuan-penciptaan-
manusia (11 Januari 2022-Pukul 10:14)
7

untuk didiskusikan hingga saat ini. Dalam banyak kasus di masyarakat masih
muncul resistensi yang begitu besar terhadap kawin beda agama, umumnya
pada persoalan halal dan haramnya perkawinan tersebut. Mayoritas ulama
sejak zaman sahabat hingga sekarang sepakat bahwa wanita Islam haram
hukumnya kawin dengan laki-laki non muslim baik musyrik, kafir, maupun
ahli kitab dan melarang pria Islam menikahi wanita musyrik dan kafir.15
Pada saat pasangan beda agama yang salah satunya beragama Islam
terjadi, kajian hukum mengenai hal itu menjadi menarik terutama apabila
pihak laki-lakinya yang bergama Islam. Persoalan ini menjadi bahan diskusi
karena, menurut petunjuk Al-Qur’ân pernikahan dengan wanita kitâbiyyah
dibolehkan.
Didalam ayat 5 Surah al-Mâ’idah disebutkan:
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
‫ت‬
ُ َ‫صن‬
َ ‫ت الْ ُم ْؤمنَت م َن واَلْ ُم ْح‬ َ ‫ب اُوتُو الَّذيْ َن م َن َوالْ ُم ْح‬
ُ َ‫صن‬ َ َ‫بْل ُك ْم َق م ْن االْكت‬
Artinya :”Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita
yang menjaga kehormatan di antara orang-orang diberi Al-Kitab sebelum
kamu”.
Ratna Ajeng Tejomukti menyatakan bahwa ahli kitab yang dimaksud
Al-Qur’ân adalah kaum Yahudi dan Nasrani. Menurutnya Surah al-Mâ’idah
ayat 5 mengajarkan bahwa makanan ahli kitab (sembelihan binatang halal
oleh ahli kitab) halal dimakan oleh kaum Muslimin dan wanita kaum ahli
kitab halal dinikahi oleh kaum Muslimin.16
Sedangkan menurut Abdullah ibn Umar ketika ditanya tentang
menikahi wanita Nasrani dan Yahudi, ia menjawab: sesungguhnya Allah
telah mengharamkan wanita-wanita musyrik bagi kaum muslimin dan aku

15
Endah Hapsari. 2013. Apa Hukum Muslimah Menikah dengan Pria Non-Muslim?.
Diakses dari: https://www.republika.co.id/berita/mpdq71/apa-hukum-muslimah-
menikah-dengan-pria-nonmuslim (11 Januari 2022-Pukul 14:18)
16
Ratna Ajeng Tejomukti. 2021. Tiga Ayat Alquran Bahas Pernikahan Beda Agama.
Diakses dari: https://www.republika.co.id/berita/qpk2lj430/tiga-ayat-alquran-bahas-
pernikahan-beda-agama-part1 (11 Januari 2022-Pukul 14:31)
8

tidak tahu syirik manakah yang lebih besar daripada seorang perempuan
yang berkata Tuhannya adalah Isa, sedangkan Isa adalah salah seorang
diantara hamba Allah.” H. R. Bukhari.17
Pada sisi lain, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan
dengan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991, melarang seorang Muslim
melakukan perkawinan beda Agama, larangan untuk pria muslim diatur di
dalam pasal 40 huruf c KHI yang lengkapnya sebagai berikut:
“Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan
seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan
dengan pria lain.
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria
lain.
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam”.18
Sementara larangan menikah beda agama bagi wanita muslimah diatur
dalam pasal 44 KHI yang selengkapnya disebutkan bahwa:”seorang wanita
Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam”. Secara normatif larangan bagi wanita muslimah ini tidak
menjadi persoalan, karena sejalan dengan ketentuan dalam Al-Qur’ân
disepakati kalangan fuqaha.19
Adapun ayat yang menjelaskan larangan nikah beda agama khususnya
orang-orang musyrik yaitu dalam Surah al-Baqarah ayat 221:

17
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Fikr, 1994),hlm. 211.
18
Aena Cahyana. 2020. Larangan Perkawinan Beda Agama dalam Komlikasi
Hukum Islam Perspektif Kitab-kitab Rujukannya. Diakses dari:
http://repository.iainpurwokerto.ac.id/8805/1/Cover_Bab%20I%20_%20Bab%20
V_%20Daftar%20Pustaka.pdf (11 Januari 2022-Pukul 15:00)
19
Ibid.
9

‫ت َح ّٰت يُ ْؤِم َّن ۗۗ َوَالَ َمة ُّم ْؤِمنَة َخْي ر ِّم ْن ُّم ْش ِرَك ٍة َّولَْو اَ ْع َجبَْت ُك ْم ۗ َوَال تُْن ِك ُحوا‬
ِ ‫وَال تَْنكِحوا الْم ْش ِرٰك‬
ُ ُ َ
ۗ ‫ك يَ ْدعُ ْو َن اِ َىل النَّا ِر‬ ٰۤ
َ ‫ني َح ّٰت يُ ْؤِمنُ ْوا ۗۗ َولَ َعْبد ُّم ْؤِمن َخْي ر ِّم ْن ُّم ْش ِر ٍك َّولَ ْو اَ ْع َجبَ ُك ْم ۗۗ اُوٰل ِٕى‬ ِ
َ ْ ‫الْ ُم ْش ِرك‬
ِ ‫ني اٰيٰتِهۗ لِلن‬ ِِ ِ ِ ِ ٰ ࣖ
‫َّاس لَ َعلَّ ُه ْم يَتَ َذ َّكُرْون‬ ُ ِّ َ‫َواللهُ يَ ْد ُع ْوٖۗٓ ا ا َىل ا ْْلَنَّة َوالْ َم ْغفَرةِ بِا ْذنهۗۗ َويُب‬
Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik sebelum
mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih
baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan
yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-
laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak
ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-
Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.
Banyak perdebatan terhadap nikah beda agama yang timbul dari ayat di
atas. Sebagian mufasir berpendapat, kata mushrikah dan mushrikīn di dalam
QS al-Baqarah/2:221 bersifat umum, untuk semua orang kafir, termasuk
ahlulkitab. Yang lain berpendapat bahwa larangan yang dipahami dari ayat
itu telah dihapus oleh QS al-Māidah/5:4. Pendapat pertama, yang melarang
menikahi wanita-wanita ahlulkitab, mengacu kepada sumber Ibn Umar dan
dijadikan pegangan oleh Mazhab Zaidiyah. Ibn Umar dikenal sangat hati-hati,
sehingga pendapatnya yang melarang itu agaknya dilatarbelakangi oleh sikap
kehati-hatian serta kekhawatiran akan keselamatan akidah/agama suami-
isteri dan anak-anak. Sedangkan pendapat kedua yang membolehkan
menikahi wanitawanita ahlulkitab, dipegang oleh mayoritas ulama.20
Oleh karena itu, muncul ide awal untuk mengkaji lebih dalam lagi
perihal masalah pernikahan beda agama. Penelitian ini kemudian diarahkan
pada penafsiran Abu ‘Abdullah Muhammad Bin Ahmad Bin Abu Bakr al-

20
Abdul Jalil. 2018. Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam dan
Hukum Positif di Indonesia. Diakses dari:
https://media.neliti.com/media/publications/275121-pernikahan-beda-agama-
dalam-perspektif-h-d718141e.pdf (13 Januari 2022-Pukul 05:15)
10

Anshari al-Qurthubi tentang hukum menikah beda agama dalam kitab Tafsir
Al-Jami’ Liahkam al-Qur’an. Hal ini tampaknya menarik untuk dikaji dan
diteliti, karena hal tersebut telah menjadi perdebatan dalam sejarah pemikiran
umat Islam. Dengan demikian penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul “Hukum Menikah Beda Agama Menurut Abu ‘Abdullah
Muhammad Bin Ahmad Bin Abu Bakr al-Anshari al-Qurthubi dalam Tafsir
Al-Jami’ Liahkam al-Qur’an”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis dapat merumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah penafsiran al-Qurthubi tentang Hukum Menikah Beda
Agama atas ayat-ayat kalam dalam Tafsir Al-Qurthubi?
2. Dimanakah letak pemikiran al-Qurthubi tentang Hukum Menikah Beda
Agama sehubungan dengan perdebatan aliran-aliran kalam?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis memiliki beberapa
tujuan di antaranya:
1. Ingin mengetahui penafsiran al-Qurthubi tentang Hukum Menikah
Beda Agama atas ayat-ayat kalam dalam Tafsir al-Qurthubi.
2. Ingin mengetahui letak pemikiran al-Qurthubi tentang Hukum Menikah
Beda Agama sehubungan dengan perdebatan aliran-aliran kalam.

D. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat penulisan Karya Tulis Ilmiah (KTI)
ini, diantaranya sebagai berikut:
1. Menambah pengetahuan penulis tentang Hukum Menikah Beda Agama
dalam penafsiran al-Qurthubi serta letak pemikirannya sehubungan
dengan perdebatan aliran-aliran kalam.
2. Sebagai bahan informasi kepada umat Islam bahwa masalah menikah
11

adalah masalah klasik yang masih aktual yang perlu dikaji ulang oleh umat
Islam dalam rangka menyegarkan kembali pemahaman tentang teori-teori
kalam Islam, khususnya pemahaman tentang hukum menikah beda agama.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan library
research (penelitian pustaka), dengan mengkaji pandangan al-Qurthubi
atas interpretasi ayat-ayat kalam tentang hukum menikah beda agama
dalam Tafsir Al-Jami’ Liahkam al-Qur’an.
2. Sumber Data
Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah terdiri dari dua
kategori yaitu:
1) Data primer, yakni data yang berasal dari sumber pokok yang
dijadikan sebagai penggalian data dalam penelitian. Dalam hal ini
penulis menggunakan kitab Tafsir al-Qurthubi yang dijadikan data
primer.
2) Data sekunder, yakni data penunjang yang bersumber dari buku—
perspektif tokoh lain—artikel, paper, jurnal dan makalah-makalah
yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Dalam hal ini penulis
menggunakan 4 buah buku yang dijadikan data sekunder, yaitu: 1)
Fiqih Lintas Agama; Nurcholis Madjid dkk, 2) Majalah Nikah Beda
Agama Melanggar HAM; M. Abdurrahman, 3) Ayat Al-Ahkam;, 4)
Hukum Perkawinan di Indonesia; Muhammad Anshary, dan berbagai
situs di internet.
3. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini terfokus pada kajian penafsiran dan pemikiran tokoh,
oleh karena itu dalam hal pengumpulan data, penulis melakukan
pengkajian dengan menggunakan metode penelitian pustaka (library
recearch method). Menurut Keraff, penelitian kepusatakaan merupakan
suatu jalan untuk meneliti orang-orang yang terkenal dalam suatu bidang
pengetahuan ataupun untuk mengetahui pengalaman-pengalaman mereka
12

dengan cara mengkaji karya-karya tulis mereka.21 Dalam hal ini penulis
akan mengumpulkan segala informasi yang ada, dimulai dengan
mengumpulkan kitab Tafsir al-Qurthubi. Sekaligus penulis juga akan
menelusuri beberapa literatur lain yang berkaitan dengan pemikiran
seorang tokoh dan topik ini sebagai data sekunder.
4. Metode Analisa Data
Dalam menganalisa data, penulis menggunakan beberapa metode
penelitian sebagai berikut:
1) Interpretasi, penulis melakukan tela’ah terhadap penafsiran al-
Qurthubi dalam kitab Tafsir al-Qurthubi yang menjadi objek kajian
ini, agar sedapat mungkin diketahui pokok-pokok pikirannya secara
khas.
2) Koherensi intern, agar dapat memberikan interpretasi yang tepat
terhadap isi kitab, semua konsep-konsep dan aspek dilihat menurut
keselarasannya satu sama lain. Ditetapkan inti pemikiran yang
mendasar, dan topik yang sentral di dalamnya, diteliti susunan logis-
sistematis dalam urutan-urutannya.
3) Deskripsi, yaitu dengan menguraikan seluruh konsepsi tokoh secara
teratur yang menjadi objek penelitian ini.

21
Gorys Keraff, Komposisi (Flores NTT: Nusa Indah, 1997), hlm. 165.
13

BAB II
TEMUAN PENELITIAN

A. Kajian Pustaka
1. Penjelasan Istilah Pernikahan Beda Agama
Pernikahan atau perkawinan adalah terjemahan dari kata nakaha dan
zawaja. Dalam Al-Qur’an kata nakaha dalam berbagai bentuknya terulang
23 kali, sedangkan kata zawaja dalam berbagai bentuknya ditemukan tidak
kurang dari 80 kali.22 Nikah dalam dalam BahasaArab bermakna (al-wath’u)
yakni bersetubuh/berhubungan intim, atau juga bisa bermakna
penyambungan atau penghubungan. Sementara menurut kamus Munawwir,
arti lafaz nikah ialah berkumpul atau menindas, setubuh dan senggama.23
Sedangkan di kalangan ulama ushul, terminologi nikah berkembang dua
macam pendapat tentang arti lafaz nikah,yaitu: nikah menurut arti aslinya
(arti hakiki) adalah setubuh dan menurut arti majazi (metaforis) adalah akad
yang dengan akad ini menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan
wanita, demikian menurut golongan Hanafi. Nikah menurut arti aslinya
ialah akad yang dengan akad ini menjadi halal hubungan kelamin antara pria
dan wanita, sedangkan menurut arti majazi ialah setubuh, demikian menurut
ahli ushul golongan Syafi’iyah.24
Meski pendapat di atas mengemukakan bahwa pada dasarnya
perkawinan adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan laki-
laki hak memiliki penggunaan faraj wanita dan seluruh tubuhnya untuk

22
Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Wawasan Al-Qur'an. Diakses dari:
https://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Quraish/Wawasan/Nikah1.html (14 Januari
2022-Pukul 06:28)
23
A. W. Munawwir. (2002). Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap.
Surabaya: Pustaka Progressif. hlm. 1461.
24
Ibnu Radwan Siddik Turnip. Perkawinan Beda Agama: Perspektif Ulama
Tafsir, Fatwa Mui dan Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Diakses dari:
https://jurnal.staialhidayahbogor.ac.id/index.php/alt/article/download/1337/752
(14 Januari 2022-Pukul 06:42)
14

berhubungan badan atau merupakan sesuatu yang hanya berurusan dengan


duniawi saja, akan tetapi perkawinan dalam Islam memiliki pandangan
bahwa pernikahan tidak hanya pengaturan aspek biologis(sesuatu yang
terhubung dengan proses alami dari makhluk hidup seperti kelahiran)
semata, melainkan persoalan psikologis(tingkah laku manusia dan
hubungan-hubungan antar manusia), sosiologis(berupaya memahami
tindakan-tindakan sosial), dan teologis(pengajaran mengenai Allah dan hal-
hal ilahi yang dinyatakan Allah di dalam FirmanNya.). Karena di dalam
pernikahan, terdapat pertanggungjawaban kepada istri dan anak, masyarakat
bahkan kepada Allah.
Sehingga dapat dipahami, bahwa yang dimaksudkan dengan
perkawinan beda agama atau bisa disebut juga perkawinan antar agama
adalah perkawinan yang dilakukan antara lakilaki dan perempuan yang
masingmasing berbeda agama. Pernikahan antara laki-laki atau perempuan
muslim dengan laki-laki atau perempuan non muslim. Perkawinan antar
agama ini kadangkala disebut perkawinan campuran (Interreligious
marriage).25
Pengertian perkawinan beda agama menurut Rusli, SH dan R. Tama,
SH menyatakan bahwa perkawinan antar agama merupakan ikatan lahir dan
batin antara seorang pria dan seorang wanita, yang karena berbeda agama,
menyebabkan tersangkutya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-
syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum
agamanya masing-masing, dengan tujuan untuk membentuk keluarga
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.26

25
Tiurma Magihut Pitta Allagan. 2009. Perkawinan Campuran Di Indonesia
Ditinjau Berdasarkan Sejarah Hukum, Periode 1848-1990. Diakses dari:
http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/196 (14 Januari 2022-Pukul
07:08)
26
Ana Lela F. CH, Ken Ismi Rozana, Shifa Khilwiyatul Muthi’ah. 2016. Fikih
Perkawinan Beda Agama Sebagai Upaya Harmonisasi Agama: Studi Perkawinan
Beda Agama di Jember. Diakses dari:
https://media.neliti.com/media/publications/61778-ID-fiqh-perkawinan-beda-
agama-sebagai-upaya.pdf (14 Januari 2022-Pukul 07:16)
15

Pengertian lain datang dari I Ketut Mandra, SH dan I ketut Artadi SH


yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita yang masing-masing berbeda
agamanya dan mempertahankan perbedaan agamanya itu sebagai suami istri
dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan yang maha Esa. Sedangkan menurut Abdurrahman,
menyatakan bahwa perkawian antara agama yaitu suatu perkawinan yang
dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang
berbeda satu dengan yang lainnya. Dari rumusan pengertian perkawinan
antar agama oleh para sarjana tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud adalah perkawinan antara dua orang yang berbeda agama dan
masing-masing tetap mempertahankan agama yang dianutnya.27

2. Pernikahan Beda Agama Perspektif Majlis Ulama Indonesia


Masalah perkawinan beda agama selalu menjadi pembahasan hangat,
tidak hanya oleh publik dalam negeri, tetapi juga merupakan problem di
banyak negara. Di Indonesia, persoalan ini telah mendapat perhatian serius
dari para ulama di Tanah Air. Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1980
telah mengeluarkan fatwa yang ditanda tangani oleh Prof. Dr. Hamka
berkenaan dengan pernikahan beda agama. MUI memfatwakan: (1)
“perkawinan wanita muslimah dengan lelaki non muslim adalah haram
hukumnya”, (2) “seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita
bukan muslim. Tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita
Ahli Kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa
mafsadahnya (kerusakannya) lebih besar daripada maslahatnya, Majelis
Ulama Indonesia menfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram.28

27
Ibid.
28
Nashih Nashrullah. 2020. Nikah Beda Agama Menurut Fatwa MUI, NU, dan
Muhammadiyah. Diakses dari: https://republika.co.id/berita/q44bao320/nikah-beda-
agama-menurut-fatwa-mui-nu-dan-muhammadiyah (11 Januari 2022-Pukul 08:49)
16

Fatwa MUI ini kembali dipertegas lagi dengan keluarnya Fatwa MUI
Nomor:4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama pada
tanggal 28 Juli tahun 2005. Substansi isi dalam fatwa ini sebenarnya tak jauh
berbeda dengan fatwa yang dikeluarkan pada 1980. Bahwa, perkawinan
beda agama adalah haram dan tidak sah. Fatwa MUI ini menyatakan setelah
mempertimbangkan bahwa perkawinan beda agama sering menimbulkan
keresahan di tengah-tengah masyarakat, mengundang perdebatan di antara
sesama umat Islam, memunculkan paham dan pemikiran yang
membenarkan perkawinan beda agama dengan dalih Hak Asasi Manusia
dan kemaslahatan, maka dengan bersandarkan pada Alqur`an, hadis Nabi
SAW, kaidah fikih: dar`u al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih, dan
kaidah sadd adz-dzari‘ah, maka MUI menetapkan bahwa perkawinan laki-
laki muslim dengan wanita ahli kitab adalah haram dan tidak sah. keputusan
ini kemudian didukung oleh organisasi masyarakat Islam seperti Nahdatul
Ulama dan Muhammadiyah.29
Menurut hemat penulis (Nurcholis Madjid dkk.), Fatwa MUI ini
merupakan keputusan yang bijak dan tepat untuk konteks keindonesiaan
sekarang ini mengingat semakin surutnya nilai-nilai keislaman dalam
masyarakat muslim, dekadensi moral dan iman, akibat dari kehidupan yang
semakin kompleks dan global. Kerusakan (mafsadat) yang akan diterima
dari pernikahan antara seorang muslim dengan non-muslim lebih besar bila
dibanding dengan kemaslahatan yang akan diterima. Walaupun sebagian
ulama ada yang membolehkan seorang laki-laki muslim menikahi wanita
Ahli Kitab dalam hal ini Yahudi dan Kristen, tetapi sangat sulit untuk
menemukan laki-laki yang betul-betul teguh imannya, kuat keyakinannya
sehingga dapat membimbing isterinya yang Ahli Kitab ke jalan yang benar
sebagaimana yang pernah dipraktekkan oleh sebahagian para sahabat

29
ADMINISTRATOR. 2019. Nikah Beda Agama. Diakses dari:
https://indonesia.go.id/kategori/komoditas/1541/nikah-beda-agama (11 Januari
2022-Pukul 09:00)
17

sebelum akhirnya dilarang oleh Khalifah Umar ibn Khattab. Apalagi bila
term Ahli 70Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4/MUNAS
VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama. Kitab ini lebih diperluas
lagi sebagaimana yang diungkapkan oleh Rasyd Ridha yang tidak hanya
kepada agama Yahudi dan Kristen saja, tetapi bisa juga wanita-wanita yang
beragama ardhi yang memiliki kitab seperti Hindu dan Budha yang telah
menjadi pijakan berpikir sebagian sarjana Islam di Indonesia untuk
membolehkan pernikahan beda agama.30
Imam al-Ghazali mengemukakan bahwa pada prinsipnya, al-maslahah
adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka
menjaga dan memelihara maqaṣid alsyari‘ah (tujuan-tujuan syariat). Istilah
al-maṣlaḥah pada dasarnya mengandung arti menarik manfaat dan menolak
mudarat. Akan tetapi, bukan itu yang kami maksud, sebab menarik manfaat
dan menolak mudarat adalah tujuan makhluk (manusia), sedangkan
kebaikan bagi makhluk (manusia) ada dengan tercapainya tujuan mereka.
Yang kami maksudkan dengan maṣlaḥat ialah memelihara tujuan syariat
(maqaṣid al- syariah). Tujuan syariat itu ada lima; memelihara agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta mereka. Setiap usaha untuk memelihara prinsip
ini disebut almaṣlaḥat dan setiap upaya merusak, mencederai adalah
mafsadatdan menolaknya adalah al-maṣlaḥah itu sendiri. Bila kita merujuk
kepada teori al-maslahat Imam Ghazali ini, tampak jelas bahwa memelihara
agama merupakan pioritas pertama dan utama dibanding yang lain. Efek
dari pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki muslim dengan
wanita non muslim ternyata hanya akan melahirkan konflik yang terus
menerus dan dapat merusak dari tujuan perkawinan yaitu menciptakan
keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Kemungkinan terjadinya
permurtadan yang terjadi di kalangan umat Islam akibat dari perkawinan

30
Ibnu Radwan Siddik Turnip. Perkawinan Beda Agama: Perspektif Ulama
Tafsir, Fatwa Mui dan Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Diakses dari:
https://jurnal.staialhidayahbogor.ac.id/index.php/alt/article/download/1337/752
(11 Januari 2022-Pukul 09:34)
18

beda agama ini tidak menjadi rahasia lagi, apalagi bila seorang laki-laki
muslim yang lemah imannya menikahi wanita non muslim yang militan dan
fanatik dalam agamanya.31

3. Pernikahan Beda Agama Perspektif Hukum Keluarga Islam di


Indonesia
Bila kita kaitkan dengan hukum keluarga Islam di Indonesia, maka
keputusan MUI tentang larangan umat Islam menikahi non-muslim sangat
sejalan dan menurut hemat penulis harus senantiasa dipertahankan. Di
Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan diatur dalam Undangundang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Kedua produk perundang-
undangan ini mengatur masalah yang berkaitan dengan perkawinan
termasuk perkawinan antar agama. Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun
1974 pada pasal 2 ayat (1) disebutkan: “Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu”. Hal senada diterangkan beberapa pasal dalam kompilasi hukum Islam
sebagai berikut:
Pasal 40: Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria
dengan seorang wanita karena keadaan tertentu;
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan
dengan pria lain;
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Pada pasal 40 huruf (c), diterangkan bahwa dilarang melangsungkan
perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan
tertentu yaitu seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Pasal 44: “seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”.

31
Ibid.
19

Pasal 61 : "Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah


perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-
dien"32
Dengan demikian, menurut penjelasan pasal-pasal tersebut bahwa
setiap perkawinan yang dilaksanakan dalam wilayah hukum Indonesia harus
dilaksanakan dalam satu jalur agama, tidak boleh dilangsungkan
perkawinan masing-masing agama, dan jika terjadi maka hal tersebut
merupakan pelanggaran terhadap konstitusi.
Sejak disahkannya undang-undang perkawinan nasional pada tahun
1974, masyarakat Indonesia masih dibingungkan dengan suatu kenyataan
akan berlangsungnya perkawinan beda agama yang dilakukan oleh beberapa
orang dinegara ini, karena dalam undang-undang perkawinan nasional yang
telah disahkan tersebut tidak ditemukan suatu peraturan yang secara tegas
mengatur maupun melarang tentang perkawinan beda agama. Sehingga bisa
dikatakan menimbulkan suatu kekosongan hukum. Tidak diaturnya
perkawinan beda agama secara eksplisit dalam UU No. 1 Tahun 1974
menyebabkan perbedaan interpretasi terhadap Pasal 2 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974. Hal tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum bagi
pasangan yang melakukan perkawinan beda agama sedangkan perkawinan
beda agama di Indonesia tidak dapat dihindarkan sebagai akibat keadaan
masyarakat yang heterogen.33

32
Padli Yannor. 2019. Menelaah Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum
Positif. Diakses dari:
https://www.jdih.tanahlautkab.go.id/artikel_hukum/detail/menelaah-perkawinan-
beda-agama-menurut-hukum-positif (13 Januari 2022-Pukul 05:51)
33
Diana Kusumasari, S.H., M.H.. 2011. Kawin Beda Agama Menurut Hukum
Indonesia. Diakses dari:
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl290/hukum-nikah-beda-
agama-yang-berlaku-di-indonesia/ (13 Januari 2022-Pukul 06:05)
20

KHI ini berlaku hanya berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres),


tentunya masih sangat jauh posisinya dibandingkan undang-undang dalam
hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.34
Mengingat itu, sudah sepantasnya lah KHI ini ditetapkan menjadi
Undang-undang, mengingat usianya yang sudah 29 tahun sejak dilahirkan
pada tahun 1991, agar kekuatan hukumnya lebih kuat sehingga ketentuan
larangan pernikahan beda agama ini akan lebih tegas lagi diterapkan di
Indonesia.
4. Pernikahan Beda Agama Menurut Imam Madzhab
a. Pernikahan Beda Agama Menurut Madzhab Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria
muslim dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi
membolehkan mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani),
sekalipun ahlul kitab tersebut meyakini trinitas, karena menurut mereka
yang terpenting adalah ahlul kitab tersebut memiliki kitab samawi.
Menurut mazhab ini yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah siapa saja
yang mempercayai seorang nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah
S.W.T., termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim
alaihissalam dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada nabi Musa
AS dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini. Bahkan
menurut mazhab ini mengawini wanita ahlul kitab zimmi atau wanita
kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut
mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada di darul harbi
hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan
mengandung mafasid yang besar, sedangkan perkawinan dengan wanita
ahlul kitab zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka adalah karena

34
Asril. 2015. Eksistensi Komplikasi Hukum Islam Menurut Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Diakses dari: https://media.neliti.com/media/publications/40423-ID-eksistensi-
kompilasi-hukum-islam-menurut-undang-undang-nomor-12-tahun-2011-tenta.pdf
(13 Januari 2022-Pukul 06:37)
21

wanita ahlul kitab zimmi ini menghalalkan minuman arak dan


menghalalkan daging babi.35
b. Pernikahan Beda Agama Menurut Madzhab Imam Malik
Madzhab Maliki tentang perkawinan lintas agama ini mempunyai
dua pendapat, yaitu 1) menikah dengan wanita kitabiyah hukumnya
makruh mutlak, baik dzimmiyah (wanita-wanita non-muslim yang
berada diwilayah atau negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun
wanita harbiyah, namun makruhnya menikahi wanita harbiyah lebih
besar. Akan tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang kitabiyah ini
akan mempengaruhi anakanaknya dan meninggalkan agama ayahnya,
maka hukumnya haram; dan 2) Tidak makruh mutlak karena ayat
tersebut tidak melarang secara mutlaq. Metodologi berfikir madzhab
maliki ini menggunakan pendekatan sad al-zariyan (menutup jalan yang
mengarah kepada kaemafsadatan), jika dikhawatirkan kemafsadatan
yang akan muncul dalam perkawinan beda agama ini, maka
diharamkan.36
c. Pernikahan Beda Agama Menurut Madzhab Imam Syafi‟i
Imam Syafi’i berkata; Allah tabarokawataala berfirman dalam Al-
Mumtahanah Ayat 10, setelah itu turunlah rukhsah (keringanan) yang
menghalalkan wanita-wanita merdeka dari kalangan ahli kitab hal ini
sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam Surat Al-Ma’idah Ayat 5
sebelumnya.
Ketetapan Allah Subhanahu wataala yang membolehkan menikahi
wanita-wanita merdeka di kalangan ahli kitab merupakan dalil yang
mengharamkan menikahi wanita-wanita budak mereka, karena telah
dikenal dalam bahasa; apabila suatu sifat disebutkan dalam kalimat yang

35
J. Shodiq, Misno, dan Abdul Rosyid. 2019. Pernikahan Beda Agama Menurut
Imam Madzhab dan Hukum Positif di Indonesia. Diakses dari:
https://jurnal.staialhidayahbogor.ac.id/index.php/am/article/download/543/426 (14
Januari 2022-Pukul 09:39)
36
Ibid.
22

berkonotasi penghalalan atau pengharaman, maka hal ini menjadi dalil


bahwa yang berada di luar sifat tersebut, tidak masuk dari kalimat tadi.
Beliau (Imam Syafi‟i) juga berpendapat bahwa apabila seorang
wanita masuk Islam atau dilahirkan dalam keadaan Islam, atau salah
seorang dari kedua orang tuanya masuk Islam, sementara dia masih anak-
anak dan belum mencapai usia balig. Maka haram atas setiap lelaki
musyrik, ahli kitab, atau penyembah berhala untuk menikahinya dalam
segala keadaan. Apabila kedua orang tuanya musyrik, lalu disebutkan
kepadanya sifat-sifat Islam, dan ia memahaminya, maka saya melarang
wanita di nikahi oleh laki-laki musyrik. Namun bila disebutkan
kepadanya sifat-sifat Islam namun ia tidak memahaminya, maka saya
lebih menyukai untuk laki-laki musyrik dilarang untuk menikahinya.
Imam Syafi‟i juga berpendapat bahwa dihalalkan menikahi wanita-
wanita merdeka Ahli kitab bagi setiap muslim, karena Allah S.W.T.
menghalalkan mereka tanpa pengecualian. Wanita-wanita Ahli kitab
yang merdeka dan boleh dinikahi adalah pengikut dua kitab yang
masyhur yakni; Taurat dan Injil dan mereka adalah Yahudi dan Nasrani.
Adapun Majusi, tidak masuk dalam golongan itu. Dihalalkan pula
menikahi wanita-wanita dari golongan Syabiun dan Samirah dari
kalangan yahudi dan Nasrani yang dihalalkan mengawini wanita mereka
dan memakan hewan sembelihan mereka. Namun bila diketahui bahwa
mereka menyelisihi orang-orang yang menghalalkan apa yang dihalalkan
dalam al kitab dan mengharamkan apa yang diharamkannya, maka pada
kondisi demikian diharamkan menikahi wanita-wanita mereka
sebagaimana diharamkannya menikahi wanita-wanita Majusi.37
d. Pernikahan Beda Agama Menurut Madzhab Imam Hambali
Mazhab Hambali mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-
wanita musyrik, dan boleh menikahi wanita Yahudi dan Narani.
Mazhab ini lebih kebanyakan pengikutnya cenderung mendukung

37
Ibid.
23

pendapat guru Ahmad bin Hambal, yaitu Imam Syafi‟i. Tetapi tidak
membatasi, bahwa yang termasuk ahlu al-kitab adalah Yahudi dan
Nasrani dari Bangsa Israel saja, tetapi menyatakan bahwa wanita-
wanita yang menganut agama Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi
Muhammad belum diutus menjadi Rasul.38
Berdasarkan uraian di atas, telah dijelaskan bahwa ulama Imam
Madzhab sepakat untuk mengharamkan pernikahan antara laki-laki muslim
dengan wanita musyrik dan membolehkan pernikahan antara lakilaki
muslim dengan wanita ahlul kitab yakni Yahudi dan Nasrani. Akan tetapi,
yang dimaksud oleh Imam Madzhab tentang wanita ahlul kitab (Yahudi dan
Nasrani) di sini adalah karena wanita ahlul kitab pada zaman dahulu berbeda
dengan wanita ahlul kitab pada zaman sekarang.
Pada zaman dahulu wanita ahlul kitab mengimani kitab-kitab mereka
yang belum banyak adanya perubahan dan wanita ahlul kitab pada zaman
dahulu tidak berpengaruh terhadap pemikiran dan keyakinan laki-laki
muslim (suami). Adapun pada saat ini, mereka wanita ahlul kitab mayoritas
tidak memahami isi dan kandungan kitab-kitab mereka yang sesungguhnya,
karena sudah banyaknya perubahan. Dengan demikian, penulis
menyimpulkan bahwa pendapat Imam Madzhab tentang pembolehan
pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab hanya sebatas
pada zaman mereka. Jika dianalisis berdasarkan apa yang telah disebutkan
di atas sesuai dengan realita sekarang, maka sudah barang tentu Imam
Madzhab akan mengharamkan pernikahan beda agama tanpa terkecuali.

38
Ibid.
24

B. Profil Singkat Kehidupan Al-Qurthubi


1. Riwayat Hidup
Nama lengkap beliau yaitu al-Imâm Abû Abdillâh Muhammad bin
Ahmad bin Abû Bakar bin Farh al-Anshorî al-Khazrajî al-Andalusî Imâm Al-
Qurthubî al-Mufassir, atau yang dikenal dengan panggilan Imâm Al-
Qurthubî. Imâm Al-Qurthubî sendiri adalah nama suatu daerah di Andalusia
atau yang sekarang ini disebut spanyol, yaitu Cordoba, yang dinisbahkan
kepada al-Imâm Abu Abdillah Muhammad, tempat dimana ia dilahirkan,
namun yang jelas Imâm Al-Qurthubî hidup ketika waktu itu wilayah Spanyol
berada di bawah pengaruh kekuasaan dinasti Muwahhidun yang berpusat di
Afrika Barat dan Bani Ahmar di Granada (1232-1492 M) yaitu sekitar abad
ke-7 Hijriyah atau ke 13 Masehi.2 Ia berkelana ke negeri timur dan menetap
di kediaman Abu al-Hushaib (di selatan Asyut, Mesir). Ia merupakan salah
seorang hamba Allah yang saleh dan sudah mencapai tingkatan ma'rifatullah.
Ia sangat zuhud terhadap kehidupan dunia. Dirinya selalu disibukkan oleh
urusan-urusan akhirat. Usianya dihabiskan untuk memberikan bimbingan,
beribadah, dan menulis.
Imâm Al-Qurthubî adalah salah satu ulama bidang tafsîr yang cerdas,
produktif, dan banyak mendapat apresiasi dari kalangan ulama. Adz-Dzahabî
(w. 784) menerangkan bahwa Imâm Al-Qurthubî adalah seorang Imâm yang
memiliki ilmu yang luas dan mendalam. Dia memiliki sejumlah karya yang
50 sangat bermanfaat dan menunjukkan betapa luas pengetahuannya dan
sempurna kepandaiannya.
Sejak kecil beliau hidup di daerah orang-orang yang mencintai ilmu.
Orang tua beliau adalah orang yang mencintai ilmu, sedangkan kota
Qurthubah termasuk pusat ilmu di daerah Andalusia ketika itu. Kelompok
kajian agama tersebar luas di masjid-masjid seluruh penjuru kota, sehingga
beliau leluasa belajar ilmu yang dikehendaki. Oleh karenanya, sejak kecil
beliau sudah mempelajari Al-Qur‟ân , bahasa dan syair. Apa yang dipilih oleh
beliau dipandang aneh, karena kebanyakan teman-teman sebayanya belajar
Al-Qur‟ân saja. Ternyata hasil belajar bahasa Arab dan syair mempermudah
25

beliau mempelajari bahkan memahami Al-Qur‟ân. Selama hidupnya, beliau


terkenal sebagai hamba Allah yang shalih, seorang ulama yang mengenal
Allah, berlaku zuhud terhadap dunia serta sibuk dengan perkara yang
bermanfaat bagi diri beliau di kehidupan akhirat. Waktu beliau digunakan
untuk beribadah kepada Allah dan mengarang buku yang sangat bermanfaat.
Sehingga beliau termasuk ulama yang sangat produktif melahirkan buku yang
bermanfaat bagi orang banyak.
Imâm Al-Qurthubî hidup di Cordoba pada abad-abad akhir kemajuan
gemilang umat Islam di Eropa disaat Barat masih tenggelam dalam
kegelapan. Cordoba yang sekarang yaitu kota Kurdu yang terletak di lembah
sungai besar dan lambat laun kota itu menjadi kota kecil. Sedikit demi sedikit
pecahan kota 51 yang didiami muslim sekitar 86 kota semakin berkurang,
berapa jumlah harta simpanan desa yang tidak terlindungi, alias hilang.
Sedikitnya di Cordoba terdapat 200 ribu rumah, 600 Masjid, 50 rumah sakit,
80 sekolah umum yang besar, 900 pemandian. Jumlah buku sekitar 600 ribu
kitab lebih, yang kemudian dikuasai oleh Nasrani pada tahun 1236 M. Bangsa
Arab menguasai Cordoba pada tahun 711 M, hingga mencapai masa
puncaknya pada periode Bani Umayyah tahun 856 H/1031 yang mengangkat
dan memajukan negara-negara Eropa. Cordoba jatuh setelah daulah
umuwiyah kalah dan tunduk pada tahun 1087 M yang kemudian dikuasai oleh
kerajaan Qosytalah Fardinand yang ketiga tahun 1236 M. Itulah sekilas
perjalanan zaman dan tempat hidupnya Imâm Al-Qurthubî.
Imâm Al-Qurthubî dikenal memiliki semangat kuat dalam menuntut
ilmu. Ketika Perancis menguasai Cordoba pada tahun 633 H/1234 M, ia pergi
meninggalkan Cordoba untuk mencari ilmu ke negeri-negeri lain yang ada di
wilayah Timur. Imâm Al-Qurthubî kemudian rihlah thalabul „ilmu menulis
dan belajar dengan ulama-ulama yang ada di Mesir, Iskandariyah, Mansurah,
al-Fayyun, Kairo, dan wilayah-wilayah lainnya, hingga akhirnya beliau wafat
pada malam Senin tanggal 9 Syawal tahun 671 H/1272 M dan dimakamkan
di Munyaa kota Bani Khausab, daerah Mesir Utara.
26

2. Karya-karya Imâm Al-Qurthubî


Kecintaan terhadap ilmu Imâm Al-Qurthubî tuangkan dalam menulis
sebuah kitab. Karena kezuhudan, kearifannya, ia korbankan waktunya hanya
untuk beribadah dan mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Karya-karya
yang beliau tuangkan dalam bentuk sebuah kitab meliputi beberapa bidang,
diantaranya: bidang hadîs, tafsîr, fikih, qira‟at dan lain sebagainya. Adapun
karya Imâm Al-Qurthubî yang terkenal adalah:
1. Al-Jâmi‟ lī Ahkâm Alqurân. Kitab tafsir yang paling besar dan merupakan
tafsir bercorak fiqh.
2. At-Tadzkaru bi al-Umuri al-Ȃkhirati.
3. Al-I‟lam bima fi Din al-Nasara min al-Mafâsid wa Awham wa Kazhar
Mahâsin al-Islâm. Dicetak di Mesir oleh Dar al-Turats al-‘Arabi.
4. Syarh al-Tuqsho fi al-Hadis al-Nabawi.
5. Al-Tadzkirah fi Ahwâl al-Mauti wa Umur al-Ȃkhirah, diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia sebagai "Buku Pintar Alam Akhirat" yang
diterbitkan di Jakarta tahun 2004. Cetakan terbaru tahun 2014 ada kitab
Mukhtashor-nya yang ditulis oleh Fathi bin Fathi al-Jundi.
6. Al-I‟lam fi Ma‟rifati Maulid al-Mustafa „alaih al-Shalât wa al-Salâm,
terdapat di Maktabah Tub Qabi, Istanbul.
7. Al-Ashnâfi Syarkhi al-asama‟ al-Husna.
8. At-Tadzkaru fi Afdhâli al-Adzkâri. Berisi tentang penjelasan kemuliaan
Al-Qur‟ân . dicetak pada tahun 1355 M di Kairo.
9. Syarh al-Taqssi.
10. Minhaj al-„Ibâd wa Mahâjah al-Sâlikin wa al-Zihâd.
11. Urjuzah Fi Asmâ‟ al-Nabi SAW. Kitab ini disebutkan dalam kitab al-
Dibaj al-Zahab karya Ibn Farh.
12. Al-Taqrîb li Kitâb al-Tamhid.
13. Risâlah fi Alqâb al-Hadits.
14. Al-Muqbis fi Syarhi Muwatha Malik bin Anas.
15. Al-Aqdiyah.
16. Al-Misbah fi al-Jâm‟i baina al-Af‟al wa al-Shihah (fi „Ilmi Lugah).
27

17. Al-Luma‟ al-Lu‟lu‟iyah fi al-„Isyrinat al-Nabawiyah wa ghairiha


3. Guru-guru Imâm Al-Qurthubî
Perjalanan Imâm Al-Qurthubî dalam mencari ilmu dari satu ke tempat
yang lain, banyak berkenalan dengan orang-orang yang memberikan
kontribusi keilmuan dan perkembangan intelektualitasnya (tsaqafah).
Aktivitas intelektualitas (tsaqafah) Al-Qurthubî terbagi menjadi dua tempat,
pertama ketika di Cordoba Andalusia dan kedua di Mesir. Sewaktu di
Cordoba ia sering belajar dan menghadiri halaqah-halaqah yang biasa
diadakan di masjid-masjid, madrasah para pembesar, hal ini didukung dengan
maraknya pembangunan madrasah-madrasah dan koleksi perpustakaan di
setiap ibu kota dan perguruan tinggi yang menjadi salah satu pusat sumber
ilmu pengetahuan di Eropa dalam waktu yang lama, dari sinilah
intelektualitas pertama Imâm Al-Qurthubî di mulai. Berikut ini diantara
nama-nama syeikhnya di Cordoba:
1. Abu Ja‟far Ahmad bin Muhammad bin Muhammad al-Qaisi, yang dikenal
dengan sebutan Ibn Abi Hijah. Beliau adala seorang al-Muqri dan ahli
nahwu (w. 643 H). Beliau adalah guru Al-Qurthubî yang pertama.
2. Al-Qâdhi Abû „Amîr Yahya bin „Amîr bin Ahmad bin Muni‟.
3. Yahya bin „Abdurrahman bin Ahmad bin „Abdurrahman bin Rabi‟.
4. Ahmad bin Muhammad bin al-Qaisi, yang dikenal Ibn Abû Hujjah.
5. Abu Sulaiman Rabi‟ bin al-Rahman bin Ahmad al-Asy‟ari Al-Qurthubî.
Beliau adalah seorang hakim di Andalusia hingga jatuh ke tangan Perancis.
Beliau berpindah ke Syubailiah hingga meninggal di sana pada tahun 632
H.
6. Abû „Amîr Yahya bin Abd al-Rahman bin Ahmad al-Asy‟ari (w. 639),
beliau dikenal seorang ahli hadîs, fikih, teolog dan fikih.
7. Abû Hasan Ali‟ bin Abdullah bin Muhammad bin Yûsuf al-Ansharî Al-
Qurthubî al-Maliki yang dikenal dengan sebutan Ibnu Qutal, pernah
menjabat sebagai seorang hakim, wafat di Marakisy tahun 651 H.
8. Abû Muhmmad Abdullah bin Sulaiman bin Daud bin Hautillah al-Ansharî
al-Andalusia (w. 612 H). Beliau terkenal sebagai seorang ahli hadîs di
28

Andalusia, juga seorang penyair dan ahli nahwu. Beliau pernah menjadi
Qâdhi di Cordoba dan tempat lainnya.
Adapun intelektualitas Imâm Al-Qurthubî yang diperoleh ketika di Mesir
yaitu dengan melakukan perjalanan dari Andalusia ke Mesir kemudian
menetap di kota Iskandariyah, lalu pergi melewati Kairo sampai menetap
Qaus. Selama perjalanan inilah beliau belajar dan mengajar kepada setiap
ulama yang ia jumpai. Guru-guru Imâm Al-Qurthubî ketika di Mesir,
diantaranya:
a. Abû Bakar Muhammad bin Al-Wâlid dari Andalusia yang mengajar di
madrasah al-Thurthusi.
b. Abû Thâhir Ahmad bin Muhammad bin Ibrahîm al-Ashfahani.
c. Ibnu Al-Jamizî Baha al-Din „Ali bin Hibbatullah bin Salamah bin al-
Muslim bin Ahmad bin „Ali al-Misri al-Syafi‟i.
d. Ibnu Ruwaj Rasyid al-Din Abu Muhammad „Abd al- Wahhâb bin Ruwaj.
e. Abû al-„Abbas Ahmad bin Umar bin Ibrahîm al-Maliki penulis kitab Al-
Mufhim fi Syarh Muslim. Ada yang berkata bahwa kitab Al-Tadzkirah fi
Ahwâl al-Mauta wa Umur al-Ȃkhirah juga dikarang olehnya, seorang al-
Muhaqiq yang mengarang kitab al-Mufhim fi Syarh Shahih Muslim.
Wafat pada tahun 656 H.
f. Abû Muhammad Rasyid al-Din „Abd al-Wahhâb bin Dafir, meninggal
pada tahun 648 H.
g. Abû Muhammad „Abd al-Mu‟ati bin Mahmud bin Abd Mu‟atti bin Abd
al-Khâliq al-Khamhi al-Maliki al-Faqih al-Jâhid, wafat tahun 638 H.
h. Abû „Ali al-Hasan bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad bin Amrawuk al-Bakr al-Qarsyi al-Naisaburi
al-Damasyqi al-Imâm al-Musnid, meninggal di Mesir tahun 656 H.
i. Abû al-Hasan Ali bin Hibatullah bin Salamah al-Lakhmi al-Misri al-
Syafii, meninggal pada tahun 649 H. Beliau dikenal sebagai seorang mufti
al-mukri, al-Khatib al-Musnid.
Itulah sederet nama-nama guru Imâm Al-Qurthubî yang telah
membentuk intelektualitas dan pribadinya. Pergaulannya dengan guru-guru
29

(syuyûkh dan asâtidz) yang kebanyakan menyandang gelar hakim (al-Qâdi),


ahli fikih, hadîs, bahasa Arab dan sebagainya memberi pengaruh terhadap
lahirnya karya-karya yang fenomenal dari dulu hingga sekarang.

C. Pembahasan
1. Penafsiran Al-Qurthubi tentang Hukum Menikah Beda Agama
1) QS. al-Baqarah(2): 221

‫ت تَْن ِك ُحوا َوَال‬


ِ ‫تُْن ِكحوا وَال ۗ اَ ْعجبْت ُكم َّولَو ُّم ْش ِرَك ٍة ِّمن خي ر ُّم ْؤِمنَة وَالَمة ۗۗ ي ْؤِم َّن ح ّٰت الْم ْش ِرٰك‬
ُ َ ُ َ َ َْ ْ ْ ْ ََ َ ُ
ِ ِ ِ ٍ ٰۤ ِ
َ ‫النَّا ِر ا َىل يَ ْد ُع ْو َن اُوٰل ِٕى‬
َ ْ ‫ك ۗۗ اَ ْع َجبَ ُك ْم َّولَ ْو ُّم ْش ِرك ِّم ْن َخْي ر ُّم ْؤمن َولَ َعْبد ۗۗ يُ ْؤمنُ ْوا َح ّٰت الْ ُم ْش ِرك‬
‫ني‬

ۗ ُ‫اْلَن َِّة اِ َىل يَ ْد ُع ْوٖۗٓ ا َو ٰالله‬


ْ ِ‫ني بِاِ ْذنِهۗۗ َوالْ َم ْغ ِفَرة‬ ِ ِ ‫ࣖ ي ت َذ َّكرو َن لَعلَّهم لِلن‬
ُ ِّ َ‫َّاس اٰ ٰيتهۗ َويُب‬ ْ ُ َ ْ ُ ََ

Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik,


sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang
beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki)
musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman.
Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada
laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar
mereka mengambil pelajaran”.
Ayat ini diturunkan pada Mirtsad bin Abu Mirtsad. Namanya adalah
Kanaz bin Husain Al Ghanawi. Dia diutus oleh Rasulullah SAW secara
rahasia untuk berangkat ke Makkah, guna membebaskan dua orang
sahabatnya. Sementara di Makkah dia mempunyai seorang istri yang
dicintainya pada masa jahiliyyah. Wanita itu bernama Anaq, Anaq
kemudian mendatanginya, dan Mirtsad berkata kepadanya,
“Sesungguhnya Islam mengharamkan apa yang telah terjadi pada masa
30

jahiliyah.” Anaq menjawab, “Maka kawinilah aku!” Mirtsad berkata, “aku


akan meminta izin terlebih dahulu kepada Rasulullah SAW.” Mirtsad
kemudian mendatangi Rasulullah dan meminta izin kepada beliau, namun
beliau melarang menikahi Anaq. Sebab dia adalah seorang pria muslim,
sedangkan Anaq adalah seorang wanita musyrik.
Imâm Al-Qurthubî menjelaskan tentang Firman Allah Swt yang berbunyi:
‫ت َح ّٰت يُ ْؤِم َّن‬
ِ ‫وَال تَْنكِحوا الْم ْش ِرٰك‬
ُ ُ َ
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka

beriman”, yang dimaksud dengan wanita-wanita musyrik tersebut adalah


wanita-wanita penyembah berhala dan wanita-wanita yang beragama
Majusi, hal ini dinukil dari pendapat Imâm Malik, Asy-Syafi‟i, Abû
Hanîfah, Al Auza‟i, yang melarang menikah dengan wanita Majusi.
Sedangkan Ibnu Hanbal berkata, “Hal itu tidak menarik untukku”.
Diriwayatkan bahwa Hudzaifah bin Al Yaman pernah menikahi seorang
wanita Majusi, lalu Umar berkata kepadanya, “Ceraikan dia!”.39
Imâm Al-Qurthubî menukil pendapat Ibnu Athiyah menyebutkan:
Ibnu Abbas berkata pada sebagian keterangan yang diriwayatkan darinya,
Sesungguhnya ayat ini (al-Baqarah ayat 221) adalah umum (sehingga
mencakup) setiap wanita penyembah berhala, wanita Majusi, dan wanita
Ahli Kitab. Setiap wanita yang memeluk agama selain agama Islam adalah
haram. Berdasarkan kepada hal ini, ayat ini adalah ayat yang menasakh
ayat dalam surah Al-Mâ’idah. Adapun perkataan Ibnu Umar dalam Al
Muwaththa‟ : Aku tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar
daripada seorang wanita yang mengatakan bahwa Tuhannya adalah Isa,‟
perlu dipertimbangkan. Diriwayatkan dari Umar bahwa dia memisahkan
Thalhah bin Ubaidillah dengan istrinya, Hudzaifah bin Al Yaman dengan
istrinya. Keduanya berkata,‟ kami akan menjatuhkan talak wahai Amîrul
Mu’minîn, dan janganlah engkau marah.‟ Umar berkata, “seandainya talak

39
Al-Qurthubî, Tafsîr Al Qurthubî Jilid 3, terj. Fathurrahman, Ahmad Hotib, dan
Dudi Rasyadi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2012), 152.
31

kalian dibolehkan, niscaya nikah kalian pun dibolehkan. Akan tetapi aku
akan memisahkan kalian secara paksa‟.40
Riwayat lain yang sanadnya lebih baik dari riwayat tersebut
menyatakan bahwa Umar hendak memisahkan mereka dari istri-istrinya,
Hudzaifah berkata, “Apakah engkau menganggap bahwa dia haram? Maka
pisahkanlah dia wahai Amîrul Mu‟minîn? Umar menjawab, “Aku tidak
menganggap bahwa dia haram. Akan tetapi aku takut kalian mendapatkan
wanita-wanita pezina dari kalangan mereka. Pendapat yang senada dengan
ini juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas.41
Imâm Al-Qurthubî menambahkan bahwa An-Nuhas mengatakan,
“diantara hujjah yang sah sanadnya, diceritakan kepada kami oleh
Muhammad bin Rayyan, dia berkata: Muhammad bin Rumh menceritakan
kepada kami, dia berkata: Al-Laits menceritakan kepada kami dari Nafi‟,
bahwa Abdullah bin Umar jika ditanya tentang seorang laki-laki yang akan
menikahi wanita Nasrani atau Yahudi, maka dia menjawab, „Allah telah
mengharamkan Wanita musyrik kepada orang-orang yang beriman.
Sementara aku tidak mengetahui suatu kemusyrikan yang lebih besar dari
pada seorang wanita yang mengatakan bahwa Tuhannya adalah Isa, atau
salah satu dari hamba-hamba Allah.42
Imâm Al-Qurthubî menjelaskan bahwa alasan pengharaman
tersebut telah diterangkan Allah dalam ayat setelahnya, yaitu:
‫ك يَ ْد ُع ْو َن اِ َىل النَّا ِر‬ ٰۤ
َ ‫اُوٰل ِٕى‬
“mereka mengajak ke neraka,” dimana ajakan ke neraka dijadikan
sebagai alasan hukum diharamkan menikahi mereka, maka jawabannya
adalah hal tersebut (mengajak ke neraka) merupakan jawaban untuk
firman Allah:
‫ب تْ ُك ْم‬ ٍِ ِ
َ ‫َوَالَ َمة ُّم ْؤمنَة َخ ْي ر ِّم ْن ُّم ْشرَكة َولَ ْو اَ ْع َج‬

40
Al-Qurthubî, Tafsîr Al Qurthubî jilid 3, terj… 147.
41
Al-Qurthubî, Tafsîr Al Qurthubî jilid 3, terj… 146-147.
42
Al-Qurthubî, Tafsîr Al Qurthubî jilid 3, terj… 145.
32

“Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita


musyrik”, sebab orang musyrik itu mengajak ke neraka. Alasan hukum ini
berlaku pula untuk orang-orang kafir.
Imâm Al-Qurthubî menjelaskan bahwa ketika ada pilihan antara
wanita musyrik dengan wanita budak mukmin maka diharuskan untuk
memilih wanita budak mukmin, sebagaimana firman Allah Swt :
‫ُّم ْش ِرَك ٍة ِّم ْن َخْي ر ُّم ْؤِمنَة َوَالَ َمة‬

“Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita


musyrik”. Firman Allah ini merupakan penegas bahwa budak perempuan
beriman lebih baik daripada seorang wanita musyrik, meskipun wanita
musyrik itu mempunyai kedudukan dan kekayaan,
‫ب َولَ ْو‬
َ ‫تْ ُك ْم اَ ْع َج‬
“Walaupun dia menarik hatimu”.
Ayat ini diturunkan tentang Khansa, Ibu Sauda, budak perempuan
Hudzaifah bin Al Yaman. Hudzaifah berkata kepadanya, “Wahai Khansa,
sesungguhnya engkau telah disebutkan di Al Mala‟ Al A‟la meskipun
engkau hitam dan legam. Allah juga menurunkan namamu di dalam-Nya.
“Hudzaifah kemudian memerdekakan dan mengawininya.43
Dalam riwayat yang dikemukakan As-Suddi berkata, “ayat ini
diturunkan tentang Abdullah bin Rawahah, dia mempunyai seorang budak
perempuan yang pernah ditamparnya saat sedang marah, namun kemudian
dia menyesal. Dia datang kepada Nabi Muhammad SAW dan
memberitahukan tentang hal itu kepada beliau. Beliau bertanya “siapa dia
wahai Abdullah?” Abdullah menjawab, “dia adalah seorang budak yang
berpuasa, shalat dan menyempurnakan wudhunya dan mengucapkan dua
kalimat syahadat, Rasulullah SAW bersabda: “sesungguhnya aku benar-
benar akan memerdekakannya dan menikahinya”, dia kemudian
melakukan hal itu.

43
Al-Qurthubî, Tafsîr Al Qurthubî jilid 3, terj… 150.
33

Setelah melihat dari riwayat-riwayat yang dipaparkan Imâm Al-


Qurthubî, maka penulis menarik garis besar bahwa haram menikah
dengan wanita musyrik, karena mengikuti pendapat dari Ibnu Umar.
Imâm Al-Qurthubî pun menjelaskan dengan Surah Al-Baqarah ayat 221
yang menegaskan bahwa lebih baik menikahi wanita budak yang
mukmin daripada wanita musyrik merdeka meskipun mereka menarik
perhatianmu. Alasan pengharaman tersebut telah diterangkan Allah
dalam ayat setelahnya, yaitu :
‫ك يَ ْد ُع ْو َن اِ َىل النَّا ِر‬ ٰۤ
َ ‫اُوٰل ِٕى‬
dimana ajakan mereka ke neraka penjadi penegas diharamkannya
penikahan tersebut.
2) QS. al-Mâ’idah(5): 165

‫ت ۗۗ لَ ُك ُم اُ ِح َّل اَلْيَ ْوَم‬ ِ ِ ِ َّ ِ َّ


ُ ‫ٰب اُْوتُوا الَّذيْ َن َوطَ َع ُام الطَّيِّٰب‬
َ ‫َلُ ْم حل ۗ َوطَ َع ُام ُك ْم ل ُك ْم حل الْكت‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
‫ٰت‬
ُ ‫صن‬
َ ‫ٰت الْ ُم ْؤمنٰت م َن ۗ َوالْ ُم ْح‬ َ ‫ٰب اُْوتُوا الَّذيْ َن م َن َوالْ ُم ْح‬
ُ ‫صن‬ َ ‫اٰتَْيتُ ُم ْوُه َّن اذَاٖۗٓ قَ ْبل ُك ْم م ْن الْكت‬
ِِ ِِ ِِ ٍ ِ ِ
‫ني اُ ُج ْوَرُه َّن‬ َ ْ ‫ط فَ َق ْد بِ ْاال ْْيَان يَّ ْك ُف ْر َوَم ْن اَ ْخ َدان ۗۗ ُمتَّخذ ْيٖۗٓ َوَال ُم ٰسفح‬
َ ْ ‫ني َغْي َر ُُْمصن‬ َ ِ‫َع َملُهۗ َحب‬

‫اال ِخَرةِ ِف ۗ َوُه َو‬


ٰ ْ ‫اْل ِٰس ِريْ َن ِم َن‬
ْ ࣖ
Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.
Makanan (sembelihan) orang-orang diberi Al Kitab itu halal bagimu,
dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan
mengawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar
mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa
kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka
hapuslah amalannya dan ia hari kiamat termasuk orang-orang
merugi.” (QS. Al-Mâ‟idah [5]:5).
34

Imâm Al-Qurthubî menukil dari riwayat Ibnu Abbas tentang firman


Allah Swt: ‫ٰب‬ ِ ِ ِ ‫“ والْمحصن‬Dan wanita-wanita yang menjaga
َ ‫ٰت م َن الَذيْ َن اُْوتُوا الْكت‬
ُ َ ُْ َ
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab.” Maksudnya
Ahli Kitab yang telah mengikat perjanjian (dengan kaum muslim) dan
bukan mereka yang berada di zona perang, sehingga firman Allah ini
menjadi khusus.
Adapun kata ‫ٰت‬
ُ ‫صن‬
َ ‫ اَلْ ُم ْح‬menurut Imâm Al-Qurthubî yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abbas yaitu wanita-wanita yang menjaga kehormatan lagi
berakal.
Abu Ubaid berpendapat bahwa tidak halal menikahi budak
perempuan Ahli Kitab, berdasarkan firman Allah Swt :
ِ ‫ٰت فَ ِمن َّما ملَ َكت اَْْيَانُ ُكم ِّمن فَتَ ٰيتِ ُكم الْم ْؤِمن‬
ۗۗ ‫ٰت‬ ِ ‫الْم ْؤِمن‬
ُ ُ ْ ْ ْ َ ْ ُ
(Ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu
miliki.) QS. An-Nisâ‟ [4]:25.
Menurut satu pendapat, ketika Allah Swt berfirman,
ِ ِ ِ
‫ٰت‬ َ ‫ٰب اُْوتُوا الَّذيْ َن م َن َوالْ ُم ْح‬
ُ ‫صن‬ َ ‫الْكت‬
“Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi Al Kitab,” maka wanita Ahli Kitab berkata, “Seandainya
Allah tidak meridhai agama kami, niscaya kalian tidak diperbolehkan
ِ َ‫اال ْْي‬
untuk menikahi kami,” maka turunlah (ayat ini): ‫ان يَّ ْك ُف ْر َوَم ْن‬ ِْ ِ‫“ ب‬Barang

siapa kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam),”


maksudnya (kafir terhadap) apa-apa yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad.
Abu Al-Haitsam berkata, “Huruf ba‟ (yang terdapat pada firman
Allah:
ِ َ‫اال ْْي‬
‫ان‬ ِْ ِ‫ ب‬adalah shillah, yakni waman yakfur al îmâni (barangsiapa yang

mengingkari keimanan), maksudnya mengingkari keimanan, ‫ف‬ َ ِ‫َحب‬


َ ‫ط قَ ْد‬
35

‫‘ َع َملُه‬maka hapuslah amalannya’.”

2. Akar Pemahaman Al-Qurthubi tentang Nikah Beda Agama

Musyrik adalah orang yang menyekutukan Allah dengan sesuatu,


baik dengan menyembah benda-benda maupun menyembah Allah sambil
menyembah benda-benda. Jadi menurut mereka umat Yahudi dan Nasrani
termasuk ke dalam golongan musyrik, karena umat Yahudi mengatakan
Uzair putra Allah dan umat Nasrani mengatakan bahwa Isa putra Allah
dan juga agama-agama lain seperti Hindu, Budha, Konghucu, dan lain-lain
adalah musyrik. Sehingga umat Islam diharamkan menikahinya.

Ada pula ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan


musyrik adalah orang-orang Arab yang bukan Ahli Kitab, jadi menurut
mereka Yahudi dan Nasrani boleh untuk dinikahi karena termasuk dalam
Ahli Kitab. Begitu juga agama Hindu, Budha, Konghucu boleh dinikahi,
karena menurut mereka agama-agama tersebut juga memiliki kitab suci
dan mereka yakin bahwa agama-agama tersebut dibawa oleh Nabi utusan
Allah.
Imâm Al-Qurthubî menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
wanita-wanita musyrik adalah wanita-wanita penyembah berhala dan
wanita-wanita yang beragama Majusi, hal ini dinukil dari pendapat imam
Malik, Asy-Syafi‟i, Abû Hanifah, Al Auzâ‟i, yang melarang menikah
dengan wanita Majusi.44
Para ahli ilmu berbeda pendapat mengenai ayat ini. Satu golongan
dari mereka mengatakan bahwa di dalam Al-Baqoroh ayat 221 ini Allah
mengharamkan menikahi wanita-wanita musyrikah, dan wanita-wanita
Ahli Kitab termasuk di dalamnya. Kemudian ayat yang terdapat di dalam
Surah al-Mâ‟idah mengkhususkan wanita-wanita Ahli Kitab dari

44
Al-Qurthubî, Tafsîr Al Qurthubî jilid 3, terj… 151.
36

keumumnan ini. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Malik,


Sufyan bin Sa‟id, Abdurrahman bin Umar dan Al Auza‟i.
Imâm Al-Qurthubî menukil pendapat Ishak bin Ibrâhîm al-Harabi
yang mengatakan bahwa “sekelompok orang berpendapat untuk
menjadikan ayat 221 dalam Surah al-Baqarah sebagai ayat yang menaskh
(menghapus), sedangkan ayat dalam Surah al-Mâ‟idah sebagai ayat yang
dinasakh (dihapus). Mereka mengharamkan menikahi setiap wanita
musyrik, baik Ahli Kitab maupun selain Ahli Kitab.
An-Nuhas berkata “pendapat ini berbeda dengan pendapat
segolongan orang yang di topang oleh Hujjah. Sebab ada segolongan orang
dari kalangan sahabat maupun thabi‟in yang menyatakan bahwa menikahi
wanita Ahli Kitab adalah halal. Diantara orang-orang yang
mengemukakan pendapat ini adalah Ustman, Thalhah, Ibnu Abbas, Jabir
dan Hudzaifah, sedangkan dari kalangan thabi‟in adalah Sa‟id bin al-
Musayyab, Sa‟id bin Jubair, al-Hasan, Mujahid, Thawus, Ikrimah, Asy-
Sya‟bi dan Adh-Dhahak. Para fuqaha dari berbagai daerah juga menganut
pendapat ini, selain itu ayat dalam Surah al-Baqarah ini tidak dapat
menasakh ayat dalam Surah al-Mâ‟idah, sebab ayat dalam Surah al-
Baqarah ini merupakan hal pertama yang diturunkan di Madinah,
sedangkan ayat yang dalam Surah al-Mâ‟idah adalah hal terakhir yang
diturunkan di Madinah. Ayat yang pertama turun tidak apat menasakh ayat
yang terakhir turun.
Imâm Al-Qurthubî menjelaskan bahwa ketika ada pilihan antara
wanita musyrik dengan wanita budak mukmin maka diharuskan untuk
memilih wanita budak mukmin, sebagaimana firman Allah Swt :
‫َوَالَ َمة ُّم ْؤِمنَة َخ ْي ر ِّم ْن ُّم ْش ِرَك ٍة‬

“Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita


musyrik”. Maksud dari wanita budak di sini yaitu bukan budak yang
dimiliki oleh orang lain. Tapi, budak milik Allah karna statusnya
37

semuanya hamba inilah yang dikatakan oleh Al Qadhi Abû Al Abbas Al


Jurjani di Basrhrah.45
Dengan beberapa bukti di atas, dapat disimpulkan bahwa analisis
Al-Qurthubi dalam menafsirkan surah Al-Baqarah ayat 221 adalah
sebagai berikut.
a. Dilarang menikah dengan wanita musyrik karena hukumnya haram
b. Musyrikat adalah penyembah berhala dan wanita Majusi.
Menurut Imâm Al-Qurthubî bahwa yang dimaksud dengan Ahli
Kitab yaitu orang Yahudi dan Nashrani dari kalangan bangsa Arab.
Apakah mereka itu dari Bani Taghlib ataupun dari daerah yang lainnya.46
Imâm Al-Qurthubî menambahkan bahwa menikahi Ahli Kitab, jika
mereka adalah orang-orang yang memerangi kaum muslim maka hal itu
tidak dihalalkan. Hal ini diambil dari riwayat Ibnu Abbas yang pernah
ditanya akan hal itu, kemudian dia menjawab “itu tidak halal”
Meskipun demikian, Imâm Al-Qurthubî menjelaskan bahwa ada
pula diantara Ahli Kitab yang dapat dinikahi, seperti yang diterangkan
dalam firman Allah Swt.:
‫ٰت‬ ِ ِ ِ ِ ِ
ُ ‫صن‬
َ ‫ٰب اُْوتُوا الَذيْ َن م َن َوالْ ُم ْح‬
َ ‫بْل ُك ْم َق م ْن الْكت‬
Artinya: “(dan dihalalkan menikahi) wanit-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu”.
(QS. al-Mâ‟idah: 5), tetapi penekanannya disini adalah kebolehan
menikahi orang-orang yang diberikan al-Kitab tersebut setelah mereka
masuk Islam.

Dengan beberapa bukti di atas, dapat disimpulkan bahwa analisis


Al-Qurthubi dalam menafsirkan surah Al-Ma’idah ayat 5 adalah sebagai
berikut.
1. Al muhshanât: wanita-wanita merdeka bukan budak

45
Al-Qurthubî, Tafsîr Al Qurthubî jilid 3, terj…, 152.
46
Al-Qurthubî, Tafsîr Al Qurthubî Jilid 6, terj… 191.
38

2. Dilarang menikah dengan wanita ahli kitab karena hukumnya


haram. Terkecuali apabila wanita ahli kitab tersebut masuk Islam maka
boleh dinikahi.
3. Ahli Kitab: Yahudi dan Nasrani dari bangsa Arab, apakah dari
Bani Taghlib atau dari daerah lainnya.
39

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Hasil dari penguraian, pembahasan dan pembicaraan dalam baba-bab
sebelum ini, penulis dapat mengambil beberapa simpulan, di antaranya adalah
sebagai berikut:

1. Dalam tafsirnya, Al-Qurthubî menafsirkan bahwa Surah al-Baqarah ayat 221


adalah ayat hukum yang melarang umat muslim untuk menikahi orang musyrik.
Al-Qurthubi mengartikan kata musyrikât yang terdapat dalam Surah al-Baqarah
ayat 221 dengan wanita-wanita penyembah berhala dan wanita yang beragama
Majusi, dalam hal ini Imâm Al-Qurthubî menukil pendapat Ishak bin Ibrâhîm
al-Harabi bahwasanya mengharamkan menikahi wanita musyrik termasuk Ahli
Kitab, karena mereka menyembah selain Allah, dan juga Imâm Al-Qurthubî
melarang menikahi Ahli Kitab jika mereka memerangi orang muslim, dan ini
terdapat dalam riwayat Ibnu Abbas. Meskipun demikian, Imâm Al-Qurthubî
menjelaskan bahwa ada pula diantara Ahli Kitab yang dapat dinikahi yaitu
apabila mereka setelah masuk Islam. Adapun yang dimaksud Ahli Kitab di sini
adalah wanita Yahudi dan Nashrani wanita yang bukan budak milik orang lain
dari kalangan bangsa Arab baik dari Bani Taghlib atau dari daerah yang
lainnya.
2. Letak pemikiran Al-Qurthubi lebih condong kepada pendapat Ishak bin
Ibrâhîm al-Harabi dan Ibnu Abbas, yaitu mengharamkan menikahi wanita
musyrik termasuk Ahli Kitab, karena mereka menyembah selain Allah, dan
juga Imâm Al-Qurthubî melarang menikahi Ahli Kitab jika mereka memerangi
orang muslim.
40

B. Saran-Saran
Selain simpulan yang telah dipaparkan di atas, penulis juga akan
mengemukakan beberapa saran yang perlu mendapatkan perhatian dari pihak-
pihak yang bersangkutan:
1. Fokus penelitian ini adalah hanya terbatas pada hukum nikah beda agama,
padahal masih banyak hal lain yang ada hubungannya dengan masalah
nikah dan bisa dijadikan sebagai kontribusi dalam penelitian ini. Oleh
karena itu bagi penulis yang akan datang dan yang berminat terhadap
masalah ini untuk melengkapi kekurangan tersebut sehingga dihasilkan
penelitian yang bernilai lebih mendalam.
2. Nikah beda agama merupakan topik yang perlu di siarkan, mengingat
masih banyak dari berbagai kalangan melakukan pernikahan tersebut.
Agar penelitain tentang nikah beda agama dapat disiarkan, maka penulis
hendaklah mencari penyelesaian yang disesuaikan dengan perkembangan
pola pikir manusia.
41

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qurthubî. 2012. Tafsîr Al Qurthubî Jilid 3, terj. Fathurrahman dkk. Jakarta:


Pustaka Azzam 2012.

Madjid, Nurcholis dkk. 2004. Fiqih Lintas Agama; Membangun Masyarakat


Inklusif-Pluralis. Jakarta: Paramadina.

Anshary, Muhammad. 2015. Hukum Perkawinan di Indonesia; Masalah-masalah


Krusial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Syarief, Nashruddin, 2014. “Nikah Beada Agama Dilegalkan Syari’at?”, Risalah,


(Februari 2022). Bogor.
Abdurrahaman, Muhammad. 2014. “Nikah Beda Agama Melanggar HAM”,
Risalah, (November 2014). Sukabumi.
Muhammad, Syaikh. 2012. Ringkasan Fiqih Islam. Diakses 02 Januari 2022 di
http://books.islamway.net/id/id_06_summary_of_the_islamic_fiqh_tuwaj
re.pdf.

Rozak, Abdul. 2011. Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan Beda Agama


(Perbandingan Beberapa Negara). Diakses 02 Januari 2022 di
https://www.bphn.go.id/data/documents/pkj-2011-2.pdf.

Santoso. 2021. Marriage law. Diakses 02 Januari 2022 di


https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Yudisia/article/download/2162/
1790.

Yannor, Padli. 2019. Menelaah Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif.
Diakses 02 Januari 2022 di
https://www.jdih.tanahlautkab.go.id/artikel_hukum/detail/menelaah-
perkawinan-beda-agama-menurut-hukum-positif.

Afifah, Fia. 2021. Pernikahan dalam Islam, Ketahui Hukum serta Syarat dan
Rukunnya!. Diakses 02 Januari 2022 di
https://www.orami.co.id/magazine/pernikahan-dalam-islam/.

Chaerani, Siti. 2021. Review Buku "Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan


Seksualitas". Diakses 11 Januari 2022 di
https://www.kompasiana.com/schrani29/61850df38d947a2dbd7b9773/re
view-buku-islam-kepemimpinan-perempuan-dan-
seksualitas?page=2&page_images=1.
42

Shihab, Muhammad Quraish. 2019. Tujuan Penciptaan Manusia. Diakses 11


Januari 2022 di https://mediaindonesia.com/tafsir-al-
mishbah/238227/tujuan-penciptaan-manusia.

Hapsari, Endah. 2013. Apa Hukum Muslimah Menikah dengan Pria Non-Muslim?.
Diakses 11 Januari 2022 di https://www.republika.co.id/berita/mpdq71/apa-
hukum-muslimah-menikah-dengan-pria-nonmuslim.

Tejomukti, Ratna Ajeng. 2021. Tiga Ayat Alquran Bahas Pernikahan Beda Agama.
Diakses 11 Januari 2022 di https://www.republika.co.id/berita/qpk2lj430/tiga-
ayat-alquran-bahas-pernikahan-beda-agama-part1.

Cahyana, Aena. 2020. Larangan Perkawinan Beda Agama dalam Komlikasi


Hukum Islam Perspektif Kitab-kitab Rujukannya. Diakses 11 Januari
2022 di
http://repository.iainpurwokerto.ac.id/8805/1/Cover_Bab%20I%20_%20
Bab%20V_%20Daftar%20Pustaka.pdf.

Jalil, Abdul. 2018. Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam dan
Hukum Positif di Indonesia. Diakses 13 Januari 2022 di
https://media.neliti.com/media/publications/275121-pernikahan-beda-
agama-dalam-perspektif-h-d718141e.pdf.

Shihab, Muhammad Quraish. Wawasan Al-Qur'an. Diakses 14 Januari 2022 di


https://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Quraish/Wawasan/Nikah1.html.

Allagan, Tiurma Magihut Pitta. 2009. Perkawinan Campuran Di Indonesia


Ditinjau Berdasarkan Sejarah Hukum, Periode 1848-1990. Diakses 14
Januari 2022 di http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/196.

Muthi’ah, Shifa Khilwiyatul dkk. 2016. Fikih Perkawinan Beda Agama Sebagai
Upaya Harmonisasi Agama: Studi Perkawinan Beda Agama di Jember.
Diakses 14 Januari 2022 di
https://media.neliti.com/media/publications/61778-ID-fiqh-perkawinan-
beda-agama-sebagai-upaya.pdf.

Nashrullah, Nashih. 2020. Nikah Beda Agama Menurut Fatwa MUI, NU, dan
Muhammadiyah. Diakses 11 Januari 2022 di
https://republika.co.id/berita/q44bao320/nikah-beda-agama-menurut-fatwa-
mui-nu-dan-muhammadiyah.

ADMINISTRATOR. 2019. Nikah Beda Agama. Diakses 11 Januari 2022 di


https://indonesia.go.id/kategori/komoditas/1541/nikah-beda-agama.

Turnip, Ibnu Radwan Siddik. Perkawinan Beda Agama: Perspektif Ulama Tafsir,
Fatwa Mui dan Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Diakses 11 Januari
43

2022 di
https://jurnal.staialhidayahbogor.ac.id/index.php/alt/article/download/133
7/752.

Diana Kusumasari, S.H., M.H.. 2011. Kawin Beda Agama Menurut Hukum
Indonesia. Diakses 13 Januari 2022 di
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl290/hukum-nikah-
beda-agama-yang-berlaku-di-indonesia/.

Asril. 2015. Eksistensi Komplikasi Hukum Islam Menurut Undang-undang Nomor


12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Diakses 13 Januari 2022 di
https://media.neliti.com/media/publications/40423-ID-eksistensi-
kompilasi-hukum-islam-menurut-undang-undang-nomor-12-tahun-2011-
tenta.pdf.

Rosyid, Abdul dkk. 2019. Pernikahan Beda Agama Menurut Imam Madzhab dan
Hukum Positif di. Diakses 14 Januari 2022 di
https://jurnal.staialhidayahbogor.ac.id/index.php/am/article/download/54
3/426.
44

LAMPIRAN-LAMPIRAN
45

LEMBAR KONSULTASI DAN BIMBINGAN

Nama : Muhammad Ruslan


NISN : 0034932401
Jurusan : Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
Judul Karya Tulis Ilmiah :
HUKUM MENIKAH BEDA AGAMA MENURUT ABU ‘ABDULLAH
MUHAMMAD BIN AHMAD BIN ABU BAKR AL-ANSHARI AL-
QURTHUBI
Hari / Paraf
No Materi Konsultasi/Bimbingan
Tanggal Pembimbing

Telah dikonsultasikan dan dibimbing sesuai ketentuan dan kepadanya diberikan hak
untuk mengikuti Ujian Sidang Munaqosyah.
Bogor, Minggu/ 13 Februari
2022
Pembimbing,

Ust. Rudi Hartono, M.I.Kom.


46

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI
Nama Muhammad Ruslan
Tempat Lahir Bogor
Tanggal Lahir 6 Februari 2003
Jenis Kelamin Laki-laki
Agama Islam
Alamat Lengkap Kp. Alun-alun Wetan rt003/008 - Ds. Cibeureum- Kec.
Cisarua - Kab.Bogor
E-mail 184057@daarululuumlido.com

RIWAYAT PENDIDIKAN
SD Negeri Cibeureum 01
SMP Negeri 1 Megamendung
MA Daarul ‘Uluum Lido

PENGALAMAN ORGANISASI

Menjadi ketua kelas 3 int A


Menjadi ketua umum Program 1 Hari 1 Lembar (1H1L)
Menjadi ketua umum Program Khattaman Thursday 1 Juz (KT1J)
47

Menjadi ketua umum Program Sedekah Sehari Seribu (ShrSrb)


Menjadi ketua pelaksana kegiatan Ramadhan Berkah (santunan anak yatim dan
berbagi takjil)
Menjadi pengurus rayon bagian peribadatan
Menjadi bendahara bagian peribadatan HISADA

KEIKUTSERTAAN DALAM KEGIATAN


Pembimbing dalam kegiatan gladian pindru
Peserta dalam kegiatan Musyawarah Dewan Pasukan (MUSDEPA)
Peserta dalam kegiatan Latihan Gabungan kwaran Cigombong
Peserta lomba KRISMAN di MAN 2 Bogor
Panitia LDKS Organisasi SMPN 1 Megamendung

KEAHLIAN DAN MINAT


Bermain badminton
Bermain catur
Bermain game
Matematika
Membaca buku
Olahraga

Bogor, Minggu/ 13 Februari 2022

Anda mungkin juga menyukai