waris yang dikeluarkan oleh kantor kecamatan setempat. Setelah itu siapkan persyaratan yang
telah ditentukan dari kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN), antara lain:
1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di
atas materai;
2. Surat Kuasa apabila dikuasakan;
3. Fotokopi identitas pemohon/para ahli waris (KTP, KK) dan kuasa apabila dikuasakan,
yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket BPN;
4. Sertifikat asli;
7. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas
loket;
8. Penyerahan bukti SSB (BPHTB), bukti SSP/PPH untuk perolehan tanah lebih dari 60
Juta Rupiah bukti bayar uang pemasukan (pada saat pendaftaran hak).
Dalam formulir permohonan juga terdapat identitas diri, luas dan letak serta penggunaan tanah
yang dimohon, pernyataan tanah tidak sengketa, juga pernyataan tanah dikuasai secara fisik.
Baca juga: Prosedur dan Biaya Balik Nama Sertifikat Rumah
Prinsip perhitungan sama dengan jual beli yaitu 5 % x (NPOP – NPOPTKP). NPOPTKP warisan
adalah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang besarnya berbeda untuk masing-
masing daerah.
Sebagai contoh, NPOPTKP untuk DKI Jakarta adalah Rp350.000.000. Sementara itu, untuk
daerah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi adalah Rp300.000.000.
Besarnya NPOPTKP untuk daerah lain ditetapkan berdasarkan peraturan daerah masing-masing
karena sekarang ini pemungutan BPHTB dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah.
Untuk mencari informasinya, masyarakat bisa ke Kantor Pajak atau Kantor Pertanahan atau
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Sebagai contoh simulasi, berikut ini data-data tanah objek warisan:
Luas tanah 1.000m2
NJOP = Rp1.000.000 per meter
NPOP = 1.000 x Rp1.000.000 = Rp1.000.000.000 sama dengan NJOP total
NJOPTKP waris adalah Rp350.000.000 (DKI Jakarta)
Dalam prakteknya, penulisan di lembar BPHTB hanya dituliskan nama salah satu ahli waris saja
dengan diikuti menulis CS (cum suis) yang berarti dan kawan-kawan, di belakang namanya.
Atet meminta warga masyarakat agar melaporkan kepada BPN Kabupaten Bandung
apabila ada oknum mengatasnamakan BPN memungut biaya sertifikasi tanah.
"Target PTSL yang dibebankan BPN Kabupaten Bandung sebanyak 16.000 bidang
tanah yang sudah diserahkan sebanyak 6.000 buah saat kunjungan Presiden
Jokowi ke Kota Cimahi dan Kabupaten Garut. Sedangkan sisanya 10.000 sertifikat
akan diserahkan saat peresmian jalan tol Soreang-Pasirkoja (Soroja) pada akhir
November ini," katanya.
Pada tahun depan pemerintah pusat menargetkan PTSL untuk Kabupaten Bandung
sebanyak 60.725 bidang tanah atau naik 400 persen. "Target ini tak main-main
sehingga kami harus bekerja keras dan meminta bantuan kepada Kanwil BPN Jawa
Barat untuk mengirimkan bantuan tenaga pengukuran tanah sebab kami kekurangan
tenaga," ujarnya.
Mengenai luas bidang tanah yang sudah disertifikatkan, Atet mengakui jumlah
bidang tanah di Kabupaten Bandung sebanyak 1,6 juta bidang dan yang sudah
disertifikatkan 40 persen. "Masih banyak bidang tanah milik warga bahkan
pemerintah yang belum disertifikatkan. Tentu menjadi tantangan kami untuk
bertahap mensertifikatkan," ujarnya.
Sertifikat Bodong
Lebih jauh Atet juga meminta masyarakat berhati-hati termasuk dalam membeli
tanah. "Pastikan dulu sertifikat dari penjual tanah adalah asli dengan mengecek ke
BPN. Jangan sampai masyarakat menjadi korban mafia tanah," ujarnya.
"Jadi kalau masyarakat mau membuat sertifikat bisa diambil sertifikatnya dan
BPHTB bisa hutang, namun catatanya jika kedepan tanah akan dijual atau
balik nama maka BPHTB harus dilunasi dulu kalau tidak maka tidak akan bisa
diproses untuk balik namanya," katanya.
Selain itu kata Kepala BPN, jika sertifikat pengurusan lahan telah diambil dan
BPHTB hutang, maka surat asli harus diserahkan kepada pihaknya.
Artikel ini telah tayang di Tribunsumsel.com dengan judul Belum Punya Uang untuk Buat Sertifikat
Tanah, BPHTB Bisa Utang Dulu dan Bayar
Belakangan, http://sumsel.tribunnews.com/2018/08/29/belum-punya-uang-untuk-buat-sertifikat-tanah-
bphtb-bisa-utang-dulu-dan-bayar-belakangan.
Penulis: Edison
Editor: M. Syah Beni