Anda di halaman 1dari 19

1.

Bahasa Latin dan Resep


Bahasa yang digunakan untuk penulisan resep merupakan bahasa latin sebagai petunjuk
pembuatan obat serta aturan pemakaian obat yang pada umunya ditulis berupa singkatan.
Penggunaan Bahasa latin memiliki alasan sebagai berikut :
a. Bahasa Latin adalah bahasa yang mati, tidak digunakan dalam percakapan, sehingga
tidak muncul kosakata baru.
b. Bahasa Latin adalah bahasa internasional dalam profesi kedokteran dan kefarmasian.
c. Tidak terjadi dualisme arti dalam penulisan resep.
d. Faktor psikologis, ada baiknya penderita tidak perlu tahu apa yang ditulis dalam resep.
Bahasa latin yang terdapat dalam resep memiliki makna sebagai petunjuk penyiapan obat
dan petunjuk aturan pakai obat yang diresepkan. Bahasa latin yang digunakan dalam resep
seperti :

Singkatan Bahasa latin Arti


a.c ante coenam Sebelum makan
a.d auri dextra Telinga kanan
ad ad Sampai
add adde Tambahkan
C Cochlear Sendok makan (15ml)
c.th Cochlear thea Sendok the (3ml)
d.c durante coenam Pada waktu makan
d.in.dim da in dimidio Berikan separuhnya
h.s hora somni Pada waktu mau pergi tidur
i.m.m in manu medici Dalam tangan dokter
iter iteretur diulang
m.f misce fac Campur, buat
m.i Mihi ipsi Untuk diri sendiri
Mixt. mixtura campur
nedet Ne detur Tidak diberikan
Ne iter Ne iteratur Tidak diulang
o.d Occulus dexter Mata kanan
o.c Occulus sinister Mata kiri
p.r.n. Pro re nata Bila perlu
Pulv. pulvers serbuk
Pulv.adsp Pulvis adspersorius Serbuk tabur
t.d.d. Ter de die 3x sehari
u.c Usus cognitus Pemakaian dikehatui
u.e Usus externus Pemakaian luar

Pemilihan terapi pengobatan oleh dokter akan disampaikan melalui resep yang di tulis
yang kemudian akan diberikan ke apoteker.

Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada apoteker, baik
dalam bentuk paper maupun electronic untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi
pasien sesuai peraturan yang berlaku (PerMenkes No. 58 tahun 2014).
Resep memiliki beberapa bagian yang harus terisi, seperti :
a. Nama, alamat dan nomor izin praktek dokter (inscriptio)
b. Tanggal penulisan resep (inscriptio)
c. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep (invocatio)
d. Nama setiap obat dan komposisinya (praescriptio/ordonatio)
e. Cara pembuatan untuk obat racikan (signatura)
f. Aturan pemakian obat yang tertulis (signatura)
g. Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep sesuai dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku (subscriptio)
h. Nama pasien dan umur pasien, untuk pasien dewasa dapat menggunakan singkatan Tn
(tuan, untuk pasien pria) atau Ny (nyonya, untuk pasien wanita)
i. Tanda seru dan/atau paraf dokter untuk resep yang melebihi dosis maksimum.
Apabila obat tidak ada, habis sebagian ataupun tidak di tebus seutuhnya oleh pasien di
apotek tempat pasien menebus obat, maka seorang apoteker bisa menuiskan kopi resep
atau salinan resep. Penulisan kopi resep atau Salinan resep juga memuat beberapa hal
yang berbeda dengan resep asli, seperti :
a. Nama dan alamat apotek
b. Nama dan nomor SIK apoteker pengelola apotek
c. Tandatangan atau paraf apoteker
d. Tanda det (detur) untuk obat yang sudah diserahkan, dan atau tanda nedet (ne detur)
untuk obat yang belum diserahkan
e. Nomor resep dan tanggal pembuatan.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam resep, yaitu :

a. Berkaitan dengan aturan pakai


b. Berkaitan dengan takaran/jumlah/satuan
c. Berkaitan dengan perintah pembuatan
d. Berkaitan dengan keterangan waktu
e. Berkaitan dengan keterangan tempat penggunaan
f. Berkaitan dengan istilah obat atau bentuk sediaan, dan lain-lain

2. Bentuk Sediaan Obat

Pada dasarnya, obat yang kita gunakan memiliki beragam bentuk sediaan. Mulai dari
bentuk sediaan obat (BSO) padat, BSO setengah padat, BSO cair, dan BSO gas. Masing-
masing dari bentuk sediaan obat tersebut memiliki karakteristik dan penggunaan yang
berbeda satu sama lain. Misalnya, rute pemberian obat ke dalam tubuh pasien. Mulai dari rute
pemberian obat enteral, parenteral, intranasal, topikal, hingga transdermal memiliki bentuk
sediaan obatnya masing-masing.

Bentuk sediaan obat padat terdiri dari Pulvis, Pulveres, Capsulae, Pilulae, Suppositoria,
Bacilla. Berikut adalah masing-masing penjelasan dari BSO padat :

a. Pulvis
Pulvis atau serbuk adalah serbuk yang tidak dibagi. Biasanya digunakan sebagai
alternatif bagi anak-anak dan orang dewasa yang sukar menelan kapsul atau tablet.
Bentuk sediaan obat serbuk memiliki keuntungan, yaitu memiliki permukaan yang luas
sehingga serbuk lebih mudah terdispersi dan lebih larut dari pada bentuk sediaan yang
dipadatkan. Kekurangan dari serbuk sendiri adalah rasa yang tidak enak, bisa berupa
(pahit, kelat, asam, dan lengket dilidah). Hal tersebut dapat diperbaiki dengan
penambahan corigens saporis. Selain itu, serbuk juga memiliki kelemahan lain, yaitu
untuk obat higroskopis mudah terurai jika kelembaban tinggi.
b. Pulveres
Pulveres atau serbuk bagi adalah serbuk yang dibagi-bagi dalam bobot yang lebih
kurang sama, dibungkus menggunakan bahan pengemas yang cocok untuk sekali
minum. (Murtini, 2016) Biasanya pulveres dibungkus dengan kertas perkamen, atau
bahan pengemas lain yang cocok. Umumnya, bobot serbuk setiap bungkus adalah 500
mg. Jika bobot suatu serbuk bagi kurang dari 500 mg bisa ditambahkan suatu zat
tambahan yang memiliki sifat netral atau tidak berkhasiat.
c. Kapsul
Kapsul adalah bentuk sediaan obat padat yang terbungkus dalam suatu cangkang
keras atau lunak yang dapat larut. Pada umumnya, cangkang terbuat dari gelatin, tetapi
bisa juga dari pati atau bahan lain yang sesuai. Dalam hal ini, kapsul terbagi menjadi
kapsul cangkang keras (Capsulae durae, hard capsule) dan kapsul cangkang lunak
(Capsulae molles, soft capsul). Kapsul cangkang keras terdiri dari bagian wadah dan
tutup (Capsulae overculateae) yang terbuat dari metilselulosa, gelatin, pati, atau bahan
lain yang sesuai. Biasanya, kapsul ini diisi dengan bahan padat seperti serbuk, butiran,
atau granul. Pabrik yang terkenal memproduksi cangkang kapsul di Indonesia adalah
"Parke Davis". (Susanti, 2017) Kapsul cangkang lunak merupakan satu kesatuan yang
berbentuk bulat atau silindris (pearl) atau bulat telur (globula) yang dibuat dari gelatin
(kadang disebut gel lunak) atau bahan lain yang sesuai. (Susanti, 2017) Kapsul cangkang
lunak biasanya lebih tebal dibandingkan dengan cangkang keras. Pada umumnya, kapsul
cangkang lunak dipakai untuk pemberianobat rute oral, vaginal, rektal, atau topikal.
Sediaan tablet berbentuk kapsul disebut juga dengan kapsitab atau kaplet.
Penggunaan bentuk sediaan obat kapsul memiliki beberapa keuntungan, yaitu
memiliki bentuk yang menarik dan praktis, mudah ditelan dan cepat hancur sehingga
obat cepat diabsorbsi, cangkang kapsul tidak memiliki rasa sehinga dapat menutupi rasa
dan bau obat yang tidak enak, dokter dapat mengkombinasikan berbagai macam obat
dengan dosis yang berbeda, serta kapsul lebih cepat diisi daripada pil dan tablet karena
tidak memerlukan zat tambahan. Di samping berbagai kelebihan yang dimiliki,
pemberian obat dalam bentuk kapsul juga memiliki beberapa kerugian. Di antaranya
adalah kapsul tidak dapat digunakan untuk zat yang mudah menguap, higroskopis, dan
zat yang dapat bereaksi dengan cangkang kapsul. Selain itu, kapsul juga tidak bisa
diberikan untuk balita dan tidak dapat dibagi-bagi.
d. Pil
Pil atau pilulae adalah suatu sediaan dengan bentuk bulat yang mengandung satu
atau lebih bahan obat. Berdasarkan beratnya, bentuk sediaan obat ini dibagi menjadi
beberapa, yaitu Pil (dengan berat 60-300 mg), Boli (pil yang beratnya >300 mg),
Granula (1/3-1 grain, di mana 1 grain adalah 64,8 mg), dan Parvul (dengan berat <1/3
grain).
e. Suppositoria
Supositoria menurut FI edisi IV adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan
bentuk, yang diberikan melalui rektum, vagina, atau uretra; umumnya meleleh, melunak,
atau melarut pada suhu tubuh. (Susanti, 2017) Dalam hal ini, supositoria dapat bertindak
sebagai pelindung jaringan dan pembawa zat terapeutik yang bersifat lokal atau sistemik.
Berdasarkan penggunaannya, supositoria terbagi menjadi supositoria rektal, supositoria
vaginal (ovula), dan supositoria uretra (bacilla, bougis).

Bentuk sediaan obat setengah padat terdiri dari Linimentum, Unguenta, Cream, Pasta,
Cerates, Sapo, Emplastrum. Berikut adalah masing-masing penjelasan dari BSO setengah
padat :

a. Salep
Unguentum atau salep adalah sediaan obat setengah padat yang mudah dioleskan
dan digunakan sebagai obat luar. Pada dasarnya, unguentum memiliki konsistensi seperti
mentega, tidak mencair pada suhu biasa, tetapi mudah dioleskan tanpa memakai tenaga.
Obat yang terkandung dalam unguentum harus terdispersi homogen. Berdasarkan
kegunaan dalam terapi, unguentum atau salep dapat dikelompokkan sebagai berikut :
 Salep Epidermis : Digunakan untuk melindungi kulit atau mengobati epithelium.
Vehikulum (basis salep) berupa vaselin atau campuran hidrokarbon.
 Salep Mukosa : Biasanya digunakan pada rectum, hidung, dan mata. Vehikulum
salep mukosa terdiri dari campuran vaselin dan Adeps lanae. Hal ini ditujukan
untuk memudahkan salep melekat pada mukosa yang basah.
 Salep Endodermis : Penetrasi salep melalui kulit dan bekerja lebih dalam daripada
permukaan kulit. Vehikulum salep endodermis dapat berupa lemak, campuran
bahan yang mirip lemak kulit, adeps lanae, atau lanoline.
b. Krim
Cream adalah bentuk sediaan obat setengah padat berbentuk salep yang banyak
mengandung air, mudah diserap oleh kulit, dan dapat dicuci dengan air. Pada dasarnya,
dalam pembuatan cream, selain campuran minyak / lemak atau bahan lain yang sesuai
dengan bahan cari (umumnya air), pembuatan cream juga membutuhkan bahan ke III
yang disebut dengan Emusifying agent / Emulgator.
c. Pasta
Pasta adalah salep dengan kandungan zat padat (serbuk) lebih dari 50%. Pasta
memiliki sifat tidak memberikan rasa berminyak serta lebih kental dan lebih kaku
daripada salep. Pasta digunakan sebagai penutup atau pelindung bagian kulit yang
diolesi, sehingga salep jenis pasta tebal. Penggunaan pasta memiliki berbagai
keuntungan, di antaranya adalah mengikat cairan atau sekret dari lesi akut, tidak ada
peluang terjadi iritasi lokal karena tidak memiliki daya penetrasi, lebih melekat pada
kulit, dan memiliki daya abrasif. Selain memiliki keuntungan, penggunaan pasta juga
memiliki beberapa kekurangan, yaitu pasta lebih keras sehingga sukar dioleskan dan
kadang menimbulkan rasa nyeri, pasta sukar dibersihkan, serta pasta juga tidak sesuai
untuk bagian yang berbulu.
d. Sabun
Sapo atau sabun adalah bentuk sediaan obat setengah padat yang digunakan
untuk tubuh bagian luar. Cara penggunaannya adalah dengan digosokkan sampai
berbusa, dibiarkan sebentar, kemudian dicuci bersih. Sapo dihasilkan melalui proses
penyabunan alkali dengan lemak atau asam lemak yang tinggi. Penggunaan sapo
memiliki keutungan, yaitu tidak berbekas dan bisa digunakan untuk terapi secara luas.
Penggunaan sapo atau sabun sebagai obat terdiri dari sapo kalinus, sapo medicatus, dan
sapo superadipatus

Bentuk sediaan obat cair terdiri dari Solutio, Mixtura, Mixtura agitanda, Suspensio,
Emulsum, Saturatio, Galenika, Guttae, Sirupus, Injeksio, dan Aerosol. Berikut adalah
masing-masing penjelasan dari masing-masing BSO cair :

a. Solutio
Solutio adalah bentuk sediaan cari, jernih, homogen, dan mengandung bahan
kimia terlarut. Dalam hal ini, bahan kimia terlarut disebut dengan solvendum atau solut,
sedangkan pelarutnya disebut dengan solvent. Bentuk sediaan solutio memiliki beberapa
keuntungan, di antaranya adalah memiliki Onset of Action yang lebih cepat daripada
bentuk obat oral lain, bersifat homogen sehingga setiap takar berisi jumlah bahan dengan
khasiat yang sama, jernih sehingga secara psikis menyenangkan penderita. Selain itu,
pada kemasan bentuk sediaan solutio tidak perlu menuliskan kocok dahulu sebelum
pengunaan. Bentuk sediaan obat solutio juga memiliki beberapa kerugian, di antaranya
yaitu rasa solvendum yang lebih menonjol, tidak praktis dibawa, serta lebih mudah rusak
dibandingkan bentuk obat padat.
b. Mixtura
Mixtura berasal dari kata "Mixture" yang berarti campuran. Dalam hal ini,
mixture memiliki arti yang sangat luas. Mixture dapat berarti campuran bahan padat
dengan bahan padat, bahan padat larut dengan bahan cair, bahan padat tidak larut dengan
bahan cair, dan bahan cair dengan bahan cair. Dalam hal bentuk sediaan obat (BSO) cair,
mixtura diartikan dengan campuran bahan cair dengan bahan cair yang saling larut.
Mixtura dapat digunakan sebagai obat luar maupun obat dalam
c. Suspensi
Suspensi adalah bentuk sediaan obat cair yang merupakan campuran bahan padat
dan bahan cair yang tidak saling larut. Hal yang membedakan mixtura dengan suspensi
adalah pada pembuatan suspensi, diperlukan bahan ke tiga yang disebut dengan
suspensator. Suspensator memiliki sifat seperti lendir, sehingga proses terbentuknya
endapan lama.
d. Emulsi
Emulsum atau emulsi adalah bentuk sediaan obat cair yang terdiri dari campuran
bahan minyak dan bahan air yang homogen. Dalam pembuatannya, emulsum juga
membutuhkan bahan ketiga yang disebut dengan emulgator atau emulgens. Bahan
minyak dalam emulsi disebut dengan emulgendum, sedangkan bahan air dalam emulsi
disebut dengan menstrum. Bentuk emulsum dapat berupa air dalam minyak (W/O) atau
minyak dalam air (O/W).
e. Guttae / obat tetes
Guttae atau obat tetes adalah bentuk sediaan obat cair yang pemakaiannya
menggunakan alat tetes. Guttae atau obat tetes digunakan karena volume obat yang
diberikan lebih kecil dibandingkan dengan volume obat cair lainnya. Sehingga lebih
mudah ditelan terutama untuk hewan yang masih menyusui. Namun, penggunaan obat
tetes harus diperhatikan karena salah sedikit saja dosisnya sudah jauh berbeda.
f. Sirup
Sirupus atau syrup adalah bentuk sediaan obat cair berupa larutan yang
mengandung sacarose dengan kadar 64-66%. Kadar tersebut harus terpenuhi pasti,
karena apabila kadar sacarose lebih dari 66% akan mudah terbentuk kristal. Namun,
apabila kadar sacarose kurang dari 64% akan mengalami fermentasi.
g. Injeksi
Injeksi adalah bentuk sediaan obat (BSO) cair steril yang berupa larutan, emulsi,
atau suspensi dalam air atau pembawa lain yang sesuai. Sedaan injeksi digunakan
dengan cara pemberian obat parenteral. Dosis bentuk sediaan obat injeksio harus
diperhatikan, karena reaksi yang dihasilkan lebih cepat dibandingkan dengan bentuk
sediaan obat lainnya
h. Aerosol
Aerosol merupakan bentuk sediaan obat cair yang cara pemakainnya dengan
disemprotkan, sehingga terbentuk butir air yang sangat kecil menyerupai kabut. Apabila
bentuk sediaan obat aerosol dihisap melalui hidung atau mulut, maka obat tersebut dapat
disebut dengan inhalan.

Ada berbagai bentuk sediaan obat (BSO) yang dapat menjadi pilihan bagi tenaga medis
untuk memberikan obat kepada pasien. Pemilihan BSO sangat berpengaruh pada efektifitas
dan efisiensi pengobatan yang dilakukan. Karena menyangkut proses absorbsi hingga eksresi.
Oleh karena itu, pemilihan BSO harus didasarkan pada pengetahuan dan tujuan pengobatan
tersebut dilakukan.

3. Interaksi Obat
Pada pasien yang diberikan pengobatan dengan lebih dari satu obat, biasanya
memiliki resiko interaksi obat, untuk itu apoteker akan melakukan pengecekan apakah
obat yang sudah dipilih oleh dokter menimbulkan interaksi atau tidak. Interaksi obat
adalah modifikasi efek suatu obat akibat obat lain yang diberikan pada awalnya atau
diberikan bersamaan sehingga keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih berubah.
Efeknya bisa meningkatkan atau mengurangi aktivitas atau menghasilkan efek baru yang
tidak dimiliki sebelumnya.
Interaksi obat dengan obat merupakan peristiwa interaksi obat yang terjadi
sebagai akibat penggunaan bersama-sama dua macam obat atau lebih. Interaksi ini dapat
menghasilkan efek yang menguntungkan tetapi sebaliknya juga dapat menimbulkan efek
yang merugikan atau membahayakan. Meningkatkan kejadian interaksi obat dengan efek
yang tidak diinginkan adalah akibat makin banyaknya dan makin seringnya penggunaan
apa yang dinamakan polifarmasi atau multiple Drug Therapy.
Penggunaan obat rasional dalam pelayanan kesehatan Indonesia masih
merupakan masalah. Penggunaan polifarmasi dimana seorang pasien yang jumlahnya
lebih dari 50% menerima 4 atau lebih obat untuk setiap lembar resepnya, seperti
penggunaan antibiotik berlebihan, waktu konsultasi yang singkat yang rata-rata berkisar
3 menit saja serta tidak adanya kepatuhan pasien dalam meminum obat merupakan pola
umum yang terjadi pada penggunaan obat yang digunakan dalam pengobatan saat ini,
dan berkembangnya polifarmasi maka kemungkinan terjadinya interaksi obat semakin
besar. Interaksi obat perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi respon tubuh pada
pengobatan
Mekanisme Interaksi obat terbagi menjadi beberapa kelompok, diantaranya :
a. Interaksi Farmakokinetik
Interaksi pada proses absorpsi dapat mengubah kecepatan absorpsi dan ketersediaan
hayati obat. Namun untuk obat yang diberikan berulang perubahan kecepatan absorpsi
sudah tidak bermakna klinis jika dibandingkan perubahan ketersediaan hayati. Obat yang
memiliki kisar terapeutik sempit, perubahan ketersediaan hayati dapat menyebabkan
kegagalan terapi. ketersediaan hayati obat yang diberikan per oral dipengaruhi oleh
senyawa atau interaktan yang ada bersama obat dimana masing-masing dapat
mengurangi jumlah obat yang diabsorpsi dengan berbagai mekanisme. Mekanisme yang
umum terjadi diantaranya pembentukkan khelat yang tidak terabsopsi, adsorpsi oleh
adsorben, perubahan Ph dan mortilitas saluran gastrointestinal.
1) Absorbsi
Absorbsi dari obat di saluran pencernaan dapat dipengaruhi oleh pemakaian yang
bersamaan dari senyawa lain yang memiliki luas permukaan yang besar dimana obat
dapat diserap, mengikat atau khelat, mengubah pH lambung, mengubah motilitas GI,
atau mempengaruhi perpindahan protein contohnya P-glicoprotein.
2) Distribusi
Mekanisme yang menyebabkan perubahan interaksi obat pada proses distribusi obat
adalah kompetisi pada plasma protein yang terikat, terjadi perpindahan tempat pengikat
jaringan dan perubahan pada jaringan pelindung lokal, contoh penghambat P-
glycoprotein di pelindung darah otak.
3) Metabolisme
Metabolisme obat dapat distimulasi atau dihambat oleh terapi yang bersamaan.
Rangsangan pada isozime sitokrom P450di hati dan usus kecil dapat disebabkan oleh
obat seperti barbiturat, karamazepin, phenitoin, rifampisin dan lain-lain. Penginduksi
Enzim dapat juga meningkatkan aktivitas dari fase II metabolisme glucoronidasi. hasil
induksi enzim tidak dapat bekerja dengan cepat, efek maksimalnya biasanya terjadi
setelah 7-10 hari dan memerlukan waktu yang sama atau lebih lama untuk
menghilangkan setelah penginduksi enzim dihentikan. Obat yang mampu menghambat
metabolisme sitokrom P450 dari obat lain termasuk kloramphenikol, eritromisin,
isoniazid dan omeprazole.
4) Eksresi
Interaksi yang mempengaruhi eksresi umumnya mempengaruhi transport aktif di
dalam tubulus ataupun efek pH pada transport pasif dari asam lemah dan basa lemah.
Dalam kasus terbaru, ada sedikit obat yang secara klinis dipengaruhi oleh perubahan pH
urin, seperti fenobarbita dan salisilat. perubahan presentasi sodium pada ginjal
mempengaruhi eksresi dan level serum lithium.
b. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi dimana efek dari suatu obat diubah oleh
obat lain pada tempat aksinya. Terkadang obat-obat tersebut bersaing secara langsung
pada reseptor tertentu, tetapi reaksi sering kali terjadi secara tidak langsung dan
melibatkan mekanisme fisiologis. Interaksi ini juga dapat diartikan sebagai interaksi
antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang
sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergik atau antagonistik, tanpa terjadi
perubahan kadar obat dalam plasma. Interaksi farmakodinamik merupakan sebagian
besar dari interaksu obat yang penting dalam klinik.
1) Efek Aditif Atau Sinergis
Dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama dan diberikan pada saat yang
bersamaan dapat menyebabkan efek aditif. efek aditif dapat muncul baik sebagai efek
utama maupun sebagai efek samping obat. Hal seperti ini dapat digambarkan dengan
istilah aditif, penjumlahan, seinergi atau potensiasi. Kata ini memiliki definisi
farmakologis yang sering digunakan sebagai sinonim karena dalam prakteknya sering
sangat sulit untuk mengetahui sejauh mana aktivitas atau efektivitas obat menjadi lebih
besar atau lebih kecil.
2) Efek Antagonis
berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa obat yang kerjanya bertentangan satu
sama lain. Obat dengan aksi agonis pada tipe reseptor tertentu dapat berinteraksi dengan
obat antagonis pada reseptor tersebut. Ada banyak dari interaksi yang terjadi pada situs
reseptor, kebanyakan digunakan untuk keuntungan dalam terapeutik. Antagonis spesifik
dapat digunakan untuk membalikkan efek dari obat lain pada situs reseptor.

3) Sindrom Serotonin
Sindrom serotonin berhubungan dengan kelebihan serotonin yang disebabkan oleh
penggunaan suatu obat, overdosis atau adanya interaksi antar obat. Meskipun kasus yang
parah jarang terjadi kasus ini menjadi semakin mudah dikenali pada pasien yang
menerima kombinasi obat serotonergik (Thanacoody 2012).
Sindrom serotonin dapat terjadi ketika dua atau lebih obat yang mempengaruhi
serotonin diberikan pada saat bersamaan atau penggunaan obat serotogenik lain setelah
penghentian salah satu obat serotogenik. Sindrom ini ditandai dengan gejala termasuk
kebingungan, disorientasi, gerakan yang abnormal, refleks berlebiham, demam,
berkeringan, diare, hipotensi ataupun hipertensi. Diagnosis ditegakkan jika tiga atau
lebih gejala tersebut muncul dan tidak ditemukan penyebab lain.
4) Interaksi Obat Atau Uptake Neurotransmitter
Aksi sejumlah obat mencapai situs aksi pada neuron adrenergik dapat dicegah
dengan adanya obat lain. Antidepresan trisiklik mencegah reuptake noradrenalin ke
neuron adrenergik perifer. Pasien menggunakan antidepresan trisiklik dan diberi
noradrenalin secara parenteral menunjukkan peningkatan respon seperti hipertensi dan
takikardi. Efek antihipertensi dari klonidin juga dapat dihambat oleh antidepresan
trisiklik, salah satu penyebabnya yaitu terjadinya penghambatan uptake klonidin pada
SSP.
c. Interaksi Farmaseutik
Interaksi farmaseutik atau inkompatibilitas terjadi di luar tubuh sebelum obat
diberikan antara obat yang tidak dapat bercampur (inkompatibel). Pencampuran obat
tersebut menyebabkan terjadinya interaksi langsung secara fisik atau kimiawi, yang
hasilnya mungkin terlihat sebagai pembentukan endapan, perubahan warna dan mungkin
juga tidak terlihat secara visual. Interaksi ini biasanya mengakibatkan inaktivasi obat.
A. Pasien yang Rentan Terhadap Interaksi Obat
Efek dan keparahan interaksi obat dapat sangat bervariasi antara pasien yang satu
dengan yang lain. Beberapa faktor dapat mempengaruhi kerentanan pasien terhadap
interaksi obat, diantaranya adalah:
a. Orang lanjut usia (Geriatri)
b. Orang yang minum lebih dari satu macam obat
c. Pasien yang mempunyai gangguan fungsi ginjal dan hati
d. Pasien dengan penyakit akut
e. Pasien dengan penyakit yang tidak stabil
f. Pasien yang memiliki karakteristik genetik tertentu
g. Pasien yang dirawat oleh lebih dari satu dokter.
B. Obat Yang Bermakna Secara Klinis
Tidak semua interaksi obat bermakna secara klinis. Beberapa interaksi obat secara
teoritis mungkin terjadi, sedangkan interaksi obat yang lain harus dihindari
kombinasinya atau memerlukan pemantauan yang cermat. Banyak interaksi obat yang
kemungkinan besar berbahaya hanya terjadi pada sejumlah kecil pasien. Bagaimanapun,
ada bermacam-macam bermakna secara klinik yaitu:
a. Obat yang memiliki rentang terapi sempit antara dosis terapi dan dosis toksik
b. Obat-obat yang memerlukan pengaturan dosis teliti
c. Obat penginduksi enzim yaitu obat yang dapat merangsang kerja enzim sehingga dapat
mempercepat proses eliminasi atau metabolisme obat lain yang sehingga kadar obat di
dalam darah menurun.
d. Obat penghambat enzim yaitu obat yang dapat menghambat metabolisme sehinggaa
akan meningkatkan kadar darah obat dalam darah akibatnya dapat terjadi efek toksik.
C. Penatalaksanaan Interaksi Obat
Berdasarkan masalah interaksi obat, dapat berakibat timbulnya efek samping dan
kejadian interaksi obat dapat meningkat secara bermakna pada populasi masyarakat
tertentu sejalan dengan bertambah banyaknya jumlah obat yang dikonsumsi bersamaan
setiap hari. Untuk mencegah atau mengurangi terjadiniya interaksi obat yang tidak
dikehendaki dan mungkin dapat bersifat fatal, hal-hal yang harus dipertimbangkan yang
dapat dilakukan dalam penatalaksanaa interaksi obat adalah:
a. Perlu perhatian khusus terhadap pasien yang memperoleh obat-obat yang mungkin dapat
berinteraksi dengan obat lain.
b. Menghindari kombinasi obat dengan memilih obat pengganti
c. Sangat hati-hati bila risiko interaksi pemakaian obat lebih besar dari pada manfaatnya.
d. Penyesuaian dosis obat dan jarak pemberian obat.
e. Pemantauan terhadap pasien jika kombinasi obat yang saling berinteraksi diberikan.
f. Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya jika kombinasi obat yang berinteraksi
tersebut merupakan pengobatan yang optimal, atau bila interaksi tersebut tidak bermakna
secara klinis.
D. Level Signifikasi Klinis dan Implikasi Klinis Interaksi Obat
Signifikansi adalah derajat dimana obat yang berinteraksi akan mengubah kondisi
pasien. Signifikansi klinis dikelompokkan berdasarkan keparahan dan dokumentasi
intraksi yang terjadi. Derajat keparahan akibat interaksi diklasifikasikan berdasarkan
penilaian:
1) Menurut Drug Interaction Checker
Menurut Drug Interaction Checker level signifikansinya dikelompokkan
menjadi:
Tabel 4. Penilaian Signifikan Interaksi Menurut Drug Interaction Checker

Penilaian Arti Penilaian

Sangat signifkan secara klinis. Hindari kombinasi


Major
risiko lebih besar dari manfaat.
Cukup signifikan secara klinis. Biasanya kombinasi
Moderate dihindari menggunakan hanya dalam keadaan
khusus.
Minimal signifikan secara klinis. Risiko minimal,
Minor minimalkan risiko dengan mencari alternatif untuk
menghindari risiko atau lakukan pemantauan.
Sumber : Drug Interaction Checker
2) Menurut Stockley’s Drug Interaction 2010
Menurut Stockley’s Drug Interaction 2010 dikelompokkan berdasarkan
tingkat keparahan interaksi yang terjadi dan dibagi menjadi beberapa golongan yaitu:

Tabel 5. Penilaian Signifikan Interaksi Menurut Stockley’s Drug Interaction

Simbol
Arti Penilaian
Penilaian
Interaksi yang efeknya mengancam jiwa atau
penggunaan secara bersamaan merupakan kontra
indikasi dari produsen obat.
Interaksi penggunaan obat secara bersamaan dapat
menyebabkan bahaya secara signifikan pada pasien
sehingga perlu penyesuaian dosis dan monitoring.
Interaksi yang masih diragukan dan pasien harus
diberitahu tentang efek samping yang mungkin
ditimbulkan dan dapat dilakukan monitoring.
Interaksi yang tidak signifikan secara klinis atau
tidak ada interaksi yang terjadi.
Sumber: Stockley’s Drug Interaction 2010

4. Jurnal Reading
Apoteker seringkali perlu menyarankan obat-obat tertentu atau terapi tertentu kepada
dokter, apabila hal ini terjadi apoteker pelu menyampaikan bukti ilmiah untuk memperkuat
usulannya, sehingga di perlukan pencarian EBM (Evidence-based Medicine). Evidence-
based Medicine (EBM) adalah dapat diartikan sebagai pemanfaatan bukti ilmiah secara
seksama, eksplisit dan bijaksana dalam pengambilan keputusan untuk tatalaksana pasien.
Semua sumber informasi yang digunakan diusahakan terbaru dan disesuaikan dengan
tingkat dan tipe pelayanan. Setiap tindakan medis harus dilandasi suatu bukti ilmiah yang
telah diuji kebenaran dan tingkat kemanfaatannya untuk pasien. Segala tindakan seorang
farmasis dalam rangka pengobatan, pemilihan jenis obat, sediaan dan cara pemberian obat,
maupun konsultasi tentang obat harus didasarkan bukti ilmiah yang sudah valid, terkini dan
bermanfaat. Dengan kemajuan di bidang teknologi informasi saat ini, internet dapat
digunakan untuk memperbaharui segala informasi yang diinginkan. Memahami lebih jauh
diperlukan sebelum mempercayai informasi baru tentang obat. Tidak semua informasi yang
didapatkan bisa dipercaya dan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan
terapi untuk pasien. Keterampilan memperoleh informasi dengan cepat dan tepat melalui
internet akan sangat menunjang tugas dan tanggung jawab farmasis dalam praktik
profesionalismenya. Berikut 3 jurnal yang sudah di resume :

Judul : Can child pneumonia in low-resource settings be treated without


antibiotics? A systematic review &amp;
meta-analysis
Resume :
Pada dasarnya, Mayoritas anak-anak dengan pneumonia pernapasan cepat yang
didefinisikan WHO akan memiliki hasil yang baik terlepas dari pengobatan
dengan atau tanpa antibiotik, meskipun tingkat kegagalan pengobatan
cenderung lebih rendah dengan penggunaan amoksisilin. Anak-anak yang
diobati dengan amoksisilin memiliki kemungkinan keberhasilan pengobatan
40% lebih tinggi daripada mereka yang diobati dengan placebo. Pada anak-anak
dengan bronkiolitis antibiotic tidak diperlukan, namun apabila dokter yang
merawat tidak dapat memastikan bahwa diagnosis yang tepat adalah
bronkiolitis, maka paling aman tetap diberikan antibiotik. Sehingga, adanya
ketidakpastian tersebut, memberikan terapi antibiotic pada anak-anak tetap
menjadi pilihan paling aman.
Analisis :
Penggunaan antibiotic untuk anak-anak dirasa tetap diperlukan meskipun
terdapat salah satu jurnal yang menyampaikan bahwa anak dengan pneumonia
nafas cepat akan tetap mendapatkan hasil yang baik dengan atau tanpa
antibiotic. Maka dari itu, dengan adanya data keberhasilan 40% lebih tinggi dari
placebo, antibiotic tetap menjadi pilihan paling aman. Sehingga untuk
menjawab pertanyaan pada judul jurnal yaitu “apakah anak dengan pneumonia
tidak parah memungkinkan diterapi tanpa antibiotic?” maka jawabannya adalah
bisa diterapi tanpa antibiotic, akan tetapi lebih disarankan tetap menggunakan
antibiotic karena tingkat keberhasilannya lebih tinggi. Kelebihan dari jurnal ini
yaitu 4 RCT yang di bandingkan menggunakan sampel anak dengan pneumonia
di negara berpenghasilan menengah ke bawah (2 pakistan, 1 india dan 1
malawi) yang mana 3 di antaranya merupakan negara di benua asia, sedangkan
Indonesia juga merupakan negara dengan penghasilan menegah ke bawah serta
berada di benua asia, maka jurnal tersebut dirasa memiliki populasi yang
serupa, sehingga dapat dijadikan acuan.

Judul : A systematic review of the prevalence and incidence of prescribing


errors with high-risk medicines in hospitals
Resume :
Kesalahan dalam terapi merupakan salah satu masalah yang masih kerap terjadi
di pelayanan Kesehatan yang berdampak merugikan pasien. Secara khusus bila
kesalahan tersebut melibatkan obat – obat yang perlu diwaspadai atau high risk
medicine (HAM) yang dapat menimbulkan bahaya yang jauh lebih besar
dibandingkan dengan obat selain golongan HAM. Berdasarkan kejadian yang
dilaporkan, jenis kesalahan pengobatan yang dilaporkan terutama adalah
masalah terkait dosis atau ketidaktepatan dosis, diikuti oleh kesalahan pada saat
peresepan, BB pasien yang tidak tertulis pada tahap peresepan, dll. Sedangkan
target terapi yang paling banyak mengalami kesalahan terapi HAM adalah pada
pasien anak – anak (68 – 75%), diikuti pasien dewasa (29 – 56%). Jenis obat
HAM yang paling sering dikaitkan dengan kesalahan terapi adalah golongan
Narkotika dan diikuti oleh obat – obat sedative. Derajat keparahan dari
kesalahan terapi juga dilaporkan contohnya ialah kejadian perdarahan akibat
kesalahan peresepan antikoagulan.
Analisis :
Evaluasi terhadap kejadian kesalahan pengobatan terkait obat golongan HAM
harus terus dilakukan. Meskipun di Indonesia data kejadian kesalahan
pengobatan yang dilaporkan belum terdokumentasi dengan baik, namun
langkah identifikasi kesalahan pengobatan, prevalensi dan jenis kejadian, jenis
obat HAM dan target kesalahan pengobatan dalam jurnal ini dapat menjadi
acuan membentuk sistem evaluasi.
Apoteker sebagai lini terdepan dalam pelayanan obat sangat berperan dalam
memutus rantai kesalahan pengobatan HAM dengan membentuk sistem
pelayanan kefarmasian yang baik dimulai sejak tahap penyimpanan hingga
distribusi. Hal ini tentunya membutuhkan kerja sama dari seluruh pihak terkait
yaitu medis, paramedis, manajemen, bahkan pasien sendiri sehingga proses
pengobatan berjalan sesuai harapan.
Kelebihan jurnal ini yaitu telah membandingkan 9 jurnal terkait kesalahan
pengobatan golongan HAM dari berbagai negara (Inggris, Amerika Serikat,
Australia, Jerman, Spanyol dan Brazil) dan mengacu pada daftar HAM global
yang juga digunakan dalam penyusunan daftar HAM Rumah Sakit di Indonesia
yaitu ISMP.

Judul : Identifiying High-Alert Medications in a University Hospital by


Applying Data from the Medication Error Reporting System
Resume :
Advers drug event salah satunya dapat disebabkan karena ME dan pasien yang
dirawat di RS diperkirakan setidaknya pernah mengalami 1 ME per hari. Hal ini
dapat dicegah dengan cara melakukan identifikasi HAM di Rumah Sakit. Jurnal
ini dibuat bertujuan untuk menunjukkan metode identifikasi HAM secara
spesifik di suatu RS. Penelitian dilakukan di RS Univ Helsinski dengan
menggunakan data laporan kasus pada sistem elektronik dari tahun 2007 hingga
2013. Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis secara kuantitatif dan
kualitatif untuk mengetahui rasio terjadinya ME sekaligus penyebabnya.
Berdasarkan hasil analisis kuantitatif, sebagian besar (33%) kasus ME
disebabkan oleh HAM berdasarkan ISMP list. Data yang didapat juga
dibandingkan dengan tingkat konsumsi obat di RS tersebut. Hasilnya, jumlah
error paling tinggi ditemukan pada kelas terapi dengan tingkat konsumsi rendah
seperti seperti obat penyakit tulang, antigout, obat antiparkinson dan HAM.
Selain itu, pengobatan secara parenteral juga menunjukkan resiko tinggi
terjadinya ME. ME ditemukan paling banyak terjadi pada proses administrasi
obat. Berdasarkan hasil analisis kualitatif
didapatkan bahwa key safety risks berkaitan dengan nomenklatur dan
formulasi.
Analisis :
Pencegahan terjadinya kesalahan pengobatan salah satunya dapat dilakukan
dengan cara mengidentifikasi dan menyusun daftar spesifik HAM di RS. Dari
daftar tersebut, diharapkan kita akan lebih waspada dan dapat melakukan
pemantauan secara khusus terhadap pasien yang diberikan terapi yang termasuk
dalam daftar HAM. Akan tetapi, di Indonesia sendiri masih belum menerapkan
cara ini. Jurnal ini memberikan petunjuk terkait bagaimana langkah-langkah
identifikasi HAM di suatu RS dan dapat dijadikan sebagai pedoman awal ketika
untuk memulai menyusun daftar HAM secara spesifik di suatu RS.
Jurnal ini memiliki beberapa kelebihan yakni penelitian dilakukan dengan
mengambil data laporan kasus yang dihimpun melalui sistem yang telah
berbasis elektronik dalam jangka waktu yang cukup panjang. Kemudian,
peneliti berhasil mengkombinasikan analisis kuantitatif dan kualitatif sehingga
dapat ditemukan rasio kejadian kesalahan pengobatan sekaligus key safety risks
yang mempengaruhi terjadinya kesalahan pengobatan. Namun, jurnal ini juga
memiliki keterbatasan yakni tidak seluruh data/laporan kasus dapat dianalisis
karena terbatasnya sumber daya untuk melakukan analisis secara manual.

DAFTAR PUSTAKA

Alanazi, M. A., Tully, M. P., dan Lewis, P. J. 2016. A systematic review of the prevalence
and incidence of prescribing errors with high-risk medicines in hospitals. Journal of
Clinical Pharmacy and Therapeutics. 41, 239–245.

Murtini, Gloria. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Kebidanan Farmestika Dasar. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.

Sari, Mutia B. 2019. Formulasi dan Pembuatan Obat Gosok (Linimentum) Minyak Lada
Hitam (Piper nigrum L.) dan Minyak Biji Cabai Merah (Capsicum annuum L.).
Repository Poltekkes Tanjungkarang.

Sholihah, Indah. Bentuk-bentuk Sediaan Obat. Diakses melalui studylib.com pada 5 April
2021.

Susanti, Nora. 2017. Sumber Belajar Penunjang PLPG 2017 Farmasi/SMK BAB II Bentuk
Sediaan Obat. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Guru dan
Tenaga Kependidikan.
Tyynisma, L., Honkala, A., Airaksinen, M., Shermock, K., dan Lehtonen, L. 2017.
Identifying High-alert Medications in a University Hospital by Applying Data From the
Medication Error Reporting System. Journal p.atient safety

Waller, P. J., Wilkes, C., Duke, T., dan Graham, H. R. 2022. Can child pneumonia in low-
resource settings be treated without antibiotics? A systematic review & meta-analysis.
Journal of Global Health. 12:10007.

Anda mungkin juga menyukai