Anda di halaman 1dari 16

Seri Neuro

DASAR-DASAR NYERI
dr. Yudiyanta, Sp.S (K)
Departemen Neurologi
Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan
Universitas Gadjah Mada

I. Definisi Nyeri

Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan atau menyebabkan distress
fisik maupun psikologis. Menurut IASP, nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan dan diasosiasikan dengan kerusakan jaringan yang aktual atau memiliki potensi merusak
jaringan. Oleh karena itu, nyeri berhubungan erat dengan komponen sensorik, emosional, kognitif dan
sosial.[1]

II. Patofisiologi Nyeri

Serabut saraf nyeri dapat dikelompokkan kedalam serabut saraf berukuran besar dan serabut saraf berukuran
kecil. Serabut saraf berukuran besar (large fiber) memiliki myelin yang tebal, sedangkan serabut saraf kecil
(small fiber) memiliki myelin tipis atau tidak bermielin ama sekali. Serabut saraf besar terdiri serabut saraf
A-alfa dan A-beta yang berfungsi menghantarkan impuls sensorik propioseptik (posisi, fibrasi, raba dalam/deep
touch), sedangkan serabut saraf kecil terdiri dari A-delta dan serabut saraf C menghantarkan impul sensorik
protopatik (nyeri, suhu, raba halus). Serabut saraf yang menghantarkan impuls nyeri secara cepat adalah
serabut saraf A-delta, sedang serabut saraf C menghantarkan impuls secara lambat yang sering
bertanggungjawab terhadap penderitaan/suffering pasien nyeri.[1]

1
Gambar 1. Jalur Nyeri

Jalur nyeri diawali proses transduksi dimana impuls nyeri diterima oleh serabut saraf A delta dan C. Proses
transduksi ini sangat penting karena disinilah terjadinya perubahan stimulasi mekanik, kimiawi ataupun
thermal diubah pertama kali menjadi impuls listrik di ujung serabut saraf sensorik. Jika tidak terjadi transduksi
maka tidak akan ada impul sensorik atau nyeri yang dirasakan pasien. Proses selanjutnya adalah proses
transmisi. Di dalam proses transmisi, depolarisasi serabut saraf atau yang dikenal sebagai impuls sensorik
dihantarkan sepanjang saraf dan berakhir di medulla spinalis atau brainstem. Neuron sensorik serabut saraf
protopatik ini bersinaps di ganglion bipolar radiks dorsalis menuju kornu dorsalis medulla spinalis. Selanjutnya
impuls diteruskan melalui Traktus Spinothalamikus dan bermuara di Thalamus. Sebelum sampai di Thalamus,
impuls akan bercabang ke batang otak yaitu bersinaps dengan Periaqueductus Graymatter (PAG) dan Formasio
Reticularis. Adanya interkoneksi jalur nyeri dan batang otak dapat menjelaskan kejadian penurunan kesadaran
dan syok neurogenik akibat rangsang nyeri yang berlebihan.[1]

2
PAG dan Rostroventromedial (RVM) dari medula oblongata merupakan dua lokasi yang sangat penting dalam
pembentukan neurotransmitter inhibitorik serotonin dan noradrenalin. Adanya koneksi jalur nyeri dengan PAG
dan RVM dapat menyebabkan impuls nyeri mengalami peredaman intensitas nya. Sehingga impuls nyeri dari
perifer menuju ke otak dapat dikurangi. Proses ini disebut sebagai modulasi descencen. Proses setelah
modulasi adalah persepsi yang letaknya berada di Korteks Cerebri.[1]

Gambar 2. Nyeri kronik

Pada nyeri akut tidak didapatkan kerusakan pada serabut saraf, berbeda dengan nyeri kronik. Pada nyeri
kronik, dapat terjadi proses sensitisasi serabut saraf perifer maupun sentral yang terjadi akibat peningkatan
jumlah reseptor nyeri (Na, K, Ca, Mg), ectopic discharge, maupun percabangan serabut saraf sensorik
(sprouting) yang akan berakibat terjadinya Allodinia maupun polineuropati. Selanjutnya adalah terbentuknya
neuroma, yaitu penggelembungan serabut saraf. Rangsangan bukan nyeri dirasakan sebagai nyeri juga dapat
terjadi karena terjadinya sinaps pada serabut saraf yang besar dan kecil, yang disebut "Sprouting", terutama
sprouting di kornu posterior medula spinalis .[1]

3
III. Konsep Neuroplastisitas

Neuroplastisitas adalah kemampuan otak untuk berubah sepanjang hidup. Plastisitas sel saraf dapat terjadi di
tingkat molekuler (molecular level) maupun di tingkat seluler (cellular level). Plastisitas struktural dan
fungsional adalah proses yang saling berhubungan pada tingkat molekuler dan (sub) seluler.[2]

Gambar 2. Mekanisme Neuroplastisitas

Pada tingkat molekuler, perubahan neuroplastik terjadi melalui jalur pensinyalan, yaitu, kaskade protein
intraseluler yang mentransmisikan sinyal dari reseptor ke DNA. Jalur pensinyalan diaktifkan oleh masuknya
Ca2+ melalui depolarisasi atau aktivasi reseptor N-metil-D-aspartat (NMDAR). Didalamnya termasuk Ca2
+/calmodulin-dependent protein kinase (CaMK2), extracellular regulated kinase 1/2 (ERK1/2)
mitogen-activated protein kinase (MAP)/ERK, dan jalur neurotrophic factor/tropomyosin receptor kinase B
(BDNF/TrkB) yang diturunkan dari otak.[2]

4
Di dalam nukleus, protein pengikat elemen (CREB) yang responsif terhadap AMP siklik atau The nuclear factor
kappa B protein complex (NF-kB) diaktifkan, memungkinkan modulasi transkripsi gen dan sintesis protein dari
proses plastisitas. Perubahan ekspresi gen terkait plastisitas ini dapat mempengaruhi neuroplastisitas pada
tingkat seluler.[2]

Pada tingkat seluler, perubahan dapat bersifat struktural atau fungsional, dan kedua jenis tersebut memiliki
tingkat yang berbeda. Plastisitas struktural meliputi plastisitas neuron, plastisitas dendritik, dan plastisitas
sinaptik. Plastisitas neuron terdiri dari neurogenesis, generasi neuron, dan terjadi dalam fase yang berbeda.[2]

Pertama, sel progenitor yang berproliferasi dihasilkan di zona subgranular hipokampus dan berdiferensiasi
menjadi neuron granula dentate. Sel-sel yang berproliferasi yang bertahan dari eliminasi melalui kematian sel
apoptosis bermigrasi dan menjadi dewasa menjadi sel-sel granul yang baru lahir dan berintegrasi penuh ke
dalam jaringan hipokampus. Plastisitas dendritik mencakup perubahan jumlah atau kompleksitas Dendritic
Spine, di mana jumlah spine yang tinggi dan cabang dendritik kompleks mencerminkan kekuatan sinaptik yang
lebih banyak.[2]

Pada sinapsis, kekuatan sinapsis terkait dengan pembelajaran dan pembentukan memori. Itu dapat berubah
dalam dua arah, baik peningkatan, yang dikenal sebagai potensiasi jangka panjang (LTP), dan penurunan, yang
disebut depresi jangka panjang (LTD). Jenis plastisitas sinaptik ini mengubah struktur neuron dan sifat
fungsionalnya. Plastisitas sinaptik diatur oleh berbagai faktor, dengan protein Brain-Derived Neurotrophic
Factor (BDNF) sebagai pengatur utama; BDNF diekspresikan tinggi di seluruh sistem saraf pusat, terutama di
hipokampus.

IV. Patofisiologi Transisi Nyeri Akut Menjadi Kronis

Proses transisi nyeri akut menjadi nyeri kronik terbagi dalam tiga fase. Fase yang pertama adalah fase saraf
perifer, yang kedua fase di dalam medulla spinalis, dan yang terakhir sepanjang traktus ascending-descending
yang menuju otak dan matriks nyeri.

5
A. Fase Saraf Perifer

Pada kondisi nyeri akut, cedera jaringan akan memicu makrofag, sel mast, limfosit T dan neurofil untuk
memulai proses kaskade inflamasi, dimana kerusakan jaringan akan memicu peningkatan kadar siklooksigenasi
yang menghasilkan produk peradangan seperti Bradikinin, Prostaglandin, Serotonin, Interleukin 1B, TNFa, NGF,
dan asam. Mediator inflamasi tersebut akan berikatan pada reseptor G Protein dan Kinase yang berakibat pada
terbentuknya depolarisasi. Secara spesifik BK dan NGF akan memicu pembukaan reseptor Transien Reseptor
Potensial Vaneloik tipe satu yang akan memperkuat depolarisasi jika mendapat rangsangan panas. Kondisi
asam yang terbentuk di sekitar luka juga memperkuat impuls nyeri melalui reseptor Acid Sensing ion channel,
dan ATP memperkuat impuls nyeri melalui reseptor purinoreseptor P2X. Peran PGE2 secara langsung akan
memicu pembukaan Voltage Gated Sodium Channel yang akan memasukkan Natrium ke dalam sel secara
berlebihan dan memperkuat impuls nyeri. Kondisi serabut saraf yang hiperpolarisasi akan bertahan beberapa
lama dan mengakibatkan sel saraf mengeluarkan Substance P dan CGRP, suatu mediator inflamasi yang sangat
poten menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah disekitar luka. Vasodilatasi mengakibatkan ekstravasasi
plasma dan memicu kaskade inflamasi lain yang sering disebut inflamasi steril. Dari keseluruhan mekanisme
tersebut, pada kondisi kronis, serabut saraf perifer akan mengalami penurunan ambang nyeri yang disebut
sebagai sensitisasi perifer. [3]

6
Gambar 2. Kerusakan jaringan menyebabkan pembentukan lokal dan pelepasan berbagai bahan kimia di
sekitar ujung saraf aferen primer karena gangguan sel dan aktivasi berbagai sel khusus termasuk makrofag,
sel mast, sel T, neutrofil dan sel imun lainnya. Mediator yang dilepaskan meliputi proton (H+), purin (misalnya
adenosin trifosfat, ATP), faktor pertumbuhan saraf (NGF), bradikinin (BK), faktor nekrosis tumor (TNF),
interleukin (misalnya IL-1 ), serotonin (5- hydroxytrytamine, 5-HT), histamin (Hi) dan prostaglandin (misalnya
PGE2). Prostaglandin dibentuk oleh enzim siklooksigenase (COX) (yang dihambat oleh obat antiinflamasi
nonsteroid, NSAID seperti misalnya ibuprofen dan naproxen). Bersama-sama ini (dan lainnya) mediator
membentuk "sup inflamasi" yang berkontribusi pada peningkatan sensitivitas nosiseptor perifer dengan
menghubungkan ke saluran ion terikat membran (termasuk saluran potensial reseptor transien (TRP) (misalnya
TRPV1), saluran ion peka asam (ASIC) dan reseptor purinergik (P2X) dan reseptor terkait kinase (misalnya
reseptor NGF-, TNF- dan IL-1) dan reseptor berpasangan protein G (misalnya reseptor bradikinin2 dan
prostaglandin). Secara keseluruhan mekanisme ini dapat menyebabkan depolarisasi dan eksitasi neuron serta
perubahan regulasi gen jangka panjang (misal NGF dan bradikinin meningkatkan ekspresi TRPV1 – dan
prostaglandin meningkatkan ekspresi voltage gated sodium channels (VGSC). Selain itu, terminal nosiseptor
perifer sendiri dapat melepaskan substansi P (SP) dan calcitonin gene related peptide (CGRP), yang
menyebabkan vasodilatasi dan ekstravasasi plasma (peradangan neurogenik.

7
Gambar 3. Sel satelit ganglia radiks dorsalis yang teraktivasi oleh nyeri menyebabkan sensitisasi perifer.

Pada ganglion radiks dorsalis, proses depolarisasi berlebihan di tingkat saraf perifer atau yang dikenal sebagai
sensitisasi perifer akan memicu neuron sensorik ganglion radiks dorsalis melepaskan ATP. Pelepasan ATP ini
mengaktivasi sel satelit glia. Sel glia adalah sel non neuronal yang penting dalam proses homeostasis dan
proteksi neuron sensorik di ganglion radiks dorsaslis dalam saraf sentral. Aktivasi sel glia satelit berakibat
pelepasan mediator inflamasi poten IL1B, ATP, NGF, MMP dan CGRP. Produk inflamasi tersebut akan
mengakibatkan neuron sensorik pada ganglia radiks dorsalis akan bertambah mengalami depolarisasi yang
diketahui sebagai proses pelepasan spontan aksi potensial. Sel makrofag dan sel T yang awalnya dorman di
ganglia radiks dorsalis akan teraktivasi juga melepaskan chemokine fractalkine dan CCL2, yang memacu
Makrofag dan sel T (sel sel inflamasi) untuk berkumpul di sekitar sel neuron ganglion radiks dorsalis. [3]

8
B. Fase Medulla Spinalis

Depolarisasi yang sampai di ujung neuron afferent primer akan memacu pelepasan neurotransmitter
eksitatorik paling poten yaitu Glutamat. Selain itu arus listrik depolarisasi tersebut juga ikut mengakibatkan
terlepasnya substance P dari dinding saraf aferen ke celah sinaps. Pada fase awal, reseptor glutamate yaitu
reseptor AMPA akan terbuka sehingga memicu Ca Influks yang hebat dan terjadilah depolarisasi post sinaps
(neuron aferen sekunder). Substance P yang dilepaskan juga akan mengaktivasi NK1R yng juga akan
memperbanyak Ca influx yang artinya adalah peningkatan depolarisasi. Akibatnya neuron aferen sekunder
tereksitasi.

Reseptor Glutamate lain yaitu reseptor NMDA merupakan reseptor yang dalam kondisi nyeri akut selalu inaktif
karena reseptornya terkunci oleh ion Magnesium. Akan tetapi pada kondisi depolarisasi yang berkepanjangan,
ion Magnesium akan lepas, sehingga NMDA reseptor akan berikatan dengan Glutamate. Ikatan Glutamate
dengan NMDA Reseptor akan menyebabkan influx Kalsium akan makin hebat dan berkepanjangan yang
disebut sebagai proses wind up. Wind up akan memicu dan meningkatkan potensi Wide Dynamic Range (WDR)
neuron untuk mampu merespon pada setiap stimulus, bahkan oleh stimulus non noksius. Stimulus raba yang
dihantarkan oleh serabut A-alfa atau A-beta akan direspons oleh WDR neuron sebagai impuls nyeri. Hal inilah
yang melatarbelakangi proses alodinia. Hasil akhir dari proses wind up adalah perubahan struktural neuron
yang disertai peningkatan potensial aksi transduksi impuls nyeri.[3].[4]

9
Gambar 4. Mekanisme yang terlibat dalam sensitisasi sentral. Sensitisasi sentral sebagian besar disebabkan
oleh potensiasi sinaptik antara terminal sentral aferen primer nosiseptif (atas gambar) dan neuron sekunder di
kornu dorsalis (atau di trigeminal subnucleus caudalis). Mekanisme prasinaps dapat mencakup peningkatan
masuknya kalsium yang memfasilitasi pelepasan pemancar, dan peningkatan kumpulan pemancar yang dapat
dilepaskan. Glutamat dan zat P (SP) keduanya merupakan zat pemancar rangsang yang dilepaskan oleh aferen
primer. Glutamat bekerja pada reseptor AMPA dan NMDA yang keduanya merupakan saluran ion yang secara
langsung meningkatkan pemasukan kalsium ke dalam neuron sekunder, sedangkan SP bekerja pada reseptor
neurokinin-1 (NK1R) dan meningkatkan kalsium intraseluler melalui mekanisme signal transduction (ST).
Pelepasan besar glutamat dan substansi P dan stimulasi kuat selanjutnya dari AMPA dan NK1R, akan
menyebabkan penghapusan blok magnesium-ion yang biasanya ada di saluran NMDA, memungkinkan
peningkatan jumlah ion kalsium mengalir ke sel postsinaptik. Melalui berbagai mekanisme ST, peningkatan
konsentrasi kalsium menyebabkan peningkatan eksitasi neuron pascasinaps dan perubahan regulasi gen
jangka panjang, yang pada gilirannya dapat menyebabkan misalnya lebih banyak reseptor AMPA di membran
pascasinaps dan dengan demikian meningkatkan transmisi. Mekanisme ini dipicu dan/atau difasilitasi oleh
sejumlah besar molekul mediator ekstraseluler, banyak di antaranya dilepaskan oleh sel glial (astrosit dan
mikroglia). Bahan dalam (sup yang menyakitkan) ini termasuk prostaglandin (dibentuk secara lokal oleh
siklooksigenase, COX), sitokin seperti interleukin (IL) 1 dan IL 6 dan tumor necrosis factor-alpha (TNF), faktor
neurotropik yang diturunkan dari otak (BDNF), oksida nitrat (NO) dan adenosin tri-fosfat (ATP). Bersama-sama,
semua ini menghasilkan penguatan pesan rasa sakit yang diteruskan ke pusat otak yang lebih tinggi. Reseptor
untuk molekul mediator ini pada neuron pra dan pasca sinaptik tidak ditunjukkan pada gambar.

Stimulasi nosiseptik yang berlanjut akibat depolarisasi akan cenderung mengakibatkan perubahan ekspresi gen
dan sintesis protein di tingkat ganglion radiks dorsalis dan kornu posterior medulla spinalis. Pelepasan TNFa,
IL1B, BDNF dan PGE tidak hanya meningkatkan depolarisasi neuron sensorik pre dan post sinps, tetapi juga
berakibat pada penghambatan neuron inhibitor untuk melepaskan GABA dan Glysin yang berfungsi
menghambat depolarisasi neuron saraf post sinaps. Hasil akhir kombinasi depolarisasi yang meningkat,
pelepasan kalium dan inhibisi yang tertekan maka terjadi sensitisasi neuron sentral.[3]

10
Gambar 5. Nyeri kronis dapat menyebabkan proliferasi dan aktivasi
mikroglia otak di korteks, talamus, amigdala, dan hipotalamus, dengan
hasil sensitisasi nyeri sentral.

Gambar 6. The glial-mediated mechanisms that


facilitate excitatory synapses include increased
glutamate release, glutamate.

11
C. Traktus Ascending-Descending dan Matriks Nyeri

Matrix nyeri di otak semakin terkuak setelah metode pencitraan otak semakin berkembang, khususnya MRI
fungsional dan PET scan. Lokasi-lokasi di otak yang sangat berperan dalam persepsi nyeri adalah:

1. Thalamus yaitu terminal traktus spinothalamikus pusat diskriminasi somatosensori primer sebagai
pusat sensasi
2. Korteks insula sebagai pusat kognisi
3. Hipokampus sebagai pusat memori nyeri
4. Hipothalamus sebagai pusat neuroendokrin nyeri
5. Amigdala sebagai pusat emosi
6. Pusat inhibisi utama di brainstem yaitu Raphe dorsalis, Periaqueductal Grey Matter dan Rostral
VentroMedial Medula yang juga berhubungan dengan kesadaran, respons fight-flight dan analgesia
yang dipicu stress.[3]

Dari gambar di atas, tampak jelas hubungan antara nyeri kronis dan status fungsi luhur. Kuatnya Integrasi
antara korteks sensori primer dengan fungsi kortikal difus menjadi bukti kuat bahwa stressor psikososial

12
cenderung akan meningkatkan intensitas nyeri pada pasien yang koping nyerinya tidak baik. Oleh karena itu,
untuk mencegah kronisitas nyeri, maka evaluasi dan pendekatan terapi biopsikososial merupakan kunci
penting penatalaksanaan nyeri kronis.[5]

Selain Talamus, Korteks Cinguli Anterior (KCA) memerankan peran penting dalam modulasi nyeri. Selain
menerima impuls nyeri dari thalamus, KCA juga menerima umpan balik dari Korteks Insula (CI) dan amigdala
sebagai pusat integrasi emosi. Di sisi lain KCA juga memproyeksikan impuls ke korteks prefrontal dan korteks
insular yang bertanggungjawab pada rasa cemas, takut dan memori. KCA juga menghantarkan impuls secara
langsung untuk menginhibisi Kornu Dorsalis dan menginhibisi secara tidak langsung melalui PAG dan RVM di
batang otak. Implikasi klinis, dengan adanya gangguan emosi, cemas, depresi dan motivasi hidup yang tidak
baik akan secara langsung memperlemah inhibisi dengan hasil peningkatan rasa nyeri. Hal ini bertanggung
jawab pada proses nyeri nosiplastik dan sentral sensitisasi. [5]

Berikut ini adalah neurotransmitter yang berperan dalam proses aktivasi nyeri dan relaksasi nyeri.[6]

Proalgesik Analgesik

● Glutamate (primary afferents and ascending ● Opioid peptides (local neurons in dorsal horn
pathways) and brain)

● Substance P primary afferents) ● Noradrenalin (descending pathways)

● Serotonin (descending pathways, effect via ● Serotonin


excitatory serotonin receptors) (descending pathways, effect via inhibitory
serotonin receptors)
● Cholecystokinin
(local neurons in dorsal horn and brain) ● Dopamine
(projection neurons in brain)

● Gamma amino butyric acid (local neurons in


spinal cord)

13
V. Faktor Risiko Perubahan Nyeri

Perubahan fisiologis selama transisi nyeri akut ke kronis diamati pada berbagai tingkatan, dari perifer ke sistem
saraf pusat. Secara teoritis, jika perubahan patofisiologis selama transisi ini dapat dicegah atau dibalik, kita
akan dapat mencegah atau meminimalkan perkembangan nyeri kronis dalam praktik sehari-hari. Sejumlah
penelitian telah berusaha untuk merumuskan pendekatan analgesik untuk mencegah transisi ini, tetapi sejauh
ini, bukti yang menjanjikan sangat terbatas.[6]

Terlepas dari alasan etis dan kemanusiaan, manajemen dini pasien dengan nyeri akut sangat penting dalam
meminimalkan risiko perkembangan nyeri kronis. Pengenalan dini pasien dengan risiko tinggi mengembangkan
nyeri kronis sangat penting dalam mengurangi perkembangan nyeri kronis (Tabel 1 ). Setelah stratifikasi risiko,
analgesia pencegahan yang tepat yang ditujukan pada berbagai tingkat jalur nyeri akan mengurangi potensi
risiko pengembangan nyeri kronis.[6]

Tingkat kerusakan jaringan menentukan tingkat keparahan stimulasi nosiseptif, lamanya proses penyembuhan
jaringan, dan besarnya peradangan. Faktor-faktor ini mempengaruhi risiko perkembangan nyeri kronis.
Penanganan jaringan yang hati-hati, menghindari kerusakan saraf dan teknik bedah minimal invasif selama
operasi meminimalkan kerusakan jaringan dan berpotensi mengurangi risiko nyeri kronis.[6]

14
VI. Penatalaksanaan

Pengurangan proses inflamasi dapat mengurangi risiko sensitisasi di perifer dan sistem saraf pusat. Inhibitor
COX-2 dan NSAID telah terbukti mengurangi peradangan. Inhibitor COX-2 juga mencegah pemecahan
endocannabinoids, zat neuromodulator, yang mengurangi pelepasan neurostimulator (misalnya glutamat).
Penggunaan jangka panjang dari kedua kelas obat ini menyebabkan komplikasi medis yang tidak diinginkan;
yang tidak dibahas dalam artikel ini. Infiltrasi anestesi lokal pada bidang bedah adalah teknik lain yang efektif
untuk mengurangi intensitas nyeri pascaoperasi segera.[6]

Selama transisi nyeri akut ke kronis, aktivasi reseptor NMDA dan fenomena wind-up merupakan perubahan
penting di sumsum tulang belakang. Memblokir reseptor NMDA dengan antagonis seperti ketamin, nitrous
oxide, dan metadon akan efektif dalam mengurangi intensitas nyeri dan wind-up. Pada kasus nyeri yang tak
tertahankan, khususnya ketamin dapat digunakan sebagai tambahan pengobatan farmakologis multimodal.
Namun, karena profil efek sampingnya dan potensi yang sangat adiktif, pengobatan harus dibatasi untuk waktu
yang singkat. Ajuvan seperti ligan -2-δ yang mengikat saluran kalsium yang bergantung pada tegangan
(gabapentin dan pregabalin) adalah agen anti-neuropati dengan kemungkinan efek pencegahan.[6]

Prinsip penggunaan pendekatan analgesik multimodal adalah untuk memberikan kontrol nyeri yang sinergis.
Teknik ini menargetkan reseptor pada berbagai tingkat jalur nyeri yang bertujuan untuk mengurangi
rangsangan saraf. Anestesi lokal dan regional adalah teknik lain yang bertujuan untuk memblokir transmisi
aferen sinyal nyeri yang mengurangi sensitivitas nyeri. Secara teori, pengurangan nyeri akut harus mengurangi
neuroplastisitas sentral dan meminimalkan risiko perkembangan nyeri kronis, namun bukti yang tersedia
terbatas.[6]

VII. Ringkasan

Penerapan ilmu dasar jalur nyeri dapat meningkatkan kemampuan klinis menangani pasien nyeri. Kemajuan
dan pengembangan obat yang mampu mencegah aktivasi sel glial, agen farmakologis yang ditujukan pada
subtipe saluran Na khusus untuk nosiseptor, dan antagonis reseptor purinergik dan TRPV sedang berlangsung
dengan potensi inovasi masa dalam pencegahan transisi ini.

15
Referensi

1. Williams A. C de C, Craig K.D. Update the definition of pain. Journal Topical Review of Pain. 2016;Di:
1572420-2423
2. DeVos CMH, Mason NL, Kuypers KPC. Psychedelics and neuroplasticity: a systematic review unraveling
the biological underpinnings of psychedelics. Front. Psychiatry. 2021;12:724606. doi:
10.3389/fpsyt.2021.724606
3. Brodin E., Ernberg N., Olgart L. Neurobiology: general considerations – from acute to chronic pain. Nor
Tannlegeforen Tid. 2016; 126: 28-33
4. Xu M, et al. Pain and the immune system: emerging concepts of IgG-mediated autoimmune pain and
immunotherapies, J Neurol Neurosurg Psychiatry 2020;91:177–188. doi:10.1136/jnnp-2018-318556
5. Long et al., Current advances in orthodontic pain, International Journal of Oral Science. 2016; 8: 67–75
6. A Feizerfan, FRCA, G Sheh, BHB MBChB FAFRM(RACP) FFPMANZCA, Transition from acute to chronic
pain. Continuing Education in Anaesthesia Critical Care & Pain. 2015;15:98–102,
https://doi.org/10.1093/bjaceaccp/mku044

16

Anda mungkin juga menyukai