Anda di halaman 1dari 8

PERDARAHAN DALAM BIDANG OBSTETRI

Oleh

Tjokorda Gde Agung Suwardewa


Sublab Fetomaternal Obstetri-Ginakologi
FK UNUD/RS Sanglah Denpasar
Dibacakan pada Pelatihan Tehnis Medis Dokter Puskesmas se-Bali, September 2003

PENDAHULUAN

Obstetri adalah “bloody business.” Walaupun mortalitas ibu sudah menurun


secara dramatik dengan cara melahirkan di rumah sakit-rumah sakit dan penyediaan
transfusi darah yang memadai, namun kematian oleh karena perdarahan masih
menonjol dalam laporan mortalitas dan morbiditas di negara maju. Di Amerika
Serikat dari tahun 1979 sampai tahun 1992 dianalisis 4915 kematian ibu yang bukan
karena abortus. Dijumpai bahwa perdarahan adalah penyebab langsung dari 30%
kematian ini. Penyebab-penyebab kematian ibu oleh perdarahan ini misalnya: solusio
plasenta (19%), ruptura uteri (16%), Atonia uteri (15%), koagulopati (14%), plasenta
previa (7%), plasenta adesiva (6%), perdarahan uterus (6%), retensio plasenta (4%)
(William 2001). Perdarahan obstetrik adalah keadaan yang paling mungkin sebagai
penyebab kematian, apabila tidak tersedia darah atau komponen darah dengan segera.

PERDARAHAN ANTE PARTUM

Perdarahan sedikit-sedikit sudah umum terjadi pada setiap persalinan, yang


biasa kita sebut “bloody show”sebagai sekuensi penipisan dan dilatasi serviks dengan
akibat robekan-robekan kecil pada vena serviks. Perdarahan uterus yang penyebabnya
di atas serviks sebalum bayi lahir akan menimbulkan kekhawatiran. Perdarahan itu
bisa karena lepasnya plasenta dari tempat implantasinya dekat kanalis servikalis, yang
disebut plasenta previa. Bisa juga karena lepasnya plasenta dari implantasinya selain
di segmen bawah rahim, yang disebut solusio plasenta.

SOLUSIO PLASENTA

Lepasnya plasenta dari tempat implantasinya sebelum bayi lahir disebut:


solusio plasenta, placental abruption, abrupsio placentae, dan accidental
hemorrhage.Kebanyakan perdarahan pada solusio plasenta ini terjadi antara membran
dan uterus, sehingga darah merembes menuju serviks dan menyebabkan perdarahan
eksternal. Sebagian kecil kasus perdarahan ini tidak merembes ke luar, tetapi tertahan
diantara plasenta dan uterus, yang disebut concealed hemorrhage.
Frekuensi solusio plasenta ini bervariasi tergantung bagaimana kriteria
diagnosis ditentukan. Frekuensi itu adalah 1 dari 200 persalinan (William 2001)..
Kebanyakan laporan menyebutkan perinatal mortality dengan solusio plasenta ini
adalah sekitar 25%-40%.
Penyebab primer solusio plasenta ini belum diketahui, tetapi ada beberapa
keadaan yang dikaitkan seperti : peningkatan umur dan paritas, preeklampsia,
hipertensi kronis, ketuban pecah prematur, perokok, thromboplebitis, pengguna
cocain, riwayat solusio plasenta, dan mioma uteri.
Membuat diagnosis solusio plasenta tidak selalu gampang, karena kadang-
kadang tidak menimbulkan keluhan dan gejala sama sekali. Tanda yang paling umum
adalah perdarahan pada kehamilan di atas 20 minggu dengan nyeri perut dan darah
berwarna kehitaman. Pada pemeriksaan dijumpai perut kaku, detak jantung janin sulit
untuk didengar. Untuk meyakinkan diagnosis perlu dikaitkan dengan factor
predisposisi tersebut di atas, kalau perlu dilakukan pemeriksaan ultrasonografi.
Manajemen solusio plasenta akan bervariasi tergantung umur kehamilan,
keadaan janin dan ibunya. Dengan janin hidup dan matur, dimana belum ada tanda
inpartu, seksio sesarea emergensi adalah pilihan yang paling baik. Bila terjadi
perdarahan yang berat dan syok, pemberian infus dan transfusi darah sangat
dianjurkan untuk mempertahankan hidup ibu juga kalau bisa janinnya. Yang sulit
adalah bila janinnya belum cukup bulan untuk dilahirkan. Untuk kasus seperti itu
harus dilihat untung ruginya mempertahankan kehamilan, apakah solusionya
bertambah berat atau ringan sehingga membahayakan keselamatan ibunya. Pada kasus
solusio plasenta dengan janin sudah mati, persalinan pervaginam adalah lebih baik.

PLASENTA PREVIA

Plasenta previa adalah plasenta yang implantasinya menutupi atau dekat


orifisium uteri internum. Ada 4 derajat keadaan abnormal implantasi plasenta
tersebut, yaitu: 1. Plasenta previa totalis, di mana plasenta menutupi seluruh
orifisium uteri internum; 2. Plasenta previa parsialis, plasenta menutupi sebagian
orifisium uteri internum; 3. Plasenta previa marginalis, tepi plasenta hanya
mencapai tepi orifisium uteri intrernum; 4. Plasenta letak rendah, plasenta
berimplantasi di segmen bawah uterus, di mana tepi plasenta tidak mencapai tepi
orifisium uteri internum. Di samping istilah tersebut di atas, ada juga yang disebut
vasa previa yaitu apabila pembuluh darah janin pada membran plasenta melewati
orifisium uteri internum. Ini jarang dikaitkan dengan perdarahan ante partum, tetapi
sering menyebabkan kematian janin. Derajat plasenta previa ini trergantung dilatasi
serviks pada saat pemeriksaan. Suatu contoh misalnya, plasenta letak rendah pada
dilatasi serviks 2 cm menjadi plasenta previa parsialis pada dilatasi serviks 8 cm.
Sebaliknya, plasenta yang kelihatannya menutupi OUI secara total sebelum ada
dilatasi, menjadi parsial setelah dilatasi 4 cm.
Insiden plasenta previa berkisar antara 0,3-0,5% persalinan, atau 1 di antara
200 persalinan (William 2001). Di RS Sanglah kejadian perdarahan ante partum pada
tahun 2002 adalah 174 per 5240 persalinan atau sekitar 3,0% (Laporan mingguan).
Etiologi plasenta previa sampai saat ini tidak pasti, namun risiko yang
berkaitan dengan itu adalah umur ibu makin tua, multiparitas, pernah seksio sesarea,
dan merokok.
Diagnosis plasenta previa ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, yaitu
melakukan pemeriksaan dalam dengan mamasukkan jari tangan ke orifisium uteri dan
mengevaluasi lokasi plasenta. Tindakan begini sangat dilarang kecuali dikerjakan
dengan persiapan di atas meja operasi, “double set-up” selanjutnya memungkinkan
dikerjakan seksio sesarea bila keadaan memaksa. Yang paling simpel, aman, dan
meyakinkan adalah pemeriksaan dengan ultrasonografi transabdominal, di mana
lokasi plasenta bisa ditentukan dengan ketepatan yang sangat tinggi, yaitu sekitar 96-
98%.
Penanganan plasenta previa tergantung dari empat keadaan yang perlu
dipertimbangkan seperti: apakah janin masih prematur dan belum ada indikasi untuk
dilahirkan, apakah janinnya sudah cukup matur, apakah dalam keadaan inpartu, dan
apakah perdarahannya berat sehingga janin harus dilahirkan walaupun masih
prematur? Pada kehamilan yang masih premature dengan perdarahan yang tidak
begitu masif, perlu adanya pengawasan yang ketat untuk keadaan ibu dan janinnya.
Yang terpenting, pasien dan keluarga harus tahu bahwa bila terjadi perdarahan
walaupun sedikit, segera di bawa ke Rumah Sakit untuk mendapat pertolongan.
Tindakan persalinan untuk plasenta previa ini adalah seksio sesarea terutama untuk
yang plasenta previa totalis. Pada keadaan-keadaan tertentu, plasenta previa parsialis,
marginalis, dan letak rendah masih memungkinan persalinan pervaginam.
Apabila tersedia fasilitas transfusi dan tindakan seksio sesarea, prognosis akan
menjadi lebih baik, namun masalah yang timbul adalah pada janin yang masih sangat
muda di mana fungsi organ belum matur.
PLASENTA

PERDARAHAN POST PARTUM

Perdarahan post partum adalah perdarahan sebagai konsekuensi perdarahan


masif dari tempat implantasi plasenta, trauma jalan lahir, atau keduanya. Perdarahan
post partum adalah suatu keadaan, bukan merupakan sebuah diagnosis. Di Inggris,
sebagian kematian ibu sebab perdarahan dikarenakan perdarahan post partum seperti :
atonia uteri, sisa plasenta dengan berbagai tingkat dan variasinya, dan laserasi traktus
genitalis.
Secara tradisional perdarahan post partum didefinisikan sebagai kehilangan
darah 500 cc atau lebih setelah persalinan kala tiga. Namun kenyataannya separuh
dari ibu-ibu melahirkan pervaginam mengalami perdarahan sekitar 500 cc bahkan
lebih bila diukur secarfa kuantitatif dan bila dibandingkan dengan perdarahan yang
terjadi pada persalinan dengan seksio sesarea, bahkan 1000 cc. Agar tidak bingung
dipakai sebagai pegangan adalah lebih dari 500 cc untuk persalinan pervaginam, dan
lebih dari 1000 cc untuk persalinan dengan seksio sesarea.

Beberapa penyebab perdarahan post partum adalah:

1. Uterine atony Overdistended uterus


Prolonged labor
Very rapid labor
Oxytocin-induced or augmented labor
High parity
Chorioamnionitis
2. Retained Placental Tissue
Avulsed cotyledon
Succenturiate lobe
Placental adhesive
3. Uterine inversion
4. Ruptured Uterus
5. Lacerations 3. and Hematome
Episiotomy extensions
Lacerations of perineum, vagina, or cervix.

ATONIA UTERI

Biasanya fundus uteri teraba sesaat setelah persalinan, karena berkontraksi.


Adakalanya uterus tidak teraba dan gagal berkontraksi sehingga terjadi perdarahan,
yang disebut perdarahan karena atonia uteri. Perbedaannya dengan robekan jalan lahir
adalah, pada robekan jalan lahir uterus berkontraksi dengan baik, sedangkan pada
atonia uteri uterus teraba sangat lembek. Kadang-kadang perdarahan yang disebabkan
oleh karena atonia uteri mengikuti perdarahan yang disebabkan karena robekan jalan
lahir sebagai penyebab primer atau keduanya bersamaan.
Manajemen perdarahan karena atonia uteri yang tidak responsive terhadap
oksitosin:
1. Kerjakan kompresi bimanual uterus (interna). Tehniknya meliputi
pemijatan bagian posterior uterus dengan tangan yang berada di abdomen
dan bagian depan uterus dengan tangan yang berada di vagina melalui
fornik anterior (lihat gambar).
2. Bila belum berhasil menghentikan perdarahan, lanjutkan dengan kompresi
bimanual eksterna dengan bantuan tenaga orang lain, sambil
mempersiapkan pemberian uterotionika lanjutan.
3. Mulailah pemberian transfusi darah yang sesuai atau dengan cairan
pengganti.
4. Evaluasi penyebab perdaranan yang lainnya dengan menginspeksi serviks
dan vagina.
5. Bila semua upaya tidak berhasil, persiapkan histerektomi sebagai alternatif
dari ligasi arteri illiaca interna untuk mempertahankan kelangsungan hidup
si ibu.

Gambar: kompresi bimanual


SISA PLASENTA

Sisa plasenta yang tertinggal di dalam kavum uteri selain bisa menyebabkan
perdarahan segera setelah persalinan, juga bisa menyebabkan perdarahan pada masa
puerperium. Mengevaluasi kelengkapan plasenta segera setelah dilahirkan amatlah
penting untuk mengetahui apakah ada bagian-bagian plasenta yang masih tertinggal.
Bila ada sisa plasenta yang tertinggal, mengeluarkannya dengan segera hendaknya
dilakukan untuk mencegah terjadinya perdarahan. Di samping sisa plasenta di atas,
kadang-kadang tertinggalnya lobus susenturiata plasenta perlu juga diperhatikan yang
bisa menyebabkan perdarahan. Usahakan pengeluaran sisa plasenta atau lobus
susenturiata dengan cara digital, dan bila tidak memungkiunkan bisa dengan kuretase.

PLACENTA ADHESIVA

Plasenta adhesiva adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk


menggambarkan di mana implantasi plasenta melekat erat dengan dinding uterus.
Sebagai konsekuensi tidak adanya desidua basalis secara total atau sebagian, plasenta
akan tumbuh kearah lapisan fibrinoid uterus (Lapisan Nitabuch), yang mana bila villi
plasenta mencapai miometrium disebut plasenta akreta, bila masuk ke dalam
miometrium disebut plasenta inkreta, dan bila menembus miometrium disebut
plasenta perkreta.
Abnormalitas perlekatan plasenta ini walaupun jarang namun sering
menyebabkan meningkatnya morbiditas oleh karena terjadi perdarahan yang masif,
perforasi uterus, dan infeksi. Insiden plasenta akreta, inkreta dan perkreta ini
meningkat karena meningkatnya persalinan dengan seksio sesarea. Kejadiannya
berkisar antara 1 dari 7000 sampai 1 dari 2500 persalinan.
Faktor etiologi yang dikaitkan adalah kondisi-kondisi di mana plasenta
berimplantasi di segmen bawah uterus, pernah dilakukan seksio sesarea atau insisi
uterus lainnya, atau pernah dilakukan kuretase.
Diagnosis plasenta adhesiva ditegakkan umumnya setelah janin lahir,
kemudian terjadi perdarahan atau terjadi retensio plasenta. Sebenarnya diagnosis bisa
dibuat saat ante partum dengan ultrasonografi, di mana akan gambaran sonoluscen
subplasenta tidak ada.
Manajemen plasenta adhesiva ini tergantung dari dalamnya penetrasi plasenta
ke miometrium dan luasnya kotiledon yang melekat. Mengeluarkan plasenta secara
manual kadang-kadang bisa membantu, namun bila terjadi plasenta inkreta apalagi
perkreta, biasanya diperlukan tindakan kuretase. Yang menjadi pertimbangan lain
adalah apakah perdarahan banyak, dan jumlah anak, karena tindakan mengangkat
uterus mungkin saja akan dilakukan. Sebaikknya jangan melakukan penarikan tali
pusat, karena akan menyebabkan inversio uteri. Akhir-akhir ini sering dilakukan
manajemen konservatif yaitu dengan melakukan manual plasenta dan mengikat
uterus.

INVERSIO UTERI

Inversio uteri atau mendekatnya fundus uteri ke orificium uteri internum


paling sering disababkan penarikan tali pusat yang kuat pada inplantasi plasenta di
fundus uteri. Inversio ini bisa terjadi komplit atau inkomplit.
Gambar: Inversio uteri

Penanganan inversio uteri ini b ila trerlambat akan meningkatkan angka


mortalitas karena perdarahan. Tahapan-tahapan yang penting dan harus dikerjakan
secara simultan adalah sebagai berikut:
1. Dengan bantuan ahli anesthesia segera dilakukan pembiusan
2. Inversi uterus yang masih segar dengan plasenta yang sudah lepas,
biasanya lebih gampang direposisi dengan menekan fundus dengan tangan
sperti memegang peluru
3. Siapkan dua infus untuk ringer laktat dan transfusi
4. Bila plasenta belum lepas, di samping pemberian anesthesia juga diberikan
tokolitik seperti terbutalin, atau ritodrin atau MgSO4 untuk merelaksasi
uterus.
5. Setelah plasenta bisa dilepas, telapak tangan diletakkan di tengah-tengah
fundus uteri dengan jari tangan mengarah ke tepi serviks. Dilakukan
pendorongan fundus uteri melalui serviks uteri.
6. Setelah uterus berada pada posisi yang normal, tokoilitik dihentikan segera
dan diganti dengan uterotonika oksitosin drip.
Ada kalanya uterus tidak bisa direposisi dengan cara di atas, sehingga diperlukan
tindakan laparatomi.

RUPTURA UTERI

Ruptura uteri bisa terjadi karena trauma ataupun secara spontan. Trauma yang
sering menyebabkan ruptur uteri misalnya internal podalic version dan extraction,
forsep yang sulit, ekstraksi-ekstraksi pada letak sungsang, bayi besar dan hidrosefalus.
Insiden ruptur spontan kira-kira 1 dari 15000 persalinan. Ruptur spontan bisa oleh
karena: multi paritas, stimulasi oksitosin, disproporsi kepala pelvic, dan bayi besar.
Gambaran klinis ruptura uteri bervariasi seperti : pasien gelisah, nyeri
peritoneum dan dada karena rangsangan oleh darah, sampai kolap sirkulasi. Pada
janin juga dijumpai gawat janin bahkan kematian intrauteri. Kadang-kadang bagian
terendah janin mudah didorong ke atas dan masuk ke kavum peritoneum, selanjutnya
akan mudah teraba di kavum abdomen.
Keadaan-keadaan sepperti tersebut di atas memerlukan tindakan segera dan
spesialistik sehingga tidak ada alasan untuk menunda referal bila dijumpai tanda-
tanda seperti di atas.

Kepuatakaan
Obstetrical Hemorrhage. In Cunningham etc, Williams Obtetrics 21 ed.
McGraw-Hill, New York; 2001: 619-63

Anda mungkin juga menyukai