Anda di halaman 1dari 51

HUKUM WANITA MEMINTA MAHAR

DALAM ISLAM

KARYA TULIS ILMIAH


Disusun untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan
Mu’alimin Pesantren Persatuan Islam 19 Bentar Garut

Disusun Oleh :
DISTI KHOERUN NISA
NIS :19201008

MU’ALIMIN / MADRASAH ALIYAH


PESANTREN PERSATUAN ISLAM 19 BENTAR-GARUT
Jl.Guntur 156 A/668.Telp (0262) 233274 Bentar Garut – 4411
2021 M / 1443 H
LEMBAR PENGESAHAN

HUKUM WANITA MEMINTA MAHAR DALAM ISLAM

KARYA TULIS ILMIAH


Di susun untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan
Mu'allimin Pesantren Persatuan Islam No.19 Bentar Garut

Disusun Oleh :
DISTI KHOERUN NISA
NIS : 192010083

Disetujui Oleh :
Pembimbing Biro Paper

Neneng Rahmi. SD, SE, S.Kep Fazar Azhari, M.Pd

Disahkan Oleh:
Mudir Mu'allimin PPI 19 Bentar Garut

Kadar Muttakin, Lc.

Mengetahui,
Mudir 'Am PPI 19 Bentar Garut

H. Uban Subandi

i
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬


Puji serta syukur kita panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dzat

yang hanya kepada-Nya memohon pertolongan. Alhamdulillah atas segala

pertolongan, rahmat, dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

karya tulis ini yang berjudul “HUKUM WANITA MEMINTA MAHAR

DALAM ISLAM” yang disusun untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan

tingkat mu’allimin.

Shalawat serta salam kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasalam yang

senantiasa menjadi sumber inspirasi dan teladan terbaik untuk umat manusia.

Tidak lupa juga kepada keluarganya, sahabatnya, tabi’in, itba’ut-tabiin, dan

sampailah kepada kita selaku umatnya. Aamiin.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan karya tulis ini banyak

mengalami kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai

pihak dan berkah dari Allah SWT. sehingga kendala-kendala yang dihadapi dapat

diatasi. Penulis mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua yang telah membesarkan dengan penuh cinta dan kasih

sayang, memberikan doa, motivasi, semangat, dan dukungan yang tak terukur

oleh apa pun.

2. Al- Ustadz H. Uban Subandi selaku Mudirul ‘Am.

3. Al- Ustadz H. Kadar Muttakin, Lc selaku Mudirul Mu’allimin.

ii
4. Al- Ustadz Fazar Azhari, M.Pd selaku biro paper yang selalu memberi saran

dan arahan tentang kepenulisan.

5. Neneng Rahmi.SD,SE,S.Kep selaku pembimbing yang selalu memberi

bimbingan dan pengarahan dalam pembuatan karya tulis ini.

6. Al- Ustadz Edi Surahman selaku wali kelas XII- C Mu’allimin.

7. Seluruh Asatidz dan Asatidzah Mu’allimin Pesantren Persatuan Islam 19

Bentar yang telah memberikan ilmu kepada penulis.

8. Fitri Yani dan Novi Qurratu Aini selaku sahabat penulis yang selalu memberi

semangat dan menemani dalam suka dan duka.

9. Seluruh teman-teman angkatan 41 yang tidak bisa penulis sebutkan satu

persatu.

Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna, penulis masih melakukan

kesalahan dalam penyusunan karya tulis ini. Oleh karena itu, penulis meminta

maaf yang sedalam-dalamnya kepada siapa saja yang membaca karya tulis ini atas

kesalahan yang dilakukan penulis.

Penulis berharap semoga karya tulis ini dapat bermanfaat, khususnya bagi

penulis sendiri dan umumnya bagi para pembaca. Kebenaran datangnya dari Allah

dan kesalahan datangnya dari diri penulis. Semoga Allah SWT. senantiasa

melimpahkan rahmat dan ridho-Nya kepada kita semua. Aamiin.

Garut, … Desember 2021

Disti Khoerun Nisa

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................
A. Latar Belakang Masalah...............................................................................................................
B. Perumusah Masalah......................................................................................................................
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................................................
D. Metode Penelitian..........................................................................................................................
E.Sistematika Penulisan.....................................................................................................................
BAB II DESKRIPSI KONSEP DAN TEORI............................................................................
A. Definisi Hukum Mahar.................................................................................................................
1. Terminologi Mahar Dalam Fikih Perkawinan................................................................
2. Menurut Fikih Dan Undang – Undang...........................................................................
B. Pandangan Para Ulama Tentang Hukum Wanita Meminta Mahar
Dalam Islam..................................................................................................................................
C. Hukum Wanita Meminta Mahar Dalam Islam.......................................................................
1. Pengertian Meminta.....................................................................................................
BAB III PEMBAHASAN MASALAH...................................................................................
A. Mahar............................................................................................................................................
1. Tren Mahar Di Era Digital...........................................................................................
2. Dasar Hukum Mahar....................................................................................................
3. Hukum Disyari’atkannya Mahar..................................................................................
4. Nilai Jumlah Mahar......................................................................................................
5. Macam-Macam Mahar.................................................................................................
6. Pelaksanaan Pemberian Mahar.....................................................................................
7. Pemegang Hak Mahar..................................................................................................
B. Hukum Wanita Meminta Mahar Dalam Islam.......................................................................

iv
1. Terkait Beratnya Mahar................................................................................................
BAB IV KESIMPULAN..........................................................................................................
A. Kesimpulan...................................................................................................................................
B. Saran..............................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

v
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Mahar adalah syarat pernikahan, dalam sejarah hukum islam

jenis dan mahar tidak pernah di bakukan. Mahar terus berubah dan

terpolakan secara sosial-kultural ekonomi di era pemerintahan Umar

Ibnu al Khathab misalnya muncul tradisi mahar baru yang super

tinggi, nyaris tidak terjangkau standar kemampuan umum kaum laki-

laki saat itu mengeluhkan besaran mahar. Secara kolektif, keluhan

ini disampaikan Umar beliau lalu berceramah lantang di sebuah

masjid memperingatkan perempuan atas kelakuannya yang

memasang standar mahar yang tinggi. Secara historis, mahar

berfungsi sebagai satu instrument legal sentral dalam konsep dan

praktek pernikahan islam. Sejak awal sejarah islam praktek mahar

mendapat banyak sorotan baik dari sisi ke bernihakannya kepada

perempuan signifikansi ideologis ekonomis atau makna moaralnya

praktek hukum mahar dalam kehidupan umat islam sangat erat

kaitannya, dengan dinamika dan struktur sosial sejarah konstruksi

dan aplikasi mahar adalah potret dinamis inetraksi anasir sosial,

politik, ekonomi dan budaya, bukan fakta kejumudan.

1
2

Namun selama ini kajian yang ada tentang mahar masih

selalu terfokus pada dimensi normatifnya sementara titik singgung

mahar pariabel sosial, budaya dan ekonomi cenderung terbaikan

fakta titik singgung praktek mahar dengan dinamika kehidupan umat

islam tidak dapat dipungkiri mahar sebetulnya memainkan fungsi

dan perana yang sangat penting terutama kaitannya dengan refleksi

sosial-kultural dan Ekonomi. Peradaban tran literasi istilah mahr

(Arab) jujuran (Banjar), sompa, dui balanca (bugis), uang panaik

(Makassar), mahar, pisuka dan Ajikrama (sask), serta maskwin

(Jawa), mengisyaratkan variasi konseptualisasi dan pemaknaanya

dalam kajian sosial, praktek mahar erat kaitanya dengan struktur

sosial, pada komunikasi tertentu mahar menjadi exspresi kelas sosial

atau penegasan nobilitas satu keluarga.

Dulu dan sekarang di masyarakat seperti dituturkan oleh

greertz, orang tua sering menggunakan pranaka mahar untuk

revalidasi status sosialnya pada publik 1. Untuk tujuan itu orang tua

lazim merayakan pernikahan anak gadisnya secara meriyah dan

biayanya di bebankan kepada calon mempelai laki-laki dalam bentuk

maskawin atau mahar dalam permaknaan adat setempat.

Setelah pemaparan diatas penulis berminat untuk membuat

sebuah karya ilmiah tentang “HUKUM WANITA MEMINTA

MAHAR DALAM ISLAM”

1
Geetz, The Javanese Family: A study of Kindship and Socialization, (New York: The Free Prees of
Glenceo, 1961) , h. 45.
3

B. Perumusah Masalah

Dari latar belakang yang telah penulis uraikan diatas, untuk

membatasi pembahasan karya tulis ini penulis merumuskan masalah

sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan mahar?

2. Bagaimana pandangan para ulama tentang wanita meminta

mahar?

3. Bagaimana hokum wanita meminta mahar dalam islam?

C. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penulisan adalah:

1. Untuk mengetahui definisi mahar

2. Untuk mengetahui pandangan para ulama tentang wanta

meminta mahar

3. Untuk mengetahui hukum wanita meminta mahar dalam

islam.

D. Metode Penelitian

Penulisan karya tulis menggunakan metode kepustakaan

(libray research method) yaitu dengan teknik menganalisis hukum

wanita meneliti buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan

tersebut, metode dengan cara mencari referensi dari internet,

dokumen, majalah, buku, digunakan dari sumber-sumber data yang


4

akan digali berupa naskah-naskah tertulis, yang berbentuk Koran,

arsip surat, dan teks-teks lainya.

E. Sistematika Penulisan

Untuk pembahasan karya tulis ini penulis akan membagi

dalam empat (IV) BAB. Dan secara garis besar pembagian dari

keempat bab tersebut di jelaskan sebagai berikut:

BAB 1: PENDAHULUAN Yang meliputi : Latar Belakang Masalah,

Perumusahan Masalah, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian,

Sistematika Penulisan.

BAB 2: DESKRIPSI KONSEP DAN TEORI yang meliputi definisi

mahar, pandangan para ulama tentang mahar, hukum wanita, meminta

mahar dalam islam.

BAB 3: PEMBAHASAAN MASALAH yang meliputi : mahar, hukum

wanita meminta mahar dalam islam.

BAB 4: KESIMPULAN yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran- saran.


BAB II

DESKRIPSI KONSEP DAN TEORI

A. Definisi Mahar

1. Terminologi Mahar Dalam Fikih Perkawinan

Mahar dalam bahasa Arab disebut Sadaq Kata tersebut juga

dapat dikatan maskawin bagi istri 2. Sementara itu, teminologi

mahar (maskawin) menurut para fukaha terdapat beragam definisi

yang secara umum memiliki kesamaan. Abdurrahman Al-zaziri

dalam al-fqh ala al-madahib al-arba’ah mahar sebagai benda

yang wajib diberikan oleh seorang pria terhadap seorang wanita

yang disebut dalam akad nikah sebagai pernyataan persetujuan

antara pria dan wanita itu untuk hidup bersama dalam hidup

suami istri. Al-Malibari mendefinisian mahar adalah sejumlah

harta yang wajib diberikan Karena nikah atau wathi

(persetubuhan). Maskawin disebut “shadaq” karena di dalamnya

terkadung pengertian bahwa memberi sesuatu itu betul-betul

senang mengikat pernikahan, sedangkan nikah merupakan pangkal

yang mewajibkan adanya maskawin.

Selain itu Wahbah zuhzili dalam fiqih Islam waadillatuhu

menyebut mahar sebagai harta yang berhak didapatkan oleh

2
Aspandi, LC., M.H.I Terminologi Mahar Dalam Fikih Perkawinan, hal 246. (pdf)

5
6

seorang istri yang harus diberikan oleh sang suami mau karena

akad atau karena persetubuhan hakiki. Terminologi mahar juga

disebutkan dalam pasal 1 sub dikompilasi Hukum Islam (KHI),

mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon

mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang

tidak bertentangan dengn hukum Islam. Berdasarkan beberapa

definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksudkan dengan mahar dalam fikih perkawinan adalah harta

pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri, dan

merupakan hak penuh bagi istri.

2. Menurut Fikih Dan Undang – Undang

Menurut Amir Syarifuddin bahwa mahar dalam bahasa arab

ada delapan nama, yaitu mahar, shadaq, nihlah, faridhah, hiba’,

ujr, ‘uqar, dan ulaiq. 3 Keseluruhan kata tersebut mengandung

arti pemberian wajib sebagai imbalan dari sesuatu yang

diterima .Definisi tersebut mengandung pengertian bahwa

pemberian wajib yang diserahkan mempelai laki-laki kepada

mempelai perempuan tidak dalam kesempatan akad nikah atau

setelah selesai peristiwa akad nikah tidak disebut mahar tetapi

nafaqah. Bila pemberian itu dilakukan secara suka rela di luar

akad nikah tidak disebut mahar atau dengan arti pemberian

biasa, baik sebelum akad nikah atau setelah selesainya

3
Drs. Husaini, SH. Mahar Fikih dan Undang-undang hal 4 (pdf)
7

pelaksanaan akad nikah. Demikian pula pemberian yang

diberikan mempelai laki-laki dalam waktu akad nikah namun

tidak kepada mempelai perempuan, tidak disebut mahar.

Husain Muhammad menjelaskan pula, bahwa mahar atau

maskawin adalah nama bagi harta yang diberikan oleh pihak

laki-laki kepada perempuan karena terjadinya perkawinan.

Dalam fiqh Islam, selain kata mahar, terdapat sejumlah istilah

lain yang mempunyai konotasi yang sama antara lain: shadaq,

nihlah dan haul. Mahar ditetapkan sebagai kewajiban suami

kepada istrinya, sebagai tanda keseriusannya untuk mengawini

dan mencintai perempuan, sebagai penghormatan dan

kemanusiaannya, dan sebagai lambang ketulusan hati untuk

menggaulinya secara ma’ruf.

Abd.Rahman Ghazaly memberikan pengertian mahar, yaitu:

“Pmberian wajib dari calon suami kepada calon isteri sebagai

ketulusan calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih

saying bagi seorang istri sebgai ketulusan calon suaminya” atau,

“suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada

calon isterinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa

(memerdekakan, mengajar, dan sebagainya)”.

Islam sangat menghargai kedudukan seorang wanita dengan

memberi hak kepadanya, diantaranya hak untuk menerima

mahar (maskawin). Mahar hanya diberikan oleh calon suami


8

kepada calon isteri, bukan kepada wanita lainya atau siapapun

walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh

menjamahnya apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya

sendiri, kecuali dengan ridha dan kerelan istri.

Imam Syafi’i mengatakan, bahwa mahar adalah sesuatu

yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan

untuk dapat menguasai seluruh anggota badanya.

Oleh karena mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan

Imam Malik mengatakan sebagai rukun nikah, maka hukum

memberikannya adalah wajib, berdasarkan firman Allah Swt.

Dalam surat an-Nisa’ ayat 4.

Selanjutnya, mahar dalam perkawinan menurut istilah dalam

peraturan perundang-undangan hanya diperoleh dalam pasal 1

huruf (d) KHI, yaitu: “pemberian dari calon mempelai pria

kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, undang

atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum islam”.

Dari definisi mahar di atas jelaslah, baik menurut kitab-

kitab fiqh maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku

di Indonesia, bahwa hukum taklifi dari mahar itu adalah wajib,

dengan arti laki-laki yang mengawini seorang perempuan wajib

menyerahkan mahar kepada calon istrinya itu, baik berbentuk

barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum


9

islam, sebaliknya berdosa bagi suami yang tidak menyerahkan

mahar kepada istrinya.

Dasar wajibnya menyerahkan mahar itu ditetapkan dalam al-

qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW. Dalam al-qur’an

antara lain disebutkan:

Artinya:”Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang

kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.

Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian

dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah

(ambilah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi

baik akibatnya”. QS. an-Nisa’; 4).

Artinya:…”maka istri-istri yang kamu nikamati (campuri)

diantara mereka dan berikanlah kepada mereka (maharnya

dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban …”.(QS. An-Nisa’:

24).

Ya Rasulullah, bila anada tidak punya keinginan untuk

mwngawininya, maka kawinkan saya dengannya. Nabi SAW

bersabda: “Apa kamu memiliki sesuatu”? Ia berkata: “Tidak,

ya Rasulullah”. Nabi SAW bersabda: “Peergilah kepada

keluargamu, mungkin kamu akan mendapatkan sesuatu”.

Kmudian dia pergi dan segera kembali dan berkata : “Saya

tidak memperoleh sesuatu ya Rasulullah”. Nabi SAW bersabda:


10

“Carilah walaupun hanya sebentuk cincin besi”. (Hadis

Riwayat Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan perintah al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW di

atas, dapat dijadikan dasar kewajiaban bagi calon suami untuk

memberikan mahar kepada calon isterinya, maka dalam hal ini

ulama sepakat menetapkan hukum nya wajib memberi mahar

kepada istri. Tidak ditemukan dalam litelatur ulama

menetapkannya sebagai rukun. Mereka sepakat menepatkannya

sebagai syarat sah bagi suatu perkawinan, dalam arti

perkawinan yang tidak pakai mahar adalah tidak sah. Bahkan

ulama Zihriyah mengatakan, bahwa apabila dalam akad nikh

disyaratkan tidak pkai mahar, maka perkawinan tersebut dapat

dibatalkan.

Meskipun demikian, apabila setelah menerima mahar istri

memberikan lagi sebagian dari maharnya kepada suaminya

secara sukarela, suami boleh menerimanya. Hal ini dapat

dipahami dari ujung 4 surat an-Nisa’ di atas.

Selanjutnya apabila dibandingkan dengan kewajiban mahar

menurut KHI menegaskan sebagai berikut:

Pasal 30:“Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada

calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya

diepakati oleh kedua belah pihak”.


11

Pasal 32:“Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai

wanita, dan sejak itu menjadi hak pribadinya”.

Pasal 33: ( 1). Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai. (2).

Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar

boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian.

Mahar yang belumm ditunaikan penyerahannya menjadi hutang

calon mempelai pria.

Pasal 34: (1). Kewajiban menyerahkan mahar bukan

menyerupakan rukun dalam perkawinan. (2). Kelalaian menyebut

jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak

menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam

keadaan mahar masih terutang, tidak mengurangi sahnya

perkawinan.

Dengan perbandingan antara pendapat ulama fiqh dan

Ulama madzab dengan KHI di atas dapat disimpulkan adanya

kesamaan persepsi tentang kedudukan mahar dalam perkawinan

yaitu suatu kewajiaban bagi suami untuk diberikan krpada

isterinya sebagai syarat. Penyerahannya mahar itu pada dasarnya

tunai, namun dapat ditangguhkan/dihutangkan pembayarannya

apabila kedua belah pihak mempelai menyepakatinya.

Beda halnya tentang persyaratan mahar yang ditetapkan

dalam KHI tidak berakibat tidak sahnya perkawinan apabila

tidak meyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah.
12

Sedangkan ulama madzhab diantaranya ulama Zhariyyah

mengatakan, bahwa apabila dalam akad nikah dipersyaratkan

tidak pakai mahar, maka perkawinan tersebut tidak sah dan

dapat dibatalkan.

B. Pandangan Para Ulama Tentang Hukum Wanita Meminta

Mahar Dalam Islam

1. Menurut Madzhab Hanafiyyah, mahar adalah harta yang

diwajibkan atas suami ketika berlangsungnya akad nikah sebagai

imbalan dari kenikmatan seksual yang diterimanya.

2. Menurut Madzhab Maliki, mahar adalah sesuatu yang harus

diberikan kepada seorang istri didalam kehendak untuk

menggaulinya.

3. Menurut Madzhab Syafi’i, mahar adalah sesuatu yang diwajibkan

pemebarian oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat

menguasi seluruh anggota badanya sebab pernikahan dan Allah

telah memerintahkan para suami untuk memberikan kepada

wanita upah-upah dan maskawin mereka. Adapun yang dimaksud

dengan upah disini adalah mahar itu sendiri.

4. Menurut Madzhab Hambali, mahar adalah sebagai penggati

dalam pernikahan baik mahar ditentukan dalam akad atau

ditetapkan setelahnya dengan keridhoan kedua belah pihak.


13

5. Menurut Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi Nihlah artinya

ketetapan yang hukumnya wajib. Sedangkan shaduqa (shadaq)

bermakna mahar dengan dasar sebagaimna yang telah dijelaskan

sebelumnya. Allah SWT Memerintahkan kepada umat isalam

untuk memberikan mahar pernikahan kepada isteri-isteri mereka.

Yang mana pemberian mahar tersebut merupakan sebuah

kewajiban yang telah ditetapkan. Setelah mahar diberikan maka

tidak halal hukumnya bagi sang suami atau selainya mengambil

mahar tersebut kecuali dengan ridho pemiliknya.

6. Sedangkan menurut Syekh Prof. Quraisy Syihab lafadz Shaduqat

merupakan jama’ dari lafadz yang terambil dari akar kata yang

bermakna kebenaran. Ini karena maskawin itu didahului oleh

janji sehingga pemberian itu merupakan bukti kebenaran janji.

Nihlah berarti pemberian yang tulus tanpa mengharapkan

sedikitpun Imbalan. Selain itu ia juga dapat bermakna agama

dan pandangan hidup. Sehingga maskawin yang diserahkan itu

merupakan bukti kebenaran dan ketulusan hati sang suami, yang

diberikannya tanpa mengharap imbalan sebab dorongan oleh

tuntunan agama atau pandangan hidupnya.

7. Syaikh Wahbah Zuhaili menafsirkan ayat dengan pendapatnya

yang mengatakan bahawa disebabkan kenikmatan yang didapat

laki-laki dari perempuan yang telah dinikahinya dengan akad

syar’i dan permanen, maka berikanlah mahar kepada mereka


14

seperti yang diwajibkan Allah atas diri kalian. Mahar merupakan

pemuliaan bagi para perempuan, bukan sebagai harga dari suatu

atau lat tukar dalam jual bli. Mahar bukan sebagai imbalan

bersenng-senang dengan si perempuan, melainkan untuk

mewujudkan keadilan dan persamaan sebagai bukti cinta dan

keikhlasan.

C. Hukum Wanita Meminta Mahar Dalam Islam

1. Pengertian Meminta

Meminta-minta dalam bahasa Arab bentuk kata kerja fiil

madhi yang diambil dari kata sa’ala, yang berarti bertanya dan

meminta (mengemis). 4
Secara harfiah berarti seorang peminta

minta. Dalam betuk fiil sulatsi mazid meminta-minta berasal dari

kata tasawwala yang artinya pemberian. Sebagian ulama

mendefinisikan tasawwala adalah upaya meminta harta orang lain,

bukan untuk kemaslahatan agama melainkan untuk kepentingan

pribadi. Dalama kamus besar bahasa Indonesia, kata meminta-

minta mempunyai dua arti, yaitu meminta-minta sedekah dan

meminta secara merendah-rendah dengan penuh harapan. Ibn Hajar

al-Asqalani Dalam kitabnya, bahwa perbuatan meminta-minta tidak

dibolehan. Selain untuk kemaslahatan gama. Berdasarkan definisi

tersebut dapat diketahui bahwa taswwal adalah untuk kepentingan

4
Ardiansyah, Tentang meminta hal 76 (pdf)
15

diri sendiribukan untuk kemslahatan agama atau kepentingan kaum

muslimin.

Al-quran menggunakan istilah: aw miskinan dza matrabah

yang secara kebahasaan berarti bertanya atau meminta. Dalam Al-

quran pengertian minta-minta yang di ulang sebanyak delapan kali.

Diantaranya terdapat pada surat ad-Duha: “an terhadap orang

yang minta-minta jangan engkau menghardiknya.”

Di dalam Al-qur'an juga ditemukan istilah lafadz sa’ala

yang jumlahanya sebanyak empat kali. Dua diantaranya meyangkut

permintaan materi yaitu: "Dan pada harta benda mereka ada hak

untuk orang miskin yang meminta, dan orang miskin yang tidak

meminta". "Dan orang-orang yang didalam hartanya disispakan

bagian tertentu bagi orang miskin yang menerima dan yang tidak

meminta".

Adapun ayat ketiga yang menggunakan istilah sa’il terdapat

(QS al- Ma’arij 70) Yang merupakan permintaan yang bersifat

non-materi “seorang peminta telah meminta kedatangan siksa

(azab) yang akan terjadi.”

Sementara itu, ayat keempat yang menggunakan istilah sa’il,

sifatnya sangat umum. Bisa saja istilah tersebut mengandung

penertian permintaan materi, bias juga mengandung pembicaraan

informasi, ayat yang dimaksud adalah ayat 10 surat ad-Duha. Az-

Zamakhsyari dan Naisaburi Memahami kata “as-sa’il” pada ayat


16

10 surat ad-Duha ini sebagai “penuntut ilmu”, sedangakan at-

Tabari mengartikannya sebagai sebagai yang membutuhkan sesuatu,

apapun sesuatu itu, baik berupa informasi maupun materi.

Sementara itu, M. Quraish Shihab cenderung menguatkan pendapat

At-Tabari dengan berdalil pada kaidah Ushul Fiqh yang

dikemukakan oleh imam asy-Syafi’i dan di akui oleh musyafir,

yaitu: “Satu kata yang mengandung dua arti bereda tidak saling

bertentangan maka kedua arti tersebut di ampun bersama guna

pemahaman arti kata tersebut” jadi pengertian istilah as’sail pada

ayat 10 surat ad-Duha ini, adalah seorang yang bertanya tentang

ilmu, atau seorang meminta benda atau materi yang sangat

dibutuhkan.

Menurut Al-Qurtubi ayat ini merupakan larangan untuk

menhardik para meminta-minta, yakni larangan untuk mengeraskan

nada bicara kepada orang yang meminta-minta. Perlakukan lah

mereka dengan memberikan sedikit uang atau menolaknya dengan

bahasa yang santun. Senada dengan pendapat al-Qurtubi tersebut

qatadah berpendapat ayat tersebut mengisyaratkan bahwa

mengahadapi para peminta-mita hendaklah dengan sikap “memberi

atau menolak orang muskin (pengemis) itu dengan kasih sayang

dan sikap yang lembut”.


BAB III

PEMBAHASAN MASALAH

A. Mahar

1. Tren Mahar Di Era Digital

Perubahan tren mahar di era digital, dapat dilihat dari

beberapa kasus penggunaan mahar di tanah air. Ada tiga kasus

yang sempat viral di dunia maya, tentang penggunaan mahar

digital dalam praktik perkawinan yang akan dijadikan ilustrasi,

tentang kecenderungan baru penggunaan mahar digital saat ini.

a. Mahar saldo Go-Pay

Penggunaan uang virtual lainya sebagai mahar adalah

kasus pernikahan Insan Syamsuddin dan Linda Novianti.

Keduanya menggunakan saldo go-pay sebesar Rp. 10 juta

sebagai mahar pernikahan yang dilaksanakan pada tanggal 11

Oktober 2020. Mahar yang sudah diserahkan ditunjukan

dalam jumlah saldo di akun gojek milik Linda

(Liputan6.com,2020)

Go-pay adalah metode pembayaran untuk memudahkan

pengguna layanan go-jek. Go-jek sendiri adalah layanan

angkutan online karya anak bangsa yang beroperasi

menggunakan suatu aplikasi. Untuk memenuhi kebutuhan

pelanggannya, gojek menyediakan system layanan non-tunai

yang di beri nama go-pay ini. Adanya go-pay tentu saja

17
18

memberi kemudahan kepada driver dan pelanggan dalam

melakukan transaksi yang efektif, efisien, cepat, dan aman.

b. Mahar Google adense dan hosting

Seorang blogger, Halfi Chandra Biwara berinisiatif

berupa mahar google adense dan hosting unlimited kepada

isterinya, karena kecintaan pada dunia blog, Chandra lantas

berniat memberikan mahar google adense dan dan hosting

unlimited kepada perempuan yang ia cintainya, Firda.

Keinginan Chandra ini tentu saja tidak disetujui pihak KUA,

karena mereka belum mengerti apa dan bagaimana manfaat

keduanya. Tetapi setelah Chandra menjelaskan, KUA pun

menyetujui dan pernikahan mereka dilaksanakan dengan

mahar google adense $ 200 USD dan hosting selama tiga

tahun ini dikoreksi oleh pihak KUA, agar hanya tidak

sebatas tiga tahun tetapi selamanya, maka Chandra mengubah

batas waktunya menjadi unlimited (Jatuh Cinta Pada

Bogging, 2020).

Google adense adalah program kerja sama periklanan

melalui media internet yang diadakan oleh google.

Sebelumnya, google telah mengembangkan google awords

sebagai cikal bakal adanya google adense. Google Adwords

adalah program periklanan yang ditawarkan google kepada

pemilik situs dengan cara menmpilkan link situs pengiklan


19

dihasil pencarian untuk kata kunci tertentu. Tetapi google

adwords ini tidak bisa di jangkau pengguna internet

menggunakan google sebagai mesin pencari. Karena itu

google menawarkan kepada pemilik situs untuk memasang

iklan google adwords disitus mereka dengan cara bagi hasil.

Inilah disebut google adense. Setiap situs pengunjung

anggota google menawarkan kepada pemilik situs untuk

memasang iklan google adwords disitus mereka dengan cara

bagi hasil. Inilah disebut google adense Setiap situs

pengunjung anggota google adense yang mengklik iklan yang

dipasang disitus itu, maka pemilik situs akan mendapatkan

komisi dari google dengan metode pembayaran pay per clik

(PPC). Harga PPC sendiri tergantung seberapa mahal kata

kunci tersebut dihargai oleh pemasang iklan. Kata kunci

yang brnilai tinggi disebut dengan High Paying Keyword

(Hendra, 2007).

Selain google adense di atas, pasangan Chandra dan

Firda juga menggunakan hosting unlimited sebgai mahar

pernikahanya.

c. Mahar Cryptocurrency

Pasangan tersebut menggunakan asset kripto sebagai

mahar karena asset kripto secara simbolis melambangkan

keabadian cinta, karena system penimpananya dalam


20

teknologi blockcbain mewakili peristiwa pernikahan yang

sangat bersejarah dan akan tersimpan selamaya. Penyerahan

asset kripto pada saat pelaksanaan pernikahan disimbolkan

dengan penyerahan QR code mewakili sebuah wallet digital

yang bias di pindai untuk melihat jumlah asset yang

tersimpan didalamnya (Sitepu, 2020).

2. Dasar Hukum Mahar

Mahar merupakan kewajiban bagi calon suami kepada calon

isteri, bukan sebaliknya. Kewajiban mahar bagi calon suami dalam

perkawinan di dasarkan pada Al-Quran dan Al-Sunnah. Pertama, di

dalam Al-Quran surat An-Nisā’ ayat 4, Allah SWT berfirman:

‫ص ُد ٰقَتِ ِه َّن حِن ْلَ ةً ۚ فَِإن ِطنْب َ لَ ُك ْم َعن َش ْى ٍء ِّمْن هُ نَ ْف ًس ا فَ ُكلُوهُ َهنِ ٓيـًٔا‬
َ َ‫ِّس ٓاء‬
۟
َ ‫َوءَاتُوا ٱلن‬

‫َّم ِر ٓيـًٔا‬

“ Berikanlah maskawin kepada wanita sebagai pemberian

dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan

kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati,

maka makanlah pemberian itu yang sedap lagi baik

akibatnya”. (QS. An-Nisa, 4: 4).

Ayat tersebut menyebutkan “mahar” dengan istilah “sadaq”

yang dapat juga diartikan sebagai pemberian dari Allah atau

hadiah. Jumhur fuqaha berpandangan bahwa al-mukhatab bihi


21

(objek) dalam ayat tersebut di tunjukan kepada para calon

suami. Sementara itu, hal itu dikarenakan pada zaman Jahiliyah

mereka yang mengambil mahar tersebut yang disebut dengan

nihlah. 5
Ayat tersebut menjadi dalil bahwa mahar merupakan

symbol sebagai pemuliaan terhadap wanita.

Dalam surat An-Nisa, Allah SWT, berfirman yang artinya:

“Karena itu kawinilah mereka dengan seiizin tuan mereka,

dan berilah maskawin mereka menurut yang patut. (QS. An-

Nisa, 4: 25)

Dalam ayat diatas digunakan istilah ajrun atau ujurahun.

Istilah tersebut yang makna asalnya upah, dalam konteks ayat

itu bermakna mahar atau maskawin bagi hamba sahaya

perempuan yang hendak dinikahi, yang di di samping harus

izin orang tuanya, juga harus dibayar maharnya. Dengan

demikian, dalam konteks hak atas mahar, tidak ada perbedaan

antara perempuan hamba sahaya dan perempuan merdeka, Islam

telah melakukannya secara dalil, terutama dalam upaya

membebaskan kaum perempuan dari ketindasan sosial budaya.

Demikian pula, dalam surat An-Nisa ayat 20 Allah SWT

berfirman yang artinya:

5
Wahbah Az-Zuhaili, Fikih Islam Wa Adillatuhu, 6759.
22

ۗ ‫ج َّواَٰتْيتُ ْم اِ ْح ٰد ُىه َّن قِْنطَ ًارا فَاَل تَْأ ُخ ُذ ْوا ِمْن هُ َشْيـًٔا‬ ِ ‫واِ ْن اَر ْدمُّت‬
ٍ ۙ ‫اس تْب َد َال َز ْو ٍج َّم َك ا َن َز ْو‬
ْ ُ َ َ

‫اَتَْأ ُخ ُذ ْونَهٗ بُ ْهتَانًا َّواِمْثًا ُّمبِْينًا‬

“ Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri

yang lain, sedang kamau telah memberikan kepada eseorang di

antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu

mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakaha

kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang

dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? (QS. An-

Nisa, 4: 20)

Dalam surat Al-Baqarah ayat 237 disebutkan:

‫تُ ْم آِاَّل اَ ْن‬o‫ض‬ ْ ِ‫ةً فَن‬o‫ْض‬


ْ ‫ا فَ َر‬oo‫فُ َم‬o‫ص‬ َ ‫تُ ْم لَه َُّن فَ ِري‬o‫ض‬ ِ o‫وْ ه َُّن ِم ْن قَ ْب‬oo‫طلَّ ْقتُ ُم‬
ْ ‫ ْد فَ َر‬oَ‫وْ ه َُّن َوق‬o‫ل اَ ْن تَ َم ُّس‬o َ ‫َواِ ْن‬

ْ َ‫ ُوا ْالف‬o ‫اح ۗ َواَ ْن تَ ْعفُ ْٓوا اَ ْق َربُ لِلتَّ ْق ٰو ۗى َواَل تَ ْن َس‬
‫ َل بَ ْينَ ُك ْم ۗ اِ َّن‬o ‫ض‬ ِ ‫يَّ ْعفُوْ نَ اَوْ يَ ْعفُ َوا الَّ ِذيْ بِيَ ِد ٖه ُع ْق َدةُ النِّ َك‬
‫هّٰللا‬
ِ َ‫َ بِ َما تَ ْع َملُوْ نَ ب‬
‫ص ْي ٌر‬

“ Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu

bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah

menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang

telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu

memaafkan atau dimafkan oleh orang yang memegang ikatan

nikah, dan pemaafan kamu lebih dekat kepada takwa. Dan

janganlah kamu meluapakan keutamaan di anatra kamu.


23

Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu

kerjakan. (QS. Al-Baqarah, 2: 237)

Demikian pula, surat An-Nisa ayat ayat 34 yang

menyebutkan sebagai berikut:

‫ض َّومِبَ ٓا اَْن َف ُق ْوا ِم ْن‬


ٍ ‫ض ُه ْم َع ٰلى َب ْع‬ ٰ َّ َ‫ال َق َّوام و َن علَى النِّس اِۤء مِب ا ف‬
َ ‫ض َل اللّ هُ َب ْع‬ َ َ َ ْ ُ ُ ‫اَ ِّلر َج‬

‫ظ ال ٰلّ هُ ۗ َوا ٰلّيِت ْ خَتَ ا ُف ْو َن نُ ُش ْو َز ُه َّن‬


َ ‫ب مِب َ ا َح ِف‬
ِ ‫ت لِّْلغَْي‬ ِ
ٌ ‫ٰت ٰحف ٰظ‬
ِ ‫الص لِ ٰح‬
ٌ ‫ت ٰقنت‬
ِ‫هِل‬
ُ ّٰ َ‫اَْم َوا ْم ۗ ف‬

‫اض ِربُ ْو ُه َّن ۚ فَ اِ ْن اَطَ ْعنَ ُك ْم فَاَل َتْبغُ ْوا َعلَْي ِه َّن‬ ِ ‫فَعِظُ وه َّن واهج روه َّن ىِف الْمض‬
ْ ‫اج ِع َو‬ َ َ ُ ُْ ُ ْ َ ُ ْ

‫َسبِْياًل ۗاِ َّن ال ٰلّهَ َكا َن َعلِيًّا َكبِْيًرا‬

“ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,

oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-

laki) atas sebagian dari harta mereka”. (QS. An-Nisa, 4: 34)

Ayat-ayat Al-Quran yang telah dikemukakan di atas

merupakan dalil kepada kaum laki-laki yang hendak menukahi

perempuan untuk memberikan mahar dengan ikhlas agar hak

perempuan sejak awal telah ditegakan.

Dasar hukum kedua kewajiban mahar adalah hadis,

sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

“ Telah berkata Yahya, telah berkata Waqi’ dari Abi

Hazim bin Dinar dari Sahal bin Sa’id bahwa nabi berkata:
24

Hendaklah seseorang menikah meskipun (hanya dengan mahar)

sebuah cincin yang terbuat dari besi. (Sahih Bukhari, 601).

3. Hukum Disyari’atkannya Mahar

Dalam Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Wahba Zuhailyi

menyebutkan beberapa hikmah disyariatkannya mahar dalam

perkawinan. Diantara hikmah diwajibkannya mahar bagi calon

suami yaitu untuk menampakkan urgensinya akad nikah dan

kedudukannya. Selain itu, mahar juga sebagai symbol kemuliaan

seorang wanita. Mahar juga menunjukkan kebenaran dan

kesungguhan cinta kasih seorang calon suami kepada calon

isteri. Mahar merupakan bukti kebenaran ucapan laki-laki atas

keinginannya untuk menjadi suami bagi orang yang dicintainya

dan melangsungkan kehidupan bersama-sama. Mahar merupakan

pemberian wajib pertama seorang suami kepada istri yang

dilakukan pada saat akad nikah. Dikatakan pertama karena

setelah akad niah akan timbul beberapa kewajiban materiil lain

yang harus dilaksanakan oleh suami selama masa perkawinan

untuk kelangsungan hidup perkawinan itu. Dengan pemberian

mahar tersebut suami dipersiapkan dan dibiasakan untuk

menghadapi kewajiban materiil lainnya. Mahar bukanlah harga

atas diri seorang wanita. Wanita tidak menjual dirinya dengan

mahar. Tetapi, pemberian mahar dari calon suami membuktikan

kebenaran kesungguhan, cinta, dan kasih sayang kepada calon


25

isteri. Hikmah kewajiban mahar dalam pernikahan juga sebagai

bentuk penjagaan terhadap kemuliaan peristiwa suci. Pemberian

mahar merupakan ungkapan tanggung jawab kepada Allah

sebagai Al-Shāri’ (Pembuat Aturan) dan kepada wanita yang

dinikahinya sebagai teman dalam meniti kehidupan berumah

tangga bersama-sama.

4. Nilai Jumlah Mahar

Jumhur fuqahā’ sepakat bahwa mahar tidak memiliki ukuran

batas yang harus dilakukan (batas minimal) dan tidak boleh

melebihinya (batas maksimal) dan tidak boleh melebihinya

(batas maksimal). Tidak ada dalil Syara’ yang membatasi mahar

dengan batas minimal dan batas maksimal pandangan tersebut

didasaran pada firman Allah dalam Q.S. An-Nisa ayat 20 yang

berbunyi:

“sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di anatra

mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil

kembali dari pdanya barang sedikitpun”.

Madzhab Syafi’iyyah dan Hambaliyyah berpendapat bahwa

mahar tidak ada batas minimalnya. Segala sesuatu yang dapat

menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar.

Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan

pengikut Imam Malik. Sekalipun fiqaha sepakat bahwa tidak ada

batas maksimal dalam mahar, tetapi seyogiannya tidak


26

berlebihan, hadist yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW

bersabda:

“ perkawinan yang paling besar berkahnya ialah yang paling

ringan maskawinnya”.

Ulama Syafi’iyyah dan Hambaliyyah berpendapat tidak ada

batasa minimal mahar, tetapi sah dengan apa saja yang

mempunyai nilai materi, baik sedikit maupun banyak. Alasanya

karena beberapa teks Al-Quran yang menjelaskan tentang mahar

dengan jalan kebijaksanaan, layak baginya sedikit dan banyak.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa’ ayat 24.

Selain itu juga didasarkan pada hadis yang diriwayatkan dari

Amir bin Rabi’ah bahwa seorang wanita dari Bani fazarah

menikah atas sepasang dua sandal. Rasulullah bertanya:

“Apakah kamu rela dari dirimu dan hartamu dengan

sepasang dua sandal? Wanita itu menjawab: “ ya aku rela”

maka beliau memperbolehkannya (Al-Jami’ Al-Shahih: 345)

Hadis tersebut menunjukan bahwa apa saja yang bernilai

material walaupun bersabda kepada seseorang yang ingin

menikah: Menikahlah walaupun dengan sebuah cincin besi.

Madzahab Hanafiyah berpandangan bahwa mahar memiliki

nilai minimal. Ukuran minimal mahar yaitu 10 dirham. Dasar

pandangan tersebut adalah hadis yang diriwayatkan Jabir dari

Nabi SAW bersabda: ” Tidak ada mahar dalam jumlah yang


27

kurang dari 10 dirham ”. Sementara itu, Ulama Malikiyyah

berpendapat bahwa minimal sesuatu yang layak dijadikan mahar

adalah seperempat dinar dirham atau tiga dirham perak. Karena

Abdu Al-Rahman bin Auf menikah atas emas seberat biji

kurma, yaitu seperempat dinar dan ukuran itulah nishab

pencurian menurut mereka. Artinya harta seukuran itu

mempunyai arti nilai dan kehormatan berdasarkan dipotong

tangan pencurinya dan tidak dipotong dibawah ukuran itu, maka

itulah batas ukuran minimal mahar. Berdasarkan pandangan

jumhur fukaha, pada dasarnya fikih perkawinan tidak

menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah

maksimum dari maha. Hal ini disebabkan oleh perbedaan

tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya. Orang

yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi mahar yang

lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang

yang miskin ada yang hampir tidak mampu memberinya. Oleh

karena itu, pemberian mahar diserahkan menurut kemampuan yang

bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak

yang akan menikah untuk menetapkan jumlahnya. Hanya saja,

memang ada anjuran untuk mempermudah mahar. Artinya mahar

yang mudah dijangkau oleh mempelai pria itulah yang

dianjurkan sebagaimana sabda Rasulullah SAW “ Sebaik baik

pernikahan adalah yang paling mudah”.


28

5. Macam-Macam Mahar

Para fukaha sepakat bahwa macam-macam mahar meliputi

dua jenis yaitu mahar musamma dan mahar mistil. 14 Pertama,

mahar musamma yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan

kadar dan besarannya ketika akad nikah, dengan kesepakatan

bersama, atau kesepakatan bersama hakim. Hal ini didasarkan

pada firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 237 yang

berbunyi “padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan

maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu

tentukan itu”

Para fuqaha membagi mahar musamma ini menjadi dua

macam, yakni mahar musamma mu’ajjah dan musamma ghairu

mu’ajjal. Mahar musamma muajjal adalah mahar yang wajib

segera diberikan kepada isteri. Sementara itu mahar musamma

ghairu mu’ajjal yaitu mahar yang telah ditetapkan bentuk dan

jumlahnya tetapi ditangguhkan pembayarannya. Para fukaha

sepakat dalam pelaksanaannya mahar musamma harus diberikan

secara penuh apabila;

(a). telah bercampur (bersenggama) (b). Apabila salah satu dari

suami istri meninggal. Mahar musamma juga wajib dibayar

seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan

ternyata nikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu, seperti:

ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata


29

janda, atau hamil dari bekas suami lama. Akan tetapi, kalau istri

dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengahnya.

Dalam hal khalwat terdapat perbedaan pendapat dikalangan ahli

fikih beraitan dengan kewajiban membayar mahar. Abu Hanifah

berpandangan bahwa apabila suami istri sudah tinggal

menyendiri dalam pengertian yang sebenarnya, maka ia wajib

membayar mahar yang telah dijanjikan. Artinya jika suami istri

berada disuatu tempat yang aman dari pengelihatan siapa pun

dan tidak ada halangan hukum untuk bercampur, seperti salah

seorang berpuasa wajib atau istri sedang haid, atau karena ada

halangan emosi salah seorang menderita sakit, sehingga tidak

bisa melakukan persenggamaan yang wajar, atau karena ada

halangan yang bersifat alamiah, seperti ada orang ketiga

disamping mereka. Sementara itu Imam Syafi’i, Imam Malik, dan

Abu Dawud, berpendapat bahwa dengan penutupan tabir (yang

dapat menghalangi pandangan) hanya mewajibkan separuh

mahar, selama tidak terjadi persetubuhan. Demikian juga pendapat

Suraih juga Said bin Mansur, Abd Arazaq juga meriwayatkan

dari Ibnu Abbas bahwa, tidak wajib membayar mahar seluruhnya

sebelum terjadi persetubuhan. Perbedaan pendapat ini disebabkan

oleh adanya pertentangan antara keputusan para sahabat

berkenaan dengan masalah tersebut dengan turunnya Al-Quran

dimana terhadap istri yang telah dinikahi dan digauli, yang


30

menegaskan bahwa maskawinnya tidak boleh diambil kembali

sedikitpun, yang didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat

An-Nisā’ ayat 21 yang berbunyi: “Bagaimana kamu akan

mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul

(bercampur) dengan yang lain sebagai suami isteri. Dan mereka

(isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang

kuat”.

Kedua, mahar mitsil (sepadan) yaitu mahar yang jumlah

dan bentuknya menurut jumlah dan bentuk yang biasa diterima

keluarga pihak isteri karena tidak ditentukan sebelumnya dalam

akad nikah. Bila terjadi demikian, mahar tersebut mengikuti

mahar saudara perempuan pengantin wanita (bibi, bule, anak

perempuan bibi/bule), apabila tidak ada, maka mitsil itu beralih

dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia. Mitsil

juga terjadi apabila dalam keadaan sebagai berikut:

(a) nikah tafwid yaitu nikah yang tidak disebutkan atau tidak

ditetapkan maharnya. Hal ini menurut jumhur ulama

diperbolehkan

b) Kesepakatan tidak ada mahar. Bila tidak disebutkan kadar

dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami

telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.


31

(c) Penyebutan mahar yang tidak sesuai dengan ketentuan yang

diperbolehkan, seperti penyebutan mahar dengan bangkai atau

sesuatu yang dilarang.

6. Pelaksanaan Pemberian Mahar

Berdasarkan pandangan jumhur fukaha, mahar tidak

memiliki batas minimal dan maksimal. Namun demikian, mahar

dalam perkawinan merupakan symbol dan bentuk penghormatan

kepada calon isteri. Oleh karenanya penentuan jumlah kadar

mahar lebih banyak berkaitan dengan adat dan budaya

masyarakat. Dalam pelaksanaannya, pembayaran mahar dilakukan

sesuai dengan kemampuan atau disesuaikan dengan keadaan dan

kebiasaan atau adat masyarakat. Kenyataan bahwa kemampuan

setiap orang berbeda-beda tingkat ekonominya. Ada sebagian

yang mempunyai harta melebihi kebutuhan hidupnya dan

sebaliknya ada juga yang tidak mampu memenuhinya. Oleh

karena itu, Islam memberikan keringanan kepada laki-laki yang

tidak mampu memberikan mahar bernilai nominal yang tinggi

sesuai calon isteri, untuk dapat mencicilnya atau

mengangsurnya. Kebijakan angsuran mahar ini sebagai jalan

tengah agar terjadi solusi terbaik antara kemampuan suami dan

hak isteri, suapaya tidak ada yang merasa di rugikan. Pemberian

mahar dalam Islam dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu:


32

Pertama, secara tunai mahar boleh dilaksanakan dan

diberikan dengan kontan atau utang, mau dibayar kontan

sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian maka

disunahkan membayar sebagian, berdasarkan sabda Nabi Saw:

“ Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Tat kala Ali kawin

dengan Fatimah, maka Rasulullah SAW bersabda kepada Ali, “

Berilah ia sesuatu!”. Rasulullah Saw bertanya, “mana baju

besimu dari Mithamiyah itu?”. (Sunan Abi Daud: 399)

Hadits di atas menunjukkan bahwa larangan itu

dimaksudkan sebagai tindakan yang lebih baik dan secara hukum

dipandang sunnah memberikan mahar sebagian terlebih dahulu.

Ulama Imamiyah dan Hanbali berpendapat bahwa manakala

mahar disebutkan tapi kontan atau dihutangnya tidak disebutkan,

maka mahar harus dibayar kontan seluruhnya. Sementara Hanafi

mengatakan tergantung pada ‘urf yang berlaku ia harus dibayar

kontan manakala tradisi yang berlaku adalah seperti itu dan

boleh dihutang pula manakala tradisinya seperti itu pula, maliki

mengatakan bahwa akad nikah tersebut fasid dan harus di faskh

sebelum terjadi percampuran. Tetapi bila sudah terjadi

percampuran, akadnya dinyatakan sah dengan menggunakan

mahar mitsil. Namun Shafi’i berpendapat bahwa apabila hutang

tersebut tidak diketahui secara detail tetapi secara global

misalnya akan dibayar pada salah satu diantara dua waktu yang
33

ditetapkan tersebut (sebelum mati atau jatuh talak) maka mahar

musammanya fasid dan ditetapkan mahar mitsil. Kedua, secara

hutang dalam hal penundaan pembayaran mahar (dihutang)

terdapat dua perbedaan pendapat dikalangan ahli fikih. Sebagian

ahli fikih berpendapat bahwa mahar itu tidak boleh diberikan

dengan cara dihutang keseluruhan, sebagian lainnya

berpandangan bahwa mahar boleh ditunda pembayarannya, tetapi

menganjurkan agar membayar sebagian mahar di muka manakala

akan menggauli istri di antara fukaha yang membolehkan

penundaan mahar (diangsur) ada yang membolehkannya hanya

untuk tenggang waktu terbatas yang telah ditetapkan. Demikian

pendapat Imam Maliki, mahar dapat dihutang diperbolehkan

karena kematian atau perceraian ini adalah pendapat Al-Auza’i.

Perbedaan tersebut dikarenakan pernikahan itu disamakan

dengan jual beli dalam hal penundaan atau tidak dapat

disamakan dengannya. Bagi fukaha yang mengatakan bahwa

disamakan dengan jual beli, mereka berpendapat bahwa

penundaan itu tidak boleh sampai terjadinya kematian atau

perceraian. Sedangkan yang mengatakan tidak dapat disamakan

dengan jual beli, mereka berpendapat bahwa penundaan

membayar mahar itu tidak boleh dengan alasan bahwa

pernikahan itu adalah ibadah.


34

7. Pemegang Hak Mahar

Dalam Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Wahbah Zuhailyi

menyatakan bahwa pemegang hak mahar meliputi dua aspek

yakni permulaan perkawinan dan keberlangsungan perkawinan.

Berdasarkan aspek permulaan perkawinan Wahbah Zuhailyi

menyatakan bahwa pemegang hak mahar meliputi tiga jenis,

yaitu hak Allah, hak isteri, dan hak wali. Hak Allah dalam

mahar dapat diartikan bahwa mahar dalam perkawinan

merupakan kewajiban bagi calon suami dan wajib dilaksanakan

sebagai rukun dan syarat keabsahan perkawinan. Sementara hak

isteri dalam mahar dapat diartikan bahwa isteri merupakan orang

yang ditetapkan sebagai penerima dan pemilik mahar. Dalam hal

ini, isteri juga memiliki hak untuk menolak dan membatalkan

perkawinan yang dilakukan oleh wali tanpa mahar. Sementara

itu, hak wali dalam mahar berkaitan dengan mahar mitsil. Dalam

hal ini wali juga dapat menolak perkawinan yang dilakukan

oleh perawan yang menikahkan dirinya dengan mahar yang

tidak sesuai dengan ketentuan mahar mitsil. Sementara itu,

dalam konteks untuk keberlangsungan perkawinan, mahar

merupakan hak mutlak bagi isteri. Oleh karenanya, isteri

memiliki hak penuh atas kepemilikan dan penguasaan penuh

atas mahar tersebut. Isteri berhak menggunakan mahar tersebut

untuk segala bentuk kepentingannya. Demikian juga isteri


35

memiliki hak untuk membebaskan dan menghibahkan mahar

tersebut untuk suaminya. Islam mewajibkan pemberian mahar

sebagai simbol bahwa suami memberikan penghargaan kepada

istrinya yang telah bersedia menjadi pendampingnya dalam

kehidupan mereka kelak. Oleh karena itu mahar menjadi hak

mutlak bagi istri dan tak seorang pun selain dirinya, baik

suaminya sendiri, kedua orang tuanya maupun sanak keluarga

memiliki hak untuk menggunakan tanpa seizin dan dasar

kerelaan sepenuhnya dari istri. Namun demikin, sebagaimana

dalam surat Al-Nisā’ ayat 4 yang telah disebutkan sebelumnya,

terdapat pengecualian dalam hal pemegang mahar sebagaimana

pendapat Sayyid Sābiq yang menyebutkan bahwa jika istri

masih kecil maka ayahnya yang berhak menyimpan hartanya

atau maharnya, tetapi jika istri tidak punya ayah atau

disebabkan telah meninggal dunia dan sebagainya, maka wali

lainnya yang berhak mengurusnya dan menyimpannya. Seorang

pun selain dirinya baik suaminya sendiri, kedua orang tuanya

maupun sanak keluarga memiliki hak untuk menggunakan tanpa

seizin dan dasar kerelaan sepenuhnya dari istri. Namun demikin,

sebagaimana dalam surat Al-Nisā’ ayat 4 yang telah disebutkan

sebelumnya, terdapat pengecualian dalam hal pemegang mahar

sebagaimana pendapat Sayyid Sābiq yang menyebutkan bahwa

jika istri masih kecil maka ayahnya yang berhak menyimpan


36

hartanya atau maharnya, tetapi jika istri tidak punya ayah atau

disebabkan telah meninggal dunia dan sebagainya, maka wali

lainnya yang berhak mengurusnya dan menyimpannya.

B. Hukum Wanita Meminta Mahar Dalam Islam

1. Terkait Beratnya Mahar

Salah satu yang menjadi pikiran kaum laki-laki saat

memutuskan menikah adalah mengenai maskawin atau mahar.

Meskipun kalau dilihat dewasa ini yang menjadi pikiran siang dan

malam itu adalah besarnya biaya resepsi atau walimah. Belum lagi

adatnya tradisi yang mengatur pemberian lain seperti uang

hantaran dan sejenisnya.

Keadaan ini tentu ironis Satu sisi walimah itu hukumnya

sunnah tetapi justru memporsir pikiran tenaga dan materi yang

lebih besar sementara disisi lain ada hak seorang perempuan yang

dinikahi yaitu maskawin atau mahar yang hukumnya wajib justru

dipandang enteng.

6 hal yang kerap dipahami secara kurang tepat alias keliru

mengenai maskawin atau mahar.

1. Maskawin atau mahar bukanlah rukun nikah.

Tanpa maskawin pun pun nikah tetap sah maskawin adalah

kewajiban dalam nikah sesuatu yang wajib itu belum tentu

jadi rukun sah nya akad. Hal ini telah di tegaskan dalam
37

kompilasi hukum islam yang berlaku di Indonesia pada pasal

34 yang berbunyi. “Kewajiban menyerahkan mahar bukan

merupakan rukun dalam perkawainan.”

Akad nikah menjadi sebab wajibnya seorang suami

memberikan maskawin kepada istrinya itulah mengapa

maskawin pada dasarnya boleh dibayar secara berangsur alias

ngutang. Namun dinegara kita kompilasi hukum islam telah

menegaskan bahwa mahar harus dibayar tunai.

Tentu ketentuan ini lebih ideal sebab ada norma lain yang

menyiratkan bahwa pernikahan itu dibangun atas dasar

kemampuan tentu kemampuan yang paling pertama menjadi

ukuran adalah kemampuan dalam memberikan mahar.

Meski demikian, kalau ditanyakan hukumnya maka memang

maskawin memang hukumnya wajib dalam akad nikah

maskawin dapat ditentukan bentuk jenis dan besarnya dalam

Ijab Kabul dapat juga tidak namun meski tidak di sebutan

suami tetap mengemban kewajiban untuk memberikan

maskawin kepada isterinya. Dalam besarnya maskawin belum

disebutkan dalam ijab Kabul maka besaran yang wajib

ditanggung oleh suami adalah menyesuaikan dengan mahar

yang diterima kerabat perempuan isteri yang dikenal dengan

istilah mahar mitsil.

2. Maskawin itu hak pribadi istri bukan keluarganya


38

Akad nikah secara umum dan maskawin secara khusus

jangan digunakan sebagai ajang meperkaya keluarga maskawin

mutlak milik memepelai wanita karenanya keluarga jangan

ikut-ikutan menaikan atau jumlah besaran mahar ini biasanya

yang menikah anaknya yang paling sibuk ngurus maskawin

ibunya. Aakibatnya mempelai pria menjadi berat untuk

membayar. Itu makanya hukum islam di Indonesia mengatur

bahwa mahar harus berdasarkan kesepakatan kedua mempelai

prinsip kesederhanaan dan kemudahan dikedepankan secara

proposional.

Hal ini ditegaskan dalam kompilasi hukum islam “(pasal

30) calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon

mempelai wanita yang jumlah bentuk dan jenisnya disepakati

oleh kedua belah pihak (pasal 31) penentuan mahar

berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang

dianjurkan oleh ajaran islam (pasal 32) mahar diberikan

langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi

hak pribadinya.

3. Jangan terlalu mahal dan jangan terlalu murah

Tidak ada standar baku yang bersifat wajib diikuti dengan

mengenai hal ini. Hanya saja kalau mau dilihat dari tradisi

keilmuan islam terutama kalangan Syafi’iyyah, terdapat standar

yang cukup membuat kaum adam tepuk jidat sementara kaum


39

hawa tepuk tangan. Dalam salah satu kitab standar fikih

mazhab Syafi’i ada ketentuan yang mengatur besarnya maha,

yaitu jangan kurang dari 10 Dirham dan jangan lebih dari 500

Dirham 1 Dirham (uang perak) jika diukur dengan timbangan

setara dengan lebih kurang 3 gram perak jadi Dirham kurang

lebih setara 30 gram perak. Seharusnya mahar sebesar itu bias

dimiliki perempuan muslimah di Indonesia saat menikah

namun rupanya biaya yang besar justru lebih sering

diperuntukkan sebagai biaya pesta music dan hal lain yang

sifatnya tidak primer.

4. Maskawin itu bukan bingkisan

Esensi mahar itu adalah pemebarian berupa barang atau

uang yang bernilai harta dan sudah seharusnya dapat dimiliki

sebagai kekayaan kebiasaan kebiasaan ini dengan pola

bingkisan uang nilai instrik uang justru berkurang karena

yang dihargai justru adalah nilai ekstrinsik berua kreasi

dekorasi dan estetika dan mahar seperti ini lebih tepat disebut

kenang-kenangan.

5. Menggunakan Seperangkat alat solat sebagai tambahan

Seperangkat alat sholat lebih tepat diberikan sebagai

pemberian biasa saja seharusnya jika memang benar-benar


40

ingin memberikan alat shalat sebagai mahar ambil saja satu

item misalnya satu stel mukena berbahan sutera atau sekalian

disebutkan harganya satu stel mukena berbahan sutera seharga

lima belas juta rupiah.

6. Suami meminjam uang bersumber dari mahar itu bukan

hutang mahar.

Ini adalah asumsi yang keliru istilah hutang mahar atau

mahar berhutang itu adalah mahar yang sudah disebutkan

dalam akad nikah namun belum pernah dibayar oleh suami

nmun jika sudah diberikan pasca ijab Kabul maka saat itu

juga mahar itu menjadi hak pribadi tidak lagi disebut sebagai

mahar sehingga jika di pinjam sekalipun oleh suaminya.

Hubungan hukumnya tetap hutang piutang biasa bukan hutang

mahar atau mahar terutang.


BAB IV

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Mahar merupakan yang wajib diberikan kepada calon isteri

oleh calon suami sebagai wujud keabsahan perkawinan. Mahar

merupakan symbol dan wujud penghargaan serta pemuliaan kepada

calon isteri. Dalam pelaksanaannya, jumlah kadar mahar lebih erat

kaitannya dengan adat dan budaya masyarakat setempat. Jenis mahar

meliputi mahar musamma yaitu jenis dan kadarnya telah ditentukan

pada saat pelaksanaan akad perkawinan, dan mahar mitsil yang jenis

dan kadarnya tidak ditentukan pada saat pelaksanaan akad.

Pelaksanaan pembayaran mahar dapat dilakukan secara tunai maupun

dicicil (hutang) dengan kesepakatan bersama. Pemegang hak mahar

dalam konteks permulaan perkawinan meliputi hak Allah, hak isteri

dan hak wali. Sementara dalam konteks keberlangsungan perkawinan,

mahar menjadi hak mutlak isteri.

Hukum wanita meminta mahar dalam islam adalah boleh

dengan syarat tidak memberatkan kepada kaum laki-laki sehingga

tidak menjadi pikiran dengan beban atas beratnya mahar yang

wanita minta. Mahar itu wajib atas dasar laki-laki tetapi jika terlalu

besar laki-laki pun menjadi tidak sanggup untuk memenuhinya

Allah SWT Berfirman:

41
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh

karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas

sebagian dari hartanya” (QS. An-Nisa 4:34).

Ayat tersebut sudah menjadi sebuah ketetapan seorang laki-laki

kepada perempuan untuk bisa memenuhi mahar yang di minta

seorang wanita. Adapun hadis yang menjadi ketentuan wanita dalam

meminta mahar, Rasulullah SAW dari Aisyah ra. bersabda:

“ Perkawinan yang paling besar berkahnya adalah yang paling

ringan maskawinnya”.

“ Perempuan yang baik hati adalah yang murah maharnya

memudahkan dalam urusan perkawinanya serta baik ahlaknya,

sedangakan perempuan yang celaka yaitu yang mahal maharnya,

sulit perkawinannya dan buruk ahlaknya”

B. Saran

Untuk kesempurnaan dan tercapainya luaran dari karya ini

penulis merekomendasikan beberapa saran diantaranya:

1. Harusnya seorang wanita meperhatikan keadaan seorang laki-

laki sebelum meminta mahar yang sangat besar.

2. Perlunya orang tua tidak menyamakan tradisi budaya dalam

menentukan jumlah mahar kepada calon mempelai laki-laki.

3. Hendaknya seorang laki-laki mempersiapkan mahar yang

menjadi sumber kebahagiaan bagi calon isteri dan mengetahui

42
apa yang menjadi tanggung jawab sebelum memutuskan untuk

menikahi seorang wanita.

43
DAFTAR PUSTAKA

Kohar, A. (1996). Kedudukan dan Hikmah Mahar Dalam Perkawinan. 42-50.

Musarrofa, I. (2021). Dowry Trends in the Digital Age (Sociology of Law

Review of the Use of Digital Dowry in the Cyber World Community). Jurnal

Hukum Islam, 19(1), 151-174.

Husaini, S. H. Kajian Yudiris Tentang Mahar. Daulay, S. (2017). Konsep Hadis

Tentang Meminta-Minta. AT-TAHDIS: Journal of Hadith Studies, 1(2).

44
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

 Data Pribadi
1. Nama Lengkap : Disti Khoerun Nisa
2. Nomor Induk : 192010082
3. Tempat Tanggal Lahir : Garut, 17 Mei 2003
4. Alamat : Kp. Cigombong Rt/
Rw : 02/06 Kel.Desa
Sukamurni Cilawu
Kab. Garut

 Nama Orang Tua


1. Ayah : Naim
2. Ibu : Nurjannah

 Pekerjaan Orang Tua


1. Ayah : Petani
2. Ibu : Ibu Rumah Tangga

 Pendidikan
1. SDN Sukamurni IV :2010-2016
2. MTS Al-Khoeriyyah :2016-2019
3. MA Persis 19 Bentar Garut :2019-2022

 Pengalaman Organisasi
1. Tsanawiyyah
 Keamanan UG
 Sie. Keamanan LDK (Latihan Dasar Kepemimpinan)
 Sie. Bsm Mukhoyam IX
 Sie. Keamanan Matsama IX
 Sie. Publikasi HUT RI 17 Agustus VII
2. Mu’alimin
 Binlat SY
 Sie. Akomodasi LDK (Latihan Dasar Kepemimpinan

45

Anda mungkin juga menyukai