Anda di halaman 1dari 16

RATIVIKASI KONVENSI ANTI KORUPSI

D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
KELOMPOK 10
1. Mira Lingga (032019062)
2. Crisdianti Gulo (032019084)
3. Tuti Halawa (032019076)
4. Dina Siregar (032019080)

Dosen pengampu : Imelda derang S,kep Ns., M,kep


KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmatnya sehingga makalah telah tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu kami Suster Imelda derang, S.Kep., Ns.,
M.Kep yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Makalah ini memberikan penjelasan mengenai tentang Rativikasi Konvensi Anti
korupsi. Kami berharap dengan adanya makalah ini kita dapat lebih mengerti mengenai
Rativikasi konvensi Anti Korupsi. Kami menyadari ada kekurangan pada makalah ini. Oleh
sebab itu, saran dan kritik di harapkan demi perbaikan makalah. Karena, keterbatasan dan
pengalaman kami.

Medan, 06 Januari 2023

Kelompok 10
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG ....................................................................................................1
1.1 RUMUSAN MASALAH ................................................................................................4
1.2 TUJUAN .........................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................5
2.1 RATIVIKASI KONVENSI ANTI KORUPSI................................................................5
a. Pencegahan Korupsi Dan Perbandingannya Dengan Negara Lain...............................5
b. Pentingnya Rativikasi Konvensi Anti Korupsi Bagi Indonesia....................................13
BAB III PENUTUP..............................................................................................................15
3.1 Kesimpulan......................................................................................................................15
3.2 Saran………....................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang melakukan
pembangunan di berbagai bidang. Pembangunan senantiasa akan menimbulkan perubahan,
baik secara langsung maupun tidak langsung di dalamsegala aspek kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 sampai dengan tahun 2025
menyatakan bahwa:
Pembangunan Nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan
yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsadan negara, untuk melaksanakan
tugas mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Rangkaian upaya pembangunan
tersebutmemuat kegiatan pembangunan yang berlangsung tanpa henti, denganmenaikkan
tingkat kesejahteraan masyarakat dari generasi demi generasi.
Pembangunan Nasional Indonesia hingga saat ini memperlihatkan kemajuan yang
signifikan, pembangunan tersebut tidak hanya menyangkut pembangunan dibidang ekonomi
semata namun menyangkut seluruh aspek kehidupan masyarakat termasuk pembangunan di
bidang hukum. Hukum dan pembangunan (law and development) merupakan kata kunci
dalam memberikan penilaian atasperkembangan negara berkembang dalam membangun
reformasi birokrasi melalui peningkatan good governance. Peningkatan tersebut salah satunya
melalui upaya pemberantasan korupsi yang merupakan agenda setiap negara di dunia untuk
memperkuat reformasi birokrasi sehingga pemberantasan korupsi merupakan dan termasuk
mata rantai yang tidak terpisahkan dari penegakan hukum secara menyeluruh, mulai dari
kegiatan di hulu sampai ke hilir birokrasi.
Pemberantasan korupsi tentunya memerlukan komitmen yang kuat dari segala elemen
pemerintah dan masyarakat dikarenakan korupsi dalam akhir-akhir ini nampak makin terpola
dan sistematis, “tidak hanya kejahatan yang bersifat luar biasa (extraordinary crime)
melainkan pula termasuk kejahatan teroganisir,kejahatan kerah putih, dan korupsi dapat
melampaui batas negara yang berdampak pada pelanggaran hukum diberbagai negara dengan
karakteristik berbahaya ditingkat internasional ” Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat
Marwan Effendy “korupsi di Indonesia seperti tidak habis-habisnya, semakin ditindakmakin
meluas, bahkan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dalam jumlah
kasus, jumlah kerugian negara maupun kualitasnya”Sejalan dengan hal tersebut diatas
diperlukannya peran serta tanggung jawab suatu negara, selain itu juga diperlukannya
komitmen masyarakat Internasional untuk menentang praktik-praktik kejahatan korupsi. Ini
semua telah dibuktikandengan ditandatanganinya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
(selanjutnya disingkat Konvensi PBB) tentang perlawanan terhadap korupsi yaitu United
Nations Convention Against Corruption (selanjutnya disingkat UNCAC), “yang mana
penandatanganan konvensi tersebut dihadiri oleh 140 Negara di kota Merida Meksiko, pada
bulan Desember 2005.

Pada saat itu sekitar 30 negara sepakat untuk meratifikasi konvensi”UNCAC merupakan
konvensi anti korupsi tahun 2003 yang berlaku secara global, berfungsi untuk mencegah dan
memerangi korupsi secara menyeluruh dan komprehensif. Negara-negara di Eropa sangat
aktif untuk mendiskusikan topik ini, dengan penandatanganan konvensi tersebut maka
diharapkan terwujudnya kerjasama internasional (international cooperation) secara global.
PBB menyebutkan berbagai alasan atas prakarsa yang akhirnya melahirkan UNCAC,
termasuk tumbuhnya kesadaran dunia bahwa praktik-praktik korupsi meruntuhkan seluruh
bangsa kedalam kemiskinan dan krisis sosial. Tidak berlebihan apabila PBB menyebutnya
sebagai multi-dimensional challenge atau tantangan multi-dimensi, baik hak asasi manusia,
demokrasi, peraturan hukumatau rule of law, pembangunan yang berkelanjutan atau
sustainable development,pasar, keamanan, maupun kualitas kehidupan. Dalam konteks
tersebut, UNCAC menawarkan bantuan kepada negara-negara yang menandatangani untuk
membahas korupsi dalam perspektif mereka melalui kodifikasi kerjasama danasistensi.
Berdasar alasan tersebut di atas, UNCAC mempertegas maksud dan tujuannya, yaitu:
Untuk memajukan dan meningkatkan/memperkuat tindakan pencegahan pemberantasan
korupsi agar lebih efisien dan efektif, untuk memajukan,memfasilitasi, mendukung kerjasama
internasional dan bantuan teknis dalammencegah dan memerangi korupsi, terutama
pengembalian aset sertameningkatkan integritas akuntabilitas dan manajemen publik
dalampengelolaan kekayaan negara.
Sebagai bangsa yang peduli serta turut memerangi korupsi, Indonesia meratifikasi
konvensi tersebut pada tanggal 18 Desember 2003, kemudian Indonesia mewujudkannya
dengan membuat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations
Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi,
2003)sebagai tindak lanjut dari kesepahaman agar terciptanya negara yang bebas dari
korupsi.
Dalam rangka memenuhi syarat bagi negara-negara anggota yang telahmeratifikasi
UNCAC, negara anggota perlu mengatur lebih detail mengenai upayah pencegahan dan
pemberantasan korupsi di negara masing-masing sesuai dengan ketentuan yang berlaku di
negara tersebut. Hal yang menarik dalam ketentuan UNCAC adalah adanya Pasal 18 huruf
(a) dan (b) tentang Trading in Influence (perdagangan pengaruh).
Merujuk pada ketentuan konvensi UNCAC mengenai Trading in Influence yang terdapat
pada Pasal 18, istilah Trading in Influence tersebut sampai saat ini tidak ditemukan didalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya
disebut Undang-UndangTindak Pidana Korupsi (Tipikor)) ataupun Kitab Undang-Undang
Hukum Pidanalainnya.
Jauh sebelumnya, negara-negara di Eropa telah mengenal delik Trading inInfluence ini.
Bahkan, yang menarik dari publikasi Council of Europe (Coe)tahun2000, Trading in
Influence and the Illegal Financing of Political Parties,kriminalisasi perdagangan pengaruh
dihubungkan dengan pendanaan politik secara tidak sah. Ini dikenal dengan jenis korupsi
kerelasian trilateral dengan pelaku, tidak hanya seorang pejabat negara, tetapi juga warga
negara biasa melalui pemberian hadiah atau janji. Sepintas, aturan ini mirip dengan unsur-
unsur suap atau gratifikasi. Tujuannya pun juga sama. Jika dicermati lebih jauh, pasal-pasal
suap yang kita kenal di Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi saat ini sulit menyentuh
pelaku yang bukan sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Ketentuan mengenai Trading in Influence merupakan modus operandi yang sudah diatur
didalam UNCAC untuk mengatasi kejahatan korupsi. Di Indonesia sendiri modus operandi
seperti itu sudah banyak dilakukan, orang-orang yang berada dilingkungan kekuasaan namun
bukan menjadi seorang Penyelenggara Negara memanfaatkan kedekatannya dengan seorang
penguasa yang mempunyai pengaruh nyata terhadap hal ataupun bidang strategis tertentu.
Kedekatan tersebut digunakan untuk mengendalikan proyek pemerintahan, sehingga ia
memperolehmanfaat secara langsung ataupun tidak langsung dari pengurusan proyek
tersebut.
Hal ini menjadi permasalahan ketika modus operandi Trading in Influence dilakukan oleh
seseorang yang bukan sebagai penyelenggara Negara, Undang- Undang Tindak Pidana
Korupsi yang berlaku di Indonesia saat ini tidak bisa menjangkau/digunakan untuk mejerat
pelaku.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui apa itu Rativikasi Konvensi Anti Korupsi
2. Mengetahui bagaimana pencegahan Korupsi di Indonesia
3. Untuk mengetahui perbandingan korupsi di Indonesia dengan negara lain
4. Mengetahui pentingnya Rativikasi konvensi anti korupsi bagi indonesia

1.3 Rumusan Masalah


1. Apa itu Rativikasi KonvensiAnti Korupsi?
2. Bagaimana Pencegahan Korupsi di Indonesia?
3. Bagaimana perbandingan korupsi di Indonesia dengan Negara lain?
4. Mengapa Rativikasi Konvensi Anti Korupsi penting bagi Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 RATIVIKASI KONVENSI ANTI KORUPSI


2.1.1 Definisi Retivikasi
Ratifikasi Konvensi merupakan komitmen nasional untuk meningkatkan citra bangsa
Indonesia dalam percaturan politik internasional. Arti penting lainnya dari ratifikasi Konvensi
tersebut adalah:
- untuk meningkatkan kerja sama internasional khususnya dalam melacak, membekukan,
menyita, dan mengembalikan aset-aset basil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar
negeri
- meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik
- meningkatkan kerja sama internasional dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi, bantuan
hukum timbal balik, penyerahan narapidana, pengalihan proses pidana, dan kerja sama
penegakan hukum
- mendorong terjalinnya kerja sama teknik dan pertukaran informasi dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi di bawah payung kerja sama pembangunan ekonomi
dan bantuan teknis pada lingkup bilateral, regional, dan multilateral
- harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi sesuai dengan Konvensi ini
a. Pencegahan Korupsi Dan Perbandingannya Dengan Negara Lain
Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang efesien
dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata pemerintahan yang baik dan kerja sama
internasional, termasuk pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi.
Selama ini pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sudah
dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan khusus yang berlaku sejak tahun
1957 dan telah diubah sebanyak 5 (lima) kali, akan tetapi peraturan perundang-undangan
yang dimaksud belum memadai, antara lain karena belum adanya kerja sama internasional
dalam masalah pengembalian hasil tindak pidana korupsi.
Arti penting dari dilakukannya ratifikasi konvensi Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) adalah
1. Untuk meningkatkan kerja sama internasional khususnya dalam melacak,
membekukan, menyita dan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang
ditempatkan di luar negeri.
2. Untuk meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan tata pemerintahan
yang baik.
3. Untuk meningkatkan kerja sama internasional dalam pelaksanaan perjanjian
ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, penyerahan narapidana, pengalihan proses
pidana, dan kerja sama penegakan hukum.
4. Untuk mendorong terjalinnya kerja sama teknik dan pertukaran informasi dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di bawah payung kerja sama
pembangunan ekonomi dan bantuan teknis pada lingkup bilateral, regional dan
multilateral.
5. Untuk harmonisasi peraturan perundangan-undangan nasional dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi yang sesuai dengan konvensi ini.
Konvensi UNCAC mengenai antrikorupsi merupakan instrumen internasional yang
mengikat anggota PBB yang meratifikasinya.
Terdapat lima bagian utama yang diatur dalam konvensi ini
1. Tindakan-tindakan pencegahan
2. Kriminalisasai dan penegakkan hukum,
3. Kerjasama internasional
4. Pengembalian asset
5. Bantuan teknis serta pertukaran informasi.

Perbandingan Metode Penanganan Korupsi di Singapura dan Indonesia


Tindak pidana korupsi telah ada sejak lama dengan berbagai metode dan modus operandi
yang digunakan yang telah bertransformasi seiring dengan perkembangan zaman, namun tak
menghilangkan makna dasar dari tindak pidana korupsi itu sendiri, yaitu perbuatan curang
yang merugikan keuangan negara.
Upaya pemerintah dalam menangani kasus-kasus korupsi dilaksanakan melalui berbagai
kebijakan berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang
Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Selain itu, pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung
dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa
Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Selain itu juga ada lembaga Kejaksaan dan Kepolisian Republik Indonesia.
Saat ini di Indonesia terdapat beberapa aparat penegak hukum yang memiliki
kewenangan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Kepolisian RI,
Kejaksaan Agung RI, dan Komisi Pemberantasan Korupsi berperan sebagai garda terdepan
pemberantasan korupsi. Berbeda dengan di tanah air, saat ini Singapura hanya memiliki satu
lembaga anti korupsi yaitu CPIB (Corrupt Practices Investigation Bureau) sebagai organisasi
baru yang independen dan terpisah dari lembaga kepolisian untuk melakukan penyidikan
semua kasus korupsi. Hasilnya pun juga sudah terlihat jelas bahwa pemberantasan dan
pencegahan korupsi di kedua negara tersebut sangatlah efektif dan efisien. Hal inilah yang
seharusnya diadopsi oleh Indonesia yaitu dalam wilayah hukum NKRI harusnya hanya ada
satu lembaga yang berperan secara penuh dalam penanganan tindak pidana korupsi, dalam
hal ini menurut pendapat penulis yaitu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Semua
kewenangan dalam penanganan tindak pidana korupsi berada di tangan KPK, sedangkan
Polri dan Kejaksaaan hanya sebagai tugas pembantuan jika diperlukan oleh KPK sebagai
poros utama pemberantasan korupsi, hal ini dikarenakan korupsi merupakan tindak pidana
khusus yang harus ditangani secara khusus pula. Selain itu PPATK,OJK, ICW dan PBK juga
dapat membantu kinerja KPK dalam rangka pencegahan dan pengawasan terutama aliran
dana yang disinyalir terdapat kejanggalan.
Pada tahun 2013 menurut data dari Transparency International tentang Indeks Persepsi
Korupsi (Coruption Perseption Indeks), Indonesia menempati peringkat 114, sedangkan
Singapura peringkat 5 bersama Norwegia dan Hongkong menduduki peringkat 15 dan Jepang
18. Hal tersebut terlihat dari tabel di bawah ini:

Perbandingan Indeks Persepsi Korupsi ( IPK ) Indonesia dengan Berbagai Negara


Country Country/Terrtory WB WB Region Country CPI 2013
Rank Code Code Rank Score
1 Denmark DNK 128 EU 1 91
1 New Zealand NZL 196 AP 1 91
3 Finland FIN 172 EU 3 89
3 Sweden SWE 144 EU 5 89
5 Norway NOR 142 EU 5 86
5 Singapura SGP 576 AP 5 86
7 Switzerland CHE 146 EU 7 85
8 Netherlands NLD 138 EU 8 83
9 Australia AUS 193 AP 9 81
9 Canada CAN 156 AM 9 80
11 Luxembourg LUX 137 EU 11 78
12 Germany DEU 134 EU 12 78
12 Iceland ISL 176 EU 12 78
14 United Kingdom GBR 112 EU 14 76
15 Barbados BRB 316 AM 15 75
15 Belgium BEL 124 EU 15 75
15 Hong Kong HKG 532 AP 15 75
18 Japan JPN 158 AP 18 74
114 Egypt EGY 469 ME 114 32
144 Indonesia IDN 536 AP 114 32

Dari data diatas dapat kita lihat bahwa Singapura dan Hongkong memilki IPK yang
begitu baik yang menunjukkan efektifnya pemberantasan tindak pidana korupsi di negara
tersebut. Hal tersebut bertolak belakang dari Indonesia yang hanya menempati peringkat 114
dengan IPK 32, yang menunjukkan masih lemahnya pencegahan dan penanganan tindak
pidana korupsi di Indonesia. Dalam hal upaya penanganan tindak pidana korupsi, penulis
memfokuskan pada negara Singapura yang penulis jadikan perbandingan dan merupakan role
model yang sempurna dan dapat diaplikasikan di Indonesia.
I. Penanganan Korupsi Di Singapura
CPIB Singapura disebut sebagai model investigatif. Karakteristik CPIB tergolong unik,
yaitu dengan ukurannya yang relatif kecil yang menekankan pada fungsi investigatif dan arah
pemberantasan disesuaikan dengan kebijakan besar pemerintah.
Struktur organisasi CPIB Singapura, pada posisi puncak dijabat oleh seorang Direktur,
Deputi Direktur, dan Asisten Direktur. Bagian di bawahnya ada 3 (tiga) divisi atau bagian,
yaitu bagian operasi (operation), bagian bantuan operasi (operation support), bagian
pencegahan (prevention).
 Bagian operasi membawahi tim penyidik khusus (special investigation team), Unit I,
Unit II, Unit III.
 Bagian bantuan operasi membawahi intelijen dan penelitian lapangan serta bantuan
teknik.
 Bagian administrasi membawahi keuangan, records dan scereening, SDM serta
Computer Info Systems Unit.
Strategi pemberantasan korupsi di Singapura Strategi Singapura untuk pencegahan dan
penindakan korupsi fokus terhadap empat hal utama, yaitu, Effective Anti-Corruption
Agency; Effective Acts (or Laws); Effective Adjudication; dan Efficient Administration yang
keseluruhan pilar tersebut dilandasi oleh strong political will against corruption dari
pemerintah. Hal tersebut dilakukan oleh pemerintahan dari People’s Action Party (PAP)
setelah meraih kekuasaan pada bulan Juni 1959 di bawah Perdana Menteri Lee Kuan Yew.
Pada masa pemerintahan ini dibentuklah CPIB. Pada masa ini terdapat jumlah peningkatan
korupsi dan salah satu cara untuk memeranginya adalah dengan menaikkan gaji pemimpin
politik dan PNS, seperti yang dikutip dari Asian Journal of Public Administration (John S.T.
Quah: 93):
“Perhaps the most eloquent justification of the PAP government’s approach to combatting
corruption by reducing the need for corruption by raising the salaries of its political leaders
(and civil servants) was provided by Prime Minister Lee Kuan Yew in Parliament on March
22, 1985 when he explained why the salaries of the cabinet ministers had to be increased. He
contended that political leaders should be paid the top salaries that they deserved in order to
ensure a clean and honest government. If they were underpaid, they would succumb readily
to temptation and indulge in corrupt acts.”
Pada tahun 2000 jumlah pegawai yang tercatat di CPIB hanya sebanyak 80 orang,
bandingkan dengan jumlah pegawai ICAC Hongkong yang mencapai sekitar 1200 orang
pada tahun yang sama. Penekanan pada fungsi investigatif mengharuskan CPIB harus mampu
menyelesaikan kasus korupsi yang ditangani dengan hukuman yang dapat memberikan
deterrent effect. Hal ini dapat dibuktikan oleh CPIB, dimana dalam semua kasus yang
ditangani mempunyai tingkat pembuktian yang tinggi. Dari tiap kasus korupsi yang terbukti
mampu menghasilkan denda hingga $ S100.000 dan kurungan penjara hingga 5 tahun. Selain
dikenai denda terdakwa yang terbukti bersalah juga harus mengembalikan seluruh uang hasil
korupsinya (Komisi Pemberantasan Korupsi, Direktorat Penelitian dan Pengembangan
Deputi Pencegahan. 2006: 15).
CPIB sangat berperan dalam pencegahan terhadap tindak pidana korupsi dengan cara
preventif yaitu melakukan peninjauan kinerja departemen pemerintahan dan entitas publik
yang dinilai cenderung korup. CPIB juga berhak memeriksa segala catatan yang berhubungan
dengan kekayaan dan aset masyarakatnya. Hal tersebut bertujuan untuk menemukan
kejanggalan atau kelemahan dalam sistem administrasi yang dimungkinkan adanya celah
korupsi atau penyelewengan prosedur (malpraktik). Selain itu juga memberikan masukan
berupa perbaikan terutama dalam standarisasi tindakan pencegahan korupsi terhadap
departemen yang bersangkutan. CPIB juga aktif dalam menyelenggarakan sosialisasi kepada
publik mengenai tindakan pencegahan terhadap korupsi.
Selain upaya preventif, CPIB menggunakan upaya represif antara lain melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap setiap bank, saham, pembelian, rekening pengeluaran,
deposito dan menuntut orang (individu maupun lembaga). Dalam penindakan tersebut
biasanya individu maupun lembaga tersebut di tuntut untuk memberitahukan atau menunjuk
dokumen yang diminta sebagai bukti bahawa tindakan tersebut tidak ada indikasi korupsi.
Hal inilah sangatlah berperan dalam meminimalisasi upaya-upaya yang mengarah ke
tindakan korupsi.
Singkatnya, Singapura telah berhasil dalam meminimalkan masalah korupsi karena
strategi anti-korupsi ditandai dengan (John S.T. Quah: 95):
1. Commitment by the political leaders, especially Prime Minister Lee Kuan Yew,
towards the elimination of corruption both within and outside the public
bureaucracy;
2. Adoption of comprehensive anti-corruption measures designed to reduce both the
opportunities and need for corruption;
3. Creation and maintenance of an incorrupt anti-corruption agency which has honest
and competent personnel to investigate corruption cases and to enforce the anti-
corruption laws.
II. Penanganan Korupsi Di Indonesia
Upaya pencegahan praktik korupsi juga dilakukan di lingkungan eksekutif atau
penyelenggara negara, dimana masing-masing instansi memiliki Internal Control Unit (unit
pengawas dan pengendali dalam instansi) yang berupa inspektorat. Fungsi inspektorat
mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan kegiatan pembangunan di instansi masing-
masing, terutama pengelolaan keuangan negara. Di samping itu, ada juga pengawasan dan
pemeriksaan kegiatan pembangunan yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan
Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP). Secara eksternal terdapat lemaga swadaya
masyarakat seperti ICW (Indonesian Coruption Watch), tetapi dalam prakteknya lembaga-
lembaga tersebut hanya mengawasi dalam lingkup terbatas. Dalam hal aliran dana keuangan,
di Indonesia terdapat lembaga yang bertugas mengawasi aliran dana terutama dalam dunia
Perbankan yaitu PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) dan OJK
(Otoritas Jasa Keuangan). Dalam faktanya terdapat 3 lembaga yang secara nyata terlihat
dalam penanganan kasus-kasus korupsi di Indonesia yaitu Kejaksaan, KPK, dan POLRI.
Dari penjabaran diatas, seakan ada tumpang tindih kewenangan dalam penanganan tindak
pidana korupsi dalam satu negara. Selain itu di Indonesia tidak ada kejelasan lembaga mana
yang harusnya paling dominan dalam penanganan kasus-kasus korupsi. Hal inilah yang
menjadi tanda tanya besar, seakan dalam penanganan kasus-kasus korupsi di Indonesia terjadi
benturan dan saling rebut.
Dilihat dari kinerja yang ada, KPK-lah yang paling mendominasi penanganan tindak
pidana korupsi di Indonesia di banding dengan lembaga-lembaga yang mempunyai tugas
sama dalam penanganan korupsi. Hal ini sangat terlihat dengan kasus rekening gendut
POLRI dan juga kasus simulator SIM yang di tangani KPK.
Dalam menangani kasus korupsi, baik dengan cara Represif dan preventif, sudah barang
tentu KPK melibatkan semua komponen-komponen yang tersistematis yang ada dalam KPK
tersebut. Dalam lembaga KPK terdapat tujuh organ atau komponen pokok yang membawahi
beberapa organ lainnya antara lain Pimpinan KPK, Penasihat KPK, Deputi Bidang
Pencegahan, Deputi Bidang Penindakan, Deputi Bidang Informasi dan Data, Deputi Bidang
Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat, Sekretariat Jenderal.
Sama halnya dengan CPIB di Singapura, seluruh organ dalam tubuh KPK tersebut
mempunyai peranan masing-masing. Ada organ yang bertugas dalam pendidikan dan
pelayanan masyarakat, penelitian dan pengembangan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
pengelolaan informasi data, pengawasan internal, pengaduan masyarakat, perencanaan dan
keuangan, sumber daya manusia, dan lain sebagainya.
Meskipun seluruh organ dalam KPK saling bekerja sama secara sistematis dalam
penanganan korupsi, tetapi pada faktanya upaya represif yang di lakukan oleh Deputi Bidang
Penindakan beserta organ di bawahnyalah yang sering terlihat di media dalam melakukan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan para koruptor.
Perbandingan Pemberantasan Korupsi antara Indonesia dengan Singapura dari
Berbagai Segi
NO PEMBANDIN INDONESIA SINGAPURA
G
1 UU Membedakan pada delik / Membedakan pada
perbuatannya, hal ini dapat dilihat pemilahan
dari UU No 31 tahun 1999 jo. pelaku dari tindak pidana
UU no. 20 tahun 2001 tentang Korupsi,hal ini dapat dilihat
Tindak Pidana Korupsi, selain itu daru peraturan di singapura
ada juga ada KUHP mengatur yaitu dengan adanya
tentang kejahatan secara umum Prevention of coruption act
dan UU No. 8 tahun 2010 tentang tentang penyuapan yang di
Pencucian uang. lakukan oleh swasta dan
KUHP singapura tentang
korupsi yang di lakukan
oleh pegawai negeri.
2 Sanksi Sanksi pidana di Indonesia Sanksi pidana di Singapura
mengenal sistem pemidanaan berupa pidana penjara
maksimal khusus dan minimal maksimal 7 tahun
umum, jadi pidana indonesia lebih sedangkan pdana denda
berat baik denda maksimal maksimal
Rp.1.000.000.000,- dan penjara $ 100.000. Dalam sistem
maksimal 20 tahun, seumur hidup pemidanaan Singapura
bahkan pidana mati. Dan mengenal tidak mengenal adanya
sistem penjatuhan pidana secara pidana mati dan dalam
kumulatif sistem penjatuhan
pidana di sigapura
mengenal adanya sistem
secara kumulatif.
3 Lembaga Di Indonesia terdapat 3 lembaga Di Singapura hanya 1
yang berwenang dalam menangani lembaga yang berwenang
kasus korupsi yaitu Kejaksaan, dalam menangani korupsi
Kepolisian dan KPK, sehingga yaitu CPIB.
terjadi tumpang tindih dalam hal
kewenangan menangani korupsi.
4 Budaya dan Bermula dari masa kerajaan CPIB bermula dari
politik dengan penarikan upeti, masa pembentukan KAK
penjajahan dengan pemerintahan (Komisi Anti Korupsi) di
VOC dan kerja Rodi dan masa dalam lembaga kepolisian
Orba dengan sistem pemerintahan dan
otoriter dan anti-kritik, sehingga kemudian di pisah karena
korupsi semakin terbuka.Pada adanya suap di lembaga
pemerintahan selanjutnya polisi.Adanya political will
meskipun KPK berdiri, tetapi yang kuat dari penguasa
political will saat itu masih lemah saat itu dan di dukung oleh
dan kurangnya dukungan dari rakyat dan para pejabat
pemerintah dan masyarakat. pemerintah Singapura.
5 Jumlah Indonesia dengan wilayah yang Singapura dengan wilayah
pengawai KAK luas dan terdiri dari pulau-pulau yang relatif kecil, sehingga
(Komisi Anti dan daerah-daerah, maka pejabat- pejabat pemerintahan
Korupsi pejabat di Indonesia tergolong Singapura relatif sedikit,
banyak karena setiap daerah sehingga memudahkan
membutuhan jumlah pejabat yang CPIB dengan jumlah
berbeda-beda, sehingga pegawai CPIB yang relatif
dibandingkan dengan para pegawai sedikit untuk mengaudit
KPK maka sangat sulit untuk dan mengusut tuntas para
mengaudit dan mengusut tuntas pejabat yang
semua pejabat di indonesia. Maka di sinyalir korupsi.
dari itu di perlukannya
penambahan jumlah pegawai KPK
yang lebih banyak lagi
6 Struktur Struktur lembaga KPK sangatlah Struktur lembaga tergolong
Lembaga KAK banyak dan kuarang ramping dan ramping dan sangat efektif
(Komisi Anti beberapa organ terkesan kurang hal
Korupsi) efektif dan kurang nampak di ini sangat terlihat dalam
masyarakat terutama dalam upaya upaya
preventif. represif dan upaya
pencegahan korupsi di
Singapura.
b. Pentingnya Rativikasi Konvensi Anti Korupsi Bagi Indonesia
Pada tanggal 9 Desember 2005 seluruh dunia memperingati Hari Pemberantasan
Korupsi.Tanggal tersebut dipilih karena pada 9 Desember 2003 atau dua tahun yang lalu
tepatnya di Merida,Meksiko,Peserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Korupsi
(United Nation Convenstion Against Coruption) atau disingkat dengan konvensi Anti
korupsi. Kurang lebih 137 negara turut ambil bagian untuk menandatangani konvensi
tersebut,termasuk Indonesia.
Kehadiran konvensi antikorupsi menandai sebuah momentum penting diakuinya praktek
korupsi sebagai kejahatan global (transnasional).Oleh karenanya,cara memberantasan dan
mencegah korupsi membutuhkan dukungan yang saling menguntungkan antara satu negara
dengan negara lain.Kejahatan korupsi bukan lagi urusan domestik negara yang bersangkutan,
akan tetapi menjadi persoalan global yang harus ditangani dalam semangat kebersamaan.
Tanpa adanya sikap saling mempercayai dan memberikan dukungan dalam memberantas
korupsi, kejahatan yang telah merusak sendi-sendi ekonomi, sosial dan politik ini akan selalu
menghantui hubungan antar negara, baik dalam konteks politik maupun ekonomi.
Ketidakpercayaan para pebisnis asing terhadap iklim usaha di Indonesia yang dinilai sarat
ekonomi biaya tinggi misalnya cukup memberikan bukti bahwa korupsi berdampak pada
hubungan ekonomi yang merugikan.
Seperti yang kita ketahui, Keengganan Singapura untuk memberikan informasi terhadap
para koruptor Indonesia yang kabur ke negara tersebut telah memanaskan hubungan
diplomasi yang selama ini terbangun dengan baik. Pendek kata, pemberantasan korupsi tidak
akan efektif jika tidak ada dukungan internasional untuk memberantasnya. Para koruptor bisa
menyimpan hasil jarahannya di negara lain, secara fisik koruptor juga dapat hidup nyaman di
negara lain. Oleh karenanya, konvensi anti korupsi lahir sebagai bentuk keperdulian global
terhadap dampak korupsi yang kian mengkhawatirkan.
Semangat global untuk memerangi korupsi sejatinya sudah muncul sebelum lahirnya
konvensi antikorupsi PBB. Pada 29 Maret 1996, konvensi antikorupsi antarnegara Amerika
(The Organization of American States) atau disingkat OAS ditandatangani di Caracas,
Venezuela. Konvensi ini ditandatangani 23 dari 35 negara anggota OAS. Kini, konvensi ini
pun diberlakukan di Bolivia, Costa Rica, Ecuador, Mexico, Paraguay, Peru, dan Venezuela
yang kemudian ikut meratifikasinya.
Di samping menandatangani konvensi, pada pertemuan di Lima, Peru, Juni 1997, Majelis
Umum OAS pun telah mengesahkan Plan Against Corruption. Dengan rencana ini, OAS
memberikan dukungan pada negara-negara anggotanya. OAS pun bekerjasama dengan
penduduk setempat dan organisasi internasional lainnya termasuk Bank Dunia, Inter-
American Development Bank, dan OECD dalam mencegah dan mengontrol korupsi.
Butir-butir semangat pemberantasan korupsi sebagaimana tercantum dalam Konvensi
Antikorupsi PBB pada prinsipnya mengatur beberapa hal penting yang harus dipatuhi para
peserta.
1. Para peserta konvensi harus menerapkan peraturan nasional mendasar tentang
pencegahan korupsi dengan membangun, menerapkan, memelihara efektifitas, dan
mengkoordinasikan kebijakan antikorupsi yang melibatkan partisipasi masyarakat,
dan peraturan nasional yang mampu menjamin penegakkan hukum, pengelolaan
urusan dan sarana publik yang baik, ditegakkannya integritas, transparansi dan
akuntabilitas di sektor publik.
2. Membangun badan independen yang bertugas menjalankan dan mengawasi
Membangun kebijakan antikorupsi yang diadopsi oleh Konvensi Antikorupsi.
3. Melakukan perbaikan dalam sistem birokrasi dan pemerintahan yang bersih dari
korupsi.
4. Setiap peserta wajib meningkatkan intergritas, kejujuran dan tanggung jawab para
pejabat publiknya, termasuk menerapkan suatu standar perilaku yang mengutamakan
fungsi public yang lurus, terhormat, dan berkinerja baik.
5. Membentuk sistem pengadaan barang dan jasa pemerintahan, manajemen keungan
publik, dan sistem pelaporan untuk tujuan transparansi, peran peradilan yang bersih
dalam pemberantasan korupsi.

6. Melakukan pencegahan korupsi disektor swasta yang mengedepankan transparasi,


sistem akunting dan pelaporan.
7. Meksanakan perlibatan masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Selanjutnnya, negara peserta konvensi antikorupsi juga harus melakukan usaha
pencegahan pencucian uang, menerapkan kriminalisasi dan penindakan korupsi termasuk
pembekuan dan penyitaan harta hasil korupsi, memberikan perlindungan saksi, alhi dan
korban, menerapkan sistem ganti rugi bagi korban korupsi, melaksanakan pembangunan kerja
sama pemberantasan korupsi, termasuk dengan institusi-institusi keungan, menerapkan sistem
kerahasiaan bank yang tidak menghambat pemberantasan korupsi, mengatur yurisdiksi dalam
penanganan perkara korupsi, melaksanakan kerja sama internasional memberantas korupsi
termasuk hal-hal yang terkait dengan pemberian bantuan hukum dan teknis, ekstradisi,
pengembalian asset ( asset recovery), dan sebagainya.
Yang patut disayangkan, meskipun Indonesia sudah menandatangani Konvensi
Antikorupsi PBB pada 18 Desember 2003, hingga kini Indonesia belum meratifikasi
konvensi tersebut. Seharusnya sebagai negara yang paling parah dalam perihal korupsinya,
Indonesia tidak perlu berpikir dua kali untuk tidak atau meratifikasinya. Karena dengan
meratifikasi konvensi tersebut, ada beberapa keuntungan yang bisa didapatkan.
Pertama, Indonesia telah menunjukan komitmen dan keseriusan yang tinggi kepada
masyarakat Internasional dalam memberantas korupsi. Sebagaimana kita ketahui, masyarakat
Internasional (studi PERC 2005 dan TI 2005) selama ini masih menganggap Indonesia adalah
negara terkorup sehingga tidak aman untuk dijadikan tempat berinvestasi yang
menguntungkan.
Kedua, dengan meratifikasi konvensi tersebut, Indonesia dapat menerapkan standar
internasional dalam memberantas korupsi, baik menyangkut legal framework dan strateginya.
Jikapun ada usaha-usaha untuk memperdayai agenda pemberantasan korupsi dengan
melumpuhkan berbagai peraturan antikorupsi, dunia Internasional dapat mendesak Indonesia
untuk mengamandemennya sebagaimana pernah dilakukan pada UU Pencucian Uang.
Ketiga, Indonesia dapat mendesak dunia Internasional untuk melakukan kerjasama
pemberantasan korupsi menyangkut isu-isu yang berkaitan dengan upaya ekstradisi koruptor,
penerapan mutual legal assistance, asset recovery dan sebagainya. Meskipun ada usaha dari
pemerintah melalui mekanisme komunikasi government to government sebagaimana sedang
dilakukan kepada Singapura, Swiss, Cina dan Hongkong untuk mengembalikan harta negara
yang dilarikan ke luar negeri, namun usaha tersebut tidak dalam kerangka payung hukum
internasional sehingga efektifitasnya menjadi tidak bisa diandalkan. Dengan demikian,
sesusungguhnya tidak ada alasan bagi Pemerintah Indonesia untuk tidak meratifikasi
konvensi antikorupsi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara umum, korupsi di berbagai belahan dunia memiliki corak dan karakter yang
berbeda-beda,maka berbeda pula dalam penanganannya. Indonesia sebagai negara
berkembang dengan segala kendala dalam pemberantasan korupsi dinilai kurang efektif jika
di banding dengan negara lainnya. Upaya dan cara serta mekanisme pemberantasan korupsi
yang selama ini dilakukan oleh Indonesia adalah kurang efektif dalam mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi.
Pada negara maju, korupsinya terkesan lebih canggih dibandingkan dengan negara
berkembang dengan corak korupsi yang generik dan sederhana. Di Indonesia para pelaku
korupsi lebih tepatnya dibilang koruptor menggunakan kekuasaan politik untuk memperkaya
diri yang kemudian setelah tertangkap, ‘tikus-tikus korup’ itu dengan berbagai dalih berusaha
mengelak dari dakwaan. Selain itu perkara yang ditangani KPK didominasi oleh sektor
insfrastruktur yaitu pengadaan barang dan jasa. Sektor ini dinilai memiliki komposisi
anggaran dalam jumlah sangat besar. Diharapkan korupsi sektor ini dapat dicegah, salah satu
upayanya yaitu dengan e-procurement, transparansi siklus anggaran mulai dari perencanaan
sampai pencairan anggaran.
Dengan Kehadiran Ratifikasi konvensi anti korupsi menandai sebuah momentum
penting diakuinya praktek korupsi sebagai kejahatan global (transnasional).Oleh
karenanya,cara memberantasan dan mencegah korupsi membutuhkan dukungan yang saling
menguntungkan antara satu negara dengan negara lain.Kejahatan korupsi bukan lagi urusan
domestik negara yang bersangkutan, akan tetapi menjadi persoalan global yang harus
ditangani dalam semangat kebersamaan.

3.2 Saran
Sebaiknya dalam pencegahan anti korupsi jika Tanpa adanya sikap saling mempercayai dan
memberikan dukungan dalam memberantas korupsi, kejahatan yang telah merusak sendi-
sendi ekonomi, sosial dan politik ini akan selalu menghantui hubungan antar negara, baik
dalam konteks politik maupun ekonomi. Ketidakpercayaan para pebisnis asing terhadap iklim
usaha di Indonesia yang dinilai sarat ekonomi biaya tinggi misalnya cukup memberikan bukti
bahwa korupsi berdampak pada hubungan ekonomi yang merugikan.
DAFTAR PUSTAKA
Atep Abdurofiq.Politik hukum retifikasi konvensi PBB anti korupsi di Indonesia
Tanjung Mahardika.Perbandingan penanganan tindak pidana korupsi dinegara singapura dan
Indonesia.
https://aayedi.wordpress.com/2017/05/05/ratifikasi-konvensi-perserikatan-bangsa-
bangsa-anti-korupsi-dan-implikasinya-terhadap-sistem-hukum-pidana-indonesia

Anda mungkin juga menyukai