Anda di halaman 1dari 87

JUDUL TESIS

ANALISA YURIDIS MANAJEMEN RISIKO


TERHADAP PEMBERIAN KREDIT
PERBANKAN DI INDONESIA

Disusun Oleh :
Achmad Didy Alamsyah
NPM 0606005776

Fakultas Hukum – Universitas Indonesia


Program Pasca Sarjana
Hukum Ekonomi
2009

Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya sendiri dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang
dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Achmad Didy Alamsyah
NPM : 0606005776
Tanggal : 23 September 2016
Tanda Tangan :

ii
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
TANDA PERSETUJUAN TESIS
Judul Tesis: Analisa Yuridis Manajemen Risiko Terhadap Pemberian Kredit di
Indonesia.
Tesis ini telah disetujui dan siap untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Ekonomi dan Bisnis, Universitas
Indonesia.
Jakarta , 23 September 2016
Mengetahui,

Pembimbing,
( Dr. Yunus Husein, S.H., LL. M.)

iii
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT dan sholawat serta salam kepada Nabi
Besar Muhammad SAW atas berkat limpahan rahmat, bimbingan, dan pertolongannya,
sehingga penulis dapat menghadapi dan menyelesaikan segala persoalan yang timbul dan
usaha menyelesaikan tesis ini yang berjudul “ANALISA YURIDIS MANAJEMEN
RISIKO TERHADAP PEMBERIAN KREDIT PERBANKAN DI INDONESIA”.
Tesis ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan
memperoleh gelar Magister Hukum di lingkungan Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. Tesis ini juga merupakan persembahan dari penulis untuk keluarga. Sebagai
ungkapan rasa terima kasih yang tak terhingga atas jasa-jasa mereka yang telah
mendukung dan memotivasi penulis, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan
mereka.
Walaupun banyak mendapat kesulitan yang penulis harus hadapi ketika menyusun
tesis ini khususnya permasalahan pengumpulan materi, namun berkat bantuan dan
dorongan dari berbagai pihak, akhirnya tesis ini dapat diselesaikan dengan baik pada
semester terakhir ini. Hal ini juga tidak terlepas dari bantuan dan dorongan serta
bimbingan dari berbagai pihak. Karena itulah, pada kesempatan ini dengan penuh rasa
hormat dan kerendahan hati, penulis menyampaikan ucapan rasa terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian tesis ini, diantaranya:
1. DR. Yunus Husein, S.H., LL.M., yang telah menyediakan waktu, tenaga dan
pemikirannya untuk mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan
tesis.
2. Diah Ayu Damayanti, Mohammad Akeyla Zedidiah, Mohammad Daksha
Hisahito, dan Labibah Giancinta Achmad.
3. PT Bank Mizuho Indonesia (CCS Department)
4. Pihak lain yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini.

iv
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna dan terdapat banyak
kekurangan terutama dalam pemakaian bahasa dan sistematika juga teknis penulisan serta
penyajian materi. Hal tersebut karena masih terbatasnya ilmu penulis. Oleh sebab itu,
penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bermanfaat dan membangun. Semoga
tesis ini dapat berguna khususnya kalangan akademis dan pada masyarakat umumnya.

Jakarta, 23 September 2016

Penulis

v
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Achmad Didy Alamsyah
NPM : 0606005776
Program Studi : Pascasarjana Ilmu Hukum/Kekhususan Hukum Ekonomi
Fakultas : Hukum Universitas Indonesia
Jenis Karya : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonesklusif (Non-exclusive Royalty-Free
Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
ANALISA YURIDIS MANAJEMEN RISIKO TERHADAP PEMBERIAN
KREDIT PERBANKAN DI INDONESIA
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini
Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/ formatkan, mengelola dalam
bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama
tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik akhir Hak
Cipta.
Demikan pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : 23
September 2016

Yang Menyatakan

(Achmad Didy Alamsyah)

vi
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
ABSTRAK
Kesadaran serta kesamaan pandangan dalam melihat risiko perbankan secara
internasional telah menciptakan suatu kesepakatan dalam cara pengelolaan risiko
perbankan. Kesepakatan yang dimaksud adalah Basel. Kesepakatan Basel tentang risiko
perbankan telah berkembang menjadi tolak ukur bagi bank sentral di berbagai negara
dalam merancang regulasi manajemen risiko perbankan yang berlaku pada negara
masing-masing. Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia telah membuat
serangkaian regulasi yang terkait dengan manajemen risiko yang mengacu kepada
kesepakatan Basel. Salah satunya adalah manajemen terhadap risiko kredit. Risiko kredit
dikenal sebagai kerugian yang diakibatkan oleh kegagalan bayar debitur kepada kreditur.
Mengingat risiko kredit berkorelasi dengan risiko perbankan yang lain dan dapat
menciptakan krisis likuiditas pada perbankan, maka perbankan harus memperhatikan
manajemen risiko terhadap kredit perbankan yang diantaranya melalui persiapan
kebijakan dan prosedur secara tertulis, pengawasan terhadap modal dan aktiva kreditnya,
sampai membatasi kredit-kredit yang dapat merugikan bank.
ABSTRACT
Awareness and similarity of views in the view of the risk of banking has created
an international agreement in the way banks manage risk. An agreement is referred to
Basel. Basel agreement on the risk of banking has developed into decline measure for
central banks in various countries in designing risk management banking regulations
that apply to the respective countries. Bank Indonesia as the central bank in Indonesia
has made a series of regulations associated with the risk management refers to the Basel
agreement. One is the management of credit risk. Credit risk known as losses caused by
the failure of debtors to pay creditors. Given the risk correlated with credit risk that
banks and others can create liquidity in the banking crisis, the bank must pay attention to
risk management credit among banks through the preparation of policies and procedures
in writing, supervision of capital assets and credit, to restrict credits which can be harm
the bank.

vii
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL (i)
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS (ii)
TANDA PERSETUJUAN TESIS (iii)
KATA PENGANTAR (iv)
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI (vi)
ABSTRAK (vii)
DAFTAR ISI (viii)
BAB I PENDAHULUAN (1)
1. Latar Belakang Permasalahan (1)
2. Perumusan Masalah (6)
3. Tujuan Penulisan (6)
4. Manfaat Penelitian (8)
5. Kerangka Berpikir (8)
6. Kerangka dan Konsep Teori (9)
7. Metode Penelitian (10)
BAB II TINJAUAN UMUM: BANK, KREDIT, RISIKO, DAN PENERAPAN
CORE PRINCIPLE ON BANKING SUPERVISION (13)
1. Bank, Kredit, dan Risiko (13)
2. Penerapan Core Prinsiple on Banking Supervision (21)
3. Penerapan Basel II (23)
BAB III MANAJEMEN RISIKO KREDIT PERBANKAN (26)
1. Modal, Risiko Kredit, Likuiditas, dan Krisis Insolvabilitas (29)
2. Manajemen Risiko Kredit Perbankan: Perbandingan Peraturan Bank Indonesia
(BI) dan Peraturan Monetary of Authority Singapore (MAS) (35)
a) Peraturan Bank Indonesia (BI) 5/8/PBI2003 Tentang Manajemen
Risiko (Risiko Kredit) (35)
b) Monetary of Authority Singapore: Management Credit Risk (37)
3. Analisa Kualitatif Terhadap Regulasi dan Ketentuan Manajemen Risiko
(Risiko Kredit) (47)

viii
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
BAB IV ANALISA YURIDIS MANAJEMEN RISIKO TERHADAP PROSES
PEMBERIAN KREDIT PERBANKAN DI INDONESIA (51)
1. Apa yang dimaksud dengan dengan risiko, dan bagaimana perbankan di
Indonesia mengidentifikasikan risiko kredit? (51)
2. Bagaimana perbankan mengelola, memonitor, dan mengendalikan eksposur
kredit terhadap risiko? (53)
a) Mengelola, Memonitor, dan Mengendalikan Kewajiban Penyedian
Modal Minimum (KPMM) (53)
b) Mengelola, Memonitor, dan Mengendalikan Batas Maksimum
Pemberian Kredit (BMPK) (55)
c) Mengelola, Memonitor, dan Mengendalikan Penilaian Kualitas Aktiva
(59)
d) Mengelola, Memonitor, dan Mengendalikan Sistem Informasi Debitur
(SID) (63)
e) Mengelola, Memonitor, dan Mengendalikan Kredit Kepada Pihak
Asing (64)
f) Mengelola, Memonitor, dan Mengendalikan Kredit Kepada
Perusahaan Sekuritas (66)
g) Mengelola, Memonitor, dan Mengendalikan Kredit Untuk Keperluan
Transaksi Derivatif (66)
h) Mengelola, Memonitor, dan Mengendalikan Kredit Untuk Pembiayaan
Pengadaan dan atau Pengelolaan Tanah (68)
i) Mengelola, Memonitor, dan Mengendalikan Pemberian Bank Garansi
oleh Bank (70)
BAB V PENUTUP (72)
1. Kesimpulan (72)
2. Saran (74)
DAFTAR PUSTAKA (75)

ix
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
Bab I
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Permasalahan
Dalam menunjang pembangunan ekonomi suatu negara, dengan mendukung
kegiatan pelaku usaha di negara tersebut, kredit perbankan sangat dibutuhkan sebagai
bentuk permodalan atau pembiayaan atas usahanya untuk melakukan aktivitas kegiatan
operasional. Tujuan utama perbankan melalui kredit usaha tersebut adalah pengambilan
keuntungan bunga atas kredit atau pinjaman yang diberikan. Sumber utama dari kredit itu
sendiri, menurut neraca keuangan adalah dari dana pihak ketiga yang disimpan pada
bank. Dana pihak ketiga bisa berupa simpanan dalam bentuk tabungan/giro dan deposito.
Kredit itu sendiri dibedakan atas periode/jangka waktu pemberiannya. Ada yang jangka
waktunya mulai dari overnight , 1 minggu sampai dengan 1 tahun yang biasanya disebut
dengan kredit jangka pendek. Ada juga kedit yang over dari 1 tahun atau kredit jangka
panjang.
Kredit dalam perbankan adalah produk yang berbentuk jasa yang dijual atau
ditawarkan kepada masyarakat umum untuk keperluan usaha ataupun pribadi. Mengingat
bentuknya adalah suatu produk jasa, maka perlu diatur tentang tata cara pelaksanaannya
oleh suatu undang-undang dan peraturan dimana kredit itu dilaksanakan demi
kepentingan pelaku usaha atau masyarakat yang mengkonsumsinya dan juga perbankan
itu sendiri. Di Indonesia kredit telah diatur oleh undang-undang perbankan yakni, UU RI
No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU RI No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
Selain itu diatur pula dalam UU Bank Indonesia Tahun 1999 dan peraturan bank
Indonesia yang dikenal dengan PBI Tahun 2005 tentang Batas Maksimum Pemberian
Kredit, dan peraturan – peraturan lainnya.
Kredit menurut Pasal 1 UU No 10 tahun 1998:
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga”

1
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
Kredit merupakan perjanjian antara debitur dan keditur di mana hak dan
kewajibannya termuat dalam perjanjian tersebut, dan dikenal dengan perjanjian utang-
piutang. Dimana terdapat unsur-unsur didalamnya sebagai berikut: 1
1. Kepercayaan yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa kredit tersebut akan
dibayar kembali oleh si penerima kredit dalam jangka waktu tertentu yang telah
diperjanjikan.
2. Waktu, yaitu bahwa pemberian kredit dengan pembayaran kembali tidak
dilakukan pada waktu yang bersamaan melainkan dipisahkan oleh tenggang
waktu.
3. Risiko, yaitu bahwa setiap pemberian kredit mempunyai risiko akibat adanya
jangka waktu yang memisahkan antara pemberian kredit dengan pembayaran
kembali. Semakin panjang jangka waktu pemberian kredit semakin tinggi risiko
kredit tersebut.
4. Prestasi, atau obyek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga
dapat berbentuk barang atau jasa. Namun dalam obyek kredit yang menyangkut
uanglah yang sering dijumpai dalam praktek perkreditan.
Kata-kata dalam Pasal 1 ayat 11 UU Pebankan No.10 tahun 1998 tentang
Perbankan “…penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu …”
dalam rumusan kredit tersebut dapat ditafsirkan sangat luas. Produk jasa perbankan,
sepanjang memerlukan penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
itu, maka produk tersebut menjadi produk perkreditan.2
Menurut Pasal 1 butir 5 Peraturan Bank Indonesia No.7/2PBI/2005 tentang
Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum:
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
itu, berdasakan pesetujuan aau kesepakatan pinjam-meminjam antar bank dengan pihak
lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga termasuk (a) Overdaft, (b) Pengambilalihan tagihan

1 Febby M. Sukatendel, 2006.”Kredit dan Masaah Keuangan, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia”. YLBHI , Jakarta.
2 Try Widiyono, S.H.,M.H.,Sp.N.,2006. “Aspek hukum operasional transaksi poduk perbankan di Indonesia”. Ghalia Indonesia,
Bogor

2
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
dalam rangka kegiatan anjak-piutang, dan (c) Pengambilalihan atau pembeian kredit
dari pihak lain.”
Kredit juga dapat dikatakan sebagai kewajiban debitur dalam melunasi utangnya
3
bedasarkan perjanjian yang telah disepakatinya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
kredit itu meupakan perjanjian kedua belah pihak dimana hak dan tanggung jawabnya
ada dalam perjanjian yang disetujuinya, diantaranya adalah memenuhi kewajiban debitur
atas jasa yang diberikan oleh kreditur berupa pinjaman dengan menyertai kewajiban atas
keuntungan kreditur, seperti bunga, denda, dan fee.
Seperti yang telah dikatakan bahwa kredit memiliki unsur risiko, yaitu berupa
kegagalan bayar dari debitur. Penyebab kegagalan bayar misalnya pailit, krisis ekonomi,
dan lain-lain. Dampaknya pada dunia perbankan teciptanya sejumlah akun yang disebut
NPL (non perfoming loan) dalam aku-akun perbankan yang dapat merugikan bank.
Apalagi kalau sampai NPL tersebut harus di write off atau dihilangkan sebagai beban
kerugian. Ini akan membawa kehancuran bagi perusahaan perbankan.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam kredit terdapat unsur risiko, dimana
dalam pemberian kredit ada unsur wanprestasi4 . Debitur tidak dapat membayar kembali
dari jangka waktu yang telah ditentukan. Risiko yang dimaksud adalah peluang terjadinya
kerugian. Risiko dalam pengelompokannya diklasifikasikan menjadi risiko bisnis dan
risiko kejahatan. 5 Risiko bisnis pada industri perbankan misalnya; adanya kredit macet-
seperti yang disebutkan di atas, adanya fluktuatif dalam nilai tukar antara mata uang,
tingkat suku bunga, harga saham, komoditi, dan lain-lain, ada juga kegagalan kliring,
kegagalan likuiditas untuk danai tunai cash dan non cash kepada masyarakat, dan yang
terpenting adalah tuntutan hukum. Ada juga suatu risiko non bisnis atau risiko kejahatan
yang biasanya adalah tindakan pidana yang terjadi di dalam internal perbankan itu
sendiri. Kalau kita mengingat hukum kekalan enerji yang mengatakan bahwa enerji tidak

3 Hermansyah S.H.,M.Hum., 2006. “Hukum perbankan Nasional Indonesia”. Kencana, Jakarta.


4 Menurut Pasal 1234 KUH Perdata yang dimaksud dengan prestasi adalah seseorang yang menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu,
dan tidak melakukan sesuatu, sebaliknya dianggap wanprestasi bila: (1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; (2)
Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya; (3) Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat ;
atau (4) Melakukan sesuatu yang menurut kontrak tidak boleh dilakukannya.
5 Boni Dwi Pramudyanto,2006."Normal Business Risk dan Criminal Risk, Harus Dibedakan dan Perlu Aturan Khusus Kejahatan
Perbankan”. http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0602/06/jogja/20600.htm

3
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan. Enerji sifatnya berpindah-pindah dari satu
tempat ke tempat yang lain. Risiko itu sepeti enerji, tidak bisa dihilangkan, hanya bisa
ditransfer dan ada dimana-mana.
Harus diakui sesungguhnya, industri perbankan adalah suatu industri yang sarat
dengan risiko, terutama karena melibatkan pengelolaan uang masyarakat dan diputar
dalam bentuk seperti pemberian kredit baik itu jangka pendek maupun jangka panjang.
Menurut Pasal 1 ayat 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003:
Risiko adalah potensi terjadinya suatu peristiwa (events) yang dapat
menimbulkan kerugian bank.
Risiko adalah segala sesuatu yang akan menghambat organisasi dalam mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Risiko juga didefinisikan sebagai potensi terjadinya suatu
peristiwa atau kejadian baik yang diperkirakan maupun tidak dipekirakan, yang langsung
maupun tidak langsung menimbulkan kerugian keuangan maupun non keuangan dan atau
menyebabkan organisasi memiliki keterbatasan atau kendala dalam mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Risiko adalah peluang terjadinya bencana atau kerugian. Risiko
mempunyai peluang terjadinya hasil yang buruk. Risiko terkait dengan situasi dimana
hasil negatif dapat terjadi dan besar-kecilnya kemunkinan terjadinya outcome tersebut
dapat dipekirakan. 6
Perbankan tidak lepas dari kegiatan kredit atau pembiayaan. Perbankan juga tidak
lepas dari risiko. Risiko perbankan didalamnya terkait risiko kredit. Dimana risiko kredit
merupakan risiko yang disebabkan oleh kegagalan counterparty atau debitur atau obligor,
baik individual maupun kelompok, untuk memenuhi kewajiban pembayarannya kepada
bank sesuai dengan kesepakatan/perjanjian/kontrak yang disepakati bersama. Atau
dengan kata lain merupakan risiko kerugian yang terkait dengan kemungkinan kegagalan
dalam memenuhi kewajiban dalam hal membayar utangnya kembali. 7
Bank dan perekonomian suatu negara mempunya risiko yang saling behubungan.
Risiko ini kita kenal sebagai risiko sistematik.8 Dimana kegagalan bank merupakan
kegagalan juga bagi perekonomian. Oleh karena itu, kita harus mengenali risiko-risiko

6 Indonesian Certificate in Banking Risk and Regulation, 2005. “Workbook, Level 1”. Global Association of Risk Professional &
Badan Sertifikasi Manajemen Risiko.
7 Ibid.
8 Ibid.

4
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
yang ada dalam perbankan khususnya risiko kredit. Seperti kutipan dari website ekonomi
bisnis tanggal 27 januari 2004, Direktur pengawasan BI Aris Anwari :
“perbankan dan industri keuangan harus memiliki pedoman manajemen risiko
yang dapat mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko”.9
Sepertinya sudah sewajarnya semua perbankan harus memasukan pedoman untuk
mencegah terjadinya suatu risiko yang mengakibatkan kerugian bagi bank itu sendiri.
Besar kecilnya risiko itu akan sangat tergantung pada berbagai faktor yang terkait,
misalnya kemampuan dan kejelian manajemen dalam mengelola hal itu. Ini yang disebut
sebagai manajemen risiko perbankan yang telah diatur oleh Bank Indonesia melalui
Peraturan Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Manajemen Risiko.
“Menurut Pasal 1 ayat 3: Manajemen risiko adalah serangkaian prosedur dan
metodelogi yang digunakan unuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan
mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank.”
Manajemen risiko bagi bank dalam upaya mitigasi kerugian akibat risiko didefinisikan
sebagai berikut:
1. Managemen risiko adalah suatu sistem pengelolaan risiko yang dihadapi oleh
organisasi secara kompehensif untuk tujuan meningkatkan nilai perusahaan.
2. Manajemen risiko adalah seperangkat kebijakan, prosedur yang lengkap, yang
dipunyai organisasi, untuk mengelola, memonitor, dan mengendalikan eksposur
organisasi tehadap risiko. 10
3. Enterprise risk management adalah kerangka yang komprehensif, terintegrasi,
untuk mengelola risiko kredit, risiko pasar, modal ekonomis, transfer risiko, untuk
memaksimalkan nilai perusahaan. 11
Akhir tahun 2008 mengingatkan kita kembali kepada krisis ekonomi yang pernah
terjadi di beberapa negara Asia seperti di Indonesia. Dimana pada saat itu, antara tahun
1997 sampai dengan 1998, sektor perbankan hancur. Sampai akhirnya menimbulkan pada
krisis ekonomi, yang mengakibatkan perubahan pada sosial dan politik di beberapa
negara Asia, termasuk Indonesia. Adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam

9 Palimirma, 2007.” Penerapan Manajemen Risiko di Perbankan Nasional”.


http://www.vibiznews.com/1new/journal_last.php?sub=journal&month=September&tahun=2007&page=risk.
10 SBC Warbug, 2004. “The Practice of Risk Management”. Euromoney Book.
11 Lam James, 2004. “Enterprise Risk Management”. Wiley

5
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
jangka waktu yang singkat dan didukung dengan banyaknya investasi yang masuk untuk
jangka pendek, menjadi indikator sebagai pemicu terjadinya krisis. Katakan saja aliran
dana yang masuk untuk investasi banyak ditempatkan pada SBI, Surat Utang Negara, dan
produk-produk perbankan yang jangka waktunya kurang dari satu tahun. Dalam
memenuhi target keuntungan dari dana investasi yang ditempatkan oleh investor,
perbankan menyalurkan dalam bentuk kredit modal kerja. Ketika dana yang telah
ditempatkan dibutuhkan, terjadi suatu kontradiksi dimana permintaan pengembalian dana
yang disimpan oleh investor tidak dapat dipenuhi. Akhirnya jumlah kredit macet ataupun
non performing loan pada pebankan semakin meningkat. Semakin besar kewajiban dan
semakin kekurangan liquidity dalam menyediakan dana, membuat kondisi menjadi panik.
Terbawa situasi ini, banyak masyarakat yang mengalami kekhawatiran dan
hilangnya kepercayaan terhadap perbankan. Tidak heran dengan waktu yang singkat, dari
tahun 1997 sampai dengan 1998, menjadi bencana bagi perbankan di negara-negara di
Asia yang salah satunya Indonesia. Perbankan di Indonesia dinilai tidak dapat mengeola
risiko sehingga pailit. Dan banyak pula perbankan yang merger akibat krisis tersebut.
Sehingga Bank Indonesia mengeluarkan peraturannya. Melalui Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/8/PBI/2003 ini, menjadi topik yang penting untuk menganalisa secara yuidis
manajemen risiko tehadap pemberian kredit perbankan di Indonesia.

1.2 Perumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan risiko, dan bagaimana perbankan di indonesia
mengidentifikasikan risiko kredit?
2. Bagaimana perbankan mengelola, memonitor, dan mengendalikan eksposur
kreditnya tehadap risiko?

1.3 Tujuan Penelitian


Setelah stabilitas makro-ekonomi tercapai, ada dua agenda penting. Pertama,
mempertahankan stabilitas makroekonomi tersebut supaya berkelanjutan. Kedua, sudah
waktunya untuk lebih memfokuskan perhatian pada sistem dan kelembagaan industri
perbankan untuk menjadikannya kuat dan bermanfaat. Kestabilan makro-ekonomi yang
telah diperoleh tidak boleh tersia-siakan karena masih adanya kerapuhan bank-bank yang

6
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
dapat membahayakan stabilitas sistem secara keseluruhan. Di pihak lain, sektor
perbankan harus mampu untuk terus memperkuat dan memperbaiki diri sehingga tidak
mengganggu kestabilan yang telah diraih dan mampu memberikan manfaat yang lebih
besar pada masyarakat. Untuk mendukung tujuan ini, kebijakan perbankan akan
diarahkan pada upaya memperkuat industri perbankan dengan mulai mempertegas
kebijakan dan langkah-langkah konkret untuk mempercepat proses penyehatan
perbankan, yang salah satunya melalui manajemen risiko. Kedepan, terdapat sejumlah
masalah dan tantangan yang tidak ringan. Krisis perbankan beberapa waktu lalu
meninggalkan luka yang sangat dalam, baik secara sistem, institusi, maupun individual.
Kepercayaan sebagai elemen abstrak tetapi fundamental dalam bisnis ini sempat
tercerabut. Mengembalikan elemen fundamental ini bukan perkara mudah. Itu
membutuhkan pembuktian, sebelum akhirnya kredibilitas industri ini benar-benar pulih.
Meskipun telah banyak hasil yang dicapai dalam mengembalikan kepercayaan ini,
berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi perbankan tampaknya masih bersumber
pada elemen fundamental tersebut. Terdapat beberapa kasus yang pada umumnya terkait
dengan kekurangmampuan bank dalam mengelola risiko, terutama kecurangan (fraud)
yang dilakukan pemilik maupun pengurus bank. Ini menujukkan adanya itikad tidak baik
pemilik maupun pengurus bank yang menggunakan bank sebagai alat untuk mencapai
keuntungan pribadi secara tidak jujur. Jika kegagalan individual bank ini berlanjut, akan
menurunkan kepercayaan masyarakat kepada sistem perbankan. Fokus perhatian ke
depan sudah saatnya mulai setahap lebih maju lagi. Mengelola industri perbankan secara
modern, menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan yang baik, dan mengelola risiko secara
12
cermat dan saksama. Memantau dan menilai secara sistematik profil risiko bank,
mengkaji dampak risiko dari suatu produk atau jasa baru, menyusun prosedur dan metode
manajemen portofolio, serta membantu unit bisnis dalam mengembankan kepedulian dan
kepatuhan terhadap prinsip-prinsip pengelolaan risiko yang dimaksud. Sehingga
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan lebih meningkat. Oleh karena itu diharapkan
dengan penelitian ini, dapat mensosialisasikan Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/8/PBI/2003 untuk menerapkan prinsip-prinsip manajemen risiko dalam aktivitas

12 Dilan S Batuparan,2000. “Prinsip-Prinsip Dasar Manajemen Risiko”. http://www.bexi.co.id/images/_res/perbankan-Prinsip


prinsip%20Dasar%20Manajemen%20Risiko.pdf

7
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
kesehariannya khususnya dalam mengelola, memantau dan memonitor risiko-risiko
terkait dengan risiko kredit perbankan di Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian


Secara garis besar manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 13
1. Sebagai acuan perbankan dalam menerapkan standar Bank Indonesia dalam hal
manajemen risiko, yang bertujuan untuk meminimalkan risiko-risiko terkait kredit
perbankan di Indonesia.
2. Sebagai acuan perbankan dalam menangani risiko secara lebih baik.
3. Membantu kerangka kerja Bank Indonesia yang terkait dengan rencana Arsitektur
Perbankan Indonesia (API), dimana penerapan prinsip manajemen risiko akan
memberi manfaat yang sangat besar, yaitu meningkatkan pengawasan risiko atau
good government risk based supervision dan juga lebih memperkuat ketahanan,
serta stabilitas sistem perbankan nasional.
4. Memberikan solusi dalam memperbaiki kualitas pengelolaan kredit berbasis
risiko.

1.5 Kerangka Berpikir


Sistematika penulisan ini dibagi dalam 5 (lima) Bab yaitu :
1. Bab I: Merupakan bagian pendahuluan. Bagian ini menyajikan uraian tentang
latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, kerangka berpikir, dan metodologi penelitian.
2. Bab II: Tinjauan Umum: Bank, Kredit, Risiko, dan Penerapan Core Principle on
Banking Supervision.
3. Bab III: Manajemen Risiko Kredit Perbankan.
4. Bab IV: Analisa Yuridis Manajemen Risiko Terhadap Pemberian Kredit
Perbankan di Indonesia.
5. Bab V: Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

13 John E. Junarsin,2009. “Manajemen Risiko dan Nilai Perusahaan”.


http://cwma.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=95&Itemid=66

8
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
1.6 Kerangka Teori dan Konsep
Frank Knight (1921) Risk, Uncertainty, and Profit:
“ … Uncertainty must be taken in a sense radically distinct from the familiar
notion of risk, from which it has never been properly separated. The term “risk”, as
loosely used in everyday speech and in economic discussion, really covers two things
which, functionally at least, in their casual relations to the phenomena of economic
organization, are categorically different. … The essential fact is that “risk” means in
some cases a quantity susceptible of measurement, while at other times it is something
distinctly not of this character; and there are far-reaching and crucial differences in the
bearings of the phenomenon depending on which of the two is really present and
operating. … It will appear that a measurable uncertainty, or “risk” proper, as we shall
use the term, is so far different from an unmeasurable one that it is not in effect an
uncertainty at all. We … accordingly restrict the term “uncertainty” to cases of the non-
quantitive type.”
“Teori hukum tentang risiko menyatakan bahwa yang bersalah yang harus
menanggung risiko.” 14
Levy dan Savelberg, merumuskan arti hukum dari kredit sebagai berikut:
“Menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas
oleh penerima kredit. Penerima kredit berhak mempergunakan pinjaman itu untuk
keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman itu di belakang
hari.”15
Credit risk is the risk of loss due to a debtor's non-payment of a loan or
other line of credit (either the principal or interest (coupon) or both). 16

14 Dadut Priyambodo, 11 Oktober 2000. “Paksa Badan atau Krisis Lagi?” http://www2.kompas/kompas-
cetak/0010/11/ekonomi/paks15.htm
15 HR Daeng Naja, S.H., M.H., M.Kn. 2006. “Legal Audit Operasional Bank”. PT Citra Aditya Bakti, Bandung
16 De Servigny, Arnaud and Olivier Renault, 2004. “The Standard & Poor's Guide to Measuring and Managing Credit Risk”.
McGraw-Hill. Tom Henderson, 2008-01-02.“ Counterparty Risk and The Subprime Fiasco”, Counterparty risk, otherwise known as
default risk, is the risk that an organization doesnot pay out on a credit derivative, credit default swap, credit insurance contract, or
other trade or transaction when it is supposed to. Duncan H. Meldrum, 1999. “Country Risk and Foreign Direct Investment”,
Sovereign risk is the risk of a government becoming unwilling or unable to meet its loan obligations, or reneging on loans it
guarantees.

9
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
1.7 Metode Penelitian
Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan
17
konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis
berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu
sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu
kerangka tertentu.
Dalam rangka untuk memenuhi sifat penelitian yang telah disebutkan diatas,
maka penelitian dilakukan dengan menggunakan cara, bentuk, dan batasan-batasan
tertentu sehingga tulisan ini dapat menjadi sebuah karya ilmiah. Adapun metodologi
penelitian yang dipergunakan adalah sebagai berikut:
1. Tipe penelitian
Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum yang bersifat deskriptif,
yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti dan menganalisis
bahan sekunder atau bahan-bahan kepustakaan melalui studi dokumen.
2. Sifat Penelitian
Sifat dari penelitian yang akan dilakukan ini merupakan penelitian hukum yang
bersifat deskriptif yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan mana sudah ada
teori/pengetahuan tentang obyek yang akan diteliti, sehingga diharapkan dapat
mempertegas hipotesa dalam rangka membantu menyusun teori-teori baru
ataupun memperkuat teori-teori lama. Penelitian yang bersifat deskriptif ini
dilakukan dengan terlebih dahulu menjelaskan secara umum mengenai
permasalahan yang akan dibahas sebelum dianalisis lebih lanjut.
3. Data.
a) Sumber Data
Mengingat tipe penelitian yang digunakan merupakan tipe penelitian
hukum deskriptif, maka cara pengumpulan data yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah studi kepustakaan/dokumen.

17 Soerjono Soekanto, 1986. “Pengantar Penelitian Hukum”. UI-Press, Jakarta.

10
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
Sumber data sekunder 18diperoleh dari:
1) Sumber primer (primary sources), antara lain berupa peraturan
perundang-undangan;
2) Sumber sekunder (secondary sources), yaitu bahan-bahan yang
memberikan informasi atau hal-hal yang berkaitan dengan isi
sumber primer serta impelemtasinya, contoh : RUU, laporan
penelitian, artikel ilmiah, buku, makalah, skripsi, tesis dan disertasi;
3) Sumber tersier (tertierary sources), yaitu bahan-bahan yang
memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan
sekunder, contoh: buku petunjuk, ensiklopedia, kamus, dan lain-
lain.
b) Cara dan Alat Pengumpulan Data
Kegiatan pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumen terhadap
data sekunder.
c) Analisis Data
Pada penelitian hukum deskriptif, pengolahan bahan bacaan pada
hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap
bahan-bahan hukum tertulis.
4. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis
tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. Adapun analisis
yang akan digunakan ialah analisis secara kualitatif terhadap data sekunder yang
didapatkan.
5. Metode Pendekatan atas Obyek Pengenal.
Metode pendekatan atas obyek pengenal yang akan digunakan dalam penelitian
ini adalah dari disiplin ilmu hukum (yuridis) dengan ilmu-ilmu hukum sebagai
ilmu penunjang dalam memahami pendekatan-pendekatan secara hukum.
6. Metode yang digunakan dalam mengambil kesimpulan.

18 Sri Mamudji, Hang Rahardjo, Agus Supriyanto, Daly Erni, Dian Pudji Simatupang, 2005. ”Metode Penelitian dan Penulisan
Hukum”. Badan Penerbit Fak. Hukum UI, Jakarta. hal. 30-31.

11
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan metode deduktif, yaitu
suatu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang bersifat umum, dibawa kepada
hal-hal yang bersifat khusus untuk kemudian dapat diambil kesimpulan.

12
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
Bab II
2. Tinjauan Umum: Bank, Kredit, Risiko, dan Penerapan Core Principle on
Banking Supervision
2.1 Bank, Kredit, dan Risiko
Menurut Pasal 1 ayat 2 UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan:
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”
Bank merupakan lembaga keuangan yang telah diberikan ijin dimana aktivitas yang
utama adalah untuk bertindak sebagai agen pembayaran untuk nasabah dan
meminjamkan uang.19 Dalam rangka untuk membuat keuntungan bank umumnya
mengambil uang dari depositors dan yang meminjamkan uang untuk proyek-proyek
jangka panjang. Banyak kegiatan dalam mencari keuangan lainnya. Misalnya bank
sebagai pemain di pasar keuangan dan menawarkan layangan keuangan seperti investasi
dana. Apabila kita menelusuri sejarah dari terminology bank, kita temukan bahwa kata
bank berasa dari bahasa itally “banca” yang berarti bence atau banku tempat duduk.
Sebab pada zaman pertengahan, pihak banker Italy yang memberikan pinjaman-pinjaman
melakukan usahanya tersebut dengan duduk dibangku-bangku halaman pasar. Dalam
perkembangan dewasa ini istilah bank dimaksud sebagai suatu jenis pranata financial
yang melaksanakan jasa-jasa keuangan yang cukup beaneka ragam, seperti pinjaman,
memberikan pinjaman, menyediakan mata uang, mengadakan pengawasan terhadap mata
uang, bertindak sebagai tempat penyimpanan untuk benda-benda berharga, dan
membiayai usaha –usaha perusahaan.20 Dalam suatu kamus kata bank diartikan sebagai :
1. Menerima deposito uang, custody, menerbitkan uang untuk memberikan pinjaman
dan diskonto, memudahkan penukaran fund-fund tertentu dengan cek,notes, dan
lain-lain dan juga bank memperoleh keuntungan dengan meminjamkan uangnya
dengan memungut bunga.
2. Perusahaan yang melaksanakan bisnis bank tersebut

19 http://en.wikipedia.org/wiki/Bank
20 M Munir Fuady, S.H.,M.H.,LL.M.,2003. “Hukum Perbankan Modern Buku Kesatu”, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

13
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
3. Gedung atau kantor tempat dilakukannya transaksi bank atau tempat
beroperasinya perusahaan perbankan.
Disamping itu ada juga yang memberi arti kepada bank sebagai suatu institusi yang
mempunyai peran yang besar dalam dunia komersil, yang mempunyai wewenang untuk
menerima deposito, memberikan pinjaman, dan menerbitkan promissory note yang sering
disebut dengan bank bills atau bank notes. Namun demikian, fungsi bank yang orsinil
adalah hanya menerima deposito berupa uang logam, plate, emas, dan lain-lain
Hukum yang mengatur masalah perbankan disebut hukum perbankan (Banking
Law). Hukum ini merupakan seperangkat kaidah hukum dalam bentuk peraturan
perundan-undangan , yurisprudensi, doktrin, dan lain-lain sumber hukum, yang mengatur
masalah-masalah perbankan sebagai lembaga, dan aspek kegiatannya sehari-hari, rambu-
rambu yang harus dipenuhi oleh suatu bank, perilaku petugas-petugasnya, hak,
kewajiban, dan tanggung jawab para pihak yang tersangkut dengan bisnis perbankan, apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukan dengan dunia perbankan tersebut. Adapun yang
meupakan ruang lingkup dari pengaturan hukum perbankan adalah sebagai berikut:
Djumhana, Muhammad:
1. Asa-asas perbankan, seperti norma efesiensi, keefektifan, kesehatan bank,
profesionalisme, pelaku perbankan, maksud dan tujuan lembaga perbankan,
hubungan, hak dan kewajiban bank
2. Para pelaku bidang perbankan, seperti dewan komisaris, direksi, dan karyawan,
maupun pihak terafiliansi. Mengenai bentuk badan hukum pengelola seperti PT
Persero, perusahaan daerah, koperasi atau perseroaan terbatas. Mengenai
bentuk kepemilikan, seperti milik pemerintah, swasta, patungan dengan
asing,atau bank asing.
3. Kaidah–kaidah perbankan yang khusus diperuntukan untuk mengatur
perlindungan kepentingan umum dari tindakan perbankan, seperti pencerahan
persaingan yang tidak sehat, antitrust, perlindungan nasabah, dan lain-lain.
4. Yang menyangkut dengan struktur organisasi yang berhubungan dengan bidang
perbankan, seperti eksistensi dari dewan moneter, bank sentral, dan lain-lain

14
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
5. Yang mengarah kepada pengamanan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh
bisnis bank tersebut, seperti pengadilan, sanksi, insentif, pengawasan, prudent
banking, dan lain-lain.
Sebagaimana diketahui bahwa pembangunan nasional merupakan upaya
berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan
makmur berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. dalam menghadapi
perkembangan perekonomian nasional yang senatiasa bergerak cepat, kompetitif dan
terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem keuangan yang
semakin maju, diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi, termasuk
perbankan. Berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan nasional tersebut daam
ketentuan pasal 4 undang-undang No.10 tahun 1998 tentang perbankan bahwa:
” Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksaan pembanunan nasional
dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional
kearah peningkatan kesejahterahan rakyat banyak”.
Dari ketentuan ini jelas bahwa lembaga perbankan mempunyai peranan penting dan
strategis tidak saja dalam menggerakan roda perekonomian nasional, tetapi juga
diarahkan agar mampu menunjang pelaksanaan pembangunan nasional. Ini berarti bahwa
lembaga perbankan haruslah mampu berperan sebagai agent of development dalam upaya
mencapai tujuan nasional itu, dan tidak menjadi beban dan hambatan dalam pelaksanaan
pembangunan nasional tadi.21 Peranan penting yang strategis dari lembaga perbankan
yang diuraikan diatas merupakan bukti bahwa lembaga perbankan adalah salah satu pilar
utama bagi pembangunan ekonomi dan sebagai agent of development dalam menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional. Dalam peranannya yang demikian itu, jelaslah
bahwa lembaga perbankan nasional dituntut dan berkewajiban untuk mewujudkan tujuan
perbankan nasional yang diatur dalam pasal 4 undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang
perbankan sebagaimana telah dikemukakan di atas.
Bank sebagai agent of development dalam mendukung pembangunan ekonomi
tidak terlepas dari jasa bank sebagai pemberi kredit. Hal ini juga telah dijelaskan di dalam
UU No.10 tahun 1998 tentang Perbankan. Dimana menurut pasal 1(11):

21 Hermansyah SH.,M.Hum., 2006, “Hukum Perbankan Nasional Indonesia”, Kkencana,Jakarta.

15
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga.”
Levy dan Savelberg, merumuskan arti hukum dari kredit sebagai berikut:
“Menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas
oleh penerima kredit. Penerima kredit berhak mempergunakan pinjaman itu untuk
keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman itu di belakang
hari.”
Ada beberapa jenis kredit, diantaranya:
1. Kredit ditinjau dari segi tujuan penggunaanya dapat berupa: kredit produktif yang
terdiri dari kredit modal kerja dan kredit investasi, dan kredit konsumsi
2. Kredit dibedakan pula menurut jangka waktunya diantaranya: kredit jangka
pendek, menengah, dan kredit jangka panjang.
Setiap kredit yang telah disepakati harus dituangkan kedalam bentuk suatu perjanjian
yang disebut perjanjian kredit. Pasal 1313 KUH Perdata:
“Perjanjian kredit adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”
Perjanjian kredit itu sendiri mengacu pada perjanjian pinjam meminjam yang tercantum
dalam Pasal 1754 KUH Perdata:
“Perjanjian pinjam-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang
menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.”
Pasal 1320 KUH Perdata menjelaskan syarat sahnya suatu perjanjian kredit. Di mana
dalam perjanjian tersebut dipersyaratkan:
1. Kesepakatan antara mereka yang mengikatkan diri.
2. Kecakapan dari masing-masing pihak untuk membuat suatu perikatan, yang
artinya: masing-masing pihak memenuhi persyaratan sebagai orang yang cakap
menurut Pasal 1330 KUH Perdata.

16
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
3. Menjelaskan hak dan kewajibannya masing-masing dari pihak yang saling
mengikatkan diri.
4. Dan yang terakhir harus disebabkan oleh unsur yang halal dalam arti tidak
bertentangan dengan undang-undang.
Sejarah perbankan yang amat kolaps, khususnya akibat krisis ekonomi 1998
tentunya harus dijadikan sebagai pengalaman berharga dalam industri perbankan.
Likuidasi terhadap bank-bank bermasalah serta merger terjadi terhadap beberapa
perbankan swasta dan bank pemerintah beberapa waktu lalu menjadi akumulasi krisis
perbankan nasional. Dengan belajar dari kasus tersebut, maka mengkaji secara serius dari
aspek sistem perbankan dan hubungan fungsionalnya dengan perekonomian dan
pembangunan nasional, termasuk kondisi yang ada dengan peluang serta tantangan di
dalam dan di luar perbankan itu sendiri. Dimana salah satu aspeknya adalah risiko
perbankan, yang diatur oleh Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003. Yang
dimaksud dengan risiko:
“Risiko adalah potensi terjadinya suatu peristiwa (events) yang dapat
menimbulkan kerugian bank.”
Dalam melakukan usahanya, bank menghadapi berbagai macam risiko. Secara praktis,
22
risiko dapat dikelompokan ke dalam risiko kredit, risiko pasar, dan risiko operasional.
Pada industri perbankan, risiko perbankan dibedakan menjadi beberapa bagian
diantaranya:
1. Risiko kredit (umumnya hanya ada pada perbankan).
Risiko kredit didefinisikan sebagai risiko yang disebabkan oleh kegagalan
counterparty atau debitur atau obligor, baik individual maupun sistemik, untuk
memenuhi kewajiban pembayarannya kepada bank sesuai dengan kesepakatan
/perjanjian/kontrak yang disepakati bersama.
Jenisnya adalah:
a) Risiko Kredit Pemerintahan (Sovereign Credit Risk): resiko yang terkait
dengan pemerintah suatu negara yang tidak mampu membayar pokok dan
bunga pijamannya pada saat jatuh tempo.

22 Eman A. Setiawan, 2005. “Esensi Manajemen Risiko Bank” , http://hipmi.org/arsip-blog/?p=23

17
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
b) Risiko Kredit Korporasi (Corporate Credit Risk): adalah resiko gagal
bayar dari perusahaan yang menerbitkan surat utang, gagal bayar dari
perusahaan yang telah memperoleh kredit, serta gagal bayar perusahaan
yang telah memperoleh penyertaaan modal.
c) Risiko Kredit Retail (Retail Credit Risk): adalah resiko yang terkait
dengan ketidakmampuan debitur perorangan dalam menyelesaikan
pembayaran keditnya.
Bank menggunakan sejumlah teknik dan kebijakan dalam mengelola risiko kredit
untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya dampak dari kerugian kredit, yang
dikenal dengan mitigasi risiko kredit. Teknik dan kebijakan tersebut adalah:
a) Model pemeringkatan (grading model) untuk kredit perorangan. Cara ini
memungkinkan bank untuk memastikan bahwa porotfolio kredit bank
tidak terkonsentrasi pada kredit berkualitas buruk yang memiliki
kemungkinan default yang tinggi. Misalnya dengan presentase pendapatan
debitur yang digunakan untuk membayar bunga kredit, riwayat pekerjaan
debitur, dan jumlah tahun pembayaran kembali kredit dibandingkan
dengan usia debitur.
b) Manajemen porotfolio kredit. Bank dengan cara yang sama mengukur
portofolio kreditnya untuk memberikan keyakinan bahwa kredit yang
diberikan tidak terlalu terkonsentrasi pada satu industri atau wilayah
geografis tertentu. Analisa seperti ini dikenal sebagai cohort analysis.
c) Sekuritisasi. Salah satu teknik yang digunakan bank untuk melindungi
dirinya dari gejolak ekonomi adalah dengan mengemas dan menjual
sebagian portofolio kreditnya kepada investor dalam bentuk surat
berharga, yang dikenal dengan sekuritisasi.
d) Peran agunan. Agunan (collateral) didefinisikan sebagai aktiva yang
diperjanjikan oleh debitur untuk mendapatkan kredit dan dapat diambil
alih dalam hal terjadi default.23 Pasal 1237 KUH Perdata :
“Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan
tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas

23 Surini Ahlan Sjarif,S.H.,MH, Dkk, 2005. “Hukum Perdata – Suatu Pengantar”. Gitama Jaya, Jakarta.

18
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
tanggungan si berpiutang. Jika si berpiutang lalai akan menyerahkannya
maka semenjak saat kelalaian, kebendaan adalah atas tanggungannya.”
e) Monitoring arus kas. Dengan cara: (i) membatasi tingkat eksposur, (ii)
memastikan bahwa nasabah bereaksi cepat terhadap keadaan yang
berubah.
f) Manajemen pemulihan.
2. Risiko pasar (nilai tukar, suku bunga, harga saham, komoditi, dan option).
Risiko yang disebabkan oleh pergerakan termasuk fluktuasi variable pasar seperti
suku bunga, nilai tukar, dan atau harga/nilai aset. Risiko ini timbul akibat:
a) Traded market risk, yaitu risiko kerugian nilai investasi yang terkait
kegiatan pembelian dan penjualan (trading) instrument keuangan di pasar
secara berkesinambungan untuk mendapatkan keuntungan.
b) Risiko tingkat suku bunga dalam banking book, risiko perubahan suku
bunga pasar karena struktur underlying kegiatan usahanya, seperti
aktivitas pemberian kredit dan penghimpunan dana masyarakat.
3. Risiko operasional.
Risiko yang disebabkan oleh kelemahan proses internal, sumber daya manusia,
dan sistem atau faktor eksternal yang mempengaruhi penyelenggaraan kegiatan
24
operasional dan atau kebijakan bank. Dalam risiko ini terdapat subkatagori
diantaranya: proses internal, manusia, sistem, kejadian eksternal, hukum dan
regulasi. Dengan subkatagori tersebut diupayakan agar bank beroperasi dengan
prinsip low cost error.
4. Risiko likuiditas.
Risiko yang antara lain disebabkan oleh ketidakmampuan atau kegagalan bank
memenuhi kewajiban keuangan jangka pendek dan atau kewajiban keuangan
lainnya pada saat jatuh waktu.
5. Risiko hukum.

24 Susidarto,2001. “Menyongsong Regulasi Perbankan Baru "Risk Management" & Degradasi Modal Bank”.
http://unisosdem.org/article_detail.php?aid=445&coid=2&caid=30&gid=4

19
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
Risiko yang tuntutan hukum pihak ke-tiga kepada bank yang antara lain
disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Dimana penyebabnya adalah
sebagai berikut:
a) Kelemahan yuridis
b) Perubahan hukum
c) Kesalahan dalam kontrak
d) Kegagalan dokumentasi
e) Kegagalan akibat kebangkrutan
f) Perubahan politik
6. Risiko reputasi.
Risiko yang antara lain disebabkan oleh opini/persepsi stakeholders atau
pemberitaan negative yang dapat membentuk opini/persepsi negative dan atau
menurunkan kepercayaan stakeholders terhadap pelaksanaan fungsi dan tugas
bank, kebijakan dan personnel bank.
7. Risiko strategik.
Risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya penetapan dan pelaksanaan
rencana strategis dan kebijakan bank yang berdampak signifikan pada nasabah,
dan penetapan dan pelaksanaan kebijakan dan atau peraturan pihak eksternal yang
dapat berdampak pada pelaksanaan fungsi, tugas dan eksistensi bank. Risiko
strategik umumnya terkait dengan keputusan sebagai berikut:
a) Bisnis yang akan dijadikan investasi
b) Bisnis yang akan diakuisisi,
c) Bisnis yang akan ditutup atau dijual dan batasan-batasannya.
8. Risiko kepatuhan.
Risiko yang disebabkan oleh ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang berlaku.
Dampak risiko selain kerugian secara langsung, akan juga berimbas pada stakeholder
bank tersebut – pemegang saham, pegawai dan nasabah, dan juga perekonomian. Bank
yang over-lending pada saat ekonomi tumbuh pesat (boom) akan mengalami under-
lending pada kejadian resesi yang muncul sesudahnya. Hal ini akan mengurangi
kemampuan bank dalam bentuk permodalannya untuk memberikan kredit di masa

20
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
mendatang.25 Sehingga pelayanan terhadap nasabah terganggu, bahkan akibat fatalnya
terjadi penutupan kegiatan bank tersebut atau likuidasi.

2.2 Penerapan Core Principle on Banking Supervision.


Basle committee on banking supervision, didirikan oleh gubernur bank sentral
negara-negara group ten (G10) pada tahun 1974 sebagai reaksi atas bangkrutnya Bankhus
I.D. Herstatt di Colone, Jerman. Likuidasi Bank Herstatt tersebut ternyata berdampak
global kerena banyak transaksi valuta asingnya tidak dapat diselesaikan sehingga
menyebabkan terganggunya penyelesaian transaksi pada clearing house international
payment sistem (CHIPS) dan merugikan mitra bisnis Herstatt Bank. Basel Committee
adalah komite yang anggotanya berasal dari bank sentral dan regulator dari Belgia,
Perancis, Jerman, Itala, Jepang, Luxemburk, Belanda, Spanyol, Swedia, Swiss, Inggris,
dan Amerika Serikat yang bertemu di bank for internasional settlement (BIS), Basel,
Swiss untuk mempererat kerjasama guna memperkuat stabilitas moneter dan keuangan
(mulai Mei 1999 BIS menggunakan ejaan Basel mengantikan ejaan Basle)
Meskipun hanya 13 negara yang menjadi anggota Basel Committee akan tetapi lebih 100
negara menggunakan kerangka basel sebagai pedoman dalam menata sistem perbankan
mereka. Pada awalnya pusat perhatian Basel Committee adalah pertukaran informasi
diantara sesama anggota. Dalam perjalanannya, perhatian dialihkan pada harmonisasi
ketentuan melalui penerbitan kajian best practices dan membangun suatu standar
pengawasan diantara sesama anggota meski standar tersebut tidak mengikat secara
hukum (legally binding). Core principle for effective banking supervision (basel,
September 1997) yang dikeluarkan oleh Basel Committee on Bankin Supervision terdiri
dari 25 prinsip. Prinsip-prinsip tersebut harus sedapat mungkin ditetapkan untuk
menciptakan sistem pengawasan yang efektif. 26 Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah:
sistem informasi manajemen yang dimiliki bank mampu mengidentifikasi konsentrasi
portofolio dan pengawas harus menetapkan batas kehati-hatian bagi setiap nasabah
peminjam individual atau group terkait. Untuk menghindari penyelewengan pengawas

25 Ibid
26 Dr. Zulkanaen Sitompul, 2005. “Problematika perbankan”. Bookterrace & Library,Bandung.

21
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
bank harus menetapkan persyaratan bahwa bank yang akan memberikan pinjaman kepada
pihak terkait harus berdasarkan prinsip transaksi di pasar (arm’s length), pemberian
kredit tersebut harus dimonitor secara efektif dalam rangka mengawasi atau mengurangi
risiko. Tersedia kebijakan dan prosedur untuk identifikasi, monitoring, dan controlling,
country risk dan transfer risk yang dimiliki bank dalam menyalurkan pinjaman dan
investasi internasional, serta menyediakan cadangan yang cukup untuk risiko tersebut.
Bank harus memiliki suatu sistem yang dapat secara tepat mengukur, memonitor dan
mengawasi risiko pasar yang dihadapi bank. Pengawas harus memiliki kewenangan
untuk mengenakan batasan spesifik dan/atau denda spesifik terhadap eksposure risiko
pasar. Pengawas bank harus puas dengan proses manajemen risiko komprehensip yang
dimiliki bank (termasuk direktur pengawas dan manajemen senior) untuk
mengidentifikasi, mengukur, memonitor dan mengawasi seluruh risiko material lainnya
dan apabila perlu menetapkan denda terhadap risiko tersebut. Pengawas bank harus
menetapkan bahwa bank memiliki internal kontrol yang cukup sesuai dengan skala
bisnisnya. Hal ini harus mencakup pengaturan yang jelas tentang pendelegasian
wewenang dan tanggung jawab, pemisahan fungsi diantara bagian-bagian di bank.
Pengawas bank harus menetapkan bahwa bank memiliki kebijakan, praktek dan prosedur
termasuk ketentuan know your customer yang menciptakan standar etika dan
profesionalisme yang tinggi dan mencegah bank digunakan secara sengaja oleh unsur-
unsur kriminal. Pengawas bank harus menetapkan persyaratan modal yang hati-hati dan
cukup untuk seluruh bank. Persyaratan tersebut harus mencerminkan risiko yang dihadapi
bank dan harus menentukan komponen modal dengan mempertimbangkan kemampuan
menyerap kerugian. Untuk bank yang melakukan kegiatan international, paling tidak
persyaratan tersebut tidak lebih rendah dari standar BIS. Bagian terpenting dari sistem
pengawasan adalah evaluasi kebijaksanaan, paktek dan prosedur bank yang berkaitan
dengan pemberian pinjaman dan investasi serta pelaksanaan manajemen portfolio
27
pinjaman dan investasi. Pengawas bank harus yakin bahwa bank memiliki dan taat
pada kebijaksanaan, praktek dan prosedur evaluasi kualitas assets dan ketentuan kerugian
pinjaman dan cadangan. IMF dan world bank kemudian melakukan joint assement
kepada negara-negara yang secara sukarela meminta untuk dinilai tentang kepatuhan

27 Ibid

22
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
mereka terhadap prinsip pengawasan bank efektif yang dikeuarkan oleh BIS tersebut.
Dalam kaitan ini Kanada merupakan negara pertama yang dinilai, sedangkan AS sampai
saat ini belum dinilai.

2.3 Penerapan Basel II


Pada 1988 Basel Committee on Banking Supervision bertindak atas nama BIS
mengeluarkan base capital accord. Tujuan dikeluarkannya 1998 basel capital accod yang
selanjutnya dikenal dengan basel I adalah:
1. Harmonisasi standar permodalan bank secara internasional dengan
maksud memeperkuat stabilitas dan kesehatan perbankan intenasional.
2. Menghilangkan sumber ketidaksetaraan dalam berkompetisi diantara
perbankan internasional. Basel I menetapkan satu ukuran modal dan risiko
untuk bank yang beroperasi secara international. Penetapan modal secara
tunggal ini tidak membedakan variasi risiko antar bank satu dengan bank
lainnya.
Tonggak utama basel I adalah penetapan persyaratan pemodalan minimal 8 persen
bagi bank yang beroperasi secara internasional dengan tujuan untuk menjamin tingkat
kecukupan modal dan menjamin terjadinya kompetisi yang seimbang. Di amerika serikat
persyaratan modal diberlakukan terhadap seluruh bank yang menjadi anggota federal
deposit insurance corporasion dan persyaratan yang sama juga diberlakukan bagi savings
association. Berdasarkan federal deposit insurance corporasion improvement act 1991
(FDICIA) bank dengan total rasio kecukupan modal berbasis risiko 8 persen hingga 9
persen dikatagorikan sebagai bank yang adequately capitalized, sedangkan bank dengan
rasio lebih kecil ditetapkan sebagai bank yang kekurangan modal dan dapat dikenakan
prompt corrective action. Berdasarkan basel I modal bank terdiri dari dua tingkat (two
tier). Tingkatan pertama (4 persen) tediri dari shareholders equity dan retained earning.
Tingkatan kedua (4 persen) tambahan dana internal dan eksternal yang tersedia. Basel I
adalah standar yang one size fits all dan utamanya difokuskan pada risiko kredit. Rasio
kecukupan modal ini juga diterapkan pada industri perbankan Indonesia. Selanjutnya,
pada 2001 Basel Committee mengeluarkan the new basel capital accord (Basel II) yang
akan menggantikan basel I dan diharapkan dapat diterapkan pada akhir 2006. perbedaan

23
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
mendasar antara basel I dan basel II memberikan fleksibilitas dan sensitifitas risiko yang
lebih longgar dibandingkan dengan basel I. basel II terdiri dari 3 pilar yang saling terkait
satu dengan yang lainnya. Pilar pertama minimum capital requirement. Pilar kedua
supervisory review process dan pilar ke tiga market discipline. Kecukupan modal
dihitung dengan mempertimbangkan risiko kredit, risiko pasar, dan risiko operasional.
1. Risiko kredit dapat diukur dengan pendekatan:
a) Standarized, suatu vesi modifikasi dari metode yang berlaku saat ini
berdasarkan rating dari external credit rating
b) Foundation international rating based (IRB)
c) Advance IRB (A-IRB)
2. Risiko pasar dapat diukur dengan:
a) Pendekatan standarized
b) Pendekatan internal models, sedangkan
3. Risiko operasional diukur dengan menggunakan pendekatan:
a) Basic indicator
b) Standarized.
c) International measurement
Negara maju maupun negara emerging market menghadapi banyak kendala dalam
menerapkan basel II. Kepatuhan terhadap basel II dilain pihak penting dilakukan agar
industri perbankan mereka tidak diperlakukan sebagai bank kelas dua oleh mitra
bisnisnya. Amerika Serikat misalnya mewajibkan penerapan basel II hanya kepada 10-12
bank saja, sedangkan bank-bank lainnya belum diwajibkan untuk melaksanakannya.
Kesulitan menerapkan basel II paling tidak karena dua alasan. Pertama, basel II terdiri
dari ratusan halaman yang memaparkan tiga metode yang dapat digunakan untuk
menghitung risk base capital. Metode ini memerlukan tersedianya data yang besar dan
model komputer yang memprediksi kerugian dan faktor-faktor lainnya. Biayanya yang
dibutuhkan untuk mengimplementasi basel II diperkirakan USD 10 juta untuk bank kecil
dan USD 150 juta atau lebih untuk bank-bank besar. Biaya tersebut belum termasuk
biaya pemeliharaan sistem. Kedua, basel II diciptakan untuk bank yang berskala
internasional, besar dan melibatkan organisasi keuangan yang komplek. Basel II tidak
dialamatkan untuk seluruh bank. Di Amerika Serikat misalnya, hanya 10 bank yang

24
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
mewajibkan menerapkan pendekatan advance internal atins-based (A-IRB). Sedangkan
sekitar 7800 bank lainnya dapat menerapkan internal rrating based (IRB) atau tetap
menggunakan basel I yang sudah dimodifikasi. Di Uni Eropa seluruh lembaga keuangan
diwajibkan menerapkan basel II. Sedangkan di negara-negara lain masih terjadi
pendekatan mengenai penerapan basel II. Dalam kaitan ini IMF dan Wold Bank meminta
agar tidak tergesa-gesa menerapkan basel II apabila belum siap. Sebaiknya negara-negara
yang belum siap untuk patuh terlebih dulu terhadap core principe of banking supervision,
setelah itu baru menerapkan basel II. Meski, basel II merupakan faktor penting untuk
diterapkan terutama yang terkait dengan manajemen risiko. Sebelum melakukan
pemeriksaan, pengawas harus mengetahui terlebih dahulu profil bank yang akan
diperiksa untuk mengetahui disektor swasta apa risiko yang paling tinggi. Transaction
test (uji petik) merupakan elemen kunci dari risk base supervision. Pemeriksaan tidak
boleh hanya mempercayai hasil audit internal maupun hasil audit eksternal (akuntan
publik). Transaction test tidak boleh hanya merupakan pelengkap dari pengawasan off
site dan pengawasan yang dilakukan oleh internal auditor dan akuntan publik. Kasus
Enron, WorldCom dan lainnya merupakan bukti bahwa audit yang dilakukan oleh
akuntan ternama sekalipun tidak boleh dipercaya dan digunakan sebagai pedoman. Hal
ini terjadi karena auditor tersebut dibayar mahal oleh perusahaan sehingga mereka
seringkali sulit untuk bertindak independen. Supervisory capacity, merupakan elemen
yang tidak kalah pentingnya. Bagaimana melatih pengawas bank merupakan taruhan
dalam menciptakan pengawasan yang efektif.

25
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
Bab III
3. Manajemen Risiko Kredit Perbankan
Bank merupakan suatu perusahaan yang menjalankan fungsi intermediasi atas dana
yang diterima dari nasabah. Jika sebuah bank mengalami kegagalan, dampak yang
ditimbulkan akan meluas mempengaruhi nasabah dan lembaga-lembaga yang menyimpan
dananya atau menginvestasikan modalnya di bank, dan akan menciptakan dampak ikutan
secara domestik maupun pasar internasional. Karena pentingnya peran bank dalam
melaksanakan fungsinya maka perlu diatur secara baik dan benar. Hal ini bertujuan untuk
menjaga kepercayaan nasabah terhadap aktivitas perbankan. Salah satu peraturan yang
perlu dibuat untuk mengatur perbankan adalah manajemen risiko dimana berfungsi
sebagai penyangga terhadap kemungkinan terjadinya kerugian.
Risiko menurut Soebekti:
“Risiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jika ada suatu kejadian di luar
kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksud dalam kontrak.”
Di dalam asas berkontrak, dikenal adanya asas pacta sunt servada, yang artinya
kontrak itu merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (mengikat).
Sehingga dalam suatu kontrak, risiko diletakan dan menjadi tanggung jawab kedua belah
pihak. 28 Dalam suatu proses kerja pembuatan kontrak kredit antara debitur dengan bank,
maka risiko yang terdapat dalam kontrak tersebut diletakkan kepada bank dan debiturnya.
Seperti yang kita ketahui bahwa risiko kredit adalah risiko kerugian yang mungkin timbul
sebagai akibat kegagalan counterparty dalam memenuhi kewajibannya.
Prinsip prinsip yang diterapkan oleh Basel Committee dalam manajemen risiko kredit
adalah sebagai berikut:29
1. The board of director should have responsibility for approving and
periodically reviewing the credit risk strategy and significant credit risk
policies of the bank. The strategy should reflect the bank’s tolerance for risk
and the level of profitability the bank expects to achieve for incurring various
credit risks.

28 Abdul Rasyid Saliman,S.H.,MM.2005 “ Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus”.Kencana Renada Media
Group, Jakarta.
29 The Basel Committee on Banking Supervision, July 1999. “Consultative Paper: Principles for The Management of Credit Risk”.

26
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
2. Senior management should have responsibility for implementing the credit
risk strategy approved by the board of directors and for developing policies
and procedures for identifying, measuring, monitoring and controlling credit
risk. Such policies and procedures should address credit risk in all of the
bank’s activities and the both the individual credit and portfolio levels.
3. Bank should identify and manage credit risk inherent in all products and
activities. Bank should ensure that the risks of products and activities new to
them are subject to adequate procedures and controls before being introduced
or undertaken, and approved in advance by the board of directors or its
appropriate committee.
4. Bank must operate under sound, well-defined credit granting criteria. These
criteria should include a thorough understanding of the borrower or
counterparty, as well as the purpose and structure of the credit, and its
sources of repayment.
5. Bank should establish overall credit limits at the level of individual borrowers
and counterparties, and group of connected counterparties that aggregate in a
comparable and meaningful manner different types of exposures, both in the
banking and trading book and on and the balance sheet.
6. Bank should have a clearly-established process in place for approving new
credits as well as the extension of existing credits.
7. All extensions of credit must be made on arm’s-length basis. In particular,
credits to related companies and individuals must be monitored with
particular care and other appropriate steps taken to control or mitigate the
risks of connected lending.
8. Bank should have in place system for the ongoing administration of their
various credit risk-bearing portfolios.
9. Bank must have in place a system for monitoring the condition of individual
credits, including determining the adequacy of provisions and reserves.
10. Bank should develop and utilizes internal risk rating systems in managing
credit risk. The rating system should be consistent with the nature, size and
complexity of a bank’s activities.

27
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
11. Banks must have information systems and analytical techniques that enable
management to measure the credit risk inherent in all on-and off balance sheet
activities. The management information system should provide adequate
information on the composition of the credit portfolio, including identification
of any concentrations of risk.
12. Bank must have in place a system for monitoring the overall composition and
quality of the credit portfolio.
13. Banks should take into consideration potential future changes in economic
conditions when assessing individual credits and their credit portfolios, and
should assess their credit risk exposures under stressful conditions.
14. Bank should establish a system of independent, ongoing credit review and the
results of such reviews should be communicated directly to the board of
directors and senior management.
15. Bank must ensure that the credit-granting function is being properly managed
and the credit exposures are within levels consistent with prudential standards
and internal limits. Bank should establish and enforce internal controls and
other practices to ensure that exceptions to policies, procedures and limits are
reported in a timely manner for the appropriate level of management.
16. Bank must have a system in place for managing problem credits and various
other workout situations.
17. Supervisors should required that banks have an effective system in place to
identify, measure, monitor and control credit risk as part of an overall
approach to risk management. Supervisors should conduct an independent
evaluation of a bank’s strategies, policies, practices and procedures related to
the granting of credit and the ongoing management of the portfolio.
Supervisors should consider setting prudential limits to restrict bank
exposures to single borrowers or groups of connected counterparties.

28
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
3.1 Modal, Risiko Kredit, Likuiditas dan Krisis Insolvabiltas
Modal:30
“adalah asset (harta) dalam bentuk uang maupuan dalam bentuk barang yang
digunakan untuk operasional suatu perusahaan atau organisasi.”
Sejalan dengan semakin berkembangnya produk-produk yang ada di dunia
perbankan, BIS kembali menyempurnakan kerangka permodalan yang ada pada tahun
1988 accord dengan mengeluarkan konsep permodalan baru yang lebih di kenal dengan
Basel II. Basel II dibuat berdasarkan struktur dasar tahun 1988 accord yang memberikan
kerangka perhitungan modal yang bersifat lebih sensitif terhadap risiko (risk sensitive)
serta memberikan insentif terhadap peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko di
bank. Hal ini dicapai dengan cara penyesuaian persyaratan modal dengan risiko dari
kerugian kredit dan juga dengan memperkenalkan perubahan perhitungan modal dari
eksposur yang disebabkan oleh risiko dari kerugian akibat kegagalan operasional.
Basel II menghitung kebutuhan modal yang sesuai dengan profil risiko bank, serta
memberikan insentif bagi peningkatan kualitas dalam praktek manajemen risiko di
perbankan. Menggunakan berbagai alternatif pendekatan (approaches) dalam mengukur
risiko kredit (credit risk), risiko pasar (market risk) dan risiko operasional (operational
risk), maka hasilnya adalah perhitungan modal bank yang lebih sensitif terhadap risiko
(risk sensitive capital allocation). Dalam Basel II, pengaturan terhadap modal bank ini
dimuat dalam tiga buah pilar.
1. Minimum Capital Requirement.
Dalam berbagai alternatif pendekatan di atas pada dasarnya dapat dikelompokkan
menjadi 2 (dua) kelompok besar yaitu pendekatan standar berlaku untuk seluruh
bank (standardised model) dan model yang dikembangkan secara internal sesuai
dengan karakteristik kegiatan usaha dan profil risiko individual bank (internal
model) sehingga lebih sophisticated31. Jika dua pendekatan di atas dibandingkan,
maka internal model secara umum diharapkan dapat menghasilkan perhitungan
kebutuhan modal yang lebih tepat sesuai dengan risiko yang dihadapi oleh bank.

30 Governmental Accounting Standards Board Statement. “Basic Financial Statements and Management’s Discussion and Analysis
for State and Local Governments”. No. 34 paragraph 19.
31 Rinella Putri, 2007. “Manajemen Risiko Perbankan”, www.vibizmanagement.com

29
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
Ini akan menjadi insentif bagi bank tersebut. Kondisi ini diharapkan menjadi
pemicu bagi upaya berkelanjutan dalam meningkatkan kualitas manajemen risiko
sehingga pada saatnya dapat mengoptimalkan insentif yang dapat diperoleh dalam
menghitung kebutuhan modal.
2. Supervisory Review
Dalam menilai kelayakan modal bank, maka selain alokasi modal berdasarkan
Minimum Capital Requirment harus turut pula dihitung alokasi modal untuk
antisipasi kerugian karena risiko-risiko lain seperti risiko likuiditas (liquidity risk),
risiko strategik (strategic risk), risiko suku bunga di banking book (interest rate
risk in the banking book) dan risiko-risiko lainnya. Pendekatan di atas dirangkum
dalam Supervisory Review Process dan disebut sebagai Individual Capital
Adequacy Assessment Process (ICAAP)32 yang akan menjadi tantangan bagi bank
dan pengawas. Diperlukan peningkatan kompetensi dan kapasitas pengawas yang
didukung oleh perangkat ketentuan pengawasan sehingga pada waktunya dapat
melakukan penilaian secara efektif atas risiko lain selain Minimum Capital
Requirment, bahkan dapat meminta kesediaan bank untuk menambah modal
apabila perhitungan modal bank tersebut dipandang belum memadai.
Kegunaan Supervisory Review:
a) Supervisory review dilakukan terhadap bank tidak hanya untuk
memastikan kepatuhan terhadap ketentuan persyaratan modal minimum,
tetapi juga untuk mendorong bank mengembangkan dan menggunakan
teknik-teknik manajemen risiko yang terbaik.
b) Supervisory review tidak dapat menggantikan manajemen yang baik.
Direksi dan manajemen senior bank memiliki tanggung jawab untuk
memastikan bahwa mereka memiliki modal yang cukup untuk kegiatan
usahanya.
c) Kualitas proses penilaian modal bank secara internal akan dievaluasi oleh
otoritas pengawas perbankan. Kelemahan-kelemahan dalam proses
penilaian modal bank secara internal akan tercermin dalam target rasio
modal yang ditetapkan pengawas kepada bank.

32 http://www.bis.org/publ/bcbs128c.pdf

30
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
d) Walaupun pengawas dapat menaikan rasio modal sebagai tindak lanjut
terhadap kelemahan yang teridentifikasi selama pelaksanaan review,
mereka dapat pula menggunakan tindakan lainnya untuk mengawasi hal
tersebut.
Prinsip-prinsip Suvervisory Review:
a) Bank harus memiliki suatu proses untuk menilai kecukupan modal mereka
secara keseluruhan dalam hubungannya dengan profil risiko yang ada dan
harus memiliki strategi untuk mempertahankan modal pada tingkat
tertentu.
b) Pengawas harus melakukan review dan mengevaluasi penilaian dan
strategi kecukupan modal bank secara internal, serta kemampuan bank
untuk memonitor dan memastikan kepatuhan mereka terhadap rasio modal
sesuai ketentuan yang berlaku. Pengawas harus melakukan tindakan
pengawasan yang diperlukan apabila hasil yang diperoleh dari proses di
atas tidak memuaskan.
c) Pengawas harus mendapatkan keyakinan bahwa bank beroperasi dengan
rasio modal di atas ketentuan minimum yang dipersyaratkan dan harus
memiliki kewenangan untuk meminta bank memelihara modal di atas
ketentuan minimum.
d) Pengawas harus dapat melakukan tindakan sedini mungkin untuk
mencegah penurunan modal dibawah jumlah minimum yang diperlukan
untuk mendukung karakteristik risiko bank dan harus segera melakukan
tindakan perbaikan jika modal bank tidak dapat dipertahankan atau
dikembalikan ke posisi semula.
3. Market Discipline
Selanjutnya, peran aktif masyarakat dalam mengawasi bank dipandang
menentukan juga sehingga dari awal masyarakat diharapkan mampu pula menilai
risiko yang dihadapi serta mengetahui tingkat kecukupan modal yang dimiliki
oleh bank seperti terangkum dalam Market Discipline. Market discipline dikenal
juga dengan istilah pengungkapan. Dimana karateristiknya adalah sebagai berikut:

31
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
a) Merupakan penyebarluasan informasi kepada masyarakat mengenai hal-
hal yang bersifat material terhadap evaluasi kegiatan usaha suatu
perusahaan.
b) Dianggap penting karena memberikan informasi yang relevan kepada para
investor mengenai kinerja perusahaan saat ini dan di masa mendatang.
c) Sebagai kebutuhan perusahaan dalam menyusun laporan keuangan.
d) Memiliki peranan penting dalam memberikan informasi kepada pemegang
saham, karyawan, masyrakat, dan nasabah.
e) Merupakan masalah yang luas.
Sinergi penerapan dari ketiga Pilar yang terdapat dalam Basel II di atas tidak dapat
dipisahkan dalam mencapai industri perbankan dan sistem keuangan yang sehat dan
stabil.
Risiko kredit pada dasarnya telah dikenal dengan baik oleh para investor dan
pengusaha sebagai debitur. Seorang investor individual akan menghadapi risiko kredit
apabila dalam mencari keuntungan mereka dihadapkan pada keputusan investasi
penempatan dana ke dalam alternatif produk seperti deposito berjangka, obligasi, atau
saham. Begitu pula risiko kredit yang dihadapi oleh perusahaan pada saat tagihan-
tagihannya jatuh tempo. Dimana terdapat kewajiban membayar kreditnya. Bank sangat
terekpos pada risiko kredit mengingat kegiatan usahanya yang bersifat lending based.
Setiap kenaikan tingkat kegagalan membayar masing-masing debitur (default rate) secara
potensial akan berdampak terhadap berkurangnya permodalan bank. Oleh karena itu
dalam manajemen risiko kredit diatur suatu permodalan dimana modal itu sendiri
berfungsi dalam menjaga kestabilan operasional suatu bank. Telah lama diakui bahwa
bank bersifat “khusus” karena permasalahan dalam sektor perbankan dapat menimbulkan
dampak serius pada perekonomian secara keseluruhan. Bank sebagai lembaga
intermediasi keuangan memiliki kemampuan untuk memberikan modal pinjaman kepada
perusahaan dengan cara mendayagunakan dana tabungan deposan yang ada.33 Namun
jika bank memberikan pinjaman yang tidak dapat dibayarkan kembali oleh peminjamnya,

33 Nawa Thalo, SE, Juni 2005. “MENGAPA INTERMEDIASI PERBANKAN BERJALAN LAMBAT?”,
http://theindonesianinstitute.com/index.php/20050601148/mengapa-intermediasi-perbankan-berjalan-lambat.html

32
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
insolvabilitas bank tersebut bukan saja dapat berakibat pada kehancuran ekuitas para
pemegang saham, namun juga kehancuran dana para nasabah. Ini karena bank, sesuai
sifatnya adalah lembaga yang highly geared. Gearing34didefinisikan sebagai rasio utang
perusahaan (berapa banyak yang dipinjam) terhadap jumlah modal yang dimilikinya.
Dalam hal ini bank yang memiliki jumlah utang yang besar bila dibandingkan dengan
modalnya akan dikatakan highly geared atau highly leveraged.
Sumber daya terpenting yang dimilki bank dalam menjamin terjaganya solvabilitas
adalah modal yang cukup. Modal bank adalah sumber daya finansial yang siap pakai
untuk menyerap kerugian karena tidak membutuhkan pembayaran kembali.
“Modal adalah jumlah investasi para pemegang saham di bank seperti yang terukur
pada nilai neracanya”.
“Insolvabilitas35 didefinisikan sebagai ketidakmampuan perusahaan untuk
membayar kembali klaim jenis apapun pada saat jatuh tempo. “
Bank yang berada dalam posisi ini dikatakan menderita krisis solvabilitas. Krisis
solvabilitas pada sebuah bank dapat menyebabkan gangguan kecil pada kegiatan
ekonomi. Namun, jika krisis tersebut menimpa seluruh sektor perbankan, maka seluruh
perekonomian dapat terkena dampaknya. Hal di atas sangat penting untuk diperhatikan
karena desas-desus adanya suatu permasalahan dapat menyebabkan deposan melakukan
penarikan besar-besaran atas dana mereka. Karena bank tidak dapat menarik kembali
semua kredit yang diberikan dengan segera, dengan kata lain membatalkan kredit yang
kinerjanya baik, bank dapat mengalami nasib yang sama seperti bank yang memberikan
kredit macet. Dalam kasus ini bank akan menderita krisis likuiditas. Dengan demikian
dapat dikatakan ketiadaan mekanisme manajemen likuiditas dapat menyebabkan bank
berada dalam kondisi insolvabilitas. Jika krisis likuiditas makin meluas, dampaknya bagi
perekonomian pun akan sama seperti krisis solvabilitas yang berdampak ke seluruh
industri perbankan. Sejarah membuktikan bahwa ketidak-percayaan pada sebuah bank
tertentu dapat berkembang menjadi ketidak-percayaan pada industri perbankan secara
umum.

34 Frank K. Reilly, Keith C. Brown, 2003. “Investment Analysis Portfolio Management”. Thomson South Western, Seventh Edition.
35 Bruno Solnik, 1996. “International Investment”. Addison Wesly Publishing Company, Third Edition.

33
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
Aktiva tertimbang menurut risiko adalah aktiva neraca dikalikan oleh bobot
risikonya.
ATMR diperlukan untuk penyusunan neraca berisiko, yang akhirnya digunakan untuk
mendapatkan persyaratan modal. Sistem ini didasarkan pada konsep pembobotan risiko
berdasarkan serangkaian faktor. Bobot risiko ini didasarkan pada risiko kredit relatif dari
masing-masing kelas aktiva. Untuk mendapatkan neraca dengan bobot faktor risiko,
setiap instrument kontrak kredit dikelompokan menjadi lima kategori berdasarkan
perkiraan kuatlitas kredit si debitur selama jangka waktu kontrak kredit itu sendiri. Bobot
yang digunakan adalah 0%, 10%, 20%, 50%, dan 100%.
Target rasio modal36 adalah rasio modal yang memenuhi syarat ATMR bank
internasional.
Target rasio modal yang ditetapkan adalah sebesar 8%. Otoritas perbankan memiliki
diskresi untuk mengenakan rasio yang lebih tinggi jika dipandang perlu. Tidak ada
asumsi bahwa 8% harus ditetapkan secara universal bagi semua bank di dalam yurisdiksi
sebuah otoritas perbankan. Dalam makin beragamnya kegiatan usaha bank, kebutuhan
untuk memperhitungkan eksposur off balance sheet pada perhitungan kecukupan modal
semakin meningkat. Pada umumnya pos-pos off balance sheet merupakan kewajiban
yang bersifat kontijen, seperti jaminan, option, acceptance, atau warranty. Dalam hal ini
tidak ada nilai kas atau aktiva fisik yang dapat dinyatakan dalam neraca karena neraca
tidak mencatat suatu perjanjian dan hanya mencatat nilai yang dihasilkan dari perjanjian
tersebut. Konsep yang melatar belakangi penyetaraan risiko kredit adalah bahwa setiap
transaksi off balance sheet dapat dikonversi menjadi transaksi setara kredit dan oleh
karenanya dapat dianggap sebagai transaksi on balance sheet untuk keperluan
perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko. Hal ini memberikan penegasan bahwa
definisi ATMR mencakup berbagai kewajiban bank dalam arti luas, sehingga tidak hanya
mencakup pemberian kredit dan transaksi pada kelompok aktiva lainnya yang sejenis.
Kegiatan usaha bank tidak bersifat statis dan tingkat ATMR dapat berubah sejalan
dengan penambahan atau berakhirnya suatu transaksi. Pada kondisi ini bank dihadapkan
pada dua pilihan, yaitu:

36 Joseph F. Sinkey Jr., 1998. “Commercial Bank Financial Management”. Macmilan Publishing Company, New York.

34
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
1. Menetapkan batasan tertentu pada modal sesuai ketentuan sehingga jumlah
total ATMR tidak akan berubah. Namun demikian, pilihan ini akan membatasi
bank dalam meningkatkan kegiatan usahanya atau,
2. Meningkatkan modal sejalan dengan peningkatan ATMR.
Perlu diperhatikan bahwa penetapan modal sesuai ketentuan pada tingkat tertentu
sulit diterapkan mengingat ATMR bisa saja mengalami peningkatan walaupun tidak ada
transaksi baru yang dilakukan. Return atas modal sesuai ketentuan adalah ukuran kinerja
yang digunakan untuk meyakinkan bahwa suatu transaksi menghasilkan return yang
cukup bagi bank untuk meningkatkan permodalannya.

3.2 Manajemen Risiko Kredit Perbankan: Perbandingan Peraturan Bank Indonesia


(BI) dan Peraturan Monetary Authority of Singapore (MAS)
Untuk meningkatkan good corporate governance dan penerapan manajemen risiko di
bidang industri perbankan, bank diwajibkan untuk menerapkan manajemen risiko secara
efektif di dalam kegiatan usahanya (salah satunya adalah usaha/kegiatan kredit).
Manajemen risiko di definisikan sebagai rangkaian prosedur dan metodelogi yang
digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang
timbul dari kegiatan usaha bank. Hampir semua negara telah menerapkan manajemen
risiko untuk mencegah terjadinya kerugian. Maka pada kesempatan kali ini akan diteliti
penerapan manajemen risiko (khususnya dalam hal pemberian kredit) pada Bank
Indonesia (BI) melalui peraturannya dengan membandingkan peraturan yang ada pada
Monetary of Authority Singapore (MAS) sebagai lembaga yang mengatur keuangan
Singapore.

3.2.1 Peraturan Bank Indonesia (BI) Nomor 5/8/PBI/2003 Tentang Manajemen


Risiko (Risiko Kredit)
Penerapan manajemen risiko (risiko kredit) bagi bank umum Peraturan BI
No.5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 juncto Surat Edaran BI No.5/21/DPNP tanggal 29
September 2003. Dalam manajemen risiko perbankan (dalam hal kredit) dimana
prosesnya terdiri dari (1)mengidentifikasikan, (2)mengelola, (3)memonitor, dan
(4)mengendalikan eksposur kreditnya tehadap risiko adalah sebagai berikut:

35
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
Menurut Pasal 1 Peraturan Bank Indonesia 5/8/PBI/2003
“Risiko adalah potensi terjadinya suatu peristiwa (events) yang dapat
menimbulkan kerugian bank.”
Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif. Penerapan manajemen
risiko sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya mencakup:
1. Pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi
2. Kecukupan kebijakan, prosedur dan penetapan limit
3. Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko
serta system informasi manajemen risiko, dan
4. Sistem pengendalian intern yang menyeluruh
Adapun Risiko sebagaimana dimaksud yang berhubungan dengan dunia perbankan
mencakup: risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko hukum,
risiko reputasi, risiko strategik, dan risiko kepatuhan.
Menurut Peraturan Bank Indonesia 5/8/PBI/2003:
Pasal 10
1. Bank wajib melakukan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan
pengendalian risiko sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) huruf C
terhadap seluruh faktor-faktor risiko yang bersifat material.
2. Pelaksanaan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian
risiko sebagaimana dimaksud di atas wajib didukung oleh:
a. Sistem informasi manajemen tepat waktu, dan
b. Laporan yang akurat dan informatif mengenai kondisi keuangan bank,
kinerja aktivitas fungsional dan ekposur risiko bank.
Pasal 11
Dalam hal pelaksanaan proses identifikasi risiko sekurang-kurangnya dilakukan
dengan melakukan analisis terhadap:
1. Karateristik risiko yang melekat pada bank, dan
2. Risiko dari produk dan kegiatan usaha bank.
Dalam rangka melaksanakan pengukuran risiko, bank wajib sekurang-kurangnya
melakukan:

36
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
1. Evaluasi secara berkala terhadap kesesuaian asumsi, sumber data dan prosedur
yang digunakan untuk mengukur risiko.
2. Penyempurnaan terhadap system pengukuran risiko apabila terdapat perubahan
kegiatan usaha bank, produk, transaksi dan faktor risiko, yang bersifat material.
Dalam rangka melaksanakan pemantauan risiko, bank wajib sekurang-kurangnya
melakukan:
1. Evaluasi terhadap eksposur risiko
2. Penyempurnaan proses pelaporan apabila terdapat perubahan kegiatan usaha
bank, produk, transaksi, faktor risiko, teknologi informasi dan sistem informasi
manajemen risiko yang bersifat material.
Pelaksanaan proses pengendalian risiko wajib digunakan bank untuk mengelola risiko
tertentu yang dapat mebahayakan kelangsungan usaha bank. Dalam melaksanakan fungsi
pengendalian risiko suku bunga, risiko nilai tukar, dan risiko likuiditas sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf b dan c Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/8/PBI/2003, bank sekurang-kurangnya menerapkan assets and liabilities management
(ALMA). Kebijakan manajemen assets liability (ALM/ALMA) merupakan alat utama
untuk mengendalikan risiko suku bunga, risiko nilai tukar, dan juga risiko likuiditas
dengan cara manajemen terhadap permodalan bank pada posisi liabilities dan aktivanya
pada posisi assets. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa manajemen risiko
menurut Peraturan BI 5/8/PBI/2003 mencakup: struktur dan cakupan., penetapan limit,
informasi dan, pengendalian internal, unit manajemen risiko, produk dan layanan baru,
persyaratan pelaporan, sanksi dan pengawasan. Namun dalam tulisan ini hanya akan
dibahas bagaimana bank mengidentifikasikan, mengelola, mengukur, dan memonitor
risiko terhadap proses pemberian kredit.

3.2.2 Monetary Authority of Singapore: Management Credit Risk


Di Singapura, hukum yang mengatur tentang perbankan terdapat di dalam Undang-
undang yang relevan yang disetujui oleh Parlemen (dan peraturan pelaksanaannya), juga
di dalam common law serta dalam prinsip dan aturan kesetaraan (principles and rules of
equity). Common law serta principles and rules of equity berasal dari case law. Sumber
utama common law di Singapura adalah common law Inggris yang pertama kali diterima

37
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
di Singapura pada tahun 1826 berdasarkan Piagam Keadilan Kedua (Second Charter of
Justice). Undang-Undang tentang Penerapan Hukum Inggris (Application of English Law
Act) (Cap. 7A, 1994 Rev Ed.) menyebutkan penggunaan common law Inggris yang
berkelanjutan di Singapura (termasuk principles and rules of equity) sepanjang ia
merupakan bagian dari hukum Singapura sampai sebelum tanggal 12 November 1993,
dengan tunduk pada perubahan-perubahan sebagaimana yang diperlukan sesuai dengan
keadaan di Singapura. Walaupun sebagian besar yurisprudensi “domestik” telah dibuat di
Singapura, hakim dapat dan memang terus merujuk, sebagai petunjuk, pada putusan
pengadilan Inggris dan belakangan ini semakin meningkat rujukan pada putusan
pengadilan Australia serta dalam jumlah yang lebih sedikit, rujukan pada putusan
pengadilan Kanada, Selandia Baru, Afrika Selatan dan yurisdiksi Persemakmuran
lainnya. Putusan-putusan tersebut, yang mempunyai nilai yang persuasif, serta tulisan
dari para akademisi dan pakar hukum, bersama-sama dengan undang-undang yang terkait
terutama Undang-Undang Perbankan (Banking Act, Cap. 19, 2003 Rev. Ed.), Undang-
Undang tentang Otoritas Keuangan Singapura (Monetary Authority of Singapore Act,,
Cap. 186, 1999 Rev. Ed.) dan Undang-Undang tentang Wesel (Bills of Exchange Act,
Cap. 23, 2004 Rev. Ed.) yang terus menerus ditelaah, telah sangat membantu untuk
memastikan bahwa konstruksi hukum perbankan di Singapura tetap berpacu dengan
perkembangan terakhir dunia keuangan dan telah memainkan peranan besar dalam
perkembangan perbankan di Singapura.37
Adapun penerapan manajemen risiko kreditnya adalah sebagai berikut:38
1 Introduction & Fundamental
1.1.1 The chapter provides guidance on sound practices in credit risk management.
1.2 Fundamentals
1.2.1 Credit risk is the risk arising from the uncertainty of an obligor’s ability to perform
its contractual obligations.
1.2.2 Credit risk often does not occur in isolation.
1.2.3 An institution should therefore adopt a holistic approach to assessing credit risk
and ensure that credit risk management is part of an integrated approach to the
management of all financial risks should establish a risk management framework to
adequately identify, measure, monitor and control credit risk.

37 http://www.singaporelaw.sg/content/BankingandFinanceIndo.html
38 Monetary Authority of Singapore, February 2006. “CREDIT RISK GUIDELINES ON RISK MANAGEMENT PRACTICES
FEBRUARY 2006”. www.mas.gov.sg/resource/legislation_guidelines/risk_mgt/4-CreditRisk.pdf

38
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
2 Risk management Policies & Procedures
2.1 Risk Management Strategy
2.1.1 An Institution should determine the level of credit risk that it can bear.
2.1.2 The Board of Directors (Board) should periodically review the credit risk strategy
and any changes and concerns should be effectively communicate to all relevant staff.
2.2 Risk Management Structure
2.2.1 To prepare management strategy an institution should adopt a risk management
structure that is commensurate with its size and the nature of its activities.
2.2.2 A senior management committee should be formed to establish and oversee the
credit risk management framework.
2.2.3 An institution should also establish risk management and control functions,
independent of the credit originating function.
2.3 Credit Policies
2.3.1 The Board should approve credit policies, including concentration limits and
lending to related parties.
2.3.2 Credit policies should lay down the conditions and guidelines for the granting,
maintenance, monitoring and management of credit, at both the individual transaction
and portfolio levels.
2.3.3 In order to be effective, credit policies should be communicated throughout the
organisation and should be periodically revised to take into account changing internal
and external circumstances.
2.4 Procedures
2.4.1 To implement its credit policy, an institution should establish appropriate
procedures and processes.
2.5 Delegation of Authority
2.5.1 An institution should establish accountability for the different levels of approving
authority of credits or changes in credit terms.
2.5.2 Credit approving authority should be established for secured and unsecured credit
and for specific products.
2.6 Credit Criteria
2.6.1 An institution should establish specific credit criteria to define the types and
characteristics of its preferred obligors.
2.6.2 To ensure that the obligor meets the credit criteria, the institution should have
sufficient information about the obligor, the source of repayment, and the purpose of the
credit.
2.6.3 An institution’s credit criteria shape the risk profile of its credit portfolio.
2.7 Credit Limit
2.7.1 An important element of credit risk management is the setting of exposure limits for
single obligors and groups of related obligors.
2.7.2 An institution should also establish appropriate limits for certain industries,
economic sectors and geographic regions to control concentration risk.
2.7.3 Credit limits should be reviewed on a periodic basis to take into account changes in
the obligor’s credit strength and economic conditions.
2.8 Credit Extension to Related Parties
2.8.1 Extensions of credit should be made on an arm’s length basis, including credit to
related parties of the institution or its directors.

39
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
2.8.2 The credit policy should provide for close monitoring and reporting of lending and
writing-off of loans to related parties
3 Risk Measurement, Monitoring & Controling
3.1 Credit Granting
3.1.1 An institution should have an established process for approving new credits and for
the renewal of existing credits.
3.1.2 An institution should conduct comprehensive assessments of the creditworthiness of
its obligors.
3.1.3 When participating in loan syndications, an institution should not place undue
reliance on the credit analysis done by the lead underwriter.
3.1.4 When granting consumer credits, an institution should have an adequate process to
screen applicants, such as reference checks with a consumer credit bureau or other
database of rejected applications, bankruptcies and accounts with delinquency records.
3.1.5 For trade financing, an institution should take into account repeat utilisation of
facilities granted.
3.1.6 The evaluation and approval of credit should be conducted in accordance with an
institution’s guidelines and granted by the appropriate authority.
3.1.7 An institution should have a team of officers with the experience, knowledge and
background to assess credit risks.
3.2 Risk Mitigation
3.2.1 An institution may utilise collateral and guarantees, among other instruments, to
help mitigate credit risks.
3.2.2 However, collateral and guarantees should not be used as a substitute, either for
comprehensive assessment of the obligor or for complete obligor information.
3.2.3 When accepting guarantees for credit facilities, an institution should evaluate the
level of coverage being provided in relation to the credit quality, legal capacity and
strength of the guarantor.
3.3 Monitoring
3.3.1 An institution should have in place a system for monitoring the condition of
individual credits.
3.3.2 In addition to monitoring the above risk indicators, an institution should also
monitor the use of funds to determine whether credit facilities are drawn down for their
intended purposes.
3.4 Credit Riview
3.4.1 An institution should perform regular credit reviews.
3.4.2 Credit reviews should be performed at least once a year.
3.5 Clasificasion & Provisions
3.5.1 An institution should make adequate provisions for classified credits.
3.5.2 An institution should ensure that loans are properly and promptly graded to reflect
its assessment of the borrower’s credit strength.
3.5.3 Where regulatory loan grading is tied to the institution’s internal risk rating, there
should be a proper process to map the internal rating to regulatory rating.
3.5.4 Since provisions are dependent on the recoverable value of collateral it holds, an
institution should obtain appropriate valuations of collateral.
3.6 Problem Credit

40
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
3.6.1 An institution should have processes, based on diligent credit monitoring and loan
grading, to identify and manage problem credits at an early stage.
3.6.2 An institution should consider establishing a separate unit to focus on problem
credit management.
3.7 Credit Administration
3.7.1 An essential part of the credit process is credit administration.
3.8 Internal Risk Rating
3.8.1 An institution should have a policy to develop, review and implement an internal
risk rating system where appropriate.
3.8.2 An institution should validate its risk rating systems and ascertain their
applicability to their portfolios prior to implementation.
3.8.3 An institution that uses statistical models to assign ratings or to calculate
probabilities of default should ascertain the applicability of these models to its portfolios.
3.8.4 Risk ratings should be assigned at the inception of lending and updated at least
annually.
3.8.5 Statistical models should not only be validated before their introduction but also
periodically back-tested after implementation, to ensure their continued accuracy and
consistency.
3.9 Credit Portfolio Risk Management
3.9.1 Portfolio Management Approach
3.9.1.1 An institution should monitor credit risk on a portfolio basis to manage
concentration risk.
3.9.1.2 An institution should identify and measure the concentration risk in its credit
portfolio.
3.9.1.3 An institution should establish appropriate limits to cap concentration risk at an
acceptable level.
3.9.1.4 Branches that serve a particular client segment or region as part of an
institution’s global strategy are likely to have high credit exposure to certain obligors or
countries.
3.9.1.5 Besides analysing concentration risk, an institution should also monitor trends in
loan growth, collateral values and asset quality to detect potential weakness in its
portfolio.
3.9.2 The credit risk of a portfolio may be quantitatively measured using credit value -at-
risk (Credit VaR) models.
3.9.3 Country Risk
3.9.3.1 An institution that grants credit internationally should have adequate policies and
procedures for identifying, measuring, monitoring and controlling country risk and
transfer risk in its international lending and investment activities.
3.9.3.2 An institution should monitor country risk by tracking internal and external
country risk ratings and economic, social and political developments of the relevant
countries.
3.9.3.3 Country risk should also be considered at the individual transaction level.
3.10 Stress Testing
3.10.1 There is a distinct difference in the nature and magnitude of credit risks faced by
an institution under normal business conditions and under stress conditions , such as
financial crises.

41
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
3.10.2 Stress testing is a tool that can be used to assess the impact of market dislocations
on an institution’s credit portfolio.
3.10.3 An important component of stress testing is the identification and simulation of
stress conditions or scenarios an institution could encounter.
3.10.4 An institution should document its stress testing policy, which should be approved
by the Board and senior management.
4 Credit Risk in Trading Book
4.1 An institution should formalise additional policies and procedures for managing
credit risk in the trading book.
4.2 The Board and senior management should establish limits that are prudent in light of
the institution's capital resources, financial condition and management expertise.
4.3 A department independent of the front-office trading function should undertake credit
reviews.
4.4 Potential future exposure (PFE) is a measure for pre-settlement risk arising from a
financial instrument as a result of market changes.
4.5 On settlement day the exposure of an obligor default may equal the full value of the
cash flows or securities an institution is to receive.
4.6 An institution should establish clear policies on collateral arrangements with
obligors.
4.7 An institution may use credit derivatives or credit insurance as means to manage
their credit exposures to an obligor.
4.8 An institution should, as part of sound credit risk management, have a clear
understanding of the effectiveness of any netting arrangements in place with their
obligors.
4.9 Stress testing of obligor credit exposures should be performed to identify individual
obligors or groups of obligors with positions that are particularly vulnerable to extreme
or one-way directional market movements.
4.10 Historical rate rollover refers to the use of non-current rates for the extension or
rollover of maturing forward foreign exchange contracts or other derivatives contracts.
Such practice should be discouraged as it may be used to conceal losses or to perpetrate
fraud.
Dasar hukum dalam manajemen risiko kredit yang ada pada MAS adalah prinsip-
prinsip yang diambil dari ketentuan internasional sebagai kerangka manajemen risiko
kredit dalam upaya pembuatan strategi, struktur organisasi serta kebijakan dalam
memonitor dan mengadministrasikan transaksi terkait dengan kredit. MAS
mendefinisikan risiko yang dimaksud adalah risiko on dan off balance sheet dimana
risikonya seperti: trade finance products, acceptance, foreign exchange, financial futures,
swaps, bonds, options, commitments dan guarantees.39 Dan dikarenakan risiko kredit
bukan saja suatu kegagalan membayar dari kredit, maka tugas dari institusi pemberi

39 Widigdo Sukarman, Edisi September – Oktober 1999. “Pemberdayaan Kembali Manajemen Risiko Bank”, Majalah Bank &
Manajemen, Jakarta.

42
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
kredit adalah membuat kerangka manajemen risiko kreditnya. Dalam melaksanakan
manajemen risiko kredit MAS menekankan perlunya keikutsertaan/keterlibatan BOD
dalam menetukan strategi pemberian kredit. Dan menganalisa strategi tersebut secara
berkala. MAS merusmuskan strategi tersebut dengan mempertimbangkan:
1. Siklus bisnis.
2. Mengklasifikasikan kredit dari segmentasi pasarnya.
3. Portofolio terkait risikonya.
4. Target dari bisnis tersebut yang berhubungan dengan kelancaran usahanya untuk
segmentasi kredit tertentu.
MAS juga menekankan dibentuknya struktur organisasi terkait risiko kredit. Adanya
struktur organisasi dalam melaksanakan manajemen risiko terkait kredit, diupayakan
untuk mengembangkan dan memperluas kerangka manajemen risiko kredit tersebut.
Setidaknya kerangka tersebut mencakup persetujuan dari strategi risiko kredit dan proses
kredit itu sendiri. Selanjutnya MAS mensyaratkan adanya suatu kebijakan tertulis sebagai
pedoman pemberian kredit.40 Dimana elemen yang terkandung di dalam kebijakan
tersebut adalah:
1. Peran dan tanggung jawab unit dan staf yang terlibat dalam memberikan,
pemeliharaan, pemantauan, dan pengelolaan kredit.
2. Delegasi kewenangan untuk kredit dari berbagai tingkatan manajemen dan staf.
3. Kriteria penerimaan risiko kredit.
4. Persyaratan dan ketentuan umum, struktur fasilitas.
5. Jaminan dan keamanan dokumen.
6. Standar untuk memeriksa kredit dan memonitor.
7. Pengujian risiko kredit yang dikenal dengan stress test.
Kebijakan yang tertulis harus ditinjau dalam menentukan dampak dari risiko
kredit yang akan muncul dikemudian hari. Kebijakan yang dibuat harus juga didukung
dengan prosedur. Prosedur merupakan alat kontrol dan pemeriksaan dalam proses kredit.
Proses pemberian kredit harus didelegasikan kepada unit yang khusus menangani kredit

40 Wimboh Santoso, 13 Januari 2003. “Penerapan Risk Management di Perbankan”,


http://www.cbcindonesia.com/investigasi/analisa/2003/1/1359.shtml

43
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
agar, proses pemberian kredit tidak menyimpang dari ketentuan yang ada. Kredit itu
sendiri mempunyai kriteria-kriteria yang dapat diterima oleh bank. Diantaranya:
1. Catatan dan sejarahnya bisnis suatu perusahaan
2. Indikator kunci yaitu: equity, profitability, turnover, leverage, dan debt servicing
liability.
3. Target tingkat risiko dari obligor.
4. Term and condition, seperti penjaminan dan jumlah maksimal kredit yang
bersifat clean exposure.
Hal ini bisa diartikan bahwa kriteria pemberian kredit tidak bisa atas dasar prinsip
kedekatan atau persepsi umum tentang debitur. Jadi pemberian kredit harus memenuhi
kriteria yang ada dan harus tunduk pada syarat dan ketentuan yang berlaku. Kredit
dibatasi pada konsentrasi tertentu, dengan harapan pemberian kredit modal kerja tidak
terkonsentrasi pada bisnis tertentu. Oleh karena itu kredit terhadap pihak terkait, juga
perlu di batasi termasuk pihak terkait dari lembaga atau direksi. Dengan prinsip
keterbukaan kredit terhadap pihak-pihak terkait harus diumumkan dan dilaporkan kepada
masyarakat dalam bentuk laporan umum.41
Dalam pemberian kredit, sebuah bank memperhitungkan batasan pemberian kredit,
dimana batasan pemberian kredit ini dimonitor dan diperhitungkan kembali agar tidak
melampaui batas yang ditentukan sesuai dengan kondisi permodalan bank. Dewan atau
manajemen senior tidak boleh terlibat dalam proses pengambilan keputusan untuk kredit
kepada perusahaan dan individu yang berkaitan dengan mereka. Mereka harus
menyatakan abstain dari proses pengambilan keputusan pemberian kredit. Kredit seperti
itu (memiliki hubungan khusus) harus dimonitor terus-menerus dan langkah-langkah
tepat harus diambil untuk mengendalikan atau mengurangi risiko kredit kepada pihak
terkait. Dalam proses perpanjangan kredit MAS menekankan Kredit harus diperpanjang
sesuai dengan strategi kredit dari institusi tersebut. Proses pemberi kredit harus mencakup
elemen sebagai berikut:
1. Penilaian kredit atas obligor dari industri terkait dan faktor makroekonomi;
2. Struktur transaksi kredit;
3. Persetujuan oleh manajemen yang berwenang;

41 Penjelasan Pasal 68 (4) UU No 40/2007 Tentang Perseroan Terbatas

44
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
4. Terpenuhinya syarat dokumentasi, dan
5. Proses pencairan.
Selain itu penilaian secara komprehensif atas usaha debitur juga harus dinilai,
seperti: analisa laporan keuangan, profil usahanya, catatan pembayaran kredit terakhir,
termasuk didalamnya cash flow keuangannya. MAS melalui notice 612,
mengklasifikasikan pinjaman/kredit menurut risikonya. Dimana terdapat jenis “kredit
lancar, kurang lancar samapai dengan macet”. Maksud dari penilaiannya terhadap usaha
penyelesaian pinjamannya beserta bunganya. MAS mengatasi masalah kredit yang timbul
dengan:
1. Tinjauan terhadap agunan dan keamanan dokumen.
2. Perumusan strategi perbaikan kredit, misalnya dengan restructure/rescheduling.
3. Negosiasi dan follow up seperti melaksanakan rencana perbaikan dengan
mempertahankan kontrak pinjaman.
4. Laporkan kepada manajemen, dan yang pasti masalah kredit ini harus lebih
sering ditinjau dan diperiksa.
Dalam pengadministrasian kredit, hal yang harus diperhatikan:
1. Harus memeriksa dokumentasi kredit yang sesuai dengan prosedur.
2. Pencairan (drawdown) harus mendapatkan terlebih dahulu persetujuan dari
BOD.
3. Pemberitahuan penagihan dan pembayaran kepada obligor dengan dasar
waktunya.
4. Pemeliharaan terhadap kredit dokumen untuk kepentingan audit.
5. Yang terpenting dokumen agunan dan jaminan harus terpelihara dengan rapih.
Kepentingan bank untuk menilai risiko terkait kredit yang diberikan dibedakan
menjadi dua. Yang pertama adalah penilaian risiko sendiri, dan yang kedua adalah risiko
eksternal yaitu lembaga pemeringkat yang telah ditentukan. Penilaian adalah usaha bank
untuk memonitor sejauh mana perkembanagan debitur. Dengan penilaian bank dapat
memutuskan untuk mengurangi kredit atau malah dapat menambah fasilitas kredit.
Pengelompokan kredit itu perlu. MAS menggambarkan hubungan antara
pengelompokan dengan risiko kredit sebagai berikut:

45
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
“misalnya ada konsentrasi yang besar terhadap pemberian kredit pada satu entitas
atau kelompok peminjam, atau industri tertentu, dan atau ekonomi tertentu. Jika terjadi
lost dalam arti bangkrut yang menimpa ke tiga entitas tersebut, maka kredit kepada
entitas tersebut juga akan terkena dampaknya. Oleh karena itu dibenarkan bahwa bank
hanya memenuhi kredit satu entitas tertentu. Dan untuk mencegahnya biasanya
dilakukan stress test dimana penilaiannya adalah langkah-langkah yang ditempuh bank
seperti sebagai berikut: penambahan biaya untuk risiko, meningkatkan modal,
sekuritisasi, dan hedging atau lindung nilai.”
Dalam mitigasi risiko pada pemberian kredit, bank harus memanfaatkan jaminan atau
assets debitur sebagai pengganti sewaktu-waktu jika terjadi kegagalan bayar. Untuk
mengenali risiko-risiko yang muncul dalam proses pemberian kredit, maka bank harus
memiliki indikator-indikator yang dapat digunakan sebagai cara untuk mengidentifikasi
risiko. Diantaranya:
1. Kondisi keuangan, leverage, ataupun likuiditas dari debitur.
2. Memonitor akun kreditnya dari cara pendanaan untuk pembayaran cicilan
dan bunga.
3. Memeriksa perjanjian kredit kedua belah pihak sebagai upaya dalam
menghindari dispute/wanprestasi diantara pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian tersebut.
4. Menilai kembali dari nilai suatu aktiva yang diagunkan atau dijaminkan.
5. Melihat penilaian external dari obligor/debitur dalam suatu rating external.
Jika terjadi dispute dalam indikator yang ada, makan sebaiknya bank melaporkan
kepada manajemen untuk segera mengambil tindakan terhadap proses pemberian kredit.
Tujuan dari sistem kepatuhan adalah menjamin bahwa proses pemberian kredit tidak
melanggar ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu, perlu diambil tindakan untuk
meninjau setiap transaksi kredit mengingat ketentuan-ketentuan sifatnya dinamis dan
tidak statis. Mengingat risiko kredit merupakan risiko yang sistematik dan saling
berhubungan dengan kondisi dan keadaan suatu negara, maka sifatnya sangat
ketergantungan. Misalnya yang terjadi belakangan ini. Krisis keuangan yang
mempengaruhi risiko kredit. Oleh karena itu pengukuran risiko kredit dalam keadaan
yang sifatnya memaksa dan menekan diperlukan alat stresst test untuk mengukur

46
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
seberapa besar risiko kerugian itu akan timbul. Skenario pengujian stress test harus
diikuti dengan:
1. Adanya krisis ekonomi dan industri.
2. Adanya penurunan nilai assets dan jaminan yang tajam.
3. Kondisi likuiditas ketat, dan
4. Adanya risiko pasar.
Kebijakan manajemen untuk menghadapi stress test harus ada. Setidaknya mencakup:
1. Adanya prosedur yang dapat mengidentifikasikan suatu risiko yang
mempengaruhi portofolio kreditnya.
2. Adanya metodelogi yang masuk akal dalam menghadapi stress test.
3. Adanya prosedur untuk menetapkan batas kerugiannya.
4. Adanya penekanan hilangnya batas proses pemantauan.
5. Adanya tindakan-tindakan yang diambil dalam menghadapi kerugian yang
terjadi.

3.3 Analisa Kualitatif terhadap Regulasi dan Ketentuan Manajemen Risiko (Risiko
Kredit)
Persyaratan umum untuk penerapan manajemen risiko bagi bank-bank terdapat
dalam Peraturan BI untuk Negara Indonesia dan Peraturan MAS untuk Negara Singapura
yang dikodifikasi dari prinsip-prinsip basel II dan BIS yang berlaku pada negara G-10.
Dalam hal ini bank melalui kebijakan yang ada dapat mengidentifikasikan risiko,
mengukur, memonitor, dan mengendalikan risiko. Dimana proses identifikasinya adalah
menjelaskan risiko-risiko terkait seperti: risiko pasar, kredit, operasional, likuiditas,
hukum, reputasi, strategis, dan kepatuhan. Risiko yang telah disebutkan di atas terkait
satu sama lainnya. Risiko tersebut diukur oleh bank melalui salah satunya dengan
menjalankan kewajiban penyediaan modal minimum. Pengukuran juga didasari oleh
batasan bank dalam memberikan kredit (BMPK), penilaian atas kualitas aktivanya,
pengukuran melalui informasi debiturnya, dan membatasi kredit-kredit kepada pihak
terkait. Sedangkan untuk memonitor bank wajib memonitor semua elemen dalam
pengukuran. Pada akhirnya dengan pengendaliannya bank dapat melakukan tindakan-
tindakan yang dianggap perlu untuk kestabilitasan usahanya dengan cara salah satunya

47
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
mengatur permodalannya42. Lebih jelasnya manajemen risiko suatu bank terhadap kredit
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendukung bank dalam melaksanakan manajemen risiko, dilakukan:43
a) Pengawasan aktif oleh dewan komisaris, direksi dan oleh staf manajemen
risiko terhadap risiko-risiko yang dihadapi bank.
b) Penetapan kebijakan dan prosedur untuk membatasi risiko yang dihadapi
bank.
c) Penetapan prosedur untuk mengidentifikasikan, mengukur, memonitor dan
mengendalikan risiko.
d) Penetapan sistem informasi manajemen yang handal untuk mendukung
pengelolaan risiko.
e) Penetapan sistem pengendalian internal untuk mengelola risiko.
2. Direksi dan manajemen bank bertanggung jawab secara formal dalam manajemen
risiko, dengan mempertimbangkan:
a) Sasaran kebijakan bank
b) Kompleksitas jenis kegiatan usahanya.
c) Kemampuan bank untuk mengelola kegiatan usahanya.

42 Monetary Authority of Singapore Banking Act, chapter 19, Part III. “Risk Based Capital Requirement”.
http://agcvldb4.agc.gov.sg/non_version/cgi-bin/cgi_retrieve.pl?actno=REVED-
19&doctitle=BANKING%20ACT%0a&date=latest&method=part
(1) The Authority may, by notice in writing, require any bank in Singapore or class of banks in Singapore to maintain capital funds in
Singapore of such amount (not being less than the minimum prescribed in section 9 or 9A, as the case may be) and in such manner as
the Authority considers appropriate, having regard to the risks arising from the activities of the bank or class of banks, as the case may
be, and such other factors as the Authority considers relevant. [23/2001]
(2) A bank incorporated in Singapore shall not, at any time, have a capital adequacy ratio of less than 12%, or such other percentage as
may be determined by the Authority from time to time, as calculated in accordance with such form, content and manner as may be
determined by the Authority by notice in writing. [28/93]
(3) The Authority may, if it considers appropriate in the particular circumstances of a bank incorporated in Singapore, having regard to
the risks arising from the activities of the bank and such other factors as the Authority considers relevant, vary the capital adequacy
ratio applicable to that bank. [23/2001]
(4) The Authority may restrict or suspend the operations of a bank which fails to comply with subsection (2) or (3) or any requirement
of the Authority under subsection (1).
[28/93;23/2001]
43 Bramantyo Djohanputro, MBA, PhD, 2004.”Manajemen Risiko Korporat Terintegrasi”, Penerbit PPM Cetakan Pertama, Jakarta.

48
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
3. Tanggung jawab utama dari dewan komisaris dan direksi bank adalah
menentukan jenis risiko yang harus dikelola unit manajemen risiko, dengan
mempertimbangkan kompleksitas kegiatan usahanya.
4. Kebijakan manajemen risiko harus mencakup penilaian risiko yang terkait dengan
setiap produk dan transaksi.
5. Direksi dan manajemen senior harus merancang suatu proses untuk menetapkan
“risk appetite” bank yang di dalamnya mencakup proses penetapan limit yang
tepat.44
6. Direksi bank secara umum berkewajiban untuk memastikan bahwa:
a) Semua risiko (risiko tingkat suku bunga, risiko mata uang, risiko likuiditas
dan sebagainya) telah teridentifikasi.
b) Semua risko yang material telah diukur, dimonitor dan dikendalikan.
c) Pengukuran risiko di atas didukung oleh informasi yang mutakhir, akurat
dan lengkap.
Identifikasi faktor-faktor risiko umumnya dilaksanakan oleh unit manajemen
risiko setelah berkonsultasi dengan bagian trading. Selain melakukan identifikasi
faktor-faktor risiko, unit manajemen risiko (RMU) perlu mendapatkan informasi
independen mengenai harga penutupan harian untuk setiap faktor risiko. Hal ini
untuk memberikan jaminan bahwa revaluasi posisi bank ditentukan secara
independen dan tidak berasal dari informasi trader. Proses di atas harus dilengkapi
dengan analisis harian mengenai kinerja keuangan aktivitas trading untuk
memastikan bahwa laba rugi yang dilaporkan konsisten dengan profil risiko bank.
Proses analisis risiko harus dapat mengidentifikasi seluruh karakteristik risiko
bank, dan risiko yang terkait dengan setiap produk dan kegiatan usaha bank.

44 Robert Tampubolon, 2004. “Risk Manajemen: Manajemen Risiko Pendekatan Kualitatif untuk Bank Komersial”. PT Elex Media
Komputindo, Jakarta.
Menurut Robert Tampubolon: Penyusunan limit risiko harus memperhatikan hal-hal :
(1) Pengalaman kerugian di masa lalu,
(2) Kemampuan modal bank (kecukupan pemenuhan modal minimum) dalam menyerap eksposur risiko atau kerugian yang timbul,
dan tinggi rendahnya eksposur bank, batas maksimum pemberian kredit (BMPK) dan posisi devisa netto (PDN),
(3) Kemampuan sumberdaya manusia yang ada.
Dalam penetapan jenis limitnya ditentukan sebagai berikut: transaksi, jenis mata uang, pedagang, volume/aktivitas transaksi, posisi
terbuka, kerugian, intra hari, nasabah dan counterparty, pihak terkait, industri/sector ekonomi, dan wilayah.

49
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
Proses ini dilaksanakan dengan pemisahaan berdasarkan faktor risiko selain
mempertimbangkan risiko lainnya seperti risiko kinerja dan risiko kerahasiaan.
Dalam analisis risiko berbasis produk dan segmen usaha ini, pengukuran risiko
harus:
a) Disusun berdasarkan jangka waktu tertentu (dalam hal diperlukan)
b) Menyatakan sumber data yang digunakan
c) Menyatakan prosedur yang digunakan untuk mengukur risiko
d) Mampu menunjukan terjadinya perubahan pada profil risiko bank
Proses monitoring risiko dilaksanakan dengan melakukan evaluasi terhadap
seluruh eksposur risiko dan menyusun proses pelaporan yang menunjukan
perubahan-perubahan dalam profil risiko bank. Proses manajemen risiko harus
dapat membangun suatu struktur yang dapat mengelola risiko-risiko yang
berpotensi mengancam kelangsungan usaha bank. Dalam hal ini, proses
pengendalian risiko harus mencakup proses pengelolaan aset dan kewajiban
(assets liability management – ALM) yang meliputi risiko mata uang, suku bunga,
dan likuiditas. Dimana modal menjadi subjek yang diukur. Sedangkan sistem
informasi manajemen risiko harus melaporkan:
a) Semua eksposur risiko
b) Eksposur yang sesungguhnya dibandingkan dengan limit yang disetujui
c) Realisasi risiko, misalnya kerugian, dibandingkan dengan target kerugian.
7. Direksi bank secara umum berkewajiban untuk memastikan bahwa bank telah
menerapkan sistem pengendalian internal berdasarkan kegiatan usaha bank secara
menyeluruh.
8. Sistem pengendalian internal harus mampu mengidentifikasi kegagalan
pengendalian dan penyimpangan terhadap kebijakan, prosedur dan proses yang
dimiliki bank.
9. Audit internal merupakan fungsi yang independen di bank. Peran utamanya
adalah melaksanakan penilaian berkelanjutan melalui penyusunan laporan yang
menganalisis metodelogi, prosedur dan proses di dalam organisasi manajemen
risiko.

50
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
Bab IV
4. Analisa Yuridis Manajemen Risiko Terhadap Proses Pemberian Kredit
Perbankan di Indonesia
4.1 Apa yang dimaksud dengan risiko, dan bagaimana perbankan di Indonesia
mengidentifikasikan risiko kredit?
UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No.
10 Tahun 1998 (UU Perbankan) mendefinisikan kredit sebagai penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.45
Berdasarkan pasal tersebut terdapat beberapa unsur perjanjian kredit yaitu:
1. Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu.
2. Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan
pihak lain.
3. Terdapat kewajiban pihak peminjam untuk melunasi utangnya dalam jangka
waktru tertentu.
4. Pelunasan utang yang disertai dengan bunga.
Unsur pertama dari Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu; uang di sini seiogianya ditafsirkan sebagai sejumlah dana
(tunai dan saldo rekening giro) baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. Dalam
pengertian “penyediaan tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu” adalah cerukan
(overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas
pada akhir hari, pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang (factoring)
dan pengambilalihan (pembelian) kredit atau piutang dari pihak lain seperti negosiasi
hasil ekspor. Unsur kedua dari kredit adalah persetujuan atau kesepakatan antara bank
dan debitur. Sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata, agar suatu perjanjian menjadi sah
diperlukan empat syarat, yaitu kesepakatan para pihak, kecakapan untuk membuat
perjanjian, terdapat obyek tertentu dan ada suatu kausa (cause) yang halal. Selain
kesepakatan antara debitur dan kreditur juga diperlukan ketiga syarat lain tersebut di atas

45 Pasal 1 angka 11 UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998

51
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
sebagai dasar untuk menyatakan sahnya suatu perjanjian. Unsur ketiga dari kredit adalah
adanya kewajiban debitur untuk mengembalikan jumlah keseluruhan kredit yang
dipinjam kepada kreditur dalam jangka waktu tertentu. Hal ini merupakan konsekuensi
logis dari adanya hubungan pinjam meminjam antara debitur dan kreditur. Unsur yang
terakhir adalah adanya pengenaan bunga terhadap kredit yang dipinjamkan. Bunga
merupakan nilai tambah yang diterima kreditur dari debitur atas sejumlah uang yang
dipinjamkan kepada debitur dimaksud. Selain pengertian mengenai Kredit sebagaimana
dimaksud di atas, dalam UU Perbankan juga dikenal adanya Pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah yang merupakan bentuk penyediaan dana yang dilakukan oleh Bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah
jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.46
Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung risiko yang
dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank. Bank mendifinisikan
risiko menurut Peraturan Bank Indonesia 5/8/PBI/2003, Risiko adalah potensi terjadinya
suatu peristiwa (events) yang dapat menimbulkan kerugian bank. Dimana terdapat 8 jenis
risiko terlekat pada bank yaitu: risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko
operasional, risiko hukum, risiko reputasi, risiko strategik, dan risiko kepatuhan. Adapun
yang dimaksud dengan risiko kredit adalah kegagalan bayar dari obligor/debitur terhadap
kewajibannya berupa utang (pokok dan bunga termasuk denda bila ada) kepada bank.
Oleh karena itu sebagai lembaga intermediasi, dimana sebagian besar dana bank berasal
dari dana masyarakat, maka pemberian kredit perbankan banyak dibatasi oleh ketentuan
undang-undang dan ketentuan Bank Indonesia. UU Perbankan telah mengamanatkan agar
bank senantiasa berpegang pada prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan kegiatan
usahanya, termasuk dalam memberikan kredit terkait risiko-risiko yang ada. Selain itu,
Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan juga menetapkan peraturan-peraturan dalam
pemberian kredit oleh perbankan.

46 Pasal 1 angka 12 UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998

52
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
Bank bagi, Bank Umum Sebagaimana telah dikemukakan, bank dalam melakukan
kegiatan usaha terutama dengan menggunakan dana masyarakat yang dipercayakan
kepada bank. Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung risiko
yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank, sehingga dalam
pelaksanaannya bank harus berpegang pada azas-azas perkreditan yang sehat guna
melindungi dan memelihara kepentingan dan kepercayaan masyarakat. Agar pemberian
kredit dapat dilaksanakan secara konsisten dan berdasarkan azas-azas perkreditan yang
sehat, maka diperlukan suatu kebijakan perkreditan yang tertulis. Berkenaan dengan hal
tersebut, Bank Indonesia telah menetapkan ketentuan mengenai kewajiban bank umum
untuk memiliki dan melaksanakan kebijakan perkreditan bank berdasarkan pedoman
penyusunan kebijakan perkreditan bank dalam SK Dir BI No. 27/162/KEP/DIR tanggal
31 Maret 1995. Berdasarkan SK Dir BI tersebut, Bank Umum wajib memiliki kebijakan
perkreditan bank secara tertulis yang disetujui oleh dewan komisaris bank dengan
sekurang-kurangnya memuat dan mengatur hal-hal pokok sebagai berikut:
1. Prinsip kehati-hatian dalam perkreditan;
2. Organisasi dan manajemen perkreditan (termasuk di dalamnya kebijakan tentang
manajemen risiko);
3. Kebijakan persetujuan kredit;
4. Dokumentasi dan administrasi kredit;
5. Pengawasan kredit;
6. Penyelesaian kredit bermasalah.
Kebijakan perkreditan bank dimaksud wajib disampaikan kepada Bank Indonesia.
Dalam pelaksanaan pemberian kredit dan pengelolaan perkreditan bank wajib mematuhi
kebijakan perkreditan bank yang telah disusun secara konsekuen dan konsisten.

4.2 Bagaimana perbankan mengelola, memonitor, dan mengendalikan eksposur


kreditnya terhadap risiko?
4.2.1 Mengelola, Memonitor dan Mengendalikan Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM)
Untuk mengantisipasi potensi kerugian sesuai profil risiko bank, Bank Indonesia
dapat mewajibkan bank untuk menyediakan modal minimum lebih besar dari ketentuan

53
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
yang ada sesuai dengan PBI No. 10/15/PBI/2008 tentang KPMM dan PBI No.
9/13/PBI/2007. Pada dasarnya modal minimum yang harus disediakan setiap bank
melalui ketentuan yang ada adalah 8% dari assets tertimbang menurut risiko (ATMR).
Potensi kerugian bank seperti yang dimaksud di atas, bersumber dari:
1. Risiko kredit, risiko pasar, dan risiko operasional yang belum dapat sepenuhnya
diukur secara akurat dalam melakukan perhitungan ATMR
2. Risiko lainnya yang bersifat material antara lain risiko suku bunga dalam banking
book, risiko likuiditas, dan risiko konsentrasi.
3. Dampak penerapan stress testing terhadap kecukupan modal bank dan/atau
4. Berbagai faktor terkait lainnya.
Setiap bank wajib memperhitungkan ATMR untuk risiko kredit dan ATMR untuk
risiko operasional. ATMR untuk risiko pasar hanya wajib diperhitungkan oleh bank yang
memenuhi kriteria tertentu, antara lain untuk bank yang secara individual memenuhi
salah satu kriteria berikut ini:
1. Bank dengan total assets sebesar RP. 10.000.000.000.000 (sepuluh trilliun rupiah)
atau lebih;
2. Bank devisa dengan posisi instrument keuangan berupa surat berharga dan /atau
transaksi derivative dalam trading book sebesar Rp. 20.000.000.000 (dua puluh
milliard rupiah) atau lebih;
3. Bank bukan bank devisa dengan posisi instrument keuangan berupa surat
berharga dan/atau transaksi derivative suku bunga dalam trading book sebesar Rp.
25.000.000.000 (dua puluh lima milliard rupiah) atau lebih.
Risiko pasar yang wajib diperhitungkan oleh bank secara individual dan secara
konsolidasi dengan perusahaan anak termasuk diantaranya risiko suku bunga dan risiko
nilai tukar. Bank juga diwajibkan menyusun dan menerapkan secara konsisten kebijakan
dan petunjuk atas trading book sebagai bagian kebijakan manajemen risiko.Dan ada pula
suatu perhitungan KPMM dilakukan dengan menggunakan metode standard , metode
internal dimana bank yang memenuhi syarat tersebut, wajib terlebih dahulu
menggunakan metode standard dalam memperhitungkan risiko pasar.
Untuk mekanisme pelaporan:

54
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
1. Pelaporan bulanan secara on-line dengan menggunakan metode standard dalam
perhitungan KPMM dengan mempertimbangkan risiko pasar.
2. Pelaporan bulanan dan triwulan untuk perhitungan KPMM dengan
mempertimbangkan risiko pasar bagi bank yang telah memperoleh persetujuan
Bank Indonesia untuk menggunakan model internal
Adapun sanksi dikenakan apabila:
1. Ketidakpatuhan terhadap pemenuhan kewajiban dibawah penyediaan modal
minimum dengan memperhitungkan risiko pasar, yaitu 8%;
2. Ketidakpatuhan dalam melakukan perhitungan KPMM menurut peraturan yang
berlaku
3. Tidak menyampaikan laporan yang diwajibkan.

4.2.2 Mengelola, Memonitor dan Mengendalikan Batas Maksimum Pemberian


Kredit (BMPK)
Salah satu penyebab dari kegagalan usaha bank adalah penyediaan dana yang tidak
didukung dengan kemampuan bank mengelola konsentrasi penyediaan dana secara
efektif. Dalam rangka mengurangi potensi kegagalan usaha bank maka bank wajib
menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit, antara lain dengan melakukan
penyebaran (diversifikasi) portofolio penyediaan dana melalui pembatasan penyediaan
dana, baik kepada pihak terkait maupun kepada pihak bukan terkait. Pembatasan
penyediaan dana adalah persentase tertentu dari modal bank yang dikenal dengan batas
maksimum pemberian kredit (BMPK). BMPK mendapatkan dasar pengaturan dalam UU
Perbankan. Pengaturan tersebut selanjutnya dijabarkan oleh Bank Indonesia dalam
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian
Kredit Bank Umum. Berdasarkan PBI tersebut, BMPK adalah persentase maksimum
penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal bank.47 Tujuan ketentuan BMPK
adalah untuk melindungi kepentingan dan kepercayaan masyarakat serta memelihara
kesehatan dan daya tahan bank, dimana dalam penyaluran dananya, bank diwajibkan
mengurangi risiko dengan cara menyebarkan penyediaan dana sesuai dengan ketentuan
BMPK yang telah ditetapkan sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada peminjam

47 Pasal 1 angka 2 PBI No. 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum

55
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
dan/atau kelompok peminjam tertentu. Penyediaan dana dalam kerangka BMPK tidak
hanya berupa kredit, tetapi meliputi seluruh portofolio penyediaan dana yaitu penanaman
dana bank dalam bentuk :
1. kredit;
2. surat berharga;
3. penempatan;
4. surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali;
5. tagihan akseptasi;
6. darivatif kredit (credit derivative);
7. transaksi rekening administratif (seperti guarantee, letter of credit, standby letter
of credit);
8. tagihan derivatif;
9. potential future credit exposure;
10. penyertaan modal;
11. penyertaan modal sementara;
12. bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan huruf a sampai
dengan huruf k.
Seluruh portofolio penyediaan dana kepada pihak terkait dengan bank dapat
dilakukan paling tinggi 10 % dari modal bank. Untuk penyediaan dana kepada seorang
peminjam yang bukan merupakan pihak terkait dengan bank dapat dilakukan paling
tinggi 20 % dari modal bank. Sementara, penyediaan dana kepada satu kelompok
peminjam yang bukan merupakan pihak terkait dapat dilakukan paling tinggi 25 % dari
modal bank. Peminjam digolongkan sebagai anggota suatu kelompok peminjam apabila
peminjam mempunyai hubungan pengendalian dengan peminjam lain baik melalui
hubungan kepemilikan, kepengurusan dan/atau keuangan. Sementara, pihak terkait
adalah peminjam dan/atau kelompok peminjam yang mempunyai keterkaitan dengan
bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 PBI No. 7/3/PBI/2005. Bank wajib memiliki
dan menatausahakan daftar rincian pihak terkait dengan bank dan dilaporkan kepada
Bank Indonesia. Pengecualian diberlakukan terhadap perusahaan-perusahaan Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) dan/atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang tidak
diperlakukan sebagai kelompok peminjam sepanjang hubungan tersebut semata-mata

56
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
disebabkan karena kepemilikan langsung6 pemerintah Indonesia. Selain itu penyediaan
dana bank kepada BUMN untuk tujuan pembangunan dan mempengaruhi hajat hidup
orang banyak dapat dilakukan paling tinggi sebesar 30 % dari modal bank. Kemudian
dapat ditambahkan bahwa pengambilalihan (negosiasi) wesel ekspor berjangka
dikecualikan dari peritungan BMPK sepanjang wesel ekspor berjangka diterbitkan atas
dasar letter of credit berjangka yang sesuai dengan Uniform Customs and Practice for
Documentary Credits (UCP) yang berlaku, dan telah diaksep oleh Prime Bank. Bank
yang melakukan pelanggaran BMPK dan atau pelampauan BMPK dikenakan sanksi
penilaian tingkat kesehatan bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
yang berlaku. Pelanggaran BMPK adalah selisih lebih antara persentase BMPK yang
diperkenankan dengan persentase penyediaan dana terhadap modal bank pada saat
pemberian penyediaan dana. Sementara, pelampauan BMPK adalah selisih lebih antara
persentase BMPK yang diperkenankan dengan persentase penyediaan dana terhadap
modal bank pada saat tanggal laporan dan tidak termasuk pelanggaran BMPK
sebagaimana dimaksud di atas. Penyediaan dana oleh Bank dikategorikan sebagai
pelampauan BMPK apabila disebabkan oleh :
1. Penurunan modal bank;
2. Perubahan nilai tukar;
3. Perubahan nilai wajar;
4. Penggabungan usaha dan atau perubahan struktur kepengurusan yang
menyebabkan perubahan pihak terkait dan atau kelompok peminjam;
5. Perubahan ketentuan.
Dalam hal terjadi pelanggaran BMPK dan atau pelampauan BMPK, bank wajib
menyusun dan menyampaikan rencana tindakan (action plan) untuk penyelesaiannya
yang setidaknya memuat langkah-langkah untuk penyelesaian pelanggaran BMPK dan
atau pelampauan BMPK serta target waktu penyelesaian sesuai dengan ketentuan dalam
PBI No. 7/3/PBI/2005. Bank yang menyampaikan action plan untuk pelanggaran BMPK
setelah batas akhir waktu sampai dengan 14 (empat belas) hari kerja setelah batas akhir
waktu tersebut, dikenai sanksi berupa kewajiban membayar sebesar Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) per hari kerja keterlambatan. Sementara, bank yang menyampaikan
action plan untuk pelampauan BMPK setelah batas akhir waktu sampai dengan 14 (empat

57
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
belas) hari kerja setelah batas akhir waktu tersebut, dikenai sanksi berupa kewajiban
membayar sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan.
Selanjutnya bank juga diwajibkan untuk menyampaikan laporan pelaksanaan action plan
masing-masing untuk pelanggaran BMPK dan pelampauan BMPK kepada Bank
Indonesia paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah realisasi action plan. Bank
yang menyampaikan laporan pelaksanaan action plan setelah batas akhir waktu sampai
dengan 14 (empat belas) hari kerja setelah batas waktu tersebut, dikenai sanksi berupa
kewajiban membayar sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja
keterlambatan. Bank yang tidak menyelesaikan pelanggaran BMPK dan atau pelampauan
BMPK sesuai dengan action plan setelah diberi peringatan 2 (dua) kali oleh Bank
Indonesia dengan tenggang waktu 1 (satu) minggu untuk setiap teguran, dikenai sanksi
administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2) UU Perbankan48, antara lain
berupa :
a. Pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar
pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus penilaian kemampuan dan
kepatutan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku;
b. Pembekuan kegiatan usaha tertentu, antara lain tidak diperkenankan untuk
ekspansi penyediaan dana; dan atau
c. Larangan untuk turut serta dalam rangka kegiatan kliring. Selain itu, terhadap
Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank, pemegang saham maupun pihak

48 Pasal 52 UU Perbankan : “(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 47 A,
Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50 A, Bank Indonesia dapat menetapkan sanksi administratif kepada bank yang tidak memenuhi
kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini, atau Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank yang
bersangkutan. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain adalah :
denda uang;
teguran tertulis;
penurunan tingkat kesehatan bank;
larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;
pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan;
pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang
Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia.

58
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
terafiliasi lainnya dapat dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 49
ayat (2) huruf b, Pasal 50 dan Pasal 50 A UU Perbankan.49

4.2.3 Mengelola, Memonitor dan Mengendalikan Penilaian Kualitas Aktiva


Kondisi dan karakteristik dari aset perbankan nasional pada saat ini maupun di waktu
yang akan datang masih tetap dipengaruhi oleh risiko kredit, yang apabila tidak dikelola
secara efektif akan berpotensi mengganggu kelangsungan usaha bank. Pengelolaan risiko
kredit yang tidak efektif antara lain disebabkan kelemahan dalam penerapan kebijakan
dan prosedur penyediaan dana, termasuk penetapan kualitasnya, kelemahan dalam
mengelola portofolio aset bank, serta kelemahan dalam mengantisipasi perubahan faktor
eksternal yang mempengaruhi kualitas penyediaan dana. Untuk memelihara
kelangsungan usahanya, bank perlu meminimalkan potensi kerugian atas penyediaan
dana, antara lain dengan memelihara eksposur risiko kredit pada tingkat yang memadai.
Berkaitan dengan hal tersebut, pengurus bank wajib menerapkan manajemen risiko kredit
secara efektif pada setiap jenis penyediaan dana serta melaksanakan prinsip kehatihatian
yang terkait dengan transaksi-transaksi dimaksud. Hal di atas diatur dalam PBI No.
7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. PBI tersebut mewajibkan
bank (dalam hal ini Direksi) untuk menilai, memantau dan mangambil langkah-langkah
yang diperlukan agar kualitas Aktiva (meliputi Aktiva Produktif dan Aktiva Non
Produktif) senantiasa baik. Aktiva Produktif adalah penyediaan dana Bank untuk
memperoleh penghasilan, dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar

49 Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan : “Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak
melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang 8 berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3
(tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).” Pasal 50 UU Perbankan : “Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak
melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurangkurangnya 3 (tiga)
tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).” Pasal 50 A UU Perbankan : “Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang
dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam
Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).”

59
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
bank, tagihan akseptasi, tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual
kembali (reverse repurchase agreement), tagihan derivatif, penyertaan, transaksi rekening
administratif serta bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan
itu.50 Sementara, Aktiva Non Produktif adalah aset bank selain Aktiva Produktif yang
memiliki potensi kerugian, antara lain dalam bentuk agunan yang diambil alih. Dalam
Pasal 5 PBI No. 7/2/PBI/2005 diatur bahwa bank wajib menetapkan kualitas yang sama
terhadap beberapa rekening Aktiva Produktif yang digunakan untuk membiayai 1 (satu)
debitur, hal ini juga berlaku untuk Aktiva Produktif yang diberikan oleh lebih dari 1
(satu) bank (termasuk penyediaan dana yang diberikan secara sindikasi). Dalam hal
terdapat perbedaan penetapan kualitas Aktiva Produktif, maka kualitas masing-masing
Aktiva Produktif mengikuti kualitas Aktiva Produktif yang paling rendah. Ketentuan
untuk menetapkan kualitas yang sama tersebut di atas juga berlaku terhadap Aktiva
Produktif yang digunakan untuk membiayai proyek yang sama (vide Pasal 6 PBI No.
7/2/PBI/2005). Termasuk dalam pengertian ‘proyek yang sama’ antara lain apabila :
1. Terdapat keterkaitan rantai bisnis secara signifikan dalam proses produksi yang
dilakukan oleh beberapa debitur. Keterkaitan dianggap signifikan antara lain
apabila proses produksi di suatu entitas tergantung pada proses produksi entitas
lain, misalnya adanya ketergantungan bahan baku dalam proses produksi.
2. Kelangsungan cash flow suatu entitas akan terganggu secara signifikan apabila
cash flow entitas lain mengalami gangguan.
Penetapan kualitas kredit dilakukan dengan melakukan analisis terhadap faktor
penilaian yang meliputi prospek usaha, kinerja debitur dan kemampuan membayar.
Penilaian terhadap prospek usaha meliputi penilaian terhadap komponen-komponen
sebagai berikut:
1. Potensi pertumbuhan usaha;
2. Kondisi pasar dan posisi debitur dalam persaingan;
3. Kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja;
4. Dukungan dari grup atau afiliasi; dan
5. Upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup.

50 Pasal 1 angka 3 PBI No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum 10

60
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
Sementara, penilaian terhadap kinerja debitur meliputi penilaian terhadap komponen-
komponen sebagai berikut:
1. Perolehan laba;
2. Struktur permodalan;
3. Arus kas; dan
4. Sensitivitas terhadap risiko pasar.
Kemudian penilaian terhadap kemampuan membayar meliputi penilaian terhadap
komponen-komponen sebagai berikut:
1. Ketepatan pembayaran pokok dan bunga;
2. Ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan debitur;
3. Kelengkapan dokumentasi kredit;
4. Kepatuhan terhadap perjanjian kredit;
5. Kesesuaian penggunaan dana; dan
6. Kewajaran sumber pembayaran kewajiban.
Penetapan kualitas kredit dilakukan dengan melakukan analisis terhadap faktor
penilaian (prospek usaha, kinerja debitur, dan kemampuan membayar) dengan
mempertimbangkan komponen-komponen di atas. Penetapan kualitas kredit dilakukan
dengan mempertimbangkan signifikansi dan materialitas dari setiap faktor penilaian dan
komponen serta relevansi dari faktor penilaian dan komponen terhadap debitur yang
bersangkutan.
Berdasarkan penilaian itu, kualitas kredit ditetapkan menjadi : Lancar, Dalam
Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan, atau Macet.
Untuk mengantisipasi potensi kerugian, bank wajib membentuk Penyisihan
Penghapusan Aktiva (PPA) terhadap Aktiva Produktif dan Aktiva Non Produktif. PPA
meliputi cadangan umum dan cadangan khusus untuk Aktiva Produktif, dan cadangan
khusus untuk Aktiva Non Produktif. Cadangan umum sebagaimana dimaksud di atas
ditetapkan paling kurang sebesar 1 % (satu perseratus) dari Aktiva Produktif yang
memiliki kualitas Lancar. Semantara, cadangan khusus ditetapkan paling kurang sebesar :
1. 5 % (lima perseratus) dari Aktiva dengan kualitas Dalam Perhatian Khusus
setelah dikurangi nilai agunan;11

61
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
2. 15 % (lima belas peseratus) dari Aktiva dengan kualitas Kurang Lancar setelah
dikurangi nilai agunan;
3. 50 % (lima puluh peseratus) dari Aktiva dengan kualitas Diragukan setelah
dikurangi nilai agunan;
4. 100 % (seratus peseratus) dari Aktiva dengan kualitas Macet setelah dikurangi
nilai agunan;
Penggunaan nilai agunan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan PPA hanya
dapat dilakukan untuk Aktiva Produktif. Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai
pengurang dalam pembentukan PPA ditetapkan sebagai berikut:
1. Surat Berharga dan saham yang aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia
atau memiliki peringkat investasi dan diikat secara gadai;
2. Tanah, rumah tinggal dan gedung yang diikat dengan hak tanggungan;
3. Pesawat udara atau kapal laut dengan ukuran di atas 20 (dua puluh) meter kubik
yang diikat dengan hipotek; dan atau
4. Kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara fidusia.
Untuk kredit bermasalah, salah satu upaya untuk meminimalkan potensi kerugian
pada kredit bermasalah tersebut adalah bahwa bank juga dapat melakukan restrukturisasi
kredit untuk debitur yang mengalami kesulitan pembayaran pokok dan atau bunga kredit
namun masih memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban
setelah dilakukan restruktuirisasi. Bank dilarang melakukan restrukturisasi kredit dengan
tujuan hanya untuk menghindari penurunan penggolongan kualitas kredit, peningkatan
pembentukan PPA, atau penghentian pengakuan pendapatan bunga secara akrual. Untuk
itu bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai restrukturisasi kredit
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko bank.
Untuk eksposur penyediaan dana yang sudah tidak memiliki prospek usaha dan
kemampuan membayar atau telah dikatagorikan Macet serta bank telah melakukan
berbagai upaya untuk memperoleh kembali penyediaan dana tersebut, bank dapat
melakukan hapus buku atau hapus tagih. Hapus buku adalah tindakan administratif bank
untuk menghapus buku penyediaan dana yang memiliki kualitas Macet dari neraca
sebesar 12 kewajiban debitur tanpa menghapus hak tagih bank kepada debitur.

62
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
Sedangkan hapus tagih adalah tindakan bank menghapus kewajiban debitur (tagihan
kepada debitur) yang tidak mungkin lagi diselesaikan oleh debitur.

4.2.4 Mengelola, Memonitor dan Mengendalikan Sistem Informasi Debitur


Kelancaran proses kredit dan penerapan manajemen risiko kredit yang efektif serta
ketersediaan informasi kualitas debitur yang diandalkan dapat dicapai apabila didukung
oleh sistem informasi yang utuh dan komprehensif mengenai profil dan kondisi debitur,
terutama debitur yang sebelumnya telah memperoleh penyediaan dana. Dalam proses
kredit, sistem informasi mengenai profil dan kondisi debitur dapat mendukung
percepatan proses analisa dan pengambilan keputusan pemberian kredit. Untuk
kepentingan manajemen risiko, sistem informasi mengenai profil dan kondisi debitur
dibutuhkan untuk menentukan profil risiko kredit debitur. Selain itu tersedianya
informasi kualitas debitur, diperlukan juga untuk melakukan sinkronisasi penilaian
kualitas debitur di antara bank pelapor.
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Bank Indonesia berperan
untuk mengatur dan mengembangkan penyelenggaraan sistem informasi antar bank yang
dapat diperluas dengan menyertakan lembaga lain di bidang keuangan. Sehubungan
dengan itu Bank Indonesia mengembangkan sistem informasi debitur yang dari waktu ke
waktu selalu disempurnakan untuk disesuaikan dengan perkembangan ekonomi dan
teknologi.
Ketentuan mengenai sistem informasi debitur tersebut diatur dalam PBI No.
7/8/PBI/2005 tentang Sistem Informasi Debitur. Berdasarkan ketentuan PBI tersebut,
bank umum, penyelenggara kartu kredit selain bank dan BPR yang memiliki total aset Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) atau lebih wajib menyampaikan laporan
debitur kepada Bank Indonesia setiap bulan meliputi informasi mengenai debitur,
pengurus dan pemilik, fasilitas penyediaan dana, agunan, penjamin dan laporan keuangan
debitur (bagi debitur yang merupakan nasabah perusahaan atau badan yang menerima
penyediaan dana Rp 5.000.000.000,00 atau lebih).
Sementara, Lembaga Keuangan Bukan Bank (antara lain meliputi asuransi, dana
pensiun, perusahaan pembiayaan) dan BPR yang memiliki total aset kurang dari Rp

63
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dapat menjadi pelapor dalam Sistem Informasi
Debitur dengan menandatangani surat pernyataan keikutsertaan anggota.
Pelapor yang telah memenuhi kewajiban pelaporan dapat meminta informasi debitur
kepada Bank Indonesia meliputi antara lain identitas debitur, pemilik dan pengurus,
fasilitas penyediaan dana yang diterima debitur, agunan, penjamin dan atau kolektibilitas.
Informasi yang diperoleh pelapor tersebut hanya dapat digunakan untuk keperluan
pelapor dalam rangka penerapan manajemen risiko, kelancaran proses penyediaan dana,
dan atau identifikasi kualitas debitur untuk pemenuhan ketentuan yang berlaku.

4.2.5 Mengelola, Memonitor dan Mengendalikan Kredit kepada Pihak Asing


Penerapan sistem devisa bebas di Indonesia telah mempercepat perkembangan dan
integrasi pasar keuangan Indonesia dengan pasar dunia. Integrasi pasar keuangan antara
lain terlihat pada penggunaan mata uang domestik, baik di dalam negeri maupun luar
negeri. Pada awalnya mata uang domestik digunakan oleh warga negara asing dan badan
asing di dalam negeri, namun selanjutnya penggunaan tersebut meluas ke luar negeri baik
oleh warga negara Indonesia dan badan hukum Indonesia maupun oleh warga negara
asing dan badan asing.
Sebagai akibat dari perkembangan dan integrasi pasar keuangan di atas, peningkatan
transaksi rupiah antara bank dengan warga neara asing dan badan asing dalam
perkembangannya telah menimbulkan ketidakstabilan kondisi moneter di dalam negeri,
khususnya dalam bentuk tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Sehubungan dengan hal
tersebut, telah diambil langkah kebijakan dengan menetapkan pembatasan-pembatasan
yang diperlukan sebagaimana tertuang dalam peraturan Bank Indonesia Nomor
3/3/PBI/2001 tanggal 12 Januari 2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan
Pemberian Kredit Valuta Asing.
Dalam perkembangan selanjutnya, meskipun PBI No 3/3/PBI/2001 telah
menyediakan kemungkinan bagi berbagai transaksi untuk kepentingan pembiayaan yang
bermanfaat bagi perekonomian domestik, namun masih dirasakan perlu dilakukan
berbagai penyempurnaan. Langkah penyempurnaan perlu diambil agar ketentuan yang
berlaku tidak menghambat kegiatan produktif dan dapat sejalan dengan beberapa
perkembangan terakhir baik dalam pasar keuangan maupun dalam perekonomian

64
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
domestik secara keseluruhan dan dipihak lain dapat tetap menunjang tercapainya
stabilitas sistem keuangan dan moneter di dalam negeri. 14 Sehubungan dengan hal
tersebut, maka Bank Indonesia mencabut PBI No 3/3/PBI/2001 dan mengeluarkan PBI
No. 7/14/PBI/2005 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta
Asing oleh Bank. Berdasarkan peraturan tersebut, bank dilarang memberikan kredit baik
dalam rupiah maupun dalam valuta asing kepada pihak asing. Pihak asing sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan tersebut meliputi :
1. Warga negara asing;
2. Badan hukum asing atau lembaga asing lainnya;
3. Warga negara Indonesia yang memiliki status pnduduk tetap (permanent resident)
negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia;
4. Kantor Bank di luar negeri dari bank yang berkantor pusat di Indonesia;
5. Kantor perusahaan di luar negeri dari perusahaan yang berbadan hukum
Indonesia.
Pengecualian atas larangan terhadap pemberian kredit tersebut di atas meliputi:
1. Kredit dalam bentuk sindikasi yang memenuhi persyaratan
a) Mengikutsertakan Prime Bank sebagai lead bank;
b) Diberikan untuk pembiayaan proyek di sektor riil untuk usaha produktif yang
berada di wilayah Indonesia; dan
c) Kontribusi bank asing sebagai anggota sindikasi lebih besar dibandingkan
dengan kontribusi bank dalam negeri;
2. Kartu kredit;
3. Kredit konsumsi yang digunakan di dalam negeri;
4. Cerukan intrahari rupiah dan valuta asing yang didukung oleh dokumen yang
bersifat authenticated yang menunjukkan konfirmasi akan adanya dana masuk ke
rekening bersangkutan pada hari yang sama dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia;
5. Cerukan dalam rupiah dan valuta asing karena pembebanan biaya administrasi;
6. Pengambilalihan tagihan dari badan yang ditunjuk pemerintah untuk mngelola
aset-aset bank dalam rangka restrukturisasi perbankan Indonesia oleh Pihak Asing
yang pembayarannya dijamin oleh Prime Bank.

65
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
4.2.6 Mengelola, Memonitor dan Mengendalikan Kredit kepada Perusahaan
Sekuritas
Berdasarkan SK Direksi BI No. 24/32/KEP/DIR dan SE BI No. 24/1/UKU masing-
masing tanggal 12 Agustus 1991 tentang Kredit kepada Perusahaan Sekuritas dan Kredit
dengan Agunan Saham, bank dilarang memberikan kredit untuk jual beli saham kepada
perorangan atau perusahaan yang bukan perusahaan sekuritas. Pemberian kredit kepada
perusahaan sekuritas dilakukan oleh bank dengan ketentuan :
1. Setiap bank hanya boleh memberikan kredit kepada suatu perusahaan sekuritas
masing-masing dengan maksimum sebesar jumlah yang terkecil antara 25% dari
modal perusahaan sekuritas yang bersangkutan atau 15% dari modal bank.
2. Seluruh kredit yang dapat diberikan oleh suatu bank kepada semua perusahaan
sekuritas maksimum sebesar 30% dari modal bank.
Disamping itu, bank dilarang memberikan kredit dengan agunan berupa saham
perusahaan lain. Dalam perkembangannya, ketentuan ini dicabut dengan dikeluarkannya
SK Direksi BI No. 26/68/KEP/DIR dan SE BI No. 26/1/UKU tentang Saham sebagai
Agunan Tambahan Kredit masing-masing tanggal 7 September 1993. Berdasarkan
ketentuan ini saham boleh dijadikan agunan tambahan dengan syarat selama 3 bulan
terakhir aktif diperdagangkan, harga saham tersebut di atas nilai nominal dan nilai saham
yang diagunkan adalah 50% dari harga pasar tersebut.

4.2.7 Mengelola, Memonitor dan Mengendalikan Kredit untuk Keperluan


Transaksi Derivatif
Pengertian transaksi derivatif berdasarkan SE BI No. 28/15/UD tanggal 18 Februari
1996 adalah suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan
dari nilai instrumen yang mendasari seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti dan
indeks, baik yang diikuti dengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana. Pihak bank
hanya boleh ikut dalam transaksi derivatif dengan dibatasi pada transaksi derivatif yang
berkaitan dengan valuta asing (nilai tukar) dan suku bunga. Adapun transaksi derivatif
yang berkaitan dengan saham hanya dapat dilakukan atas izin BI secara kasus per kasus.
Transaksi derivatif yang dilarang dalam kaitannya dengan nasabah bank adalah :

66
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
1. Bank dilarang memelihara posisi atas transaksi derivatif yang dilakukan oleh
nasabah grup dari bank, direksi, komisaris, pegawai atau pemilik bank yang
bersangkutan.16
2. Bank dilarang memberikan fasilitas kredit dan cerukan (overdraft) dalam rangka
kewajiban pemenuhan margin deposit nasabah untuk keperluan transaksi derivatif
kepada nasabah (vide Pasal 6 ayat (2) SK Direksi BI No. 28/119/KEP/DIR
tanggal 29 Desember 1995 tentang Transaksi Derivatif).
Transaksi derivatif untuk kepentingan nasabah harus berdasarkan kontrak yang
sekurang-kurangnya mencakup :
1. Pagu transaksi derivatif
2. Base currency yang digunakan
3. Jenis valuta/instrumen yang dipertukarkan
4. Penyelesaian transaksi derivatif (settlement)
5. Pembukuan laba/rugi transaksi derivatif yang dilakukan
6. Pencatatan atas posisi laba/rugi yang potensial (unrealised)
7. Metode atau cara transaksi derivatif
8. Besarnya komisi
9. Penggunaan kurs konversi
10. Advis dan konfirmasi transaksi derivatif
11. Kerahasiaan, dan
12. Domisili dan hukum yang berlaku.
Transaksi derivatif yang dilakukan tanpa diikuti penyerahan dana/instrumen,
kontraknya harus pula mencakup :
1. Jumlah margin deposit
2. Maintenance margin yang ditentukan, dan
3. Hak dan kewajiban nasabah yang harus dicetak dalam huruf yang besar sehingga
mudah dibaca.

67
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
4.2.8 Mengelola, Memonitor dan Mengendalikan Kredit untuk Pembiayaan
Pengadaan dan atau Pengolahan Tanah
Laju pertumbuhan pinjaman perbankan yang berlebihan kepada sektor properti
merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kestabilan moneter dan kesehatan
perbankan terutama pemberian kredit untuk pembiayaan pengadaan dan pengolahan
tanah sebagai unsur yang banyak mendorong pertumbuhan yang berlebihan pada kredit
sektor properti. Oleh sebab itu, BI telah mengeluarkan SK Direksi BI No.
30/46/KEP/DIR dan SE BI No. 30/2/UK masing-masing tanggal 7 Juli 1997 tentang
Pembatasan Pemberian Kredit oleh Bank Umum untuk Pembiayaan Pengadaan dan atau
Pengolahan Tanah. Pokok-pokok 17 ketentuan yang diatur dalam kaitannya dengan
pembiayaan pengadaan dan atau pengolahan tanah adalah sebagai berikut :
1. Bank dilarang memberikan kredit kepada pengembang, baik secara langsung
maupun tidak langsung dan atau membeli/menjamin surat berharga dari
pengembang untuk pembiayaan pengadaan dan atau pengolahan tanah. Pemberian
kredit secara langsung adalah pemberian kredit oleh bank langsung kepada
pengembang, sedangkan pemberian kredit secara tidak langsung adalah
pemberian kredit oleh bank kepada pihak lain yang secara efektif dapat
dimanfaatkan oleh pengembang untuk pembiayaan pengadaan dan atau
pengolahan tanah.
2. Bank dilarang pula membeli dan atau menjamin surat berharga (surat pengakuan
hutang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatif dari surat
berharga atau kepentingan lain atau suatu kewajiban dari penerbit yang lazim
diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang, termasuk pula commercial
paper) yang diterbitkan oleh pengembang untuk pembiayaan pengadaan dan atau
pengolahan tanah, kecuali surat berharga yang diterbitkan oleh pengembang yang
mengkhususkan usahanya di bidang pembangunan rumah sederhana atau jalan tol.
3. Bank dapat memberikan kredit kepada pengembang selain untuk pengadaan dan
atau pengolahan tanah sepanjang memenuhi persyaratan:
a) Harga atau nilai tanah tidak dapat digunakan untuk memenuhi
keperluan pembiayaan sendiri (self financing) nasabah yang
dipersyaratkan oleh bank dalam persetujuan kredit.

68
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
b) Penyediaan fasilitas kredit untuk pembiayaan pembangunan properti
hanya dapat dilakukan atas dasar bukti pemilikan tanah atas nama
pengembang atau dokumen lain yang memberikan hak kepada
pengembang untuk menggunakan tanah tersebut bagi pembangunan
properti yang dibiayai.
c) Pencairan kredit untuk pembiayaan properti hanya dapat dilakukan
atas dasar Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau sekurangkurangnya
bukti pengajuan permohonan IMB yang dikeluarkan instansi yang
berwenang serta surat perjanjian pelaksanaan pekerjaan pembangunan
untuk proyek yang dibiayai antara pengembang dengan kontraktor.18
4. Beberapa hal yang dikecualikan :
a) Pemberian kredit untuk pengadaan dan atau pengolahan tanah yang
akad kreditnya dibuat sebelum tanggal 14 Juli 1997.
b) Pengalihan kredit dari pengembang kepada suatu pengembang lain
dalam rangka penyelamatan sepanjang tidak menambah saldo kredit.
c) Perpanjangan jangka waktu kredit dalam rangka penyelamatan tanpa
menambah saldo kredit.
d) Pemberian kredit dan atau pembelian/penjaminan surat berharga dari
pengembang untuk pengadaan dan atau pengolahan tanah guna
pembangunan rumah sederhana.
Ketentuan ini tidak berlaku bagi pemberian kredit kepada pengembang untuk
tujuan pembangunan rumah sederhana. Kategori rumah sederhana adalah rumah tidak
bersusun dengan luas lantai tidak lebih dari 70 m2 yang dibangun di atas tanah dengan
luas kaveling 54 m2 sampai dengan 200 m2 dengan biaya pembangunan per m2 tertinggi
untuk pembangunan rumah dinas tipe C yang berlaku sebagaimana diatur dalam SK
Direktur Jenderal, serta rumah susun dengan luas lantai tidak lebih dari 36 m2 serta
kaveling siap bangun dengan luas maksimum 72 m2.

69
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
4.2.9 Mengelola, Memonitor dan Mengendalikan Pemberian Garansi oleh Bank
Pemberian garansi oleh Bank diatur dalam SK Dir BI No. 23/88/KEP/DIR jo. SE BI
No. 23/7/UKU masing-masing tanggal 18 Maret 1991 tentang Pemberian Garansi oleh
Bank. Berdasarkan ketentuan tersebut garansi yang diberikan oleh bank meliputi51:
1. Garansi dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh bank yang mengakibatkan
kewajiban membayar terhadap pihak yang menerima garansi apabila pihak yang
dijamin wanprestasi. Dalam hal ini pemberian garansi dapat berupa Garansi Bank
atau Standby Letter of Credit.
2. Garansi dalam bentuk penandatanganan kedua dan seterusnya atas surat-surat
berharga seperti aval dan endosemen dengan hak regres yang dapat menimbulkan
kewajiban membayar bagi bank apabila pihak yang dijamin wanprestasi,
sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
3. Garansi lainnya yang terjadi karena perjanjian bersyarat sehingga dapat
menimbulkan kewajiban finansial bagi bank.Pemberian garansi tersebut adalah
berupa surat yang dapat menimbulkan kewajiban membayar suatu jumlah tertentu
apabila pihak yang dijamin wanprestasi dan Letter of Credit. Dengan demikian
pemberian garansi oleh bank dalam bentuk tersebut harus dihitung sebagai
contingent liabilities yang tunduk pada ketentuan Bank Indonesia mengenai
Pemberian Garansi oleh Bank. Agar bank memperoleh kepastian kapan
berakhirnya contingent liabilities yang timbul sebagai akibat pemberian garansi
dalam bentuk ini, maka bank dalam memberikan garansi tersebut hendaknya
menetapkan suatu batas waktu.
Selanjutnya, bank dapat memberikan garansi baik dalam mata uang rupiah maupun
mata uang asing, namun demikian perlu diperhatikan bahwa pemberian garansi untuk
penerimaan kredit dari luar negeri hanya dapat dilakukan dengan junlah seluruhnya
setingi-tingginya 20 % dari modal. Dalam pengertian jumlah keseluruhan tersebut
termasuk pula garansi yang dikeluarkan oleh kantor-kantor bank di luar negeri.

51 Pasal 1 angka (3) SK Dir BI No. 23/88/KEP/DIR jo. SE BI No. 23/7/UKU tanggal 18 Maret 1991

70
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
Karena pemberian garansi dapat menimbulkan kewajiban membayar bagi bank, yang
mempengaruhi likuiditas dan solvabilitasnya, maka pemberian garansi dikenakan
ketentuan tentang BMPK dan Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum.
Sebelum garansi diberikan, bank diminta untuk terlebih dahulu melakukan penelitian
dan penelaahan yang pada hakekatnya sama dengan penelaahan yang dilakukan dalam
pemberian kredit, antara lain mengenai :
1. Bonafiditas dan reputasi pihak yang dijamin.
2. Sifat dan nilai transaksi yang akan dijamin.
3. Jumlah garansi yang akan diberikan menurut kemampuan bank.
4. Kemampuan pihak yang akan dijamin untuk memberikan kontra garansi sesuai
dengan kemungkinan terjadinya risiko. Kontra garansi ini dapat berupa :
a) kontra garansi dari bank di luar negeri yang bonafide.
b) Setoran sebesar 100 % dari nilai garansi yang diberikan.
c) Kontra garansi lainnya yang diperoleh dari pihak yang dijamin dengan nilai
yang memadai untuk menanggung kerugian yang mungkin diderita oleh bank.
Kontra garansi ini dapat berupa 20 garansi material dan atau immaterial
tergantung pada penilaian bank atas kemungkinan terjadinya risiko. Apabila
dianggap perlu bank dapat meminta sejumlah uang setoran kepada nasabah
yang dijamin untuk diblokir pada bank yang bersangkutan sebelum garansi
diberikan.
Pemberian garansi atas permintaan bukan penduduk hanya diperkenankan apabila
disertai dengan kontra garansi yang cukup dari bank di luar negeri yang bonafide (tidak
termasuk cabang bank yang bersangkutan di luar negeri), atau setoran sebesar 100 % dari
nilai garansi yang diberikan.

71
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
Bab V
Penutup
5. Kesimpulan dan Saran
5.1.1 Kesimpulan
1. Sebagaimana telah disebutkan dalam UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
yang telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 (UU Perbankan),
kredit didefinisikan sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga.”
Pemberian kredit memungkinkan terjadinya wanprestasi dari perjanjian pinjam-
meminjam berupa kegagalan pembayaran pinjaman yang merupakan kewajiban
dari debitur. Dimana kegagalan tersebut merupakan risiko bagi bank yang dapat
menciptakan kerugian. Kegagalan tersebut dapat dikatakan sebagai risiko kredit
dari sudut pandang perbankan.
Untuk kepentingan bank dan memberikan kepercayaan terhadap masyarakat akan
perbankan, pemberian kredit tersebut dilaksanakan secara konsisten dan
berdasarkan azas-azas perkreditan yang sehat dimana diperlukan suatu kebijakan
tertulis yang disetujui oleh dewan komisaris dan direksi dan dilaksanakan oleh
unit kredit juga diawasi oleh unit manajemen risiko sebagai usaha dalam
menghindari kerugian akibat risiko kredit. Demikian bank mendifinisikan kredit
beserta risikonya.
2. Bank wajib mengelola, memonitor dan mengendalikan modal minimumnya
dengan tujuan mengantisipasi kerugian akibat risiko kredit. Sebagaimana kita
ketahui fungsi modal mengupayakan likuiditas bank dapat menjaga sewaktu-
waktu risiko terealisasi menjadi kerugian. Bank Indonesia menetapkan KPMM
(Kewajiban Penyediaan Modal Minimum) sebanyak 8 %. Selain itu, melihat
bahwa salah satu penyebab kegagalan usaha bank adalah penyediaan dana yang
tidak didukung dengan kemampuan bank mengelola kosentrasi penyediaan dana
secara efektif. Bank Indonesia juga mensyaratkan perbankan harus menggunakan

72
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
prinsip kehati-haitan dalam pemberian kredit. Dimana pemberian kredit
didiversifikasi/disebar kebeberapa pihak, dan dibatasi terkonsentrasi pada satu
pihak. Apalagi pihak-pihak yang terkait, diantaranya dengan komisaris dan dewan
direksi. Pembatasan ini disebut BMPK (Batas Maksimal Pemberian Kredit) yang
oleh BI diatur melalui Peraturan 7/3/PBI/ 2005. Yang diatur untuk seluruh
portofolio penyediaan dana kepada pihak terkait dengan bank dapat dilakukan
paling tinggi 10% dari modal bank. Untuk penyediaan dana yang bukan
merupakan pihak terkait dengan bank dilakukan paling tinggi 20%. Sementara
untuk satu kelompok peminjam yang bukan merupakan pihak terkait dengan bank
dapat dilakukan maksimum 25% dari modal bank. Pada prakteknya risiko kredit
sangat mempengaruhi kelangsungan usaha perbankan dimasa yang akan datang,
maka perbankan juga harus melakukan manajemen risiko melalui penilaian,
pemantauan dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar kualitas
aktivanya senatiasa baik. Kualitas aktiva ini yang dapat memonitor NPL sebuah
bank. Kualitas aktivanya (dalam hal kredit) diklasifikasikan menjadi: lancar,
dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet. Melalui PBI
no.7/2/PBI/2005 Bank Indonesia mewajibkan setiap bank membentuk penyisihan
penghapusan aktiva terhadap aktiva produktif dan non produktif. Hal ini ditujukan
untuk mengantisipasi terjadinya potensi kerugian akibat kegagalan pembayaran
kredit. Dimana disebutkan cadangan umum sebesar 1%, dari aktiva produktif
yang memiliki kualitas lancar. Sementara cadangan khusus ditetapkan: 5% dari
aktiva dalam perhatian khusus setelah dikurangi nilai agunan, 15% dari aktiva
kurang lancar setelah dikurangi agunan, 50% dari aktiva dengan kualitas
diragukan setelah dikurangi agunan, dan yang terakhir 100% dari aktiva dengan
kualitas macet setelah dikurangi nilai agunan. Manajemen risiko dalam upaya
mengantisipasi kerugian kredit, perbankan diwajibkan menginformasikan seluruh
kegiatan dan identitas debiturnya melalui sistem informasi debitur. Yang meliputi:
informasi tentang debitur itu sendiri, pengurus, dan pemilik, fasilitas penyediaan
dana, agunan, penjamin dan laporan keuangan debitur.
Melalui PBI No.7/14/PBI/2005 Bank Indonesia membatasi kredit baik dalam
bentuk rupiah maupun valuta asing dengan tujuan menstabilitaskan kondisi

73
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
moneter di Indonesia, mengingat ketidak stabilitasan moneter memiliki risiko
sistematik terhadap risiko kredit. Perbankan harus menghindari kredit pada
perusahaan sekuritas dan kredit untuk pembiayaan transaksi derivative maupun
pengelolaan tanah mengingat kegiatan tersebut berisiko tinggi. Dan yang paling
penting penyetaraan kredit seperti bank garansi itu harus, mengingat bank garansi
juga dikatagorikan sebagai kredit off balance sheet Demikian bank mengelola,
memonitor, dan mengendalikan eksposur kreditnya terhadap risiko.

5.1.2 Saran
Dalam kerangka agar perbankan tetap pruden dalam menjalankan kegiatan usahanya
dalam hal ini manajemen risiko kredit bank, Bank Indonesia telah mengeluarkan berbagai
ketentuan untuk menjadi pegangan perbankan dalam melakukan kegiatan pemberian
kredit. Ketentuan yang dikeluarkan Bank Indonesia ada yang berkenaan dengan prinsip
kehati-hatian, self regulatory banking, kegiatan usaha atau lainnya. Pengaturan oleh Bank
Indonesia dilakukan dalam kapasitas Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan
sebagaimana diamanatkan dalam UU Bank Indonesia dan UU Perbankan. Sejalan dengan
UU Perbankan bahwa perbankan dalam melaksanakan usahanya menggunakan prinsip
kehati-hatian termasuk dalam pemberian kredit. Dalam implementasinya adalah menjadi
tanggung jawab setiap bank untuk mematuhi dan melaksanakan semua ketentuan yang
berlaku di bidang perkreditan baik yang dimuat dalam UU Perbankan sendiri maupun
yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan lainnya termasuk Peraturan Bank
Indonesia. Berbagai paraturan Bank Indonesia yang materinya telah dibahas tersebut
belumlah merupakan keseluruhan peraturan yang terkait dengan pemberian kredit,
mengingat transaksi kredit banyak dimodifikasi sedemikian rupa untuk memenuhi
perkembangan ekonomi. Untuk kedepannya diperlukan cara-cara atau metode yang harus
dipikirkan oleh perbankan dan Bank Indonesia dalam mewujudkan kredit yang sehat
yang dapat meminimalisasikan kerugian akibat risiko kredit.

74
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
Daftar Pustaka
1. Febby M. Sukatendel, 2006.”Kredit dan Masaah Keuangan, Panduan Bantuan Hukum
di Indonesia”. YLBHI, Jakarta.
2. Try Widiyono, S.H., M.H, Sp.N, 2006. “Aspek hukum operasional transaksi poduk
perbankan di Indonesia”. Ghalia Indonesia, Bogor
3. Hermansyah S.H.,M.Hum., 2006. “Hukum perbankan Nasional Indonesia”. Kencana,
Jakarta.
4. Boni Dwi Pramudyanto, 2006."Normal Business Risk dan Criminal Risk, Harus
Dibedakan dan Perlu Aturan Khusus Kejahatan Perbankan”.
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0602/06/jogja/20600.htm
5. Indonesian Certificate in Banking Risk and Regulation, 2005. “Workbook, Level 1”.
Global Association of Risk Professional & Badan Sertifikasi Manajemen Risiko.
6. Palimirma, 2007.” Penerapan Manajemen Risiko di Perbankan Nasional”.
http://www.vibiznews.com/1new/journal_last.php?sub=journal&month=September&t
ahun=2007&page=risk.
7. SBC. Warbug, 2004. “The Practice of Risk Management”. Euromoney Book.
8. Lam James, 2004. “Enterprise Risk Management”. Wiley
9. Dilan S Batuparan, 2000. “Prinsip-Prinsip Dasar Manajemen Risiko”.
http://www.bexi.co.id/images/_res/perbankan-Prinsip
prinsip%20Dasar%20Manajemen%20Risiko.pdf
10. John E. Junarsin, 2009. “Manajemen Risiko dan Nilai Perusahaan”.
http://cwma.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=95&Itemid=66
11. Soerjono Soekanto, 1986. “Pengantar Penelitian Hukum”. UI-Press, Jakarta.
12. Sri Mamudji, Hang Rahardjo, Agus Supriyanto, Daly Erni, Dian Pudji Simatupang,
2005. ”Metode Penelitian dan Penulisan Hukum”. Badan Penerbit Fak. Hukum UI,
Jakarta.
13. Dadut Priyambodo, 2000. “Paksa Badan atau Krisis Lagi?”
http://www2.kompas/kompas-cetak/0010/11/ekonomi/paks15.htm
14. HR Daeng Naja, S.H., M.H., M.Kn. 2006. “Legal Audit Operasional Bank”. PT Citra
Aditya Bakti, Bandung.

75
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
15. De Servigny, Arnaud and Olivier Renault, 2004. “The Standard & Poor's Guide to
Measuring and Managing Credit Risk”. McGraw-Hill.
16. Tom Henderson, 2008. “Counterparty Risk and the Sub-prime Fiasco”. McGraw-Hill.
17. Duncan H. Meldrum, 1999. “Country Risk and Foreign Direct Investment”.
McGraw-Hill
18. http://en.wikipedia.org/wiki/Bank
19. M Munir Fuady, S.H., M.H, LL.M., 2003. “Hukum Perbankan Modern Buku
Kesatu”, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
20. Hermansyah SH.,M.Hum., 2006, “Hukum Perbankan Nasional Indonesia”, Kencana,
Jakarta.
21. Eman A. Setiawan, 2005. “Esensi Manajemen Risiko Bank” , http://hipmi.org/arsip-
blog/?p=23
22. Surini Ahlan Sjarif,S.H.,MH, Dkk, 2005. “Hukum Perdata – Suatu Pengantar”.
Gitama Jaya, Jakarta.
23. Susidarto, 2001. “Menyongsong Regulasi Perbankan Baru "Risk Management" &
Degradasi Modal Bank”.
http://unisosdem.org/article_detail.php?aid=445&coid=2&caid=30&gid=4
24. Dr. Zulkanaen Sitompul, 2005. “Problematika perbankan”. Bookterrace & Library,
Bandung.
25. Abdul Rasyid Saliman,S.H ,MM. 2005 “ Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan
Contoh Kasus”.Kencana Renada Media Group, Jakarta.
26. The Basel Committee on Banking Supervision, July 1999. “Consultative Paper:
Principles for the Management of Credit Risk”.
27. Governmental Accounting Standards Board Statement. “Basic Financial Statements
and Management’s Discussion and Analysis for State and Local Governments”. No.
34 paragraph 19.
28. Rinella Putri, 2007. “Manajemen Risiko Perbankan”, www.vibizmanagement.com
29. http://www.bis.org/publ/bcbs128c.pdf
30. Nawa Thalo, SE, Juni 2005. “Mengapa Intermediasi Bank Berjalan Lambat?”,
http://theindonesianinstitute.com/index.php/20050601148/mengapa-intermediasi-
perbankan-berjalan-lambat.html

76
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
31. Frank K. Reilly, Keith C. Brown, 2003. “Investment Analysis Portfolio
Management”. Thomson South Western, Seventh Edition.
32. Bruno Solnik, 1996. “International Investment”. Addison Wesly Publishing
Company, Third Edition.
33. Joseph F. Sinkey Jr., 1998. “Commercial Bank Financial Management”. Macmilan
Publishing Company, New York.
34. http://www.singaporelaw.sg/content/BankingandFinanceIndo.html
35. Monetary Authority of Singapore, February 2006. “Credit Risk Guidelines on Risk
Management Practices February 2006”.
www.mas.gov.sg/resource/legislation_guidelines/risk_mgt/4-CreditRisk.pdf
36. Widigdo Sukarman, Edisi September – Oktober 1999. “Pemberdayaan Kembali
Manajemen Risiko Bank”, Majalah Bank & Manajemen, Jakarta.
37. Wimboh Santoso, 2003. “Penerapan Risk Management di Perbankan”,
http://www.cbcindonesia.com/investigasi/analisa/2003/1/1359.shtml
38. Monetary Authority of Singapore Banking Act, chapter 19, Part III. “Risk Based
Capital Requirement”. http://agcvldb4.agc.gov.sg/non_version/cgi-
bin/cgi_retrieve.pl?actno=REVED-
19&doctitle=BANKING%20ACT%0a&date=latest&method=part
39. Bramantyo Djohanputro, MBA, PhD, 2004.”Manajemen Risiko Korporat
Terintegrasi”, Penerbit PPM Cetakan Pertama, Jakarta.
40. Robert Tampubolon, 2004. “Risk Manajemen: Manajemen Risiko Pendekatan
Kualitatif untuk Bank Komersial”. PT Elex Media Komputindo, Jakarta.
41. Pasal 1234 KUH Perdata Tentang Perikatan-Perikatan Umumnya.
42. Penjelasan Pasal 68 (4) UU No 40/2007 Tentang Perseroan Terbatas
43. Pasal 1 angka 11, Pasal 1 angka 12, Pasal 52, Pasal 49 ayat (2) huruf b, UU No UU
No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
44. Pasal 1 angka 2 PBI No. 7/3/PBI/2005 Tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit
Bank Umum
45. Pasal 1 angka 3 PBI No. 7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank
Umum 10

77
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008
46. Pasal 1 angka (3) SK Dir BI No. 23/88/KEP/DIR jo. SE BI No. 23/7/UKU tanggal 18
Maret 1991.

78
Analisa yuridis..., Achmad Didy Alamsyah, FH UI, 2008

Anda mungkin juga menyukai