Anda di halaman 1dari 6

DRAMA KOMEDI MALIN KANDUNG

Pedagang : “Aaa sagna kabaditcyu hehe yaa! Aaa sagna kabaditcyu hehehe ... Hongya hongye ...
Hongya hongye ... Hongya hongye!” (Pedagang memasuki panggung)

Nenek Tua : “Malin Kandung yang meninggalkan ibunya. Setelah sekian lama pergi. Akhirnya di
suatu desa yang indah nan lestari ... terjadilah pertemuan yang tidak diduga. Penasaran dan
pengen liat ceritanya??? Sama.” (Nenek tua berjalan ringkih dengan tongkatnya)

Penjual 1 : “Batureke kapur ajaib, kapur barus!”

Penjual 2 : “Tolci pentole panci. Mbelci mbelci tembele panci! Peniti, dom dom. Bu! Bu! Bu!
Tambalan pancinya buk!”

Ibu Malin : “Tambalan panci berapa?” (Berjalan dengan lenggak-lenggok)

Penjual 2 : “Untuk Ibu lima ribu aja.”

Ibu Malin : “Iiiihh ... mahaaaaal!” (Berkata dengan nada gemulai)

Penjual 2 : “Tiga ribu saya tambalin.”

Ibu Malin : “Ya udah 30 ribu aja.”

Penjual 2: “Ya udah.” (Berucap dengan nada pasrah)

Penjual 3 : “Cabe Buk, 30 ribu. Ada cabe Cina, ada cabe Afrika, ada cabe cabean, Buk!”

Pengemis : “Buk tiga ribu Bu, tiga ribu buk, tiga ribu. Buat makan, Bu.”

Ibu Malin berjalan menghampiri pengemis.


Penjual 3 : “Bu, ini Bu, ini Bu, 15 ribu aja cabenya. Manis manis lho cabenya.”

Ibu Malin : “Cabe kok manis manis.”

Penjual 3 : “Lho, bukan cabenya yang manis, ibunya yang manis.”

Malin : “Sayaaanggg ...” (Memanggil sang istri dengan nada manja)

Istri Malin : “Ih, lama banget sih! Ini panas tau!” (Mendengus kesal)

Malin : “Sorry lah, Beb, tadi lagi ngantri toilet sambil bedemo.”

Ibu Malin : “Malin, is he you?” (Penuh terkejutan)

Malin : “Iya saya Malin, kamu siapa?”

Ibu Malin : “OMG! Malin, I'm your Mami! Masih ingatkah you?”

Penjual 3 : “Bu! Oy, Bu! cabenya jadi gak, Bu?” (Memanggil dengan kesal sembari melambaikan
tangan)

Ibu Malin : “Malin, kemana saja kamu, Nak? Sudah lama tidak kasih kabar. Instagram gak
difollback, facebook gak dicek, WA cuma diread. Hmmm ... Mami jadi bingung.”

Istri Malin : “Beb ... beb, itu siapa sih sokap banget!”

Ibu Malin : “Helloo ... I Maminya. You siapanya, tukang pijatnya? Hahaha ...”

Istri Malin : “Gua ini istrinya! Beb, ini beneran Ibu kamu? Aku gak mau ya, Beb, punya mertua
yang ... iiis alay banget!” (Mendesis)
Malin : “Gak mungkin lah sayang.”

Ibu Malin : “Why, idiot?”

Malin : “Jangan sembarangan kamu ya! Aku gak kenal you! Ibuku sudah mati!”

DUAAAR!

(Petir tiba-tiba menyambar)

Penjual 1 : “Eh kadal kadal!”

Penjual 3 : “Astaga! Cabeku meluncat!!!”

Penjual 2 : “Alamak! Pancinya jebol lagi!”

Istri Malin : “Apa buktinya kalo Malin ini anakmu, hah?”

Ibu Malin : “Buktinya adalah ... Malin, lihatlah luka bakar yang ada ditangan kirimu, itu bekas
luka bakar yang terkena alat pengusir bab*!”

Malin : “Halah! Pokoknya you bukan ibuku!” (Membentak)

Istri Malin : “Oke fine! Bagaimana kalau kita tes DNA?!”

Pak RT : “Sudah ... sudah! Sahabat saya yang super. Keluarga adalah harta paling berharga yang
kita miliki.”

Ibu Malin : “Betul, Pak!”


Pak RT : “Tentu, jangan pernah kita tidak mengakui keluarga yang kita miliki. Betul?”

Ibu Malin : “Betul, Pak rete!”

Ibu Malin : “Pak, I mau bertanya.”

Pak RT : “Pertanyaan yang simple.”

Ibu Malin : “Belum atuh, Pak.”

Ibu Malin : “Anak yang sudahku besarkan dari kecil sampe besar, sekarang sudah tidak kenal I
lagi, Pak. So ... Aing teh kudu kumaha, Pak?”

Pak RT : “Sekarang anak Ibu sudah tidak mengakui Ibu sebagai Ibunya, sekarang skor sementara
1-0. Jika Ibu tidak mengakui ia sebagai anak Ibu, skor menjadi 1-1 aku sayang ibu, 2-2 aku
sayang kamu.” (Bernyanyi)

Anak Pak RT : “Paaa, Papa. Hasil tes DNA nya udah keluar Papa!”

Pak RT : “Maaf Anda siapa?”

Anak Pak RT : “Aku dimana? Kamu siapa? Kok rame? Pak aku siapa? Aku jadi duta sampo lain?
Haaa??? Ahahaeeee, UPS!” (Berkata dengan letoy)

Malin : “Halah! Pokoknya u bukan Ibuku!”

Ibu Malin : “Malin, percayalah!”

Malin : “Bukan!”

DUAAAR!
(Petir menyambar dan bumi terguncang karena gempa)

Ibu Malin : “Aaaaaaa!” (Jatuh terduduk)

Ibu Malin : “Malin, dosa apa? Setan apa yang merasukimu Malin? You tak mengenal Mami?
Sekejam itu? Nyawamu tumbuh dari hembus nafasku malin. Wajahmu tampak dari belai
kasihku, darahmu mengalir karna asiku. Sudahlah, jika kau bukan anakku kembalilah dengan
istrimu. Tapi, jika memang kau benar anakku, kembalikanlah air asiku!”

Malin : “Hahahahahahaaaaa!”

Ibu Malin : “Malin, sudah habis kesabaran Ibu, Ibu hitung sampai tiga. Kalau you tak mengakui I
sebagai mami you, I kutuk you jadi batu!”

Malin : “Halah, hari ginui masih percaya sama kutukan, silakan aja!”

Ibu Malin : “Malin ... satu!”

Malin : “Mana mana?”

Ibu Malin : “Dua!”

Malin : “Haaaaa, kakiku, Beb!” (Merintih kesakitan dan jatuh terduduk)

Ibu Malin : “Tiga!”

DUAAAR!

Malin : “Apa ini? Kenapa ini?” (Tubuhnya mulai berubah jadi batu)
Istri Malin : “Suamiku-suamiku!” (Berteriak histeris)

Penjual 1 : “Cabeku-cabeku! Cabeku tidak laku!” (Kaget)

Ibu Malin : “MALINKU! MALINKU JADI BATU! MALIIIIIN! Ibukan cuma becanda.” (Menangis
sesegukan)

Ibu Malin : “Oh, Malin anakku ... maafkan Ibu, Nak. Ini tak sengaja. Untuk apa? Mana mungkin
seorang ibu tega menyakiti anaknya sendiri. Untuk apa? Perjuangan melahirkan engkau, ku
hapus dengan mengutukmu, Lin. Untuk apa ku membanting tulang, kalau tidak untukmu,
Malin? Untuk apa aku mempertaruhkan nyawa kalau untuk membenci kau Malin?”

Ibu Malin : “Malin ... kalau pada akhirnya, harus mengutuk anaknya sendiri, untuk apa Malin?
Itu bukan Ibu. Inilah Ibu. Ibu yang rela kakinya berdarah darah, naiki gunung hanya untuk
menatap wajahmu. Inilah Ibumu Malin! Ibu yang rela sabar menunggu sendirian selama
bertahun tahun, di tengah udara jahat, tamparan hujan, hanya untuk menunggu kedatanganmu
Malin. Dan kau malah tidak mengakuiku sebagai Ibu, Malin. Betapa malang nasibku ini ya
TUHAN!”

Ibu Malin : “Malin anaku ... maafkan Ibumu, Nak.”

Nenek Tua : “Begitulah kisah legenda si Malin Kandung. Sekian terima kasih.”

Anda mungkin juga menyukai