Inilah sebuah fragmen yang berjudul Nenek Pakande dan Lato’ Pakande. Sebuah kisah yang
diadaptasi dengan pengubahan seperlunya dari sebuah cerita rakyat Daerah
Wajo, Sulawesi Selatan yang berjudul asli Nenek Pakande.
Para pemain :
Selamat menyaksikan.....
Di sebuah perkampungan, hiduplah dua orang anak bersaudara yang ditinggal mati oleh
ibu kandungnya. Ayahnya pun menikah lagi dengan seorang janda beranak satu. Namun, ibu tiri
mereka ternyata hanya menginginkan harta ayah anak tirinya. Oleh karena itu, ibu tiri dan anak
kandungnya berlaku sangat kejam dan semena – mena kepadanya.
Suatu hari, seperti biasa, kedua anak bersaudara ini diperlakukan layaknya pembantu oleh ibu
tirinya. Mereka diperintahkan untuk bekerja tanpa mengenal belas kasihan. Sedangkan anak
kandungnya dibiarkan bersantai sambil terus mengumpat kedua saudara tirinya.
I Sitti : Ohh Indo, Malupuka….
Ibu Tiri : Cih, baruko bekerja begitu sudah peot ma ko! Maumu makan terus! Walaupun makan
ko, tubuh tetap kayak ikan kering, dodol! Sudah, teruskanmi saja pekerjaanmu!
Ibu Tiri : Janganmi lagi panggilka’ Indo. Bukanka’ Indo’mu. Indo’mu sudah lama mampus.
Ibu Tiri : (cemas) aduh, matima’! adami suamiku pulang, aduh... (makin cemas)
Setelah suaminya datang, Ibu Tiri kemudian menyambut suaminya dengan sok lembut
agar kejahatannya tidak diketahui oleh suaminya.
Ibu Tiri : Waalaikum salam... Wedede...adami suamiku pulang! Pasti cape’ki bapa’na. pergimi
makan baru istirahat!
Ayah : Terima kasih indo’na! sudahmaka’ tadi makan di sawah. Bagaimana dengan I Sitti dan La
Baco, sudahmi makan?
Ibu Tiri : Oh sudahmi Bapa’na! Sampai – sampai tidak ada tersisa apapun.
I Kambecce : Iya, ambo’. Sampai – sampai saya hanya dikasi lauk seadanya oleh Indo’. Tetapi,
tidak apa – apa ambo’, karena saya sudah menganggap mereka seperti saudara
kandungku sendiri.
Ayah : (bertanya kepada kedua anaknya) Nak, apa betul kalian sudah makan? Ambo’ lihat wajah
dan tubuh kalian masih kelihatan lemah!
Ibu Tiri : (menyela pembicaran) Oh...maksudnya Indo’. I Sitti tadi pasti salah ucap. Ya toh?
(memandang I Siti dengan penuh kemarahan)
Setelah suaminya pergi, Ibu tiri I Siti dan La Baco pun memarahi kedua anaknya dengan
kata – kata kasar.
Ibu Tiri : Kalian tidak boleh mengadu kepada ayah kalian! Kemudian, ingat, jangan panggil
saya petta di depan ayah kalian! Kalau tidak, he’ nyawa taruhannya.
Ibu Tiri : Asal kalian tahu saja, jika bukan karena harta, Ambo’mu yang kurus itu sudah lama
saya ceraikan!
I Kambecce : enak betul dimarahin! Rasain! Emang enak, cape’ deh... Sekarang, pergi kalian
dari sini! Pergi sana! (ketiga pemain meninggalkan pentas)
Ibu tiri dan suaminyapun datang. Ibu tiri mengfitnah kedua anak tirinya agar ayahnya
membenci anak kandungnya itu.
Ibu Tiri : Masa’ nabilangika’ ceba? Padahal, cantik sekali istrimu ini Bapa’na!
Ayah : Betul itu Indo’na? (istrinyapun mengangguk) Kurang ajar sekali itu anak! Bilang apai
lagi?
Ibu Tiri : Bilanngngi juga kalo itu ambo’nya, sudah kering, jelek, kurus, hidup lagi!
Ibu Tiri : Betulka’! ohh.. sembelihmi saja kedua anakmu yang kurang ajar itu, biar kumakan mi
nanti hatinya!
Ibu : Tidak apa – apa. Demi anakmu ini, Bapa’na! kan nanti kita akan dapat anak lagi. Apalagi
sudah ada I Kambecce! Anakmu masih ada dua bapa’na! Dua anak cukup,
bapa’na!
Ayah : Baiklah, kalu begitu saya pergi dulu mengambil parang! (pergi mengambil parang)
Ibu Tiri : Ha...ha...ha, bodoh betul suamiku yang jelek itu! Sebentar lagi, saya akan menjadi
pewaris tunggal harta suamiku, ha...ha...ha...! (meninggalkan pentas)
I Siti dan La Baco akhirnya dibawa ke tengah hutan untuk disembelih. Walaupun
sebenarnya, ayahnya tidak tega melakukan hal itu.
Ayah : Maafkan Ambo’nak. Terpaksa ambo’ akan menyembelihmu, demi adikmu kelak!
Ayah : Kalau begitu, tutup mata kalian! (Keduanyapun menutup mata) Sekali lagi, maafkan
Ambo’, nak!
Ayahnyapun sudah bersiap memenggal kepala kedua anak kandungnya. Tetapi, ia tak
kuasa, dan membuang pedang itu.
Ayah : Maafkan Ambo’ nak, Ambo’ tidak kuasa! Kalian adalah anak Ambo’! kalau begitu,
buanglah diri kalian, dan jangan lagi kembali ke rumah! Pergi kalian! (kedua
anaknya pergi)
Setelah beberapa hari menyusuri hutan, kedua kakak – beradik itu menemukan sebuah
gubuk di tengah hutan untuk beristirahat.
Keduanyapun menuju ke gubuk itu yang tanpa sepengetahuannya adalah milik Nenek
Pakande, orang yang gemar makan daging manusia. Di gubuk itu, keduanya makan dengan
lahap dan rakus. Tiba- tiba Nenek Pakande datang dari perburuan.
Nenek : Sepertinya ada bau manusia disini... hi...hi...hi...sudah lama saya tidak makan manusia,
hi...hi...hi... Berarti saya akan pesta besar malam ini, hi...hi...hi...
Nenek Pakandepun memasuki rumahnya dan melihat dua anak bersaudara sedang
memakan makanannya.
Nenek : Ternyata betul ada manusia di sini. Hi...hi...hi..., walaupun ada yang sedikit kurus, tapi
tidak apa – apalah!
Nenek : Kalau begitu makanlah yang banyak cucu – cucuku! Hi...hi...hi..., nantipi kumakanko,
karena Nenek Pakande lagi diet. Jangan sampai wajah nenek yang cantik ini dan
tubuh nenek yang seksi ini berubah jelek gara – gara kegemukan, hi...hi...hi....
Kalau wajah nenek jelek, nanti Lato’ Pakande selingkuh dengan janda kembang,
hi...hi...hi..., nenek takk rela dimadu
I Sitti : Tongeng, Ndi’. Tidak apa – apaji! Mungkin baru narasakan puber! Mengertimako saja,
ndi’!
Nenek : He! Bilang apako. Mukira ka tidak kudengar’i? Tunggumi kalau datang ki suamiku,
kumakan hidup – hidupko!
La Baco : We de..de, ada tonji pale yang suka – suka’i nenek! Kukira masih perawanki’ nenek.
Ternyata ada tommi suaminya, sungguh terlalu,!!!
Nenek : Mukirami tadi tidak laku-lakuka’? nde’ siyolo... Banyakji yang naksir sama saya, tapi
saya tolak i. karena saya tohh orangnya setia sama lato.
Tiba – tiba Lato’ Pakande, suami Nenek Pakande datang. Dia sangat kaget melihat dua
orang manusia di rumahnya.
Nenek : Ampun – ampun!!! Kenapa memangko pergi cari ana’ dara, nah adami istrimu...
Lato’ : Berhentimo sayang... (merayu) Wedede...ndak malu ko dilihat sama penonton, ampun
ma… ampun ma…
Nenek : tapi awasko, kalau sampai pergiko lagi, kukutukko jadi panning!
Lato’ : Iya, tidakmi lagi... Biar tidak kau kutu’ka tetap tonji bau panning ketiakku! Mauko
ciummi, ini... (mengangkat lengannya)
Nenek : Ha, berhentimo! dapatka’ manusia lato’... Lato bagaimana kalo buatki’ sate manusia,
Lato’ : OK, ha...ha...ha... Tapi janganko lupa beli gigi palsu, nenek! Nanti tidak bisako kunyah’i!
Lato’ : Jangan mako diet. Biar tidak diet ko tetap tonjiko jelek. Makanmi sekarang lapar sekali
ma!!!
Nenek : Bilang apako? nantipi mumakan’i! terkenako nanti tekanan darah tinggi!
Nenek : Iya pale’, tapi kalau naik’i tekanan darah tinggi mu, tidak kuurus mako. Dan kalau mati
ko Tidak ku kubur mako’!!!
Lato’ : Aih…. Nggak ku urus itu! Ah, mauma’ makan’i sekarang, lapar sekalima’ e. (Mendekati I
Sitti dan I Becce)
I Sitti : Tolong...tolong...jangan kasian makanka’! Tolong...
Nenek : Kalian akan tetap saya makan, mendekatlah kemari cucuku, hi...hi...hi...!
La Baco : Ampun, jangan makan kami kasian... tolong, tolong! (tiba – tiba I Sitti melihat sebuah
botol yang disumbat)
Nenek : Jangan sentuh botol itu. Itu tempat nyawaku dan si lato’! Ampun...ampun...jangan
sentuh botol itu! Kami berjanji tidak akan memakan kalian, suwer!!!
Lato’ :Eh, ampun....ampun.... ka nak, bercanda ja tadi mu makan ko!! Jangan ko sentuh itu botol,
ampun....ampun.... nak
Setelah mengetahui bahwa botol itu adalah tempat nyawa Nenek Pakande dan Lato’
Pakande, I Sitti segera membuka penyumbat botol itu. Tiba – tiba Nenek Pakande dan Lato’
Pakande menggelepar – gelepar dan sesak napas. Akhirnya, Nenek Pakande dan Lato’ Pakande
meninggal dunia.
Setelah kematian Nenek Pakande dan Lato’ Pakande, kedua kakak beradik itu
mengambil harta pusaka Nenek Pakande. Mereka telah menjadi saudagar kaya dan berjualan
pakaian di pasar. 10 tahun berlalu, ketika mereka sedang berjualan di pasar, mereka melihat Ibu
Tirinya yang telah berubah menjadi tua, mengemis di pasar itu.
Kedua kakak beradik itu menghampiri Ibu Tirinya. Ibu tirinya pun malu dan merasa
bersalah setelah melihat kedua anak tirinya.
I Sitti : Tidak salah orangka’. Meskipun indo’ bukan ibu kandungku, tetapi, kami tetap
menganggap Indo’ seperti ibu kandung kami.
Ibu Tiri : Betapa mulia hati kalian, nak. Sampai – sampai kalian masih mengakuiku sebagai
Indo’ kalian. Padahal, Indo’ telah menghasut ayahmu untuk membunuh kalian.
La Baco : Lupakanlah semua masalah itu. Itu hanya masa lalu. Tetapi, mengapa keadaan Indo’
seperti ini, dan....di mana ambo’ serta saudara tiriku?
Ibu Tiri : Maafkan Indo’ nak! Setelah kepergian kalian, ayahmu sangat menyesali perbuatannya.
Dia kemudian jatuh sakit. Setahun kemudian, kami mengalami musibah, nak...
rumah kita terbakar, semuanya hangus dilalap api. Dan ambo’mu...dan
ambo’mu...(tidak mampu menahan kesedihannya)
Ibu Tiri : Ayah dan saudaramu meninggal dunia dilalap api, nak! sekarang, Indo’ hidup sebatang
kara dan bekerja sebagai pengemis, nak!
I Sitti : Innalillahi wa inna ilaihi rajiu’n. Ambo’ku telah meninggal dunia? Maafkan aku Indo’!
La Baco : Kalau begitu, bagaimana kalau Indo’ tinggal di rumah kami? Kami hanya tinggal
berdua!
Ibu Tiri : Terima kasih, nak! Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian! Terima kasih,
nak!
Akhinya, I Sitti dan I Becce tinggal bersama ibu tirinya. Mereka hidup rukun dan damai, sampai
ajal menjemput.
Pesan moral dari drama ini adalah, yakinlah bahwa kebaikan akan menang, dan
belajarlah untuk memaafkan kesalahan orang lain, walaupun kesalahan itu sangat
menyakitkan..
THE END