Anda di halaman 1dari 24

TEAM PRODUKSI

1. Pimpinan Produksi : Chrysanta


2. Sekretaris : Juju Juhariah
3. Bendahara : Revanisya
4. Humas : Christin
5. Publikasi : Adel Yemima
6. Dokumentasi : Refka, Hanif
7. Konsumsi : Salsabila Novianti

TEAM KREATIF
1. Sutradara : Dina Aurellia Fairunnisa
2. Asisten Sutradara : Amar Agy
3. Make up dan Busana : Rury Amandasari, Haya Zhahirah
4. Artistik Properti : Annisa Putri
5. Artistik Setting : Nadhiva Amelia
6. Tata Musik : Dian Ramadhan, Ferdinan Putra
7. Tata Cahaya : Refka
8. Stage Manager :

TOKOH PEMAIN
Bapak : Rama
Ibu :
Lena : Nanda
Tamu I : Salsa
Tamu II : Putra
LENA TAK PULANG
Karya : Muram Batubara

SATU
LAMPU MENYALA DALAM SEBUAH RUMAH. SOFA BESAR
MENGHADAP TV. MEJA MAKAN, KULKAS, PINTU KAMAR MANDI, PINTU
DAPUR, PINTU KAMAR MANDI, PINTU KELUAR MASUK RUMAH. PAK LENA
DUDUK MEMANDANG TV. BU LENA KELUAR DARI KAMAR MANDI.

Ibu : (Keluar dari kamar mandi sambal berjalan ke meja makan) “Lena
sudah pulang, Pak?”
Bapak : (Duduk memandang TV) “Belum.”
Ibu : (Duduk di kursi meja makan) “Bagaimana ini? Sudah tiga hari ia
tidak pulang.”
Bapak : “Nanti juga pulang.”
Ibu : “Sudah tiga hari.”
Bapak : “Nanti juga pulang.”
Ibu : “Iya, tapi belum juga pulang, padahal sudah tiga hari ia itu kan
perempuan.”
Bapak : (Tetap memandang tv) “Anak kita.”
Ibu : “Ya, anak kita, tapi ia perempuan dan belum pulang tiga hari.”
Bapak : “Nanti juga pulang sendiri Ketika bekal larinya telah habis.”
Ibu : “Tidak segampang itu, Pak, ia itu perempuan!”
Bapak : “Jika ia memang perempuan, ia akan pulang.”
Ibu : “Tapi belum… (Menghentikan kalimat, memperhatikan pintu
keluar rumah) Sepertinya ada yang datang, pasti itu Lena, anak
kita, pulang juga ia setelah tiga hari tidak pulang.”
Bapak : “Bukan, itu pasti temannya dating mencari.”
Ibu : “Pasti Lena.”
Bapak : “Berani taruhan?”
Ibu : “Taruhan apa?”
Bapak : “Jika bukan Lena, lebaran tahun ini kita pulang ke rumah orang
tuaku.”
Ibu : “Tapi tahun kemarin kan sudah.”
Bapak : “Itu karena kau kalah taruhan.”
Ibu : “Tidak bisa, bayangkan dalam lima tahun kita selalu pulang ke
rumah orang tuamu.”
Bapak : “Berani taruhan tidak?”
Ibu : (Bingung) “Em…”
Bapak : “Dengar ketukan pintu itu semakin keras, Bukakan lah!”
Ibu : “Baik.”

BU LENA MEMBUKA PINTU. KECEWA.


Tamu I : “Permisi Tante, Lena nya ada?”
Ibu : “Oh tidak ada, Lenanya belum pulang.”
Tamu I : “Belum pulang? Kalau boleh tau Lenanya pergi kemana ya Tante?”
Ibu : “Tante juga tidak tahu, kamu tahu tidak ya?”
Tamu I : “Ya kalau saya tahu, saya tidak mungkin kesini dong Tante.”
Ibu : “Iya juga ya. Ehm, kamu ini teman sekolah nya ya?”
Tamu I : “Oh bukan Tante saya teman…..”
Bapak : (Memotong pembicaraan) “Suruh duduk dulu, hanya tukang pos
yang diterima didepan pintu.”
Tamu I : “Terima kasih Om, saya harus buru-buru pergi.”
Ibu : “Jika buru-buru, kenapa mencari Lena?”
Tamu I : “Ya karna Lena lah saya harus buru-buru.”
Bapak : “Jangan buru-buru, masuk dulu.”
Ibu : “Iya masuk dulu!”
Tamu I : “Sepertinya tidak bisa Tante, saya permisi dulu ya Tante. Terima
kasih.”
BU LENA MENUTUP PINTU. DUDUK DI RUANG TV.
Bapak : “Siapa namanya?”
Ibu : “Siapa?”
Bapak : “Yang tadi.”
Ibu : “Teman Lena?”
Bapak : “Iya teman Lena yang tadi, siapa namanya?’
Ibu : “Berarti tahun ini kita pulang ke rumah orang tuamu lagi?”
Bapak : “Jelas! Siapa nama teman Lena tadi?’
Ibu : “Sudahlah aku pulang ke rumah orang tuaku saja. Kasian ibu sudah
semakin tua, dia ingin melihat kita sekeluarga kan?”
Bapak : “Tidak bisa! Kesepakatan telah tercipta, tidak bisa diubah. Jika
terus dirubah, bagaimana menjalankan kesepakatan itu dan untuk
apa membuat kesepakatan jika tidak ada kepastian untuk
dilakukan. Siapa nama teman Lena tadi?”
Ibu : “Engga tahu.”
Bapak : “Loh.”
Ibu : “Kok loh?’
Bapak : “Ya, loh, bagaimana mungkin kamu tidak menanyakannnya?”
Ibu : “Kenapa bukan kamu?”
Bapak : “Aku kan sedang menonton tv dan aku tidak berhadapan langsung
dengannya.”

TERDENGAR KETUKAN PINTU.


Bapak : “Ada yang ketuk pintu, bukakan lah!”
Ibu : “Bagaimana jika Lena?”
Bapak : “Ya, tetap dibukakan pintunya kan?”
Ibu : “Bukan itu. Jika bukan Lena, maka perjanjian tadi batal.”
Bapak : “Bukakan lah pintu itu, kasihan tamunya.”
Ibu : “Buat satu kesepakatan baru dulu.”

TERDENGAR KETUKAN PINTU


Ibu : (Teriak ke arah pintu) “Sebentar ya, lagi menunggu kesepakatan
nih, sabar ya.”
Bapak : “Ya sudah, buka disana.”
Ibu : “Kesepakatan?”
Bapak : “Yah!

PINTU TERBUKA. BU LENA PUAS. PERBINCANGAN DIDEPAN PINTU


RUMAH.
Tamu II : “Kesepakatan apa Tante?”
Ibu : “Ah, tidak. Kamu siapa dan ada apa?”
Tamu II : “Saya temannya Lena, Tante. Kebetulan saya sedang main di
daerah sini.”
Ibu : “Terus?”
Tamu II : “Ya, terus saya mampir Tante. Karena kebetulan saya sedang main
di daerah sini. Jadi saya mampir ke sini, Tante.”
Ibu : “Terus?”
Tamu II : “Ya, karena itu Tante, hm, Lenanya ada?”
Ibu : “Jadi karena kebetulan main di daerah sini, kamu mampir dan
mencari Lena?”
Tamu II : “Benar itu Tante.”
Ibu : “Karena kebetulan?”
Tamu II : “Sebenarnya bukan Tante.”
Ibu : “Yang benar yang mana.”
Tamu II : “Saya memang mencari Lena, Tante.”
Ibu : “Karena main di daerah sini?”
Tamu II : “Tidak Tante, saya memang sengaja datang kemari untuk mencari
Lena, Tante.”
Bapak : (Memotong) “Suruh duduk dulu, hanya tukang pos yang diterima
di depan pintu.”
Ibu : “Yasudah kamu silahkan masuk dulu.”

TAMU II MASUK DAN DUDUK DI RUANG TELEVISI. BU LENA MASUK


DAPUR
Tamu II : “Om boleh duduk?”
Bapak : “Ohiya silahkan.”
Tamu II : “Lagi nonton berita ya, Om?
Bapak : “Tidak, saya cuma sedang melihat tanggapan wakil rakyat tentang
bencana yang tidak berkesudahan ini.”
Tamu II : “Itukan berita namanya, Om.”
Bapak : “Itu bukan berita, itu opini. Opini itu pendapat, kebenarannya
masih belum bisa diandalkan. Namanya berita harus
mengutamakan kebenaran, kenyataan.”
Tamu II : “Tapi itu kan acara berita, Om.”
Bapak : “Memang, beritanya, wakil rakyat sedang memberikan opini.”
Tamu II : “Artinya sedang nonton berita, Om.”
Bapak : “Tidak, saya sedang melihat opini. Ingat, opini!”
Tamu II : “Bedanya apa, Om?”
Bapak : “Opini itu tidak murni kenyataan, namanya juga pendapat, sedang
berita itu nyata, kenyataan tadi. Begini, kucing di tabrak mobil, itu
berita.”
Tamu II : “Kalau opini om?”
Bapak : “Mengapa kucing itu mau ditabrak?”
Tamu II : “Mungkin saja ia tidak melihat mobil yang laju, tiba-tiba saja ia
sudah bersimbah darah.”
Bapak : “Itu dia oponi.”
Tamu II : “Opini?”
Bapak : “Iya, itu opini kamu. Liat omongan wakil rakyat itu, semuanya
serba mungkin kan?”
Tamu II : “Jadi yang serba mungkin itu bukan berita?”
Bapak : “Mungkin kok berita? Mungkin itu kan belum jelas, sedang berita
itu kan sudah jelas dan pasti.”
Tamu II : “Tapia apa yang pasti dizaman sekarang Om?”
Bapak : “Ya, opini.”

BU LENA KELUAR DAPUR MEMBAWA THE DALAM GELAS


MENUNJU KULKAS. MEMBUKANYA.
Tamu II : “Tidak usah yang dingin Tante, saya sedang batuk.”
Ibu : “Mau pudding?”
Tamu II : “Boleh, Tante.”
Ibu : “Tapi dingin ?”
Tamu II : “Tidak apa-apa Tante, kan cuma pudding?”

BU LENA KELUAR RUANG TV DAN MELETAKKAN SAJIAN


KEMUDIAN KEMBALI MENUJU DAPUR.
Bapak : “Kamu teman nya Lena?”
Tamu II : “Benar itu , Om?”
Bapak : “Teman darimana?
Tamu II : “Ya teman saja, Om, tidak dari mana-mana.”
Bapak : “Yang daei sekolahan, les biola, les balet, renang atau malah dari
kelas mengaji?”
Tamu II : “Untuk yang terakhir tampaknya bukan, Om.”
Bapak : “Mengapa? Apa karna sudah pintar mengaji?”
Tamu II : “Tidak Om saya non muslim.”
Bapak : “Oh begitu, terus dari mana?”
Tamu II : “Saya teman Lena dari teman nongkrong Om.”
Bapak : “Seingat saya Lena tidak mengambil les nongkrong.”
Tamu II : “Om, lucu juga. Tempat nongkrong itu tempat kita
kumpul-kumpul, ya, istilah kerennya berbincang atau berdiskusi.”
Bapak : “Oh begitu, tapi yang nongkrong itukan biasanya berasal dari
berbagai tempat tertentu. Nah, kamu itu selain teman nongkrong
Lena, teman dari mana?”
Tamu II : “Ya tidak ada, Om. Saya Cuma teman Lena di tempat nongkrong
saja.”
Bapak : “Terlalu tipis, pertemanan itu belum begitu kuat. Hm, Lalu maksud
kamu mencari Lena untuk apa?”
Tamu II : “Ya itu dia Om, saya ingin tahu apa yang terjadi dengan Lena.
Sudah tiga hari ia tidak muncul di tongkrongan Om.”
Bapak : “Memangnya mengapa kalau tidak muncul dalam tiga hari?”
Tamu II : “Ehm.. Dia bawa sesuatu yang penting Om. Sesuatu yang sangat
saya banggakan.”
Bapak : “Oh begitu, penting sekali?”
Tamu II : “Sangat penting malah Om.”
Bapak : “Lena mengambilnya dari kamu?”
Tamu II : “Begitulah Om, saya malah tidak tahu bagaimana bersikap jika
tidak ada kabar dari Lena.”
Bapak : “Banyakkah?”
Tamu II : “Ya kalau besar itu di anggap banyak, ya, banyak Om.”
Bapak : “Begini saja, kamu pulang dulu, besok kamu kembali lagi. Yang
kamu punya itu pasti akan kembali.”
Tamu II : “Tapi Lenanya gimana Om?”
Bapak : “Itu urusan saya.”
Tamu II : “Kalau memang begitu, tentunya dengan adanya kepastian dari
Om, saya menjadi yakin untuk datang besok.”
Bapak : “Ya, ya pulanglah.”

TAMU II PERGI, BU LENA MASUK.


Bapak : “Anakmu membawa lari uang teman nya?”
Ibu : “Bagaimana bisa?”
Bapak : “Temannya yang datang tadi, yang terlalu banyak bicara itu,
melaporkan apa yang telah dilakukan oleh anakmu.”
Ibu : “Anak kita.”
Bapak : “Ya, anak kita, pemcuri.”
Ibu : “Belum tentu benar, jangan terlalu banyak percaya dengan orang
yang terlalu banyak bicara.”
Bapak : “Tapi bagaimana bisa kita percaya dengan orang yang sedikit
bicara, dari mana kita tahu isi kepalanya jika tidak di
keluarkannya.”
Ibu : “Terlalu banyak bicara malah menghilangkan kata-kata kunci, kata
yang seharusnya menjadi andalan.”
Bapak : “Tanpa bicara, kata kunci itu malah tidak keluar, bagaimana bisa
ia tampak?”
Ibu : “Tetapi mengapa kau begitu percaya dengan anak ingusan yang
terlalu banyak bicara itu?”
Bapak : “Karena tampaknya benar, sudah tiga hari Lena pun tidak muncul
ditempat biasa mereka bertemu.”
Ibu : “Bagaimana jika benar?”
Bapak : “Kita harus menggantinya, tidak bisa tidak, Lena kan anak kita.”
Ibu : “Jika tidak benar, bagaimana?”
Bapak : “Mau taruhan?” LAMPU PADAM

DUA
LAMPU MENYALA. DALAM SEBUAH RUMAH. SOFA BESAR
MENGHADAP TV. MEJA MAKAN. KULKAS. PINTU KAMAR MANDI. PINTU
DAPUR. PINTU KAMAR TIDUR. PINTU KELUAR MASUK RUMAH. PAK LENA
DUDUK MEMANDANG TV. BU LENA KELUAR DARI KAMAR MANDI.
Ibu : “Lena sudah pulang, pak?”
Bapak : “Belum.”
Ibu : (Duduk di kursi meja makan) “Bagaimana ini? Sudah empat hari ia
tak pulang.”
Bapak : “Nanti juga pulang.”
Ibu : “Kemarin kau jawab seperti itu juga, tidak kemarin saja,
kemarinnya lagi dan kemarin nya lagi juga.”
Bapak : “Terus harus gimana? Berteriak, mengabarkan pada semua orang
bahwa anak kita yang perempuan tidak pulang dalam empat hari
ini. Bagaimana kata dunia? Apa respon mereka pada kita? Orang
tua yang tidak bertanggung jawab?”
Ibu : “Tampaknya memang kita tidak bertanggung jawab.”
Bapak : “Ko bisa?”
Ibu : “Lihatlah sendiri apa yang kita telah lakukan pada anak kita?
Empat hari, bayangkan empat hari anak kita tidak pulang, tidak ada
usaha kita untuk mencarinya.”
Bapak : “Menunggu juga mencari.”
Ibu : “Menunggu itu pasrah.”
Bapak : “Tidak sama, pasrah itu tanpa berbuat. Menunggu itu kan berbuat,
sama seperti berdoa.”
Ibu : “Apa yang dilakukan dalam menunggu? Diam memandang tv atau
sibuk berbincang tanpa tujuan?”
Bapak : “Jika kita kekantor polisi dan melaporkan kehilangan anak, terus
apa yang kita lakukan? Menunggu kan? Menunggu kabar dari pak
polisi itu. Dan dalam menunggu kabar dari pak polisi, kita juga
menonton tv atau berbincang kemana pun yang kita suka kan?
Sama saja.
Ibu : “Beda.”
Bapak : “Apanya yang beda? Jika kita memasang iklan tentang kehilangan,
sama juga seperti melapor ke polisi. Jika kita mencari sendiri, sama
juga dengan menunggu kabar kan? Kita mencari itu tanpa tujuan,
kita tidak tahu dimana anak kita berada. Jadi sama juga dengan nol.
Kita tetap juga menunggu. Daripada kita memutari kota, tentunya
habis energy, toh lebih baik. Semuanya ini berarti menunggu,
mencari itu juga menunggu. Menunggu juga mencari, jelas!”
Ibu : “Pusing aku, jika kita tahu dimana Lena berada kan gampang, bisa
kita jemput.
Bapak : “Itu dia kata yang tepat. Menjemput. Menjemput itu jelas beda
denngan mencari atau juga menunggu.
Ibu : “Tapi kita tak tahu dimana Lena berada?”
Bapak : “Yahh harus dicari.”
Ibu : “Dengan?”
Bapak : Ya menunggu.”’

TERDENGAR KETUKAN PINTU


Bapak : “Bagaimana ini, ini pasti teman Lena yang banyak bicara kemarin
itu.”
Ibu : “Yang uangnya Lena curi itu?”
Bapak : “Bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan?”
Ibu : “Tapi kita belum ketemu Lena, bisa aja berita itu tidak benar.”
Ibu : “Jika belum benar, jangan dibayar dulu.”
Bapak : “Tapi kita belum tahu mana yang benar. Kenapa Lena belum
pulang juga.”
Ibu : “Bagaimana jika dia datang dengan polisi.”

TERDENGAR KETUKAN PINTU


Bapak : “Bukakanlah pintu itu!”
Ibu : “Kau saja.”
Bapak : “Kau kan perempuan.”
Ibu : “Kau kan laki-laki.”
Bapak : “Perempuan duluan, atas nama kesopanan.”

TERDENGAR KETUKAN PINTU


Ibu : (Teriak kea rah pintu masuk) “Sebentar ya.”
Bapak : “Bukalah pintunya.” (Berlari kecil menuju depan tv, seakan-akan
tak terjadi sesuatu)

PINTU TERBUK. BU LENA BINGUNG.


Tamu I : “Maaf Tante, Lenanya sudah pulang? Belum ya? Ya sudahlah,
nanti saya datang lagi. Terima kasih Tante. Tolong nanti kalau
Lena pulang, katakana saja saya mencari dan akan kembali lagi.
Permisi Tante. (Pergi menghilang)
Bapak : “Suruh duduk dulu, hanya tukang pos yang diterima di depan
pintu.”
Ibu : “Sudah pulang (Menutup pintu dan berjalan menuju ruang tv)
tamunya sudah pulang.”
Bapak : “Tukang pos?”
Ibu : “Bukan, sepertinya teman nya Lena.”
Bapak : “Yang kemarin.”
Ibu : “Iya.”
Bapak : “Terus dia menagih uangnya? Apa yang kau bilang hingga dia
langsung pulang.”
Ibu : “Aku tidak bilang apa-apa dan dia bukan yang uangnya dicuri
Lena.”
Bapak : “Jadi teman yang mana?
Ibu : “Yang pertama datang, yang lupa kutanyakan namanya.”
Bapak : “Sudah tau kau namanya?”
Ibu : “Belum, dia terlalu buru-buru. Belum sempat aku bicara dia sudah
pergi.”
Bapak : “Tampaknya dia memang selalu buru-buru. Tunggu dulu, siapa
nama teman Lena yang bicara itu?”
Ibu : “Kenapa kau tanyakan aku, bukan kah kau yang banyak bicara
dengannya? Seharusnya kau tanyakan namanya.”
Bapak : “Itu dia, dia terlalu berlama-lama sampai aku lupa menanyakan
namanya, padahal aku sudah berhadapan langsung dengannya.”
Ibu : “Sudahlah. Setidaknya bukan dia yang datang jadi kita tidak perlu
risau lagi.”
Bapak : “Untuk sementara.”
Ibu : “Walau sementara, setidaknya tidak risau.” LAMPU PADAM
TIGA
LAMPU MENYALA. DALAM SEBUAH RUMAH. SOFA BESAR
MENGHADAP TV. MEJA MAKAN. KULKAS. PINTU KAMAR MANDI. PINTU
DAPUR. PINTU KAMAR TIDUR. PINTU KELUAR MASUK RUMAH. BU LENA
DUDUK MEMANDANG TV. PAK LENA KELUAR DARI KAMAR MANDI.
Bapak : “Sudah hampir sore, hari keempat sejak tidak pulang, apakah Lena
tidak akan pulang lagi?”
Ibu : “Belum lima hari.”
Bapak : “Hampir lima hari, lihatlah sudah mendekati senja. Jika matahari
terbenam dan terbit kagi, tepat lima hari Lena tak pulang. Apakah
bekal larinya masih cukup?”
Ibu : “Mengapa kau khawatir?”
Bapak : (Menuju pintu keluar masuk rumah, membukanya, menengok
keluar dan menutupnya kembali) “Belum pulang juga.”

TERDENGAR KETUKAN PINTU. PAK LENA LANGSUNG MEMBUKA.


TERSENYUM SENANG.
Bapak : “Pulang juga rupanya kau Lena.”
Lena : “Lapar (Berjalan menuju dapur, keluar lagi sambil membawa
piring makanan, makan dimeja makan.)
Ibu : (Mendekat dan langsung duduk di samping Lena) “Makanlah yang
banyak, tentunya kau lapar.”
Bapak : (Mendekat dan langsung duduk di samping Lena) “Dari mana
saja?”
Ibu : “Jangan ditanyakan dulu, biar dia makan dengan nyaman, sudah
lima hari dia diluar, banyak bertemu orang tentunya, lebih banyak
dari kawannya yang datang. (Berjalan menuju kulkas dan
mengeluarkan botol air dingin, menuangkan ke gelas Lena) Dari
mana saja kau Lena?”
Bapak : “Kenapa kau tanyakan?”
Lena : “Dari rumah teman.” (Terus makan)
Bapak : “Teman yang mana? Yang dari sekolahan, les biola, les balet,
renang, kelas mengaji, atau malah teman nongkrong?”
Ibu : “Iya, yang mana?”
Lena : “Teman lain.”
Bapak : “Masih ada teman mu yang lain rupanya.”
Ibu : “Teman yang mana?”
Lena : “Kenapa terlalu mengurusi sih? Bukannya selama ini aku bebas,
seperti yang kalian inginkan. Mengapa kalian bertanya ketika aku
menghilang, mengapa tidak mencari? Lalu, apakah kalian pernah
menanyakan aku sekolah atau tidak? Dan, untuk apa les yang
mahal-mahal itu, bukan untukku kan? Untuk kalian yang gila
gengsi tanpa memikirkan kebutuhanku kan? (Berdiri, membawa
makanan, duduk didepan tv sambil terus makan)
Bapak : (Berbisik) “Bagaimana ini?”
Ibu : (Berbisik pula) “Bagaimana apanya?”
Bapak : “Dia terlalu tertutup, kita harus bisa membukanya. Mengapa kita
yang disalahkan? Kita kan hanya menanyakan temannya saja.
(Mendekati Lena) Enak makananya?”
Lena : “Biasa saja.”
Ibu : (Mendekati Lena) “Tentunya enak, Ibu sengaja masak untukmu.”
Lena : “Sejak kapan masak khusus? (Berjalan menuju dapur, masuk
kedalamnya)
Ibu : (Berbisik) “Tidak berhasil. Tampaknya dia memang marah pada
kita.”
Bapak : (Berbisik pula) “Kita harus lebih berusaha lagi.”
LENA KELUAR DARI DAPUR TANPA MEMBAWA SEBARANG PUN. BU
LENA DAN PAK LENA MENDEKAT, PERSIS MENGHALANGI JALAN
LENA YANG MASIH BERADA DI DEPAN PINTU.
Bapak : “Sudah selesai makan nya?”
Ibu : “Enak kan? Pasti kenyang.”
Lena : (Menghindar dan berjalan menuju kamar tidur) “Mau tidur.”
Bapak : (Mengejar hingga depan pintu kamar tidur) “Belum malam.”
Ibu : (Ikut mengejar) “Iya, belum malam, mari kita berbincang dulu.”

LENA MASUK KAMAR. PINTU TERTUTUP. BU LENA DAN PAK LENA


DUDUK DI KURSI MEJA MAKAN.
Ibu : “Apa penyebab ia jadi begitu dingin?”
Bapak : “Mungkin kita terlalu kaku.”
Ibu : “Kau yang kaku.”
Bapak : “Mungkin kau juga.”

TERDENGAR KETUKAN PINTU.


Bapak : “Pasti temannya yang banyak bicara itu, yang uangnya di curi
Lena, bagaimana ini. Kita belum bicara itu tentang Lena?”
Ibu : “Mungkin teman nya yang lain.”

TERDENGAR KETUKAN PINTU.


Ibu : “Kau saja yang buka, terserah itu melangkahi kesopanan.
Bapak : (Malas membuka pintu, hingga sampai depan pintu, menoleh ke bu
Lena dengan bingung) “Sebaiknnya kau saja.”
TERDENGAR KETUKAN PINTU. PAK LENA TERKEJUT DAN
LANGSUNG MEMBUKA PINTU. TAMBAH TERKEJUT MELIHAT
TAMU YANG DATANG.
Tamu II : “Terkejut Om.”
Bapak : (Gagap) “Tidak, tidak. Ayo masuklah.

BU LENA MENYINGKIR KE DAPUR. PAK LENA DAN TAMU II DUDUK


MENGHADAP TV.
Tamu II : “Saya tidak kebetulan main ke daerah sini, Om. Saya
datang kesini seperti permintaan kemarin Om. Jadi rasanya tidak
perlu lagi.”
Bapak : (Memotong) “Basa-basi itu terkadang perlu. Ayolah berbasa-basi.”
Ibu : (Muncul membawa segelas minuman hangat) “Iya, kenapa harus
langsung to the point, jika kita bisa berbahasa-basi terlebih dahulu.
Tamu II : “Wah, tampaknya akan ada lampu hijau nih.”
Bapak nya : “Tidak hanya boleh langsung jalan, ini jalan tol jadi bisa sekencang
apa juga.”
Tamu II : “Boleh ngebut?”
Bapak : “Oh tentu, asal pakai pengaman biar tidak kecelakaan.”
Tamu II : (Tertawa) “Ini dia calom mertua yang paling hebat.”
Ibu : “Mertua?”
Bapak : “Ada apa dengan mertua?”
Tamu II : (Bingung) “Katanya boleh langsung ngebut?”
Bapak : (Bingung juga) “Tunggu dulu. Begini saja, Kita buang dulu basa-
basi. Apa maksudnya ini? Mertua dan ngebut, hubungannya apa?”
Tamu II : “Loh, bukankah sudah jelas Om? Ini soal sesuatu yang saya miliki
itu, yang dibawa Lena.”
Ibu : “Ya terus?”
Tamu II :”Bukankah hari ini akan saya termukan lagi, seperti janji Om
kemarin.”
Ibu : “Uang kan?”
Bapak : “Ya, berapa yang dicuri dari kamu?”
Ibu : “Masalah besarnya tidak perlu risau, kami akan bayarkan
semuanya, bagaimanapun Lena itu anak kami, jadi tidak mungkin
kami membiarkannnya mencuri uang kamu.”
Bapak : “Ya, benar itu.”
Ibu : “Tunggu dulu, biar semuanya jelas (Berjalan menuju kamar Lena)
Lena! Keluar kamu, Nak.”
Tamu II : “Tunggu dulu, Tante….”
Ibu : “Tenang, biar jelas saja.”
Tamu II : “Tapi….”
Bapak : “Tenang saja.”
Ibu : “Lena!”
Lena : (Keluar dengan muka suntuk, bertambah suntuk begitu melihat
Tamu II) Ada apa?”
Ibu : “Ayo, ada yang harus kita selesaikan.” (Menggiring Lena kedepan
tv)
Tamu II : (Tersenyum manis) “Hai Len.”
Lena : (Tersenyum masam) “Ada apa?”
Bapak : “Tenang, santai semuanya. Begini, sebaiknya kita cari tahu yang
sebenarnya. Bu, kau saja yang bicara.”
Ibu : “Lena, teman kamu ini kemarin sudah datang, tapi karena kamu
belum pulang, kami suruh dia datang sekarang. Nah, dia ini datang
untuk meminta sesuatu yang kamu bawa, begutulah.”
Bapak : “Ya, dengan kata lain ia datang untuk menagih sesuatu yang telah
kau curi. Nah, berapa jumlahnya, Nak, berapa yang kau ambil
darinya?”
Tamu II : (Panik) “Tunggu dulu…”
Bapak : “Sudah kamu jangan bicara dulu. Berapa Lena?”
Lena : (Bingung) “Lena tidak mencuri apa-apa. Hey (Menunjuk Tamu II)
Kamu jangan sembarangan menuduh aku pencuri ya! Sampai
datang ke rumah lagi!”
Ibu : “Sabar Nak, tenang. Katakan saja jumlahnya, biar kami ganti.
Jangan takut kami marah. Sungguh kami tidak akan marah.”
Bapak : “Ya katakana saja biar semuanya jelas.”
Lena : “AKH BAGAIMANA INI! LENA TIDAK MENCURI,
SUMPAH. TANYAKAN SAJA SAMA DIA. (Duduk dengan
sewot)
Tamu II : “Waduh bagaimana ini, kenapa bisa kacau. Begini saja, Om, saya
permisi, anggap saja tidak terjadi apa-apa.” (Bergerak pergi)
Bapak : (Menahan) “Bagaimana kamu ini, bukannya kamu ingin
mengambil yang telah dicuri Lena?”
Tamu II : “Sudahlah Om, tidak apa-apa, biarkan saja.”
Ibu : “Tidak bisa begitu. Begini saja, berapa yang dicuri Lena?”
Lena : “Iya berapa yang ku curi? Cepat bilang!”
Tamu II : (Takut) “Tidak ada..”
Bapak : “Apaa!”
Tamu II : “Lena tidak mencari uang, Om. Sejak tadi dan malah dari kemarin
saya sudah ingin jelaskan tapi Om tidak mau mendengar. Saya pikir
Om sudah mengerti apa yang saya maksud.”
Bapak : “Ko malah menyalahkan?”
Tamu II : “Benar, Om. Saya sudah coba jelaskan. Lena tidak mencari uang
tapi…”
Ibu : “Tapia pa? HP, perhiasan, atau apa?”
Tamu II : “Bukan itu Tante.”
Ibu : “Jadi apa? Bicara yang jelas!”
Tamu II : (Malu) “Lena mencuri hati saya, Tante. Dengan kata lain, saya itu
suka sama Lena. Tapi Lenannya belum memberikan jawaban.”

TERDENGAR KETUKAM PINTU. SEMUANYA TERKEJUT.


Bapak : “Siapa lagi itu, bukalah pintunya, Lena kamu yang buka.”

PINTU TERBUKA. LENA TERTAWA


Lena : “Aku baru saja pulang, kamu bolak-balik ya mencari aku?”
Tamu I : “Kurang ajar! Kalau utang cepet bayar dong!”
Lena : “Ala gitu aja sewot.”
Bapak : “Suruh duduk dulu, hanya tukang pos yang diterima didepan
pintu.”
Ibu : “Siapa Len?”
Lena : “Teman.”
Ibu : “Bawa temanmu kedalam, tidak baik terus didepan pintu.”
Tamu I : “Terima kasih Tante, disini saja.”
Bapak : “Masuklah biar saling bertemu semuanya.”
Lena : “Mari masuk.”
Tamu I : “Bayar dulu utangmu, ini urusan kita berdua.”
Lena : “Iya, nanti didalam.”
Tamu I : “Tapi…”
Lena : “Tidak ada alas an.” (Menggandeng Tamu I)

SEMUANYA BERKUMPUL DI DEPAN TV


Ibu : “Oh, rupanya kamu. Len, temanmu ini bolak-balik
mencarimu.”
Tamu I : “Maaf Tante, merepotkan.”’
Bapak : “Ah, tidak apa-apa. Kenapa terlihat begitu penting, ada apa ini?”
Tamu I : “Tidak apa-apa, Om, cuma sekedar mampir.”
Bapak : “Kalau cuma sekedar berarti tidak berulang. Benar tidak?”
Tamu II : “Kalau begitu saya pulang lebih dulu aja, Om.”
Bapak : “Kamu disini dulu, masalah yang tadi belum selesai.”
Lena : “Masalah apalagi?”
Ibu : “Lena, kamukan belum mengembalikan uang yang kamu curi dari
dia.”
Tamu I : “Kamu mencuri uang, Len?”
Tamu II : “Tidak.. tidak, wah serba salah semuanya.”
Bapak : “Sudahlah, mari kita selesaikan. Lena, katakana saja berapa yang
kau ambil darinya?”
Lena : (Marah) “Kenapa ngga ada yang percaya? Lena tidak pernah
mencuri uangnya!”
Tamu II : “Iya, Om. Lena tidak mencuri uang saya.”
Lena : “Dengar itu! Lena tidak pernah mencuri! Lena cuma meminjam
uang.”
Tamu II : “Kapan?”
Lena : “Bukan kamu!”
Tamu I : “Tidak, Om. Tidak, Tante. Lena tidak pernah meminjam uang.”
Lena : “Hey!”
Bapak : “Tunggu dulu, ada apa ini?”
Ibu : “Ya, yang benar yang mana? Mencuri atau meminjam, lalu uang
siapa yang dicuri atau dipinjam?”
Tamu I : “Bukan uang saya.”
Lena : “Hey!”
Tamu II : “Sudah jelas, saya tidak ada hubungan dengan uang. Seperti yang
sudah dikatakan tadi, hati saya yang dicuri.”
Ibu : “Berarti uang kamu berapa?”
Tamu I : “Tidak ada, Tante.”
Lena : “Hey! Jangan bohong kamu. Aku pinjam uang kamu beberapa hari
yang lalu sebagai bekal lari dari rumah. Dan, bukankah kamu
datang kemari untuk menagihnya?”
Ibu : “Bekal lari?”
Bapak : “Lari darimana, Nak?”
Lena : “Lihat, lihatlah orang tuaku kawan-kawan. Aku lari dari rumahpun
mereka tidak tahu. Yang mereka pikirkan semua baik-baik saja.
Aku benci.” (Marah mendekati menangis)
Tamu I : “Aku tidak tahu, aku pinjami kamu uang bukan untuk itu. Kalau
aku tahu kamu pinjam uang untuk lari, aku tidak akan memberi
tentunya.”
Tamu II : “Kamu lari dari rumah? Kenapa tidak bilang padaku, Len. Aku,
ah..”
Tamu I : “Kenapa? Kamu mau membantunya larikan!”
Lena : “Diam kalian! Kalian (Memandang orangtua) lihatlah anak kalian
ini! Apakah kalian hapal setiap tahi lalatnya? Apa kalian tahu yang
diinginkannya? Pandang aku melalui mataku jangan pandang aku
dengan mata kalian!”
Ibu : “Kenapa kamu harus lari, Nak. Bukan kah hidup diluar itu lebih
berbahaya?”
Bapak : “Jika memang ingin lari, kamu kan bisa permisi dulu, tidak perlu
kamu pinjam uang kawan.”
Lena : “Ini bukan piknik.” (Menangis)
BU LENA DAN PAK LENA LANGSUNG MENDEKATI LENA.
Tamu I : (Menarik Tamu II kesudut lain) “Urusan keluarga, sebaiknya kita
menyingkir.”
Tamu II : “Kita harus permisi dulu.”
Tamu I : “Kalau keadaannya seperti ini, sebaiknya tidak perlu.”
Tamu II : “Uang mu…”
Tamu I : “Sudahlah..”

TAMU I DAN TAMU II PERGI DENGAN CEPAT, TANGIS LENA


SEMAKIN MENJADI.
Bapak : “Diamlah, jangan menangis. Uang yang kamu pinjam akan kami
ganti. (Menyadari Tamu I dan Tamu II telah hilang) Bagaimana
ini, mereka telah hilang. Uangnya belum kita ganti.”
Lena : (Sambil menangis) “Bukan uang…”
Bapak : “Jika begitu memngapa menangis?”
Ibu : “Diamlahh, jangan menangis terus. Kami bingung, Len. Ceritalah,
Nak.”
Lena : “Lena tidak pulang selama ini karena Lena merasa tidak punya
rumah.”
Ibu : “Tidak punya rumah?”
Lena : “Ya, rumah ini segalanya dihitung dengan uang, tidak ada
pembicaraan yang menyenangkan. Kalian sibuk dan Lenapun
sibuk sendiri. Tidak ada yang memperhatikan. Lena benci. Lena
butuh rumah yang benar-benar rumah!”
Ibu : (Menangis) “Maaf ya, Nak. Mungkin selama ini kami tidak
memperhatikan kamu, semuanya selalu dihitung dengan uang.
Rumah ini rumah kamu, rumah yang kami bebaskan untukmu,
kami tidak ingin mengekang, kami rasa itu baik.”
Bapak : “Membebaskanmu bukan berarti tidak perhatian. Dulu kami
dikekang orang tua kami dan kami tidak suka, maka kami ingin
kamu tidak seperti kami.”
Lena : (Lari masuk kamar) “Seharusnya kalian jadi orang yang benar-
benar orang tua!”

MUSIK PERLAHAN, SYAHDU BEGITU TERASA, BU LENA TERUS


MENANGIS.
Ibu : “Kita salah mendidiknya…”
Bapak : “Sebenarnya kita bermaksud baik, tapi salah juga..”
Ibu : “Kita harus bagaimana? Membebaskannya salah, mengekangnya
juga bisa salah…”

TERDENGAR KETUKAN PINTU


Ibu : “Siapa lagi?”

TERDENGAR KETUKAN PINTU LAGI. PAK LENA MENUJU PINTU


DAN MEMBUKANYA.
Ibu : “Siapa lagi?!”

Anda mungkin juga menyukai