Anda di halaman 1dari 14

Kisah Anas bin Malik

Anas bin Malik bin an-Nadhar al-Anshari al-Khazraji an-Najjari. Ia berasal dari
Bani Adi bin an-Najjar. Sejak usia 10 tahun, ia dikhidmatkan ibunya, Ummu
Sulaim, untuk mengabdi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Profesinya adalah pembantu. Bukan sesuatu yang mentereng dalam timbangan
masyarakat kita. Tapi, ia bukan sembarang pembantu. Ia adalah pembantu
manusia terbaik dari anak keturunan Adam. Sehingga apa yang ia lakukan adalah
kebanggaan bagi diri dan keluarganya. Bahkan bagi kabilahnya.

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu lahir 10 tahun sebelum hijrah. Dan kun-yahnya
adalah Abu Hamzah. Rasulullah sering memanggilnya dengan Unais (Anas kecil).
Sebagai ekspresi kasih sayang padanya.

Ibu Anas adalah Ummu Sulaim binti Milhan radhiallahu ‘anha. Suami pertamanya
adalah Malik bin an-Nadhar. Ayah dari Anas. Saat cahaya Islam datang, Ummu
Sulaim memeluk Islam bersama kaumnya. Iapun langsung mengajak sang suami
agar bersama-sama memeluk agama yang mulia ini. Namun ia malah marah dan
pergi menuju Syam. Ia pun wafat di sana. Setelah itu, Ummu Sulaim menikah
dengan Abu Thalhah al-Anshari radhiallahu ‘anhu.

Pengaruh Pendidikan Nabi Pada Anas


Selama 10 tahun Anas bin Malik menjalin kedekatan dengan Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia bersama Rasulullah tatkala sahabat yang lain tidak
bersama beliau. Ia melayani Nabi tatkala di rumah. Interaksinya sangat intens
dibanding sahabat yang lain. Tak heran hal ini menimbulkan berpengaruh besar
pada diri Anas. Apalagi saat itu Anas masih kecil. Masih mudah dibentuk
karakternya. Betapa beruntungnya, ia langsung dididik manusia terbaik dan
teladan yang paling mulia.

Diriwayatkan oleh at-Turmudzi dengan sanadnya dari Anas bin Malik radhiallahu
‘anhu, Anas berkata, “Aku membantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama 10
tahun. Selama itu, beliau tidak pernah mengucapkan padaku “ah” sekalipun.
Beliau tidak pernah mengomentari sesuatu yang kulakukan dengan mengatakan,
‘mengapa kau lakukan ini’. Dan sesuatu yang tak kulakukan, ‘mengapa kau
tinggalkan ini’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang terbaik
akhlaknya. Aku tak pernah menyentuh sutra yang tebal maupun yang tipis, atau
sesuatu yang lebih lembut dari tapak tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dan aku tak pernah mencium aroma parfum manapun yang lebih wangi
dari keringat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Anak Yang Cerdas


Saat ibu Anas membawa anaknya ke hadapan Rasulullah untuk menjadi
pembantunya, ia juga memberi tahu bahwa anak kecilnya ini memiliki
kemampuan menulis. Keunggulan yang tak biasa di zaman itu. Karena itu layak
disebutkan. Saat itu, melek huruf adalah kemampuan istimewa. Tak banyak
sahabat Nabi yang bisa. Sementara Anas mampu melakukannya terlebih ia masih
begitu belia. Ini menunjukkan kecerdasan Anas dan potensi besar pada dirinya.

Tak heran, di masa Islam ia menjadi seorang penghafal hadits. Dan memilki
keluasan ilmu. Bahkan ada yang menyebutkan Anas adalah orang ketiga dalam
hafalan hadits setelah Abu Hurairah dan Abdullah bin Umar. Ia meriwayatkan
hadits sebanyak 2286 hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim sejumlah 180 hadits. Al-Bukhari saja
sejumlah 80 hadits dan Muslim saja 90 hadits.

Bersama Rasulullah
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu termasuk salah seorang punggawa di Perang
Badar. Ia terus bersama Rasulullah dan membantunya. Padahal saat itu usianya
baru 12 tahun.

Anas bin Malik berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang
yang paling baik akhlaknya. Paling lapang dadanya. Paling luas kasih sayangnya.
Beliau pernah mengutusku untuk suatu tugas. Lalu aku berangkat. Di jalan,
kudapati anak-anak (sebayaku) bermain-main di pasar. Aku pun bermain
bersama mereka. Dan tak jadi berangkat menunaikan perintah Rasulullah padaku.
Saat tengah bermain bersama mereka, aku merasa ada orang berdiri di
belakangku. Orang itu menjimpit pakaianku. Aku menoleh. Ternyata Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tersenyum melihatku. Dan berkata, ‘Hai Unais,
apakah kau sudah menunaikan perintahku’? Aku pun bersigap. Kukatakan pada
beliau, ‘Iya. Sekarang aku berangkat, Rasulullah’. Demi Allah, aku telah
berkhidmat membantu beliau selama 10 tahun. Tidak pernah beliau
mengomentari apa yang kulakukan dengan mengatakan ‘mengapa kau lakukan
ini’. Dan sesuatu yang kutinggalkan, ‘mengapa tak kau lakukan ini’.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Muadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu
datang menemuiku. Ia baru saja bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu berkata, ‘Siapa yang bersaksi tidak ada sesembahan yang benar kecuali
Allah. Ia ucapkan ikhlas dari hatinya. Pasti ia masuk surga’. (Mendengar itu) Aku
berangkat menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kutanyakan pada
beliau, ‘Hai Rasulullah, Muadz menyampaikan padaku bahwa Anda bersabda,
‘Siapa yang bersaksi tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah. Ia ucapkan
ikhlas dari hatinya. Pasti ia masuk surga’. Beliau berkata, ‘Muadz benar. Muadz
benar. Muadz benar.’.”

Bersama Para Sahabat


Bersama saudaranya, al-Barra bin Malik

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku menemui al-Barra bin Malik. Saat
itu ia sedang bersenandung dengan sebuah syair. Kukatakan padanya,
‘Saudaraku, engkau bersenandung dengan syair, padahal Allah telah memberikan
sesuatu untukmu yang lebih baik darinya. Yaitu Alquran’.”

Al-Barra berkata, ‘Apakah kau khawatir kalau aku mati di atas kasurku, padahal
aku telah ratusan kali lolos dari kematian? Kecuali peperangan yang tak kuikuti.
Sungguh aku berharap Allah tidak menakdirkan hal itu untukku’.”

Bersama Zaid bin Malik

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Saat aku pergi menuju masjid, aku
bertemu dengan Zaid bin Malik. Ia tempelkan tangannya di pundakku dan
besandar padaku. Aku yang saat itu masih seorang anak muda, melangkahkan
kaki dengan lebar sebagaimana langkah kaki anak-anak muda. Lalu Zaid berkata
padaku, ‘Jangan lebar-lebar langkahnya. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Siapa yang berjalan menuju masjid, maka setiap
langkahnya senilai dengan 10 kebaikan’.”

Bersama Para Tabi’in


Bersama az-Zuhri

Az-Zuhri berkata, “Di Damaskus, aku menemui Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu.
Saat itu ia sedang menangis. Aku bertanya padanya, ‘Apa yang membuat Anda
menangis’? Ia berkata, ‘Aku tak tahu sesuatu yang kudapati kecuali shalat ini. Dan
shalat ini sungguh telah disia-siakan’.”

Bersama Ghailan bin Jarir

Ghailan bin Jarir berkata, “Aku bertanya pada Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu,
‘Abu Hamzah, bagaimana pendapatmu tentang sebutan orang-orang kepada
kalian yaitu “Anshar”. Apakah itu sebuah nama yang Allah berikan pada kalian.
Atau memang sebelumnya kalian sendiri yang menamainya”? Anas menjawab,
“Allah lah yang menamai kami dengan nama tersebut.”

Hadits-hadits Yang Diriwayatkan Anas


Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu termasuk sahabat Nabi yang paling banyak
meriwayatkan hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal itu karena
kebersamaannya dengan Nabi. Dan dalam waktu yang cukup lama, 10 tahun. Ia
membersamai Nabi. Membantunya. Dan banyak belajar dari beliau.

Di antara hadits yang diriwayatkan oleh Anas adalah sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari:

. “‫محم‬
‫ت‬ .‫ده‬ ‫ض‬ ‫ظ‬ ‫أ‬ ”
‫؟‬ ‫ح د‬

Dari Qatadah, dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menulis sebuah surat. Atau hendak menulis sebuah surat. Lalu
ada yang berkata pada beliau, ‘Mereka tidak akan membaca surat kecuali yang
berstempel’. Beliau pun membuat cincin dari perak dan memahatnya dengan
tulisan “‫س محم‬ ‫”ه‬. Aku melihat putihnya cincin itu di tangan beliau. Aku
(periwayat) bertanya pada Qatadah, ‘Siapa yang mengatakan beliau memahat
“‫س محم‬ ‫ ?”ه‬Qatadaha menjawab, ‘Anas’.”

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Ia berkata,

‫ت‬ ‫ت‬ ‫ض‬ ‫س‬


‫ض‬ ‫ض‬ ‫أ‬ ‫د‬
‫ض‬ ‫س‬ ‫ده‬ ‫حت‬ ‫ت‬
‫د‬ ‫ض‬ ‫س‬ ‫ضأ‬

“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika waktu ashar tiba.
Orang-orang mencari air wudhu namun tidak mendapatkannya. Lalu diberikanlah
air wudhu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau
meletakkan tangannya di atas air tersebut dan memerintahkan orang-orang
untuk berwudhu dari wadah itu. Aku melihat air memancar dari bawah jari-jari
beliau, lalu orang-orang pun berwudhu hingga orang terakhir dari mereka.” [HR.
Ahmad]

Warisan Anas
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu meninggalkan warisan besar. Yaitu hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ia pelajari langsung sumber pertamanya. Anas
adalah khazanah. Pada dirinya tersimpan sesuatu yang amat berharga bagi
peradaban manusia.

Simpanan besar dan berharga itu ia bagi-bagikan kepada orang-orang


sesudahnya. Sehingga warisan Nabi itu tercatat hingga sekarang. Sungguh ini
adalah keberkahan usia dan ilmu yang luar biasa. Dengan ilmunya, lahirlah
tokoh-tokoh tabi’in. Mereka meriwayatkan darinya dan menghafal apa yang ia
sampaikan dari Rasulullah.

Jumlah mereka yang meriwayatkan dari Anas bin Malik mencapai 280 orang
sahabat dan tabi’in. Dan dia meriwayatkan 2200 hadits lebih dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Betapa hebat peninggalannya. Buah dari besarnya semangatnya
dalam mereguk ilmu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wasiat Anas
Ada yang bertanya kepada Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, “Sesungguhnya
mencintai Ali dan Utsman tak dapat menyatu di hati seseorang.” Anas radhiallahu
‘anhu menanggapi, “Dusta engkau. Demi Allah, rasa cinta pada keduanya
bersemayam di hati kami.”

Ini adalah sanggahan terhadap orang-orang yang berpaham sesat. Yang


menganggap kalau mencintai Ali tak mungkin senang kepada Utsman. Anas
membantah bahwa para sahabat mencintai keduanya. Dan inilah jalan mereka.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah bukan seorang yang suka
mencela. Bukan yang kotor lisannya. Dan bukan seorang yang suka melaknat.
Saat beliau hendak mencela seseorang dari kami, beliau mengatakan,

‘Dahinya berlumur debu’.

Wafatnya
Dari Shafwan bin Hubairah, dari ayahnya. Ayahnya berkata bahwa Tsabit al-
Bunani bercerita padanya. Dan Tsabit berkata, “Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu
berkata padaku, ‘Ini adalah di antara rambut dari rambut Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Letakkanlah di bawah lidahku’. Aku pun meletakkannya di
bawah lidahnya. Lalu ia dimakamkan dalam keadaan rambut Rasulullah berada di
bawah lidahnya.”

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu wafat di Kota Bashrah. Ada yang mengatakan, ia
wafat pada tahun 91 H. Ada juga yang berpendapat 92 H. Dan ada yang
berpendapat 93 H.

Diterjemahkan secara bebas dari


https //islamstory.com/ar/artical/34007/ ‫_س‬ _‫ك م‬

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)


Artikel www.KisahMuslim.com
Said bin Amir al-Jumahi
“Said bin Amir, seorang laki-laki yang membeli akhirat dengan dunia
dan mementingkan Allah dan Rasul-Nya di atas selain keduanya.”
(Ahli Sejarah)
Anak muda ini, Said bin Amir, adalah satu dari ribuan orang yang keluar ke
daerah Tan’im di luar Mekah atas undangan para pemuka Quraisy untuk
menyaksikan pelaksanaan hukum mati atas khubaib bin Adi, salah seorang
sahabat Muhammad setelah mereka menangkapnya dengan cara licik.

Sebagai pemuda yang kuat dan tangguh, Said mampu bersaing dengan orang-
orang yang lebih tua umurnya untuk berebut tempat di depan, sehingga dia
mampu duduk sejajar di antara para pemuka Quraisy seperti Abu Sufyan bin
Harb, Shafwan bin Umayyah, dan lain-lainya yang menyelenggarakan acara
tersebut.
Semua ini membuka jalan baginya untuk menyaksikan tawanan Quraisy yang
terikat dengan tambang itu. Sementara tangan anak-anak, para pemuda, dan
kaum wanita mendorongnya ke pelataran kematian dengan kuatnya, mereka
ingin melampiaskan dendam kesumat terhadap Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam, membalas kematian orang-orang mereka yang terbunuh di Badar
dengan membunuh Khubaib.
Manakala rombongan besar dengan seorang tawanan tersebut telah tiba di
tempat yang sudah disiapkan untuk membunuhnya, si anak muda Said bin Amir
al-Jumahi berdiri tegak memandang Khubaib yang sedang digiring ke tiang salib.
Said mendengar suara Khubaib di antara teriakan kaum wanita dan anak-anak,
dia mendengarnya berkata, “Bila kalian berkenan membiarkanku shalat dua
rakaat sebelum aku kalian bunuh?”

Said melihat Khubaib menghadap kiblat, shalat dua rakaat, dua rakaat yang
sangat baik dan sangat sempurna.

Said melihat Khubaib menghadap para pembesar Quraisy dan berkata, “Demi
Allah, kalau aku tidak khawatir kalian menyangka bahwa aku memperlama shalat
karena takut mati, niscaya aku akan memperlama shalatku.”
Kemudia Said melihat kaumnya dengan kedua mata kepalanya mencincang jasad
Khubaib sepotong demi sepotong padahal Khubaib masih hidup, sambil berkata,
“Apakah kamu ingin Muhammad ada di tempatmu ini sedangkan kamu selamat?

Khubaib menjawab sementara darah menetes dari jasadnya, “Demi Allah, aku
tidak ingin berada di antara keluarga dan anak-anakku dalam keadaan
aman dan tenang sementara Muhammad tertusuk oleh sebuah duri.”
Maka orang banyak pun mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi ke udara,
teriakan mereka gegap gempita menggema di langit.

Di saat itu Said bin Amir melihat Khubaib mengangkat pandangannya ke langit
dari atas tiang salib dan berkata, “Ya Allah, balaslah mereka satu persatu,
bunuhlah mereka sampai habis, dan jangan biarkan seorang pun dari mereka
hidup dengan aman.”

Akhirnya Khubaib pun menghembuskan nafas terakhirnya, dan tidak ada seorang
pun yang mampu melindunginya dari tebasan pedang dan tusukan tombak
orang-orang kafir.

Orang-orang Quraisy kembali ke Mekah, mereka melupakan Khubaib dan


kematiannya bersama dengan datangya peristiwa demi peristiwa besar yang
mereka hadapi.

Namun tidak dengan anak muda yang baru tumbuh ini, Said bin Amir, Khubaib
tidak pernah terbenam dari benaknya sesaat pun.

Said melihatnya dalam mimpinya ketika dia tidur, membayangkannya dalam


khayalannya ketika dia terjaga, berdiri di depannya ketika dia shalat dua rakaat
dengan tenang dan tenteram di depan kayu salib, Said mendengar bisikan
suaranya di kedua telinganya ketika dia berdoa atas orang-orang Quraisy, maka
dia khawatir sebuah halilintar akan menyambar atau sebuah batu dari langit akan
jatuh menimpanya.

Peristiwa kematian Khubaib mengajarkan sesuatu kepada Said tentang persoalan


besar yang belum dia ketahui selama ini.
Peristiwa kematian Khubaib mengajarkan kepadanya bahwa kehidupan sejati
adalah jihad di jalan akidah yang diyakininya sampai mati.

Peristiwa kematian Khubaib mengajarkan kepadanya bahwa iman yang


terpancang kuat bisa melahirkan dan menciptakan keajaiban-keajaiban.

Khubaib mengajarkan kepadanya perkara lainnya, yaitu seorang laki-laki yang


dicintai sedemikian rupa oleh para sahabatnya adalah seorang nabi yang di
dukung oleh kekuatan dan pertolongan langit.

Pada saat itu Allah Ta’ala membuka dada Said bin Amir kepada Islam, maka dia
berdiri di hadapan sekumpulan orang banyak, mengumumkan bahwa dirinya
berlepas diri dari dosa-dosa dan kejahatan-kejahatan orang Quraisy,
meninggalkan berhala-berhala dan patung-patung, menyatakan diri sebagai
seorang muslim.

Said bin Amir al-Jumahi berhijrah ke Madinah tinggal bersama


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ikut bersama beliau dalam perang
khaibar dan peperangan lain sesudahnya.

Manakala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia dipanggil menghadap


keharibaan Rabbbnya alam keadaan ridha, Said bin Amir tetap menjadi sebilah
pedang yang terhunus di tangan para khalifah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Abu Bakar, dan Umar. Said bin Amir hidup sebagai contoh menawan lagi
mengagumkan bagi setiap mukmin yang telah membeli akhirat dengan dunia,
mementingkan ridha Allah dan pahalaNya di atas segala keinginan jiwa dan hawa
nafsu.

Dua orang khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenal kejujuran


Said dan ketakwaannya, keduanya mendengar nasihatnya dan mencamkan kata-
katanya.
Said datang kepada Umar bin al-Khatthab di awal khilafahnya, dia berkata,
“Wahai Umar, aku berpesan kepadamu agar kamu bertakwa kepada Allah dalam
bermuamalah dengan manusiadan jangan takut kepada manusia dengan
melakukan kemaksiatan kepada Allah. Janganlah kata-katamu menyelisihi
perbuatanmu, karena kata-kata yang baik adalah yang dibenarkan oleh
perbuatan. Wahai Umar, perhatikanlah orang-orang yang Allah Ta’ala telah
menyerahkan perkara mereka kepadamu, baik mereka dari kalangan kaum
muslimin yang dekat maupun yang jauh, cintailah sesuatu yang bermanfaat
untuk dirimu dan keluargamu, bencilah sesuatu yang mereka alami, yang kamu
pun benci apabila hal itu terjadi kepada dirimu dan keluargamu, hadapilah
kesulitan-kesulitan untuk menuju pada kebenaran dan jangan takut celaan
orang-orang yang mencela ketika engkau berbuat ketaatan kepada Allah.”
Maka Umar menjawab, “Siapa yang mampu melakukannya wahai Said?”

Said berkata, “Hal itu bisa dilakukan oleh orang-orang sepertimu yang
Allah Ta’ala serahi perkara umat Muhammad dan di antara dia dengan Allah
tidak terdapat seorang pun.”
Pada saat itu Umar mengundang Said untuk mendukungnya, Umar berkata,
“Wahai Said, aku menyerahkan kota Himsh kepadamu.” Maka Said menjawab,
“Wahai Umar, dengan nama Allah aku memohon kepadamu agar mencoret
namaku.”

Maka Umar marah, dia berkata, “Celaka kalian, kalian meletakkan perkara ini di
pundakku kemudian kalian berlari dariku. Demi Allah, aku tidak akan
membiarkanmu.”

Umar mengangkat Said sebagai gubernur Himsh, Umar bertanya kepadanya,


“Aku akan mentapkan gaji untukmu.”

Said menjawab, “Apa yang aku lakukan dengan gaji itu wahai Amirul Mukminin?
Pemberian dari baitul maal kepadaku melebihi kebutuhanku.” Said pun berangkat
ke Himsh menunaikan tugasnya.

Tidak lama berselang, Amirul Mukminin Umar bin Khatthab didatangi oleh orang-
orang yang bisa dipercaya dari penduduk Himsh, Umar berkata kepada mereka,
“Tulislah nama penduduk miskin dari Himsh agar aku bisa membantu mereka.”

Mereka menulis dalam sebuah lembaran, di dalamnya tercantum nama fulan dan
fulan serta Said bin Amir.

Umar bertanya, “Siapa Said bin Amir?”

Mereka menjawab, “Gubernur kami.”


Umar menegaskan, “Gubernur kalian miskin?”

Mereka menjawab, “Benar di rumahnya tidak pernah dinyalakan api dalam waktu
yang cukup lama.”

Maka Umar menangis hingga air matanya membasahi janggutnya, kemudia dia
mengambil seribu dinar dan memasukkannya ke dalam sebuah kantong. Umar
berkata, “Sampaikan salamku kepadanya dan katakana kepadanya bahwa Amirul
Mukminin mengirimkan harta ini agar kamu bisa menggunakannya untuk
memenuhi kebutuhanmu.”

Delegasi pun pulang dan mendatangi rumah Said dengan menyerahkan kantong
dari Umar bin Khatthab. Said melihatnya dan ternyata isinya adalah dinar, maka
dia menyingkirkannya seraya berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Seolah-
olah Said sedang ditimpa musibah besar atau perkara berat.
Istrinya datang tergopoh-gopoh dengan penuh kecemasan, dia berkata, “Apa
yang terjadi wahai Said? Apakah Amirul Mukimin wafat?”

Said menjawab, “Lebih besar dari itu.”

Istrinya bertanya, “Apa yang lebih besar ?”

Said menjawab, “Dunia datang kepadaku untuk merusak akhiratku, sebuat fitnah
telah menerpa rumahku.”

Istrinya berkata, “Engkau harus berlepas diri darinya,” Dia belum mengerti apa
pun terkait dengan perkara dinar tersebut.

Said bertanya, “Kamu bersedia membantuku?”

Istrinya menjawab, “Ya”

Maka Said mengambil dinar itu, memasukkannya ke dalam kantong-kantong dan


membagi-baginya kepada kaum muslimin yang miskin.

Tidak berselang lama setelah itu, Umar bin al-Khatthab datang ke negeri Syam
untuk mengetahui keadaannya. Ketika Umar tiba di Himsh, kota ini juga dikenal
dengan Kuwaifah, bentuk kecil dari Kufah, kota Himsh disamakan dengan Kufah
karena banyaknya keluhan penduduknya terhadap para gubernurnya seperti
yang dilakukan oleh orang-orang Kufah, ketika Umar tiba di sana, orang-orang
Himsh bertemu dengan Umar untuk memberi salam kepadanya. Umar bertanya,
“Bagaimana dengan gubernur kalian?”

Maka mereka mengadukannya dan menyebutkan empat hal dari sikapnya, yang
satu lebih besar daripada yang lain.

Umar berkata, “Maka aku mengumpulkan mereka dengan pribadi Sa’id sebagai
gubernur mereka dalam sebuah majelis, aku memohon kepada Allah agar
dugaanku kepadanya selama ini tidak salah, aku sangat percaya kepadanya.
Ketika mereka dengan gubernur mereka berada di hadapanku, aku berkata, “Apa
keluhan kalian terhadap gubernur kalian?”

Mereka menjawab, “Dia tidak keluar kepada kami kecuali ketika siang sudah
naik.”

Aku berkata, “Apa jawabanmu wahai Said?”

Said diam sesaat kemudian berkata, “Demi Allah, aku sebenarnya tidak suka
mengatakan hal ini, akan tetapi memang harus dikatakan. Keluargaku tidak
mempunyai pembantu. Setiap pagi aku menyiapkan adonan mereka, kemudian
aku menunggunya beberapa saat sampai ia mengembang, kemudian aku
membuat roti untuk mereka, kemudian aku berwudhu dan keluar untuk
masyarakat.”

Umar berkata, aku pun berkata kepada mereka, “Apa yang kalian keluhkan
darinya juga?”

Mereka menjawab, “Dia tidak menerima seorang pun di malam hari.”

Said berkata, “Demi Allah, aku juga malu mengatakan hal ini. Aku telah
memberikan siang bagi mereka, sedangkan malam maka aku memberikannya
kepada Allah Ta’ala.
Aku bertanya, “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”
Mereka menjawab, “Dia tidak keluar menemui kami satu hari dalam sebulan.”

Aku bertanya, “Bagaimana penjelasanmu wahai Said?”

Said menjawab, “Aku tidak mempunyai wahai Amirul Mukminin, aku pun tidak
mempunyai pakaian selain yang melekat di tubuhku ini. Aku mencucinya sekali
dalam sebulan, dan menunggu sampai kering, baru kemudian aku keluar di sore
hari.”

Kemudian aku bertanya, “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”

Mereka menjawab, “Terkadang ia jatuh pingsan sehingga tidak ingat terhadap


orang-orang di sekitarnya.”

Aku bertanya, “Bagaimana penjelasanmu wahai Said?”

Said menjawab, “Aku menyaksikan kematian Khubaib bin Adi ketika aku masih
musyrik, aku melihat orang-orang Quraisy mencincang jasadnya sambil berkata
kepadanya, ‘Apakah kamu ingin Muhammad ada di tempatmu ini?’ Lalu dia
menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak ingin berada di antara keluarga dan anak-
anakku dalam keadaan tenang sedangkan Muhammad tertusuk oleh sebuah
duri.’ Demi Allah setiap aku teringat hari itu, yakni ketika aku membiarkannya dan
tidak menolongnya sehingga aku senantiasa dikejar ketakutan bahwa Allah tidak
akan mengampuniku, maka aku pun pingsan.”

Saat itu Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang membenarkan dugaanku
kepadamu.”

Kemudian Umar memberinya seribu dinar agar dia gunakan untuk memenuhi
kebutuhannya.

Istrinya melihatnya, dia pun berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah
mencukupkan kami dari pelayananmu, belilah kebutuhan kami dan ambillah
seorang pelayan.”

Said berkata kepadanya, “Apakah kamu mau aku tunjukkan kepada yang lebih
baik dari itu? Istrinya balik bertanya, “Apa itu?”
Said berkata, “Kita memberikan hatra tersebut kepada yang memberikannya
kepada kita, kita lebih memerlukan hal (amalan) itu.”

Istrinya bertanya, “Apa maksudmu?”

Said menjawab, “Kita berikan kepada Allah dengan cara yang baik.”

Istrinya berkata, “Setuju dan semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”

Said tidak meninggalkan majelisnya hingga dia membagi dinar tersebut di


beberapa kantong, lalu dia berkata kepada salah seorang anggota keluarganya,
“Berikanlah ini kepada janda fulan, berikanlah ini kepada anak-anak yatim fulan,
berikanlah ini kepada keluarga fulan, berikanlah ini kepada orang-orang miskin
dari keluarga fulan.”

Semoga Allah meridhai Said bin Amir al-Jumahi, dia termasuk orang-orang yang
mementingkan saudaranya sekalipun dia sendiri memerlukan.
Diketik ulang oleh Abu Abdillah Ridwansyah As-Slemani
Artikel www.KisahMuslim.com

Read more https://kisahmuslim.com/2768-said-bin-amir-al-jumahi.html

Anda mungkin juga menyukai