Anda di halaman 1dari 13

ِ ‫ال َّسالَ ُم َع َل ْي ُك ْم َو َرحْ َم ُة‬

‫هللا َو َب َر َكا ُته‬

Tidak diragukan bahwa mengubah kebiasaan memang perkara yang sangat berat dilakukan
orang. Meskipun demikian, hal itu bukanlah sesuatu yang tidak mungkin dan mustahil
dilakukan. Terdapat banyak jalan dan sarana yang bisa ditempuh oleh manusia untuk bisa
menggapai kemuliaan akhlak. Sebagian di antara jalan-jalan tersebut adalah:

1. Memiliki Aqidah yang Selamat

Aqidah adalah urusan yang sangat agung dan mulia. Perilaku merupakan hasil dari pikiran
dan keyakinan di dalam jiwa. Penyimpangan perilaku biasanya muncul akibat
penyimpangan aqidah. Aqidah itulah iman. Sementara orang yang paling sempurna
keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya. Apabila aqidah seseorang baik maka akan
baik pula akhlaknya. Sehingga aqidah yang benar akan menuntun pemiliknya untuk bisa
memiliki akhlak yang mulia seperti: berlaku jujur, dermawan, lemah lembut, berani, dan lain
sebagainya. Sebagaimana kemuliaan akhlak juga akan menghalangi dirinya dari melakukan
perilaku-perilaku yang jelek seperti; berdusta, bakhil (pelit), bertindak bodoh, serampangan,
dan lain sebagainya.

2. Senantiasa Berdoa Memohon Akhlak Mulia

Doa merupakan pintu (kebaikan) yang sangat agung. Apabila pintu ini telah dibukakan untuk
seorang hamba maka berbagai kebaikan pasti akan dia dapatkan dan keberkahan akan
tercurah kepadanya. Barangsiapa yang ingin memiliki kemuliaan akhlak dan terbebas dari
akhlak yang jelek hendaknya dia mengembalikan urusannya kepada Rabbnya. Hendaknya
dia ‘menengadahkan telapak tangannya’ dengan penuh ketundukan dan perendahan diri
kepada-Nya agar Allah melimpahkan kepadanya akhlak yang mulia dan menyingkirkan
akhlak-akhlak yang buruk darinya. Oleh karena itulah Nabi ‘alaihish shalatu was salam
adalah orang yang sangat banyak memohon kepada Rabbnya untuk mengaruniakan
kepada beliau kemuliaan akhlak. Beliau biasa memanjatkan permohonan di dalam doa
istiftah, “Ya Allah tunjukkanlah aku kepada akhlak mulia. Tidak ada yang bisa menunjukkan
kepada kemuliaan itu kecuali Engkau. Dan singkirkanlah akhlak yang jelek dari diriku. Tidak
ada yang bisa menyingkirkan kejelekan akhlak itu kecuali Engkau.” (HR. Muslim: 771).
Salah satu doa yang beliau ucapkan juga, “Ya Allah, jauhkanlah dari diriku kemungkaran
dalam akhlak, hawa nafsu, amal, dan penyakit.” (HR. Al Hakim [1/532] dan disahihkan
olehnya serta disepakati Adz Dzahabi). Beliau juga berdoa, “Ya Allah, aku berlindung
kepada-Mu dari sikap lemah, kemalasan, sifat pengecut, pikun, sifat pelit. Dan aku
berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian.” (HR. Bukhari
[7/159] dan Muslim [2706]).

3. Bersungguh-Sungguh/Mujahadah Dalam Memperbaiki Diri

Kesungguh-sungguhan akan banyak berguna di dalam upaya untuk mendapatkan hal ini.
Sebab kemuliaan akhlak tergolong hidayah yang akan diperoleh oleh seseorang dengan
jalan bersungguh-sungguh dalam mendapatkannya. Allah ‘azza wa jalla berfirman yang
artinya, “Orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami maka akan Kami mudahkan
untuknya jalan-jalan menuju keridhaan Kami. Dan sesungguhnya Allah pasti bersama
orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al ‘Ankabut: 69). Barangsiapa yang
bersungguh-sungguh menundukkan hawa nafsunya untuk bisa berhias diri dengan sifat-sifat
keutamaan, serta menundukkannya untuk menyingkirkan akhlak-akhlak yang tercela
niscaya dia akan mendapatkan banyak kebaikan dan akan tersingkir darinya
kejelekan-kejelekan. Akhlak ada yang didapatkan secara bawaan dan ada pula yang dimiliki
setelah melatih diri dan membiasakannya. Mujahadah tidaklah cukup sekali atau dua kali,
namun ia harus dilakukan sepanjang hayat hingga menjelang kematiannya. Allah tabaraka
wa ta’ala berfirman yang artinya, “Sembahlah Rabbmu hingga datang kematian kepadamu.”
(QS. Al Hijr: 99).

4. Introspeksi atau Muhasabah

Yakni dengan cara mengoreksi diri ketika melakukan akhlak yang tercela dan melatih diri
agar tidak terjerumus kembali dalam perilaku akhlak yang tercela itu. Namun hendaknya
tidak terlalu berlebihan dalam mengintrospeksi karena hal itu akan menimbulkan patah
semangat.

5. Merenungkan Dampak Positif Akhlak yang Mulia

Sesungguhnya memikirkan dampak positif dan akibat baik dari segala sesuatu akan
memunculkan motivasi yang sangat kuat untuk melakukan dan mewujudkannya. Maka
setiap kali hawa nafsu mulai terasa sulit untuk ditundukkan hendaknya ia mengingat-ingat
dampak positif tersebut. Hendaknya dia mengingat betapa indah buah dari kesabaran,
niscaya pada saat itu nafsunya akan kembali tunduk dan kembali ke jalur ketaatan dengan
lapang. Sebab apabila seseorang menginginkan kemuliaan akhlak dan dia menyadari
bahwa hal itu merupakan sesuatu yang paling berharga dan perbendaharaan yang paling
mahal bagi jiwa manusia niscaya akan terasa mudah baginya untuk menggapainya.

6. Memikirkan Dampak Buruk Akhlak yang Jelek

Yaitu dengan memperhatikan baik-baik dampak negatif yang timbul akibat akhlak yang jelek
berupa penyesalan yang terus menerus, kesedihan yang berkepanjangan, rasa tidak
senang di hati orang lain kepadanya. Dengan demikian seorang akan terdorong untuk
mengurangi perilakunya yang buruk dan terpacu untuk memiliki akhlak yang mulia.

7. Tidak Putus Asa untuk Memperbaiki Diri

Sebagian orang yang berakhlak jelek mengira bahwa perilakunya sudah tidak mungkin
untuk diperbaiki dan mustahil untuk diubah. Sebagian orang ketika berusaha sekali atau
beberapa kali untuk memperbaiki dirinya namun menjumpai kegagalan maka dia pun
berputus asa. Hingga akhirnya dia tidak mau lagi memperbaiki dirinya. Sikap semacam ini
benar-benar tidak layak dimiliki seorang muslim. Dia tidak boleh barang sedikit pun merasa
senang dengan kehinaan yang sedang dialaminya lantas tidak mau lagi menempa diri
karena menurutnya perubahan keadaan merupakan sesuatu yang mustahil terjadi pada
dirinya. Namun semestinya dia memperkuat tekad dan terus berupaya untuk
menyempurnakan diri, dan bersungguh-sungguh dalam mengikis aib-aib dirinya. Betapa
banyak orang yang berhasil berubah keadaan dirinya, jiwanya menjadi mulia, dan aib-aibnya
lambat laun menghilang akibat keseriusannya dalam menempa diri dan kesungguhannya
dalam menaklukkan tabiat buruknya.

8. Memiliki Cita-Cita yang Tinggi

Cita-cita tinggi akan melahirkan kesungguhan, memompa semangat untuk maju dan tidak
mau tercecer di barisan orang-orang yang rendah dan hina. Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Barangsiapa yang memiliki cita-cita yang tinggi dan jiwanya memiliki kekhusyukan
maka dia telah memiliki (sumber) segala akhlak mulia. Sedangkan orang yang rendah
cita-citanya dan hawa nafsunya telah melampaui batas maka itu artinya dia telah bersifat
dengan setiap akhlak yang rendah dan tercela.” Jiwa-jiwa yang mulia tidak merasa ridha
kecuali terhadap perkara-perkara yang mulia, tinggi, dan baik dampaknya. Sedangkan
jiwa-jiwa yang kerdil dan hina menyukai perkara-perkara yang rendah dan kotor
sebagaimana halnya seekor lalat yang senang hinggap di barang-barang yang kotor.
Jiwa-jiwa yang mulia tidak akan merasa ridha terhadap kezaliman, perbuatan keji, mencuri,
demikian pula tindakan pengkhianatan, sebab jiwanya lebih agung dan lebih mulia daripada
harus melakukan itu semua. Sedangkan jiwa-jiwa yang hina justru memiliki karakter yang
bertolak belakang dengan sifat-sifat yang mulia itu.

9. Bersabar

Sabar merupakan fondasi bangunan kemuliaan akhlak. Kesabaran akan melahirkan


ketabahan, menahan amarah, tidak menyakiti, kelemahlembutan dan tidak tergesa-gesa,
dan tidak suka bersikap kasar.

10. Menjaga Kehormatan/Iffah

Sifat ini akan membawa pelakunya untuk senantiasa menjauhi perkara-perkara yang rendah
dan buruk, baik yang berupa ucapan ataupun perbuatan. Dia akan memiliki rasa malu yang
itu merupakan sumber segala kebaikan. Sikap ini akan mencegah dari melakukan perbuatan
keji, bakhil, dusta, ghibah maupun namimah/adu domba.

11. Keberanian

Hal ini akan membawa pelakunya untuk memiliki jiwa yang tangguh dan mulia. Selain itu
keberanian akan menuntun untuk senantiasa mengutamakan akhlak mulia, berusaha untuk
mengerahkan kebaikan yang bisa dilakukannya dalam rangka memberikan manfaat kepada
orang lain. Keberanian juga akan menggembleng jiwa untuk rela meninggalkan sesuatu
yang disukai dan menyingkirkannya. Keberanian akan menuntun kepada sifat suka
menahan amarah dan berlaku lembut.

12. Bersikap Adil

Sikap adil akan menuntun kepada ketepatan perilaku. Tidak melampaui batas dan tidak
meremehkan. Adil akan melahirkan kedermawanan yang berada di antara sikap boros dan
pelit. Adil akan melahirkan sikap tawadhu’ (rendah hati) yang berada di antara sikap rendah
diri dan kesombongan. Adil juga akan melahirkan sikap berani yang berada di antara sikap
pengecut dan serampangan. Adil pun akan melahirkan kelemahlembutan yang berada di
antara sikap suka marah dengan sifat hina dan menjatuhkan harga diri.

13. Bersikap Ramah dan Menjauhi Bermuka Masam

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Senyummu kepada saudaramu (sesama


muslim) adalah sedekah untukmu.” (HR. Tirmidzi, disahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah:
272). Beliau juga bersabda, “Janganlah kamu meremehkan kebaikan meskipun ringan.
Walaupun hanya dengan berwajah yang ramah ketika bertemu dengan saudaramu.” (HR.
Muslim). Senyuman akan mencairkan suasana dan meringankan beban pikiran. Orang yang
murah senyum akan ringan dalam menunaikan tanggung jawabnya. Kesulitan baginya
merupakan tantangan yang harus dihadapi dengan tenang dan pikiran positif. Berbeda
dengan orang yang suka bermuka masam. Dia akan menghadapi segala sesuatu dengan
penuh kerepotan dan pandangan yang sempit. Apabila menemui kesulitan maka nyalinya
mengecil dan semangatnya menurun. Akhirnya dia mencela kondisi yang ada dan merasa
tidak puas dengan ketentuan (takdir) Allah lantas dia pun melarikan diri dari kenyataan.

14. Mudah Memaafkan

Mudah memaafkan dan mengabaikan ketidaksantunan orang lain merupakan akhlak


orang-orang besar dan mulia. Sikap inilah yang akan melestarikan rasa cinta dan kasih
sayang dalam pergaulan. Sikap inilah yang akan bisa memadamkan api permusuhan dan
kebencian. Inilah bukti ketinggian budi pekerti seseorang dan sikap yang akan senantiasa
mengangkat kedudukannya.

15. Tidak Mudah Melampiaskan Amarah

Hilm atau tidak suka marah merupakan akhlak yang sangat mulia. Akhlak yang harus dimiliki
oleh setiap orang yang memiliki akal pikiran. Dengan akhlak inilah kehormatan diri akan
terpelihara, badan akan terjaga dari gangguan orang lain, dan sanjungan akan mengalir atas
kemuliaan perilakunya. Hakikat dari hilm adalah kemampuan mengendalikan diri ketika
keinginan untuk melampiaskan kemarahan bergejolak. Bukanlah artinya seorang yang
memiliki sifat ini sama sekali tidak pernah marah. Namun tatkala perkara yang memicu
kemarahannya terjadi maka ia bisa menguasai dirinya dan meredakan emosinya dengan
sikap yang bijaksana.

16. Meninggalkan Orang-Orang Bodoh

Berpaling dari tindakan orang-orang jahil akan menyelamatkan harga diri dan menjaga
kehormatan. Jiwanya akan menjadi tenang dan telinganya akan terbebas dari
mendengarkan hal-hal yang menyakitkannya. Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Berikanlah maaf, perintahkan yang ma’ruf, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.”
(QS. Al A’raaf: 199). Orang Arab mengatakan, “Menjauhi kejelekan adalah bagian dari
upaya untuk mencari kebaikan.”

17. Tidak Suka Mencela


Hal ini menunjukkan kemuliaan diri seseorang dan ketinggian cita-citanya. Sebagaimana
yang dikatakan oleh orang-orang bijak, “Kemuliaan diri yaitu ketika kamu dapat
menanggung hal-hal yang tidak menyenangkanmu sebagaimana kamu sanggup
menghadapi hal-hal yang memuliakanmu.” Diriwayatkan bahwa suatu ketika Khalifah Umar
bin Abdul Aziz sedang pergi berangkat ke masjid pada waktu menjelang subuh (waktu
sahur, suasana masih gelap). Ketika itu dia berangkat dengan disertai seorang pengawal.
Ketika melewati suatu jalan mereka berdua berpapasan dengan seorang lelaki yang tidur di
tengah jalan, sehingga Umar pun terpeleset karena tersandung tubuhnya. Maka lelaki itu
pun berkata kepada Umar, “Kamu ini orang gila ya?”. Umar pun menjawab, “Bukan.”Maka
sang pengawal pun merasa geram terhadap sang lelaki. Lantas Umar berkata kepadanya,
“Ada apa memangnya! Dia hanya bertanya kepadaku, ‘Apakah kamu gila?’ lalu kujawab
bahwa aku bukan orang gila.”

18. Mengabaikan Orang yang Berbuat Jelek Kepada Kita

Orang yang suka menyakiti tidak perlu ditanggapi. Ini merupakan bukti kemuliaan pribadi
dan ketinggian harga diri. Suatu ketika ada orang yang mencaci maki Al Ahnaf bin Qais
berulang-ulang namun sama sekali tidak digubris olehnya. Maka si pencela mengatakan,
“Demi Allah, tidak ada yang menghalanginya untuk membalas celaanku selain kehinaan
diriku dalam pandangannya.”

19. Melupakan Kelakuan Orang Lain yang Menyakiti Dirinya

Yaitu dengan cara anda melupakan orang lain yang pernah melakukan perbuatan buruk
kepada anda. Agar hati anda menjadi bersih dan tidak gelisah karena ulahnya. Orang yang
terus mengingat-ingat perbuatan jelek saudaranya kepada dirinya maka kecintaan dirinya
kepada saudaranya tidak akan bisa bersih (dari kepentingan dunia). Orang yang senantiasa
mengenang kejelekan orang lain kepada dirinya niscaya tidak akan bisa merasakan
kenikmatan hidup bersama mereka.

20. Mudah Memberikan Maaf dan Membalas Kejelekan Dengan Kebaikan

Hal ini merupakan sebab untuk meraih kedudukan yang tinggi dan derajat yang mulia.
Dengan sikap inilah akan didapatkan ketenangan hati, manisnya iman, dan kemuliaan diri.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah Allah akan menambahkan kepada
seorang hamba dengan sifat pemaaf yang dimilikinya kecuali kemuliaan.” (HR. Muslim).
Ibnul Qayyim menceritakan, “Tidaklah aku melihat orang yang lebih bisa memadukan
sifat-sifat ini -berakhlak mulia, pemaaf, dan suka berbuat baik kepada orang lain- daripada
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -semoga Allah menyucikan ruhnya- ketika itu sebagian para
sahabatnya yang senior mengatakan, ‘Aku sangat ingin bersikap kepada para sahabatku
sebagaimana beliau bersikap kepada musuh-musuhnya.’ Aku tidak pernah melihat beliau
mendoakan kejelekan kepada salah seorang di antara musuhnya itu. Bahkan beliau biasa
mendoakan kebaikan bagi mereka.” [Diangkat dari Al Asbab Al Mufidah li Iktisab Al Akhlaq
Al Hamidah karya Muhammad bin Ibrahim Al Hamd]

21. Dermawan
Kedermawanan merupakan sifat yang dicintai dan terpuji. Sebagaimana sifat bakhil (pelit)
adalah sifat yang tercela dan mengundang kebencian orang lain. Sifat dermawan akan
menumbuhkan kecintaan dan menyingkirkan permusuhan. Dengan sifat itulah nama baik
akan terjaga dan aib-aib akan tertutupi. Apabila seseorang telah menghiasi dirinya dengan
sifat dermawan maka akan sucilah jiwanya. Dengan demikian akan mengangkat dirinya
untuk bisa menggapai kemuliaan akhlak, keutamaan yang tinggi. Maka orang yang
dermawan amat sangat dekat dengan segala kebaikan dan kebajikan.

22. Melupakan Perbuatan Baiknya Kepada Orang Lain

Ini merupakan tingkatan yang tinggi serta mulia. Yaitu dengan cara melupakan kebaikan
yang pernah anda lakukan kepada orang lain hingga sepertinya hal itu tidak pernah anda
lakukan. Barangsiapa yang ingin meraih kemuliaan akhlak hendaknya dia berusaha
melupakan kebaikan yang pernah dilakukannya kepada orang lain. Hal itu supaya dia
terbebas dari perasaan berjasa dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan
orang lain. Dan juga supaya dia semakin meningkat menuju kemuliaan akhlak yang lebih
tinggi lagi.

23. Merasa Senang Dengan Perlakuan Baik Orang Lain Meski Hanya Sedikit

Yaitu dengan menerima kebaikan orang lain meskipun hanya sepele. Dan tidak menuntut
mereka untuk membalas kebaikannya dengan persis serupa. Sehingga dia tidak akan
menyulitkan orang lain. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Berikanlah maaf, perintahkanlah
yang ma’ruf dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raaf: 199). Abdullah
bin Az-Zubair mengatakan, “Allah memerintahkan Nabinya untuk suka memberikan maaf
dan toleransi terhadap kekurangan akhlak orang lain.”

24. Mengharapkan Pahala Dari Allah

Perkara ini merupakan salah satu sebab utama untuk bisa menggapai akhlak yang mulia.
Dengan hal ini orang akan mudah untuk bersabar, beramal dengan sungguh-sungguh, dan
tabah dalam menghadapi gangguan orang lain. Apabila seorang muslim meyakini bahwa
Allah pasti akan membalas kebaikan akhlaknya, niscaya dia akan bersemangat untuk
memiliki akhlak-akhlak yang mulia, dan rintangan yang dijumpainya akan terasa ringan.

25. Menjauhi Sebab-Sebab Marah

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, suatu ketika ada seorang lelaki yang datang menemui
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, “Wahai Rasulullah! Berikanlah
wasiat kepadaku.” Maka beliau mengatakan, “Jangan marah!.” (HR. Bukhari)

26. Menjauhi Perdebatan

Perdebatan akan memunculkan permusuhan serta menyisakan perpecahan. Bahkan


perdebatan juga terkadang menyebabkan kedustaan. Kalaupun memang terpaksa harus
berdebat maka hendaknya berdebat dengan cara yang santun serta didasari niat untuk
mencari kebenaran dan menggunakan cara yang lebih baik dan lebih lembut. Allah
berfirman yang artinya, “Dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. An-Nahl:
125). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku menjamin sebuah rumah di
surga bagian bawah bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun dia berada di
pihak yang benar. Dan aku menjamin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang
meninggalkan dusta meskipun dalam keadaan bergurau. Dan aku menjamin sebuah rumah
di surga yang tinggi bagi orang yang berakhlak baik.” (HR. Abu Dawud)

27. Saling Menasihati Agar Berakhlak Baik

Yaitu dengan mengingat-ingat keutamaan akhlak mulia dan memberikan peringatan keras
dari keburukan akhlak. Dan juga memberikan nasihat kepada orang yang berakhlak buruk
agar menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia. Akhlak yang mulia termasuk kebenaran
yang harus dipesankan kepada yang lain. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan mereka
saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran.” (QS. Al-’Ashr:
3).

28. Menerima Nasihat yang Sopan dan Kritikan yang Membangun

Hal ini termasuk sebab yang dapat memudahkan untuk bisa memiliki akhlak yang mulia dan
mengikis akhlak yang jelek. Bagi orang yang diberi nasihat maka hendaknya dia
menerimanya dengan lapang dada. Bahkan sudah semestinya bagi orang-orang yang
merindukan kesempurnaan -apalagi yang berkedudukan sebagai pemimpin- untuk meminta
saran kepada orang-orang tertentu yang dia percayai untuk mengetahui dan mengoreksi
kesalahan dan kekurangan dirinya. Dan hendaknya dia menyambut nasihat dan koreksi
yang mereka berikan dengan perasaan senang dan gembira.

29. Menunaikan Tugasnya Dengan Sebaik-Baiknya

Dengan melakukan yang demikian dia akan terbebas dari celaan dan kehinaan diri akibat
suka mencari-cari alasan demi menutupi kekeliruannya.

30. Mengakui Kesalahan

Ini merupakan salah satu ciri akhlak yang mulia dan karakter orang yang memiliki cita-cita
yang tinggi. Dengan mengakui kesalahan maka dirinya akan bersih dari tindakan dusta dan
suka mengobarkan pertikaian. Karena itulah mengakui kesalahan adalah sebuah
keutamaan yang akan mengangkat derajat pelakunya.

31. Senantiasa Bersikap Lemah Lembut dan Tidak Tergesa-Gesa

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kelembutan tidaklah ada pada
sesuatu melainkan pasti akan memperindahnya. Dan tidaklah dia dicabut dari sesuatu
melainkan dia akan memperburuknya.” (HR. Muslim). Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya
Allah Maha Lembut dan menyukai kelembutan dalam segala urusan.” (HR. Bukhari dan
Muslim)

32. Rendah hati


Kerendahan hati merupakan tanda kebesaran jiwa seseorang, cita-citanya yang tinggi dan
merupakan jalan untuk menggapai kemuliaan-kemuliaan. Hal itu merupakan akhlak yang
akan mengangkat kedudukan pemiliknya dan membuahkan keridaan orang-orang yang baik
dan memiliki keutamaan kepada dirinya. Sehingga hal itu akan memudahkan dan
memotivasi dirinya untuk bisa mengambil pelajaran dari siapapun. Dan sifat itulah yang akan
menghalangi dirinya dari karakter sombong dan tinggi hati.

33. Mudarah/bersikap ramah

Umat manusia diciptakan untuk berkumpul bukan untuk saling mengasingkan diri. Mereka
diciptakan untuk saling mengenal bukan untuk saling memusuhi. Dan mereka juga
diciptakan untuk saling menolong bukan untuk mengurusi segala keperluan hidupnya
sendirian. Salah satu kebijaksanaan aturan Allah yang dapat menjaga manusia dari sikap
saling memutuskan hubungan dan kasih sayang adalah adanya ajaran mudarah yaitu
menyikap orang dengan tetap ramah dan sopan. Karena mudarah akan menumbuhkan
kedekatan dan kecintaan. Dengannya pendapat yang saling berseberangan akan bisa
disatukan dan hati yang saling menjauhi bisa direkatkan. Bentuk mudarah ialah dengan
menjumpai orang dalam kondisi yang baik, ucapan yang lembut serta menjauhi
sebab-sebab terpicunya kemarahan dan kebencian kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu
yang menuntut hal itu memang harus ditampakkan. Di antara bentuk mudarah yaitu anda
bersikap ramah dan mau duduk bersama orang yang sebenarnya anda musuhi, anda
berbicara dengannya dengan santun dan menghormati keberadaannya. Bahkan terkadang
dengan mudarah itulah permusuhan akan padam dan berubah menjadi persahabatan.
Al-Hasan mengatakan, “Pertanyaan yang bagus adalah separuh ilmu. Bersikap mudarah
kepada orang lain adalah separuh akal…”

34. Jujur

Kejujuran akan mengantarkan kepada kemuliaan dan membebaskan manusia dari nistanya
kedustaan. Selain itu kejujuran pula akan membentengi dirinya dari kejelekan orang lain
kepadanya. Sebagaimana ia akan membuatnya memiliki harga diri dan kewibawaan yang
tinggi, keberanian dan percaya diri. Sesungguhnya dengan kejujuran itulah orang akan
terbimbing menuju kebaikan dan salah satu bentuk kebaikan itu adalah akhlak yang mulia.

35. Menjauhi Sikap Terlalu Banyak Mencela Orang yang Berbuat Jelek

Sudah selayaknya orang yang berakal menjauhi sikap berlebihan dalam mencaci orang lain
yang berlaku buruk kepadanya. Apalagi jika dia adalah orang yang masih belum mengerti
apa-apa. Atau dia adalah orang yang jarang sekali berbuat jelek. Terlalu banyak mencaci
akan mengobarkan kemarahan dan mengeraskan tabiat. Orang yang pandai tentu tidak
akan mudah mencela setiap kali saudaranya melakukan kekeliruan baik yang kecil ataupun
besar. Bahkan sudah semestinya dia mencari alasan untuk bisa memaklumi dan menutupi
aibnya tersebut. Kalaupun memang ada sebab yang mengharuskan celaan maka
hendaknya dia mencela dengan cara yang baik dan lembut.

36. Tidak Suka Mencaci Maki Orang Lain


Sikap suka mencaci orang akan memicu permusuhan dan membuat gelisah hati dan pikiran.
Dan secara otomatis akhlaknya akan memburuk akibat kebiasaan yang dilakukannya itu.

37. Memosisikan Diri Sebagaimana Lawannya

Dengan pandangan seperti ini maka kita akan mudah memberikan toleransi atas kesalahan
orang lain, sehingga kita akan lebih kuat menahan luapan amarah, dan jauh dari
berprasangka buruk kepadanya. Hendaknya kita menyikapi orang lain sebagaimana sikap
yang kita sukai dilakukan oleh orang lain kepada kita.

38. Menjadikan Orang Lain Sebagai Cerminan Bagi Dirinya Sendiri

Hal ini sangat layak untuk dilakukan oleh setiap individu. Segala ucapan dan perbuatan
yang tidak disukainya dari orang lain maka hendaknya dia jauhi. Dan apa saja yang
disukainya dari perkara-perkara itu hendaknya dia lakukan.

39. Bersahabat Dengan Orang Baik-Baik yang Berakhlak Mulia

Hal ini termasuk sebab terbesar yang akan bisa menempa seseorang agar bisa berakhlak
mulia. Persahabatan banyak memberikan pengaruh kepada diri seseorang. Maka sudah
semestinya setiap orang mencari teman yang baik dan dapat membantu dirinya dalam
berbuat kebaikan dan menghalanginya dari kejelekan.

40. Sering-Sering Mengunjungi Orang yang Berakhlak Mulia

Diriwayatkan dari Al-Ahnaf bin Qais, dia mengatakan, “Dahulu kami bolak-balik mengunjungi
Qais bin ‘Ashim dalam rangka mempelajari sikap lembut (hilm) sebagaimana halnya kami
belajar ilmu fikih.” Walaupun bisa jadi orang yang berakhlak mulia itu bukan orang yang
berilmu tinggi dan hanya orang biasa saja, hendaknya sering mengunjunginya untuk
mempelajari akhlaknya. [Diangkat dari Al Asbab Al Mufidah li Iktisab Al Akhlaq Al Hamidah
karya Muhammad bin Ibrahim Al Hamd]

41. Memetik Pelajaran dari Orang-Orang yang Bergaul Dengannya

Orang yang memiliki ketajaman berpikir dan cita-cita yang mulia tentunya selalu berusaha
untuk bisa memetik pelajaran dari setiap orang yang bergaul dengannya. Banyak orang
yang dapat mempelajari tentang bagaimana seharusnya menjaga kehormatan dan
berakhlak mulia ketika dia menjumpai orang-orang yang justru memiliki perilaku yang buruk
dan tercela. Bahkan terkadang orang akan bisa belajar dari perilaku hewan yang dilihatnya.

42. Melatih Diri untuk Tetap Bersikap Adil Ketika Mengalami Sesuatu yang Menyenangkan

Sudah semestinya bagi orang yang berakal dan mendambakan akhlak yang mulia untuk
berusaha untuk tetap bersikap adil dalam kondisi senang maupun susah. Sebab salah satu
adab yang harus dipunyai oleh orang yang terhormat adalah senantiasa berbuat adil dalam
kondisi senang ataupun susah.

43. Memahami Kondisi Orang Lain dan Menyesuaikan Dengan Akal Mereka
Hal ini merupakan bukti kecermatan orang dalam menilai dan mengatur urusan yang
dihadapinya. Dan hal ini juga menunjukkan tentang baiknya sikap yang dia tempuh dalam
memilih sarana kebaikan yang dia gunakan. Dengan sikap semacam ini maka seorang akan
mudah menggapai keluhuran akhlak dan akan disenangi oleh orang lain. Manusia yang
dihadapi itu beraneka ragam, oleh sebab itu masing-masing perlu disikapi dengan sikap
yang tepat dan sesuai dengan kondisi orang yang bersangkutan. Tentu saja dengan
batasan, selama hal itu tidak menyebabkan kebenaran dicampakkan dan kebatilan
dipertahankan.

44. Menjaga Adab Berbicara dan Adab Majelis

Di antara adab yang harus diperhatikan adalah mendengarkan dengan baik ketika orang lain
berbicara. Jangan memotong pembicaraannya sebelum selesai, langsung mendustakannya,
atau meremehkannya, atau terburu-buru melengkapi ucapannya yang dianggap kurang
sempurna. Selain itu hendaknya juga dijauhi membicarakan tentang diri sendiri dalam
rangka membangga-banggakan dirinya di hadapan orang. Hendaknya juga tidak
mudah-mudah melontarkan komentar terhadap pembicaraan orang lain. Atau memberikan
celaan secara merata kepada setiap orang. Atau mengulang-ulang pembicaraan tanpa ada
faktor yang menuntut hal itu harus dilakukan. Termasuk sikap yang harus dijauhi adalah
bertanya berlebihan atau terlalu berdalam-dalam dalam menanyakan suatu perkara tanpa
keperluan. Selain itu hendaknya berbicara dengan menyesuaikan kondisi atau konteks
pembicaraan. Hendaknya bersikap rendah hati terhadap orang yang diajak bicara. Begitu
pula hendaknya mengucapkan salam ketika masuk ke dalam majelis atau ketika
meninggalkannya. Tidak menyuruh orang lain yang sedang duduk untuk berdiri kemudian
dia duduk di tempat tersebut. Tidak duduk di antara dua orang yang berdekatan kecuali
dengan izin keduanya. Dan adab-adab yang lainnya.

45. Menjaga Shalat

Memelihara shalat adalah sebab yang sangat agung untuk menggapai akhlak yang mulia,
wajah yang berseri-seri dan jiwa yang tenang serta akan menjauhkan dari sifat-sifat rendah
dan hina. Sebagaimana shalat juga dapat menghalangi pelakunya dari melakukan
perbuatan yang keji dan mungkar. Dengan melakukan shalat secara benar maka akhlak
yang buruk akan dapat dikendalikan. Shalat akan dapat menyembuhkan penyakit-penyakit
hati semacam: pelit, dengki, suka mengeluh dan mencela, dan lain sebagainya.

46. Berpuasa

Melakukan puasa akan menyucikan jiwa. Puasa akan memperbaiki perilaku. Puasa akan
menumbuhkan berbagai akhlak yang mulia dan terpuji semacam: penyayang, dermawan,
suka berbuat baik, menyambung persaudaraan, bermuka ramah, dan lain sebagainya.
Puasa akan meningkatkan cita-cita di dalam hati dan mengokohkan tekad serta
mewujudkan ketenteraman. Puasa merupakan ajang untuk melatih diri menanggung
sesuatu yang tidak disenangi oleh nafsu. Sebuah media untuk memanajemen diri. Puasa
juga akan menggerakkan diri menuju kebaikan dan mengekang pelakunya dari perbuatan
buruk.
47. Membaca Al-Qur’an Dengan Merenungkan Isinya

Al-Qur’an mengandung petunjuk dan cahaya. Ia merupakan pedoman akhlak yang paling
utama. Ia akan menuntun kepada kebenaran dan kebaikan. Kemuliaan akhlak merupakan
bagian dari kebaikan yang ditunjukkan oleh al-Qur’an. Bahkan di dalamnya terdapat ayat
yang merangkum berbagai macam akhlak yang mulia yaitu firman-Nya yang artinya,
“Jadilah pemaaf, perintahkan yang ma’ruf, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.”
(QS. Al-A’raaf: 199). Al-Qur’an akan mendorong jiwa manusia untuk memiliki berbagai sifat
kesempurnaan dan mengisinya dengan cita-cita yang agung.

48. Menyucikan Jiwa Dengan Melakukan Ketaatan

Menyucikan jiwa dengan senantiasa melakukan ketaatan kepada Allah adalah sarana
terbesar untuk meraih akhlak yang mulia. Allah berfirman yang artinya, “Sungguh beruntung
orang-orang yang membersihkan jiwanya.” (QS. Asy-Syams: 9).

49. Senantiasa Menyimpan Rasa Malu

Rasa malu akan menjaga diri agar tidak melakukan perbuatan buruk dan mendorongnya
untuk senantiasa melakukan kebaikan. Apabila seseorang menghiasi diri dengan sifat ini
maka dia akan terpacu untuk meraih keutamaan-keutamaan dan terhambat dari
perbuatan-perbuatan yang rendah dan hina. Rasa malu akan senantiasa melahirkan
kebaikan. Ia merupakan bagian penting dari keimanan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Rasa malu tidaklah memunculkan kecuali kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Beliau juga menyatakan, “Rasa malu adalah cabang keimanan.” (HR. Ibnu Majah). Beliau
juga bersabda, “Salah satu ucapan pertama kali yang diperoleh manusia dari ajaran para
nabi terdahulu adalah jika kamu tidak malu berbuatlah sesukamu.” (HR. Bukhari dan
Muslim).

50. Menebarkan Salam

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalian tidak akan masuk surga hingga
kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman (dengan sempurna) kecuali kalian saling
mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian, sesuatu yang apabila kalian lakukan maka
kalian akan saling mencintai, yaitu sebarkanlah salam di antara sesama kalian.” (HR.
Muslim). Umar bin Khattab mengatakan, “Salah satu sebab yang akan memurnikan rasa
suka saudaramu kepadamu ialah kamu selalu berusaha memulai mengucapkan salam
kepadanya apabila bersua. Hendaknya kamu memanggilnya dengan panggilan yang paling
disukai olehnya. Kamu lapangkan tempat duduk untuk menyambut kehadirannya.”

51. Selalu Memperhatikan Perjalanan Hidup Nabi

Kisah perjalanan hidup Nabi akan menyajikan di hadapan pembacanya suatu gambaran
yang indah mengenai petunjuk yang paling baik dan akhlak yang paling mulia untuk
diterapkan oleh segenap umat manusia.

52. Selalu Memperhatikan Perjalanan Hidup Para Sahabat


Para sahabat adalah orang-orang yang mewarisi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan juga akhlaknya. Dengan melihat kisah perjalanan hidup mereka akan dapat memacu
jiwa untuk meneladani dan meniru kebaikan-kebaikan mereka.

53. Membaca Sejarah Hidup Orang-Orang yang Memiliki Keutamaan

Betapa sering orang terpacu dan bertekad kuat untuk memperbaiki akhlaknya karena
membaca teladan perjalanan hidup orang-orang yang mulia. Karena dengan membaca
biografi dan kisah perjalanan hidup mereka akan menggerakkan jiwa untuk meniru dan
meneladani kebaikan mereka.

54. Membaca Buku-Buku Tentang Sifat-Sifat Baik dan Akhlak

Dengan membaca buku-buku semacam itu maka orang akan selalu teringat dan terpacu
untuk berakhlak mulia. Begitu pula sebaliknya, dia akan berusaha untuk menjauhi
akhlak-akhlak yang tercela. Buku-buku seperti ini banyak sekali, di antaranya adalah:

1. Syama’il Muhammadiyah karya At-Tirmidzi


2. Kitab Adab yang ada di dalam kitab-kitab Sahih dan Sunan
3. Adabu Dunya wa Din karya Al-Mawardi
4. Raudhatul ‘Uqala’ wa Nuzhatul Fudhala’ karya Ibnu Hiban
5. Dan lain-lain

55. Membaca Kata-Kata Bijak dari Ulama Terdahulu

Hikmah/kata-kata bijak adalah ucapan yang diriwayatkan dari ulama terdahulu, singkat akan
tetapi membawa pengaruh yang dalam. Kata-kata bijak (hikmah) akan mendorong untuk
berakhlak yang mulia dan memandunya dalam melangkah. Qais bin ‘Ashim suatu ketika
pernah ditanya, “Apa yang mendorong kaummu menjadikanmu sebagai pemimpin?”. Beliau
menjawab, “Karena tidak suka menyakiti, suka memberi, dan berjuang membela (agama)
Allah.”

56. Mengenal Ungkapan dan Perumpamaan yang Indah

Ungkapan dan perumpamaan-perumpamaan yang indah memiliki pengaruh kuat terhadap


jiwa manusia. Ia akan membangkitkan semangat untuk beramal dan memperhalus
perilakunya. Perumpamaan tidak susah untuk dihafal dan mudah untuk dipahami. Ia mudah
untuk diselipkan dalam suasana serius dengan sedikit bercanda. Dengan kata-kata yang
ringkas orang lain akan mudah mengambil pelajaran dan terpacu untuk memperbaiki diri.
[Diangkat dari Al Asbab Al Mufidah li Iktisab Al Akhlaq Al Hamidah karya Muhammad bin
Ibrahim Al Hamd]

Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmush shalihaat

Wallahu a’lam bish-shawab

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi


‫واَل َّسالَ ُم َع َل ْي ُك ْم َو َرحْ َم ُة ِ‬
‫هللا َو َب َر َك ُ‬
‫ات‬

Anda mungkin juga menyukai