Seperti itulah nasihat Elifas. Ia mengajukan pertanyaan retoris (ayat 2-3, 7-9, 11-
14) dan kata-kata kasar serta tajam (ayat 4-6, 16). Rupanya Elifas tersinggung dengan
pernyataan Ayub (ayat 12:3; 13:2). Itu sebabnya Elifas membalas Ayub dengan
menggunakan kata-kata Ayub sendiri (ayat 9). Pertanyaan-pertanyaan retoris Elifas
sebenarnya bermaksud menyindir Ayub yang mengaku diri berhikmat (ayat 2), memiliki
pengetahuan ilahi (ayat 7-8) dan merasa diri benar (ayat 14-16) padahal bodoh dan
berdosa. Sedangkan kata-kata kasar serta tajam Ayub, hanya menyamakannya dengan
orang fasik. Perhatikan, misalnya "kesalahanmulah yang menghajar mulutmu, dan
bahasa yang licik yang kaupilih" (ayat 5), juga "lebih-lebih lagi orang yang keji dan
bejat, yang menghirup kecurangan seperti air" (ayat 16).
Mulai ayat 20-35 Elifas kemudian menguraikan panjang lebar tentang nasib
orang fasik. Orang fasik sepanjang hidupnya akan menderita, ketakutan (ayat 20-24,
28-30), dan akhirnya binasa (ayat 31-35) oleh karena hidup mereka yang menentang
Allah (ayat 25-27). Ucapan Elifas ini menciptakan `tembok pemisah' antara Ayub
dengan ketiga temannya (ayat 10). Perkataan Elifas ini mempertajam suasana yang
tidak enak menjadi konflik terbuka. Yang ada bukan nasihat lemah lembut, tetapi
tuduhan yang penuh kemarahan. Sikap menghukum menggantikan kasih.
Memang kita harus berhati-hati dalam menasihati orang lain. Jangan gegabah
memutlakkan pandangan kebenaran kita. Jangan pula menuduh tanpa bukti-bukti yang
jelas, apalagi dengan kata-kata keras dan kasar. Bila nasihat disampaikan dengan
kesombongan, hasilnya adalah pertengkaran, kemarahan, dan sakit hati. Kebenaran
harus disampaikan dalam kasih.
Tanggpan ketigaa: Ayup 22
Elifas memaksakan Ayub setuju argumennya bahwa orang susah pasti berdosa.
Walaupun dia bersahabat dengan Ayub, ia tak mampu merevisi pemahamannya agar
sesuai data baru di hadapannya. Tuhan menciptakan manusia dengan akal budi sesuai
citra-Nya. Untuk berfungsi sesuai citra Tuhan itu, kita perlu menggunakan akal budi.
Apa yang terjadi dengan Elifas, Bildad, dan Zofar adalah contoh ketidakmampuan
orang menggunakan akal budinya, sehingga mereka tidak bisa menjadi citra Tuhan
yang baik dalam hidup mereka. Dalam sepanjang dialog yang sudah kita baca
beberapa hari belakangan ini, kita melihat sebuah konsekuensi fatal gaya hidup orang-
orang yang mengklaim mencintai Tuhan, ternyata tidak bijak menggunakan segenap
akal budinya.
Satu bahaya lain juga mengincar, yaitu: ceramah dari ketiga teman Ayub ini tidak
melenceng jauh dari ajaran yang benar. Misalnya, Allah mahakuasa (3), mahatahu (13
dst.), mendengar doa (27). Tetapi penerapannya yang simplistis dengan berpikir bahwa
orang sukses pasti selamat dan orang yang doanya tidak didengar Tuhan pasti
punya dosa tersembunyi. Semua ajaran mereka sangat berbahaya. Karena itu, butuh
kepekaan dan ketelitian untuk mengenali dan meluruskan ajaran-ajaran yang beda tipis
dengan iman Kristen. Sedikit toleransi pada hal-hal yang prinsipil berakibat fatal,
karena mereka melihat anugerah Allah yang menghidupkan diyakininya sebagai hukum
yang mematikan.
Ketika berbicara dengan Ayub, Elifas tampak lembut dan rendah hati.
Sebagaimana sahabat-sahabatnya yang lain, Elifas pertama-tama bermaksud
memberikan penghiburan. Elifas adalah yang pertama pula berbicara
sebelum Bildad orang Suah dan Zofar orang Naama. Perkataannya dalam tiga babak
pembicaraan dicatat dalam pasal-pasal Ayub 4-5, Ayub 15, dan Ayub 22. Dalam
perkataannya yang pertama untuk menjawab keluhan Ayub, ia berpendapat bahwa
orang yang sungguh-sungguh benar tidak akan ditinggalkan sama sekali oleh Allah,
tetapi hukuman dapat diberikan kepada dosa yang tersembunyi. Elifas menolak bahwa
ada orang yang tidak bersalah dan menegur Ayub karena menyatakan bebas dari
kesalahan. Elifas menganjurkan Ayub untuk mengakui semua kesalahan yang
disembunyikannya untuk mengakhiri hukuman. Argumen yang tampaknya kuat ini
ternyata disalahkan oleh Allah karena Elifas menganut pandangan keliru atas anugerah
Allah.