Anda di halaman 1dari 10

“JALAN YANG MENUJU HIDUP ATAU ARTI MENCARI TUHAN”

“HIDUP ATAU MATI”

Banyak orang Kristen mungkin sudah terbiasa dengan berbagai slogan tentang
kedekatan dengan Allah. Salah satunya adalah “mencari TUHAN.” Setiap kita sangat
mungkin pernah mendengarkan nasihat untuk mencari Allah, terutama di tengah
situasi yang sukar.

Sayangnya, tidak semua orang benar-benar memahami apa arti dari nasihat
seperti itu. Apakah mencari Allah identik dengan bersaat teduh secara lebih intensif?
Apakah mencari Allah selalu mengambil bentuk keintiman spiritual yang mistis?

Melalui khotbah hari ini kita akan belajar bahwa mencari TUHAN itu tidak
terpisahkan dari relasi kita dengan sesama. Bagaimana seseorang menjalani relasi
sosialnya mencerminkan bagaimana kedekatannya dengan TUHAN. Dengan kata lain,
relasi dengan TUHAN dilihat dari relasi dengan sesama.

Seperti yang sudah dijelaskan di beberapa khotbah sebelumnya, Amos 5:1-17


ditulis dengan pola chiasme (ABCDC’B’A’). Teks kita hari ini (ayat 14-15) paralel
dengan ayat 4-6. Berdasarkan paralelisme bagian ini kita bisa menyimpulkan bahwa
mencari TUHAN (5:4-6) identik dengan mencari yang baik (5:14-15). Maksudnya,
mencari TUHAN berarti membenci kejahatan dan mencintai kebaikan.

Seruan untuk mencari TUHAN/kebaikan ini merupakan wujud anugerah dari


Allah. Dia tidak menghendaki umat-Nya mengalami hukuman seperti yang sudah
diperingatkan-Nya sebelumnya (5:14 “supaya kamu hidup”). Kalaupun mereka pada
akhirnya tetap dihukum atas ketidaktaatan mereka, ada harapan untuk mereka yang
disisakan oleh TUHAN (5:16 “TUHAN, Allah semesta alam, akan mengasihani sisa-
sisa keturunan Yusuf”). Allah tidak menginginkan kemusnahan mereka.

Mencari TUHAN dengan benar

Bangsa Israel bukanlah bangsa yang tidak peduli dengan hal-hal rohani.
Mereka masih aktif beribadah kepada TUHAN (5:21-24). Mereka bahkan memiliki
beberapa tempat ibadah sekaligus (5:5). Bagi mereka, mencari TUHAN hanya
terbatas pada aktivitas ritual.
Ini adalah kesalahan yang besar. Mereka mencari TUHAN dengan cara yang
salah. Ibadah kepada TUHAN tidak boleh diceraikan dari ketaatan terhadap perintah-
perintah TUHAN.

Mencari TUHAN berarti mencari yang baik (ayat 14a). Yang dimaksud dengan
“yang baik” di sini adalah lawan dari kejahatan (4:14b “jangan yang jahat”). Secara
lebih spesifik, yang baik berarti keadilan (4:16 “tegakkanlah keadilan”).

Nasihat ini sangat relevan bagi bangsa Israel. Sebagaimana yang sudah
disinggung di khotbah-khotbah sebelumnya, para pemimpin dan orang kaya di Israel
banyak yang menekan orang lemah dan menindas orang miskin (5:11). Para penegak
hukum di pintu gerbang dapat diatur oleh suap dari orang-orang kaya (5:12). Mereka
tidak memedulikan keadilan. Kepada mereka Amos mengingatkan bahwa ritual
kepada TUHAN seharusnya disertai dengan keadilan sosial bagi sesama.

Yang menarik dari nasihat di ayat 14 adalah kesejajaran antara mencari yang
baik (ayat 14) dan mencintai yang baik (ayat 15). Kesejajaran ini menyiratkan bahwa
“mencari” dalam konteks ini berbicara tentang orientasi hati seseorang, bukan sekadar
suatu tindakan. Yang ingin dibenahi bukan hanya tindakan (perubahan perilaku),
tetapi juga perubahan sikap hati.

Untuk menekankan aspek batiniah di sini Amos juga menggunakan ungkapan


“bencilah yang jahat” (ayat 15a). Bukan sekadar menjauhi atau tidak melakukan,
tetapi benar-benar memandang kejahatan dengan penuh kebencian. Ruang hatinya
sama sekali tidak disisakan untuk kejahatan.

Poin di atas mengajarkan poin teologis yang sangat fundamental. Pelanggaran


dan ketaatan sama-sama bersumber dari hati seseorang. Manusia bukan hanya
melakukan dosa atau dikuasai oleh dosa. Mereka sekaligus juga mencintai dosa.
Mereka sedang memberi makan berhala-berhala dalam hati mereka. Mereka takut
kehilangan semua berhala itu.

Sebaliknya, ketaatan juga didorong oleh cinta. Ketaatan kepada Allah yang
tidak disertai dengan cinta kepada-Nya hanyalah keterpaksaan yang melelahkan dan
menakutkan. Melelahkan, karena seseorang memang tidak benar-benar ingin
melakukannya. Menakutkan, karena seseorang melakukan hanya gara-gara takut
dijatuhi hukuman.
Jadi, transformasi dimulai dari hati. Melawan dosa juga dimulai dari hati,
bukan sugesti diri, terapi maupun disiplin diri. Kita harus selalu melakukan kalibrasi
hati ke arah Injil. Dengan mengarahkan hati kita kepada Injil, kita akan digairahkan
oleh Injil.

Hasil mencari TUHAN

Sama seperti ketaatan kita kepada Allah didorong oleh kasih kita kepada-Nya,
demikian pula teguran dan kecaman dari Allah kepada kita didorong oleh kasih-Nya.
Di balik murka-Nya ada hati yang mengasihi anak-anak-Nya. Di balik hukuman-Nya
ada maksud baik yang direncanakan bagi kita. Dia menjanjikan hal-hal yang baik bagi
mereka yang mencintai dan mencari kebaikan.

Poin ini tidak boleh dipahami seolah-olah Allah sedang melakukan transaksi
timbal-balik dengan kita. Ketaatan kita tidak menghasilkan kemurahan-Nya. Kebaikan
kita bukan alasan bagi kebaikan-Nya. Dia tidak harus membalas kebaikan kita dengan
kebaikan-Nya. Sebagai ciptaan-Nya kita memang harus memberikan ketaatan kepada-
Nya. Itu sudah sepantasnya. Namun, dalam kedaulatan dan kasih-Nya, Allah telah
menetapkan untuk menghadiahi kebaikan kita dengan kebaikan-Nya. Itulah sebabnya
Dia memberi janji yang indah bagi siapa saja yang mau berserah.

Apa saja hasil dari mencari TUHAN? Amos mencatat dua hal.

Pertama, TUHAN akan bersama-sama dengan umat-Nya (ayat 14b). Konsep


tentang penyertaan TUHAN ini jelas bukan ajaran baru bagi bangsa Israel. Mereka
bahkan sering mengucapkan kebenaran ini (“…akan menyertai kamu seperti yang
kamu katakan”). Hanya saja, mereka mengucapkan itu dengan konsep yang keliru.
Mereka beranggapan bahwa selama kewajiban ritual dilaksanakan, TUHAN pasti ada
di tengah-tengah mereka. Mereka meyakini bahwa keamanan dan kemakmuran yang
sedang dinikmati oleh bangsa Israel, itu menjadi bukti bahwa TUHAN menyertai
mereka.

Amos sedang menentang kekeliruan doktrinal ini. Kehadiran TUHAN tidak


dapat dipisahkan dari kekudusan-Nya. Bagaimana mungkin Allah yang mahakudus
mau berdiam bersama-sama dengan umat yang berdosa? Kehadiran Allah dalam arti
yang sesungguhnya sangat berkaitan dengan ketaatan umat-Nya. Jika mereka berjalan
dalam kekudusan, Allah akan hadir di tengah mereka beserta dengan semua kebaikan-
Nya.
Kedua, TUHAN akan memberikan kemurahan kepada sisa-sisa umat-Nya (ayat
15). Terlepas dari betapa seriusnya kecaman dan peringatan dari TUHAN, bangsa
Israel tetap berkubang dalam pelanggaran. Mereka menganggap sepi kemurahan
Allah. Hukuman tampaknya memang tidak terelakkan.

Walaupun demikian, hukuman bukanlah tujuan. Hukuman hanyalah salah satu


sarana ketaatan. Dari antara sisa-sisa bangsa Israel yang tidak binasa dalam
penghukuman, Allah masih akan menyediakan kemurahan-Nya. Dia tidak bisa
berhenti mengasihani umat kesayangan-Nya. Dia masih belum selesai dengan umat-
Nya. Dia menyediakan sisa. Dari sisa itulah Dia akan memulai segalanya dari awal.
Keseriusan dosa umat-Nya tidak akan mengalahkan keseriusan kasih Allah kepada
mereka. Soli Deo

Ketika Allah melakukan suatu tindakan, seluruh sifat-Nya berjalan beriringan.


Tidak ada satupun yang dikorbankan. Karena kekudusan dan keadilan-Nya, Allah
tidak mau berkompromi dengan dosa. Karena kasih-Nya, Dia menawarkan
pengampunan. Karena kuasa-Nya, Dia mampu menyelamatkan dan memulihkan yang
terhilang. Dalam kalimat yang lebih pendek, seluruh tindakan Allah menunjukkan
bahwa Dia adalah Pribadi yang penuh kasih karunia dan kebenaran.

Gambaran seperti inilah yang terlihat dari teks hari ini. Allah menunjukkan
murka-Nya atas bangsa Israel. Dia memberikan ancaman serius yang akan
ditimpakan-Nya atas mereka (5:1-3). Pada saat yang bersamaan Dia juga menawarkan
jalan keluar dari situasi yang sangat mengerikan tersebut. Dia mengundang bangsa
Israel untuk mencari Dia (5:4-6).

Seberapa seriuskah ancaman hukuman yang sudah disiapkan oleh Allah? Solusi apa
yang juga sudah ditawarkan oleh Allah?

Sebelum menjawab dua pertanyaan di atas, kita lebih dahulu perlu mengerti jenis
sastra (genre) dari Amos 5:1-17. Banyak penafsir Alkitab menyepakati bahwa bagian
ini merupakan sebuah ratapan khas dalam konteks peperangan. Allah sendiri secara
eksplisit menyebut ucapan-Nya di bagian ini sebagai sebuah ratapan (5:1).
Perbandingan ratapan di Amos 5:1-17 dengan ratapan Daud untuk Saul – Yonatan di
2 Samuel 1:17-27 menunjukkan kemiripan elemen yang cukup signifikan: (1)
diskripsi tentang situasi yang tragis (5:2-3; 2Sam. 1:19, 23, 25, 27); (2) panggilan
untuk melakukan sesuatu (5:4-6, 14-15; 2Sam. 1:20); (3) sapaan langsung untuk yang
mati (5:7-13; 2Sam. 1:26); (4) panggilan untuk berkabung (5:16-17; 2Sam. 1:26).
Dilihat dari jenis satra ini, teks hari ini hanya mencakup dua bagian pertama dari
ratapan ini, yaitu diskripsi tentang tragedi (5:2-3) dan panggilan untuk melakukan
sesuatu (5:4-6).

Diskripsi tragedi (ayat 2-3)

Ayat 2-3 memaparkan secara detil tragedi apa yang akan menimpa bangsa Israel
sebagai bentuk hukuman dari Allah. Ada banyak aspek penting yang tercakup dalam
penjelasan ini.

Keseriusan dan kepastian hukuman dinyatakan melalui kata kerja lampau “telah
rebah” (ayat 2a). Menariknya, bentuk lampau ini dibedakan dari kata kerja futuris
“akan tersisa” di ayat 3. Perbedaan rujukan waktu ini jelas tetap merujuk pada
peristiwa yang sama. Bentuk lampau di ayat 2 merupakan perspektif profetis yang
sudah menjadi gaya sastra umum pada waktu itu. Allah seringkali menggunakan
bentuk lampau untuk menegaskan kepastian dari apa yang diucapkan. Dari perspektif
Allah, apa yang akan terjadi sebenarnya sudah terjadi.

Kejatuhan Israel di ayat 2 sangat ironis. Bangsa ini digambarkan seperti anak dara.
Ungkapan ini menyiratkan masa kejayaan. Masa emas Israel akan segera berakhir dan
digantikan dengan kejatuhan. Untuk menambah ironi, kejatuhan ini akan terjadi “di
atas tanahnya” (ayat 2). Ini bukan merujuk pada kejatuhan akibat ekspansi militer ke
luar, melainkan invasi ke dalam oleh bangsa Israel.

Peristiwa di atas akan berlangsung secara permanen. Bangsa Israel “tidak akan
bangkit-bangkit lagi” (ayat 2). Frasa “tidak ada yang membangkitkannya” (ayat 2)
sangat mungkin ditujukan pada sekutu-sekutu Israel selama ini. Bangsa-bangsa itu
mungkin bukan hanya tidak mau atau mampu menolong. Mereka mungkin
bersukacita dengan kejatuhan itu. Mana yang benar kita sukar untuk mengetahuinya
dari teks ini saja. Intinya, Israel akan jatuh, dan itu merupakan akhir dari nasib
mereka.

Ayat 3 menerangkan bagaimana kejatuhan di ayat 2 bisa terjadi. Kejatuhan terjadi


karena kekalahan perang. Menariknya, kata sambung “sebab” di awal ayat 3 tidak
langsung menyinggung tentang perang. Bagian ini dimulai dengan kalimat: “sebab
beginilah firman Tuhan ALLAH kepada bangsa Israel” (ayat 3a). Penyebab ultimat
dari kejatuhan Israel adalah faktor spiritual. Semua terjadi sesuai yang difirmankan
oleh Allah. Bangsa lain yang akan mengalahkan Israel (yaitu Asyur) hanyalah alat di
tangan Allah.

Terjemahan LAI:TB “maju berperang” (ayat 3) bisa menimbulkan kesan yang keliru
seolah-olah bangsa Israel sedang melakukan ekspansi militer ke negara lain. Kesan ini
bertabrakan dengan ayat sebelumnya (“rebah di atas tanahnya”). Dalam teks Ibrani
bagian itu berarti “pergi keluar.” Gambaran ini cocok untuk para prajurit yang sedang
keluar dari kota dalam upaya untuk menyelamatkan kota tersebut dari serangan
musuh.

Usaha ini berakhir dengan kesia-siaan. Tidak peduli berapapun prajurit yang dikirim
untuk memertahankan kota-kota Israel, semua pulang dengan kekalahan telak: seribu
menjadi seratus, seratus menjadi sepuluh. Dengan kata lain, seluruh lapisan tentara
sudah dikerahkan, tetapi hasilnya tetap mengecewakan.

Panggilan untuk melakukan sesuatu (ayat 4-6)

Apa yang akan dilakukan oleh Allah sudah jelas dan tegas. Kehancuran tinggal
menunggu waktu saja. Walaupun demikian, Allah masih memberikan kesempatan
kepada bangsa Israel untuk keluar dari tragedi ini. Dia sendiri memberikan solusi.

Hukuman akan dijauhkan apabila Israel mencari TUHAN. Undangan untuk mencari
Allah di sini seharusnya tidak sukar untuk dilakukan. Penderitaan seringkali
dimaksudkan sebagai pengeras suara dari Allah untuk dunia yang tuli (C. S. Lewis).
Melalui kesakitan dan keputusasaan Allah sedang mengundang banyak orang untuk
kembali kepada diri-Nya.

Bagaimana kita seharusnya mencari Allah? Untuk melakukannya dengan tepat, kita
perlu lebih dahulu memahaminya dengan tepat pula.

Pertama, mencari Allah bersifat personal. Tawaran yang diberikan kepada Israel
berbunyi demikian: “Carilah Aku, maka kamu akan hidup” (ayat 4b). Pemunculan
kata “Aku” di sini mungkin cukup mengagetkan. Di ayat selanjutnya Allah melarang
Israel untuk mencari Betel, pusat di kerajaan utara. Allah tidak berkata: “Carilah
Yerusalem” (pusat ibadah di kerajaan selatan). Poin ini ditegaskan lagi: “Carilah
TUHAN” (ayat 6).

Semua ini mengajarkan kepada kita bahwa inti dari ibadah yang benar adalah relasi,
bukan lokasi. TUHAN yang menciptakan segala tempat dan lebih besar daripada
semua tempat bisa ditemui di segala tempat. Yang penting adalah hati yang
dikalibrasikan kepada hati Allah. Poin ini merupakan kritikan tajam bagi sebagian
orang Kristen yang seringkali mencari tempat ibadah yang nyaman. Mereka perlu
mengingat bahwa kenyamanan dalam ibadah tidak selalu berarti perjumpaan dengan
Allah.

Kedua, mencari Allah bukan opsional. Ada resiko jika tidak dilakukan: “supaya
jangan Ia memasuki keturunan Yusuf bagaikan api, yang memakannya habis dengan
tidak ada yang memadamkan bagi Betel” (ayat 6b). Resiko ini terlihat sangat serius.
TUHAN bukan mengirimkan api, tetapi Dia sendiri akan datang sebagai api yang
menghanguskan. Jika ini yang terjadi, kehancuran yang ditimbulkan tidak akan bisa
ditanggulangi oleh siapapun. Frasa “tidak ada yang memadamkan bagi Betel” (bagian
akhir ayat 6) kemungkinan merupakan sindiran terhadap para dewa yang disembah
bangsa Israel di sana (NLT “Your gods in Bethel won’t be able to quench the
flames”).

Hukuman serius yang akan menimpa Israel jika mereka menolak untuk mencari
TUHAN sebaiknya tidak dipandang secara negatif seolah-olah Allah bertindak
sewenang-wenang dan sedang menakut-nakuti Israel dengan kuasa-Nya. Poin yang
ingin disampaikan bukan itu. Sebaliknya, keseriusan ancaman menunjukkan
keseriusan kasih Tuhan. Dia yang tidak butuh apa-apa sangat menginginkan kita. Dia
tidak segan-segan melakukan apapun untuk mendapatkan kita kembali menjadi milik-
Nya.

Sayangnya, tawaran serius ini tidak selalu disambut dengan baik. Contohnya adalah
bangsa Israel pada zaman Amos. Mereka tidak mengindahkan undangan Allah yang
beranugerah.

Penolakan ini disebabkan bangsa Israel sudah terjebak pada rutinitas ritual. Mereka
merasa sudah cukup dengan semua praktek seremonial di pusat-pusat ibadah mereka.
Semua ritual ini dianggap sudah memadai untuk menyenangkan hati TUHAN,
padahal Allah sudah muak dengan semua itu (bdk. 5:21-23). Allah jauh lebih
menginginkan pertobatan daripada kurban persembahan.
Penolakan ini juga mungkin dipicu oleh kebanggaan historis. Tiga kota yang
disebutkan di ayat 5-6 merupakan kota-kota yang sarat dengan peristiwa historis yang
luar biasa. Betel merupakan tempat pertemuan Yakub dengan TUHAN (Kej. 28:19).
Di kemudian hari kota ini dijadikan pengganti bait Allah di Yerusalem pada waktu
pecahnya kerajaan (1Raj. 12:26-33). Nama Gilgal juga tidak kalah mentereng, karena
kota ini merupakan kota Kanaan pertama yang diduduki dan dijadikan pusat ibadah
awal (Yos. 5:2-12). Di sanalah orang-orang Israel disunatkan. Kota terakhir, yaitu
Bersyeba, cukup unik. Kota ini sebenarnya terletak di daerah selatan, dekat perbatasan
dengan utara, tetapi bangsa Israel memang sering berziarah ke sana. Ini adalah kota
kenangan karena pernah didiami oleh Abraham (Kej. 22:19), Isak (Kej. 26:23) dan
Yakub (Kej. 46:1-5).

Dua halangan untuk mencari TUHAN di atas – yaitu kepuasan dari ritual dan
kebanggaan historis – seringkali memang menjadi bahaya besar bagi kerohanian.
Orang-orang terlihat memiliki kedekatan dan pengalaman bersama TUHAN, padahal
dalam kenyataan tidak demikian. Hidup mereka sama sekali tidak mencerminkan
iman mereka. Mereka masih mengandalkan yang lain. Tuhan adalah nomor sekian.

Kitapun bisa terjebak pada kesalahan yang sama. Kita merasa diri berkuasa dan
menganggap hidup baik-baik saja. Ini yang seringkali menjadi penghalang kita datang
kepada Tuhan dan dipulihkan. Keberhargaan Tuhan tidak akan ditemukan sepenuhnya
jika kita tidak sepenuhnya menyampahkan diri kita. Hidup kita yang hancur memang
dapat dibereskan oleh Tuhan, tapi kita harus menyerahkan semua serpihannya, bukan
hanya sebagian. Soli Deo Gloria.

Amos 5:6 (TB) "Carilah TUHAN, maka kamu akan hidup, supaya jangan Ia memasuki
keturunan Yusuf bagaikan api, yang memakannya habis dengan tidak ada yang
memadamkan bagi Betel."
Amos 5:6 (NET) "Seek the Lord so you can live! Otherwise he will break out like fire
against Joseph’s family; the fire will consume and no one will be able to quench it and
save Bethel"
Mencari TUHAN itu dalam tradisi Israel kala itu adalah jika mereka pergi ke tempat di
mana TUHAN berada. Keyakinan mereka TUHAN itu berada di tempat yang suci
semisal Betel, GIlgal, dan Bersyeba. Mengapa ketiga tempat ini disebukan Amos?
Karena ketiga tempat ini memiliki nilai sejarah dalam iman Israel. Mari kita lihat apa
kelebihan ketiga tempat ini.
Bethel artinya Rumah Tuhan. Bethel adalah sebuah tempat yang memiliki peristiwa-
peristiwa penting. Di Bethel inilah Yakub, dari perjalanan dari Beersheba ke Haran,
mendapat penglihatan malaikat turun naik dalam tangga ke surga. Dan untuk kedua
kalinya dia mendengar Allah berbicara kepadanya. Dan Yakub, yang kemudian menjadi
Israel, membangun altar di tempat ini.
Gilgal, artinya bergelombang atau berombak, atau menggelinding. Gilgal adalah tempat
perkemahan pertama bangsa Israel, ketika masuk ke tanah perjanjian dipimpin Yosua.
Gilgal adalah tempat dimana Abraham pertama kali mendirikan mezbah. Tempat
Samuel mempersembahkan korban di hadapan tabut Allah, ketika tabut tidak berada
Shiloh, Dan Gilgal, disinilah umat Israel menyatakan kesetiaan kepada Saul raja yang
diijinkan Tuhan karena mereka memintanya..
Bersyeba atau Beer-sheba adalah sumur sumpah atau sumur ke tujuh, yang kemudian
disebut sumur kelimpahan. Yaitu sumur yang digali bapak Abraham, yang kemudian
digali lagi oleh Ishak, dan menjadi tempat favorit bagi bapak leluhur Israel ini. Disanalah
Abraham menyebut nama ALLAH dengan Allah Yang Kekal. Di sini juga kisah Allah
menampakkan diri kepada Ishak dan kemudian Ishak mendirikan mezbah. Di sini juga
Yakub mendirikan mezbah untuk Tuhan, dan kemudian mendapat pewahyuan bahwa
Tuhan menyertai dia [sampai ke Mesir.
Ketiga tempat itu adalah tempat bersejarah dari cikal bakal Israel kemudian. Tempat
yang memiliki peristiwa religious, tempat istimewa karena tidak ada duanya di dunia ini.
Ketiga tempat ini memiliki peristiwa yang unik dan megah. Yang merupakan penyataan
kehadiran Allah, tempat peneguhan, tempat pertolongan, dan tempat janji yang maha
tinggi diberikan. Tanpa kisah Bethel dan Gilgal maka kisah bangsa Israel sekarang
akan lain dan berbeda.
Tetapi apa yang terjadi dengan tempat-tempat istimewa ini? Dalam ayat 5 disebutkan
"…sebab Gilgal pasti masuk ke dalam pembuangan dan Betel akan lenyap." Tetapi tempat-
tempat istimewa ini kemudian menjadi pusat penyembahan berhala. Bethel kemudian
menjadi Bet-aven, yang artinya rumah ketidak benaran, rumah kesia-siaan dan rumah
ketidaksusilaan. Bethel akan lenyap artinya tidak ada artinya apa-apa, tidak terjadi apa-
apa di sana. Karena Bethel kemudian menjadi tempat pemujaan anak lembu dan
pahatan berhala. Pusat berhala yang kuat. Rumah Tuhan menjadi rumah kesia-siaan,
perbuatan-perbuatan yang tidak benar terjadi di sana.
Juga Gilgal, seperti namanya, maka Gilgal segera menggelinding pergi selamanya.
Bersyeba dalam jaman Amos hidup, menjadi tempat berhala, bukan lagi menjadi
tempat berkat mengalir. Masalah yang terjadi dengan Bersyeba adalah orang Israel
membayangkan bahwa kehadiran Allah di masa lalu adalah jaminan kehadiran-Nya di
masa sekarang. Kedua tempat itu adalah tempat di mana Allah pernah bekerja di masa
lalu. Tentu saja waktu itu adalah tempat yang spesial. Dan kalau akhirnya tempat itu
dikuduskan adalah wajar, tetapi jika di jaman berikutnya, tempat masih dikuduskan
sebagi jaminan tempat dimana Allah pasti menyatakan kehadiran-Nya lagi, itu
kesalahan.
Apa yang hendak kita hayati dari nas hari ini?
Pertama, cari TUHAN, jangan mencari Betel. Artinya, carilah Allah, bukan rumah Allah.
Semua tempat yang istimewa dan ternama ada karena Tuhan menyatakan kemuliaan-
Nya di sana. Ketika kemuliaan Tuhan sudah meninggalkannya maka itu menjadi tempat
sejarah. Bethel, Gilgal dan Bersyeba adalah contohnya. Demikian juga pada jaman
sekarang ini, masih ada kecenderungan orang berpikir bahwa ketika hadir dalam
ibadah itu satu kewajiban rohani yang memberikan kontribusi dalam keselamatan,
berkat, dan mujizat.
Hadirat Tuhanlah yang memberikan dampak dan nilai plus dari ibadah, tempat ibadah,
persekutuan. Tetapi kesalahan terjadi ketika satu tempat dianggap memberikan
dampak dari tempat yang lain. Dan supaya lebih mantap tempat itu atau gereja diberi
nama Rumah Tuhan. Rumah yang dianggap di mana Tuhan lebih bekerja dari di
supermarket atau rumahnya sendiri. Jelas ini tipuan iblis… Tentu saja ini merendahkan
darah Kristus di atas kayu salib. Karena Allah pasti sanggup bekerja di mana saja bila
Ia berkenan. Tetapi iblis mengambil kesempatan dan dengan mudah menipu bahwa
hanya disinilah, atau disitulah tempat ibadah yang istimewa dan mistis, hanya karena
satu peristiwa istimewa di masa lalu.
Kedua, sumber berkat adalah Allah, bukan tempat kehadiran Allah. Ada orang berkata
saya beribadah di tempat ini karena di sini berkat melimpah. Saya beribadah di gereja
ini karena mujizat sering terjadi. Saya beribadah di tempat ini karena pengajarannya
dalam dan mengubah hidup.
Kita tahu ungkapan ini benar ada, tetapi belum tahu dasar firman Allah yang
membenarkan ini. Yang jelas, TUHAN adalah sumber berkat itu, bukan tempat memuja
Allah itu. Dalam Yohanes 4:24 Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus
menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran." Karena itu, letakkan pengharapanmu kepada
Allah, dan Carilah Yesus, maka kamu akan hidup! (rnh)
Selamat berkarya untuk TUHAN

Anda mungkin juga menyukai