Anda di halaman 1dari 8

RETNUS SYRILLUS - BACAAN ROHANI

Judul Buku : Membalas Tujuh Puluh Kali Tujuh Kali (Kej. 4:24) atau Mengampuni
Tujuh Puluh Kali Tujuh Kali (Mat. 18:22)
Pengarang : P. Hendrik Njiolah, Pr
Penerbit : Komisi Kerasulan Kitab Suci KAMS
Jumlah halaman : 36 Halaman

I. PENDAHULUAN
Dalam bahasa Indonesia, terdapat peribahasa yang mengatakan “…ada hujan ada panas,
ada hari boleh balas” yang berarti “…akan datang pula saat untuk membalas budi, dendam dan
sebagainya”. Peribahasa ini menunjukkan kecenderungan hati kita umat manusia untuk
membalas perbuatan orang lain terhadap kita. Misalnya, jika ada orang yang memberi salam
kepada kita maka kita akan membalasnya dengan memberikan salam balik kepada orang itu.
Sebaliknya, jika ada orang yang mencaci maki kita, maka kita pun cenderung membalasnya
dengan mencaci maki orang itu juga. Pembalasan tidak hanya dapat bersifat negatif, tetapi juga
dapat bersifat positif. Hati kita akan merasa tenang karena merasa sudah “impas”, yakni telah
memberikan pembalasan yang setimpal dengan perbuatan orang tersebut. Tetapi, selama kita
belum sempat memberikan pembalasan, hati kita akan terus gelisah karena masih mempunyai
“utang” yang belum dilunasi.
Kecenderungan untuk membalas perbuatan orang lain ini begitu kuat berakar dalam hati
kita sehingga mustahil untuk dihilangkan. Namun, kita perlu terus menjaga agar kecenderungan
tersebut jangan sampai merusak hubungan harmonis kita dengan orang lain dalam masyarakat.
Selama kecenderungan ini masih bersifat positif, yaitu membalas kebaikan dengan kebaikan
maka hal ini masih bermanfaat bagi hidup bersama. Tetapi jika kecenderungan ini sudah bersifat
negatif, yaitu membalas kejahatan dengan kejahatan maka hal itu tidak bermanfaat bagi hidup
bersama orang lain. Oleh karena itu, Yesus maupun Rasul Petrus dan Paulus menasihati kita agar
tidak membalas kejahatan dengan kejahatan (bdk Mat. 5:38-39; Rm 12:17; 1 Tes 5:15a; 1 Ptr
3:9a), melainkan berusaha berbuat baik terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat terhadap
kita (bdk Mat 5:43-44; Rm 12:20; 1 Tes 5:15b; 1 Ptr 3:9b). Dalam buku ini, akan dijelaskan

1|Page
proses perubahan “hukum pembalasan” menjadi “hukum pengampunan”, mulai dari
kecenderungan untuk membalas dendam sampai ajakan untuk mengampuni orang yang berbuat
salah. Akan lebih baik jika setiap orang lebih memilih perilaku suka mengampuni kesalahan
daripada membalas kesalahan. Membalas kesalahan dapat merusak hubungan dengan orang lain,
sementara mengampuni kesalahan orang akan semakin mempererat relasi dengan sesama.
Semoga dengan membaca buku ini, kita semuadapat sadar untuk tidak “membalas” kejahatan
dengan kejahatan, melainkan “mengampuni” orang yang bersalah.

II. ISI
1) Balas Dendam
Dalam kitab Kejadian terdapat suatu nyanyian yang mengungkapkan kecenderungan
manusia untuk membalas dendam. Dalam Kitab Kejadian, Lamekh berkata kepada kedua
isterinya, Ada dan Zila: “….Ada dan Zila, dengarakanlah suaraku; hai isteri-isteri Lamekh,
pasanglah telingamu kepada perkataanku ini. Aku telah membunuh seorang laki-laki karena
ia melukai aku, membunuh seorang muda karena ia memukul aku sampai bengkak; sebab
jika kain harus dibalaskan tujuh kali lipat, maka Lamekh tujuh puluh tujuh kali!” (bdk Kej
4:23-24). Perkataan Lamekh ini menggambarakan pembalasan dendam yang sering
dilakukan oleh orang-orang pada zaman itu. Sama halnya ketika Kain membunuh Habel (bdk
Kej 4:8). Kain segera melarikan diri ke tanah Nod (bdk Kej 4:16), karena ia takut terhadap
pembalasan dendam kaum keluarga Habel (bdk Kej 4:14). Tetapi kaum keluarga Kain
berusaha melindunginya dengan mengatakan ancaman keras “…barangsiapa yang
membunuh Kain akan dibalaskan kepadanya tujuh kali lipat!” (bdk Kej 4:15). Dengan
ancaman keras seperti itu, keluarga Habel akan berpikir terlebih dahulu sebelum melakukan
pembalasan atas perbuatan Kain. Jika mereka bertindak tanpa berpikir panjang, mereka bisa
mendapat malapetaka yang besar. Betapa hebat dan sadis pembalasan dendam orang-orang
pada zaman dahulu. Dapat kita bayangkan sendiri bagaimana pembalasan sebanyak tujuh kali
lipat terhadap suatu tindak kejahatan. Namun bagi keluarga Lamekh, pembalasan “tujuh kali
lipat”belumlah memadai, sehingga mereka melipatgandakan pembalasan itu menjadi “tujuh
puluh tujuh kali lipat” (bdk Kej 4:24). Untuk melakukan pembalasan, Lamekh tidak hanya
balik melukai dan memukul dia sampai bengkak melainkan membunuh dan membinasakan
dia. Dalam dunia sekarang ini, tindakan seperti ini jelas sudah melampaui batas kewajaran,

2|Page
sebab pada umumnya orang cenderung membalas setimpal dengan perbuatan orang lain
terhadapnya (bdk Kel 21:23-25; Im 24:19-20; Ul 19:21). Orang merasa belum puas ketika
mereka belum membalaskan perbuatan setimpal yang dilakukan orang lain terhadap mereka.

2) Hukum Pembalasan
Dalam Kitab Keluaran, terdapat suatu rumusan “hukum pembalasan” yang dalam
bahasa Latin disebut lex talionis atau ius talionis, yaitu “nyawa ganti nyawa, mata ganti
mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, lecur ganti lecur, luka ganti luka,
bengkak ganti bengkak” (bdk Kel 21:23-25). Hukum pembalasan yang adil dan setimpal ini
diberlakukan oleh Musa di kalangan bangsa Israel dengan maksud mencegah mereka (umat
Israel) melakukan pembalasan yang berlebihan. Dengan berlakunya “hukum pembalasan”
yang adil ini, bangsa Israel tidak boleh lagi melakukan pembalasan yang berlebihan (seperti
yang dilakukan oleh Lamekh). Jadi, apabila seseorang melukai seorang lain, maka orang
yang dilukai itu hanya boleh membalas dengan melukai orang yang melukainya itu (=luka
ganti luka).Dan apabila seseorang memukul seorang lain sampai bengkak, maka orang yang
dipukul sampai bengkak itu hanya boleh membalasnya dengan perbuatan yang setimpal
(=bengkak ganti bengkak). Menurut hukum pembalasan yang berlaku bagi semua orang,
budak yang matanya dipukul sampai rusak itu dapat membalas tuannya dengan memukul
pula matanya sampai rusak (=mata ganti mata). Tetapi jika ia (budak) tidak mau membalas
dengan cara begitu, ia dapat menuntut tuannya untuk memerdekakan dia sebagai penganti
kerusakan matanya. Meskipun dalam kasus-kasus tersebut modifikasi atas hukum
diperbolehkan, namun dalam kasus kematian seseorang sama sekali tidak boleh dimodifikasi
melainkan harus diterapkan secara murni sesuai dengan hukum pembalasan yang berlaku.

3) Mengasihi Musuh
Dalam Kitab Imamat, dikisahkan bahwa Musa menegaskan kepada bangsa Israel
bahwa: “Janganlah engkau membenci saudaramu di dalam hatimu, tetapi engkau harus
berterus terang menegur orang sesamamu dan janganlah engkau mendatangkan dosa
kepada dirimu karena dia. Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh
dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti
dirimu sendiri!” (bdk Im 19:17-18). Dalam perkataannya ini, Musa melarang bangsa Israel

3|Page
untuk membenci saudara sebangsa mereka dalam hatinya. Sebaliknya, ia menganjurkan
untuk menegur langsung saudara mereka yang bersalah supaya hal itu tidak mendatangkan
dosa atas diri mereka karena orang bersalah itu. Setiap orang dari bangsa Israel telah
ditetapkan untuk menjadi penjaga atas saudara sebangsanya (bdk Kel 2:11-14). Maka,
barangsiapa membiarkan saudaranya terus berbuat salah, ia akan dituntut Tuhan karena ia
telah lalai dalam menegur saudaranya yang bersalah itu. Jadi daripada membenci di dalam
hati mereka saudara sebangsanya yang berbuat salah, lebih baik mereka menegur orang itu
agar ia dapat bertobat dari kesalahannya.
Musa juga melarang bangsa Israel untuk menuntut balas dan menaruh dendam terhadap
saudara sebangsa mereka yang bersalah. Sebaliknya, ia mengatakan untuk mengasihi orang
yang bersalah itu sama seperti mereka mengasihi diri mereka sendiri. Dengan larangan dan
anjuran tersebut tersebut, Musa berharap agar bangsa Israel mau memupuk kasih
persaudaraan di antara mereka, sehingga akhirnya mereka dapat hidup damai satu sama lain
tanpa rasa benci, dendam dan niat untuk menuntut balas. Dalam Injil sendiri, Yesus
mengatakan kepada murid-murid-Nya: “Kamu telah mendengar firman: Kasihanilah
sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihanilah
musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah
kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di surga, yang menerbitkan matahari bagi orang
yang jahat dan yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang
tidak benar.” (Mat 54:43-48). Para murid Yesus harus sempurna sama seperti Allah (bdk
Mat 5:48), yang menerbitkan matahari bagi orang baik dan jahat, serta menurunkan hujan
bagi orang benar dan fasik (bdk Mat 5:45). Jadi jikalau Allah mengasihi “teman” (=orang
baik dan benar) maupun “musuh” (=orang jahat dan fasik), maka para murid Yesuspun harus
mengasihi baik teman maupun musuh mereka. Dengan melakukan hal demikian, mereka
menunjukkan kepada orang banyak bahwa mereka benar-benar adalah anak-anak Allah (bdk
Mat 5:16-45).

4) Mengampuni Kesalahan
Dalam tradisi keagamaan orang Israel, Tuhan dikenal baik sebagai “Allah Pembalas”
(bdk Mzm 94:1; Yer 51:56; Nah 1:2; 1 Tes 4:6) maupun sebagai “Allah Pengampun” (bdk
Neh 9:17; Mzm 78:38; 86:5; Mi 7:18). Di satu sisi, Tuhan dikenal sebagai Allah yang suka

4|Page
membalas kesalahan orang, tetapi di sisi lain Dia juga dikenal sebagai Allah yang suka
mengampuni kesalahan orang lain (bdk Kel 20:5-6; 34:6-7; Bil 14:18; Ul 7:9-10). Namun,
dalam sejarah perjalanan bangsa Israel Tuhan lebih dikenal sebagai Allah yang suka
mengampuni daripada membalas kesalahan orang lain. Sebab itu, setiap ada orang yang
melakukan kesalahan, bangsa Israel selalu memohon pengampunan kepada Tuhan. Misalnya
ketika bangsa Israel melakukan kesalahan besar di padang gurun dengan memberontak
kepada Allah dan Musa. Musa memohon pengampunan kepada Allah atas kesalahan bangsa
Israel itu, dan akhirnya Tuhan mau mengampuni mereka (bdk Bil 14:1-20).
Kita akan mendengarkan kata-kata indah yang diungkapkan dalam kitab Mazmur yang
berbunyi:”Tuhan adalah pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia.
Tidak selalu Ia menuntut, dan tidak untuk selama-lamanya Ia mendendam. Tidak dilakukan-
Nya kepada kita setimpal dengan dosa kita, dan tidak dibalas-Nya kepada kita setimpal
dengan kesalahan kita, tetapi setinggi langit di atas bumi, demikian besarnya kasih setia-
Nya atas orang-orang yang takut akan Dia; sejauh timur dari barat, demikian dijauhkan-
Nya dari pada kita pelanggaran kita. (Mzm 103:8-14). Menurut pemazmur, sekalipun Tuhan
sering berniat untuk membalas kesalahan seseorang, namun karena kasih setia-Nya yang
sangat besar (bdk Mzm 103:8), Ia akhirnya membatalkan niat tersebut (bdk Mzm 103:9-10).
Sifat pengampun Tuhan Allah yang suka mengampuni kesalahan, pelanggaran dan dosa
manusia ini sangat mempesona Yesus, sehingga Ia mengajak para murid-Nya untuk
meneladami sifat Tuhan tersebut. Kepada murid-Nya, Yesus berpesan: “…Hendaklah kamu
murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati. Janganlah kamu menghakimi, maka
kamupun tidak akan dihakimi…” (bdk Luk 6:36-37)…..

5) Hukum Pengampunan
Dalam Injil Matius dikisahkan bahwa Petrus pernah bertanya kepada Yesus demikian:
“…Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa
terhadap aku? Sampai tujuh kali?” (bdk Mat 18:21). Pertanyaan Petrus ini menunjukkan
suatu pendangan mengenai toleransi dalam mengampuni seseorang. Dalam tradisi
keagamaan bangsa Israel, angka tujuh merupakan angka sempurna karena misalnya
dikisahkan bahwa Tuhan menyelesaikan pekerjaan penciptaan langit dan bumi pada hari
ketujuh (bdk Kej 2:2-3), bahwa Yakub bekerja pada Laban tujuh tahun lamanya untuk

5|Page
mendapatkan Rahel (bdk Kej 29:18-28), bahwa Firaun bermimpi melihat tujuh ekor lembu
gemuk dan tujuh ekor lembu kurus (bdk Kej 41:1-4), serta tujuh bulir gandum bernas dan
tujuh bulir gandum kering (bdk Kej 41:5-7), bahwa Tuhan mengancan untuk menghajar
bangsa Israel sampai tujuh kali lipat (bdk Im 26:18-28), bahwa Yosua berhasil merebut
Yerikho pada hari ketujuh dengan cara mengelilinginya sebanyak tujuh kali (bdk Yos 6:15-
16), dan bahwa Zakharia melihat sebuah kandil dengan tujuh pelita dan tujuh corot pada
masing-masing pelita (bdk Zak 4:2). Betapa sempurna angka tujuh ini bagi bangsa Israel,
sehingga mereka suka memuji-muji Tuhan tujuh kali dalam sehari (bdk Mzm 119:164).
Petrus mengajukan pengampunan “sampai tujuh kali” bagi saudaranya, hal itu berarti
bahwa bagi Petrus tujuh kali pengampunan sudah sempurna alias cukup. Setelah tujuh kali
sudah diampuni, saudaranya itu tidak berhak lagi atas pengampunan Petrus. Apabila
saudaranya itu masih terus berbuat dosa, maka Petrus merasa tidak wajib lagi untuk
mengampuninya. Dengan kata lain, toleransi pangampunan Petrus terhadap saudaranya
mempunyai batas, yaitu “sampai tujuh kali” saja. Lebih dari tujuh kali, toleransi Petrus
sudah habis, sehingga ia tidak mau lagi mengampuni saudaranya. Pandangan Petrus ini
mendapat kritikan dari Yesus bahwa bukan “sampai tujuh kali” ia harus mengampuni
saudaranya melainkan “sampai tujuh puluh kali tujuh kali” dengan kata lain lain
mengampuni tanpa batas. Yesus mau mengajak Petrus untuk selalu bersedia mengampuni
orang yang bersalah terhadapnya, dengan tidak menghitung-hitung berapa kali ia telah
berbuat salah.

III. KESIMPULAN DAN REFLEKSI


Dalam kehidupan sehari-hari, saya sering melakukan banyak kesalahan, baik itu
kesalahan besar maupun kesalahan yang besar. Ketika melakukan suatu kesalahan, pastinya saya
akan meminta maaf. Entah orang itu mau mengampuni atau tidak bukan urusan saya, sebab yang
penting saya sudah meminta maaf. Jika dimaafkan tentu saja saya akan merasa sangat senang,
karena saya berhasil menghilangkan dendam antara saya dan orang itu. Sebaliknya, bagaimana
jika ada orang yang datang meminta maaf kepada saya? Apakah saya mau mengampuni? Ini
menjadi pertanyaan refleksi bagi saya saat ini. Saya akan menjawabnya dengan memberikan dua
poin, antara lain:

6|Page
1) Bapa Ampunilah Kami seperti Kami pun Mengampuni yang Besalah kepada Kami…
Jika saya ingin diampuni, maka saya pun harus mengampuni kesalahan orang terhadap
saya. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali saya marah kepada orang lain meskipun saya
tidak mengungkapnya secara langsung. Saya menyimpan kemarahan itu hingga menjadi
dendam. Saya tahu bahwa dendam itu dapat merusak relasi saya dengan orang lain apabila
dipendam terus-menerus. Yesus saja yang disalibkan mengampuni perbuatan para algojo
dengan mengatakan “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang
mereka perbuat.”Bagaimanakah saya dapat menaruh dendam pada orang lain yang hanya
berkata sembarangan atau memukul saja. Tentu jika dipukul oleh orang lain tanpa alasan
yang jelas, pasti saya akan memukul balik. Saya akan dikatakan orang yang aneh apabila
saya dipukul oleh orang dan mengatakan “terima kasih” atau “tidak apa-apa.”Jadi wajar
saja jika setiap orang, khususnya saya sendiri akan melakukan hal yang sama terhadap orang
yang melakukan sesuatu kesalahan. Tapi apakah Yesus mengajarkan untuk membalas orang
lain setimpal dengan kejahatan yang dibuatnya. Tentu tidak, sebab Yesus mengajarkan untuk
mengasihi orang lain, meskipun itu adalah musuh.

2) Berikanlah juga Pipimu yang Satu


Saya tentu tidak akan memberikan pipi yang satu apabila pipi yang lain sudah ditampar.
Melalui sabda Yesus ini, saya mendapat gambaran bahwa orang yang melakukan kesalahan
kepada saya harus diampuni (apabila sudah meminta maaf), bukan malah dibalas dengan
kejahatan yang sama atau lebih kejam. Jika ada orang yang minta maaf, maka saya akan
dihadapkan pada dua pilihan yaitu memaafkan atau tidak (dendam). Jika saya memaafkan,
maka itu berarti saya memberikan juga pipi saya yang satu untuk ditampar. Dengan
demikian, saya tidak membiarkan masalah ini pada tahap yang lebih jauh. Sebaliknya, jika
saya tidak mau memaafkannya, itu berarti bahwa saya tidak mau memberikan pipi yang satu
untuk ditampar, melainkan menampar balik orang yang melakukan hal tersebut kepada saya.
Jika hal ini saya biarkan, masalah ini akan berlanjut hingga sampai pada sikap dendan yang
dapat tertanam seumur hidup. Maka hendaknya saya lebih memilih untuk memaafkan
daripada membalas orang yang bersalah tersebut. Namun, saya butuh waktu untuk dapat
berpikir jernih dalam memutuskan pilihan yang akan saya capai. Tentu tidak mudah untuk

7|Page
langsung memaafkan orang yang baru saja melakukan suatu kesalahan. Untuk itulah saya
harus memilih dengan baik antara mau atau tidak sama sekali untuk memaafkan seseorang.

8|Page

Anda mungkin juga menyukai