Anda di halaman 1dari 4

MENGASIHI MUSUH

LUKAS 6:27-35

PERTUKARAN PELAYAN FIRMAN KLASIS KOTA KUPANG

BONEANA, 10 JUNI 2021

Pdt. Maria.A.Litelnoni-Johannes

PENDAHULUAN

Seorang Guru mengajar agar murid-murid-Nya agar murid-murid-Nya dapat mengikuti apa yang di ajarkannya. Yesus
mengajar nilai-nilai baru, yang dalam hal tertentu ‘berbeda’ dari ajaran hukum Taurat yang sudah sedemikian lama
diajarkan oleh para Rabi dan ahli-ahli Taurat Yahudi.

PEMBAHASAN

Perikop Lukas 6: 27-36 merupakan bagian yang pararel dengan Khotbah di Bukit dalam Injil Matius 5:38-48, sekalipun
dalam Injil Lukas, tampaknya Yesus dan murid-murid sedang ada di tanah yang datar (Lukas 6:17). Bagian ini di dalam
Injil Matius disejajarkan dalam perbandingan dengan hukum Taurat. Hal ini dapat dimengerti dengan pemahaman
bahwa Injil Matius, Injil yang ditujukan kepada orang-orang Kristen asal Yahudi yang sangat kuat pemahaman
keyahudiannya. Sehingga banyak kali Injil Matius merujuk, mengutip Perjanjian Lama baik Torat maupun nubuatan
para Nabi.

Berbeda dengan Injil Lukas, yang menunjukkan bahwa Injil Lukas ditujukan bagi orang-orang Kristen non Yahudi yaitu
orang-orang Kristen dengan latar belakang Yunani. Pembukaan Injil Lukas bentuknya seperti surat yang dikirimkan
untuk sahabat Lukas yang bernama Teofilus (jelas ini nama Yunani). Dalam injilnya Lukas tidak mengutip Perjanjian
Lama, baik itu Torat maupun nubuat para nabi. Lukas memakai istilah-istilah dalam bahasa Yunani, misalnya, Golgota:
Kalvari, menyebut Yesus sebagai Kristos (Tuan) bukan Rabi (guru). Dengan demikian dapat dipahami Injil Lukas pada
perikop ini tidak mensejajarkan ajaran Yesus ini dengan hukum Taurat Yahudi tanpa mengurangi kedalaman ajaran
Yesus ini.

Ayat 27: “Kasihi musuhmu, berbuat baik kepada orang yang membenci kamu”

Kata ‘kasih’ yang dipakai di ayat ini maupun dalam seluruh perikop ini adalah ‘Agapeo’. Suatu bentuk kata kasih dalam
bahasa Yunani yang mempunyai makna, kasih tanpa syarat, kasih tak menuntut balas. Berbeda dengan kata kasih
lainnya dalam bahasa Yunani : Philia, Eros. Model kasih agape lah yang Tuhan kehendaki untuk dipakai dalam
hubungan dengan musuh. Tidak peduli apa yang orang lain lakukan apakah membenci, memusihi sekalipun, tetap
harus mengasihi, kasih yang tidak menuntut timbal balik.

Mengenai ‘musuh’ : Apakah orang Kristen boleh punya musuh? Tidak, orang Kristen tidak boleh punya musuh, tapi
orang Kristen bisa saja dimusuhi. Karena Ini adalah dua hal yang berbeda. Mempunyai musuh berarti orang yang kita
benci, kita inginkan dia menderita dan susah, kita melakukan perbuatan yang jahat kepadanya. Berbeda dengan orang
yang memusihi kita, ada orang yang iri, yang membenci, memfitnah yang menyebabkan penderitaan bagi kita. Dalam
pengertian musuh seperti inilah perintah ini diberikan kepada orang Kristen. Bukan dalam pengertian musuh yang kita
‘ciptakan’, karena orang Kristen sejatinya tidak boleh mempunyai musuh.
Ayat 28: Mintalah berkat bagi yang mengutuk, berdoa bagi yang mencaci

Perintah-perintah di ayat ini sungguh suatu perintah yang berat bagi semua manusia termasuk bagi orang-orang
Kristen. Sangat dibutuhkan keinginan dan kesadaran yang kuat. Bagaimana mungkin kita meminta berkat, mendoakan
yang baik-baik terhadap orang yang mengutuk kita, kutuk harus dibalas dengan berkat dan hina/caci dengan doa, doa-
doa yang baik. Dalam Injil Matius perintah ini dibandingkan dengan ajaran Torat: “mata ganti mata, gigi ganti gigi”…
Dalam PL, wajarlah kalau perbuatan jahat dibalas dengan perbuatan jahat, sangat tidak wajar kalau perbuatan jahat
dibalas dengan kebaikan (lihat pertikaian Israel Palestina.

Dardi ayat 27 dan 28 ini, kita dapat melihat bahwa Tuhan Yesus meminta para pendengarnya, murid-murid-Nya untuk
mengasihi musuh dengan cara: berbuat baik, memintakan berkat dan berdoa bagi orang memusuhi mereka.

Ayat 29: menampir pipi yang satu berikan pipi yang lain, mengambil jubah, memberi juga baju

Tindakan ini menuntut sesuatu yang lebih dari apa yang dilakukan oleh orang lain kepada kita. Menampar dalam tradisi
rabinik, biasanya dilakukan orang yang marah dan menampar dengan punggung tangan (menampar pipi kanan
seseorang) lebih bersifat merendahkan dibanding menampar dengan telapak tangan (menampar pipi kiri seseorang).
Jika kita menampar keluarga atau pihak yang dianggap sederajat, maka kita akan menamparnya dengan telapak
tangan. Tetapi, jika menampar orang yang dianggap rendah, maka kita akan menamparnya dengan punggung tangan. 

Dalam Injil Matius dituliskan ditampar pipi kanan berikanlah pipi kirimu, artinya, jika seseorang ditampar dengan
telapak tangan (tampar pipi kanan) ditampar sebagai orang yang sederajat, maka berikan pipi kirimu (tampar dengan
punggung tangan) , rendahkan dirimu sebagai orang yang lebih rendah derajatnya. Injil Lukas tidak mencatat
sedemikian karena ia tidak mengaitkan dengan tradisi rabinik namun dalam arti yang sama, jangan membalas
kejahatan dengan kejahatan bahkan berikan dirimu untuk diperlakukan dengan rendah.

Sesungguhhnya perintah Yesus ini sangat ‘kontroversial’ dan menimbulkan banyak perdebatan terutama di jaman
sekarang ini. Perintah ini dapat saja menimbulkan pertanyaan apakah berarti orang yang melakukan penganiayaan
harus dibiarkan untuk melakukan kejahatan yang lebih lagi, dan bukankah ia mestinya mendapat hukuman atas
perbuatan penganiayaan itu. Pertanyaan lain lagi, apakah dengan memberikan pipi yang satunya berarti bahwa orang
yang ditampar itu tampak lemah, pasrah bahkan cenderung bodoh jika membiarkan dirinya ditampar dan memberikan
pipinya yang satunya lagi.

Tindakan menampar biasanya karena seseorang begitu emosinya kepada lawan bicaranya atapun karena seseorang
ingin memancing emosi lawan bicaranya. Ajaran Yesus ini mengingatkan para pendengarnya untuk tidak membalas
perbuatan emosi itu ataupun tidak terpancing dengan tamparan pertama, sehingga berikan pipi yang satunya untuk
memutuskan rantai emosi dan kemarahan, seseorang harus merendahkan diri dengan memberikan pipi satunya agar
tidak terjadi kemarahan yang saling berkelanjutan. Intinya adalah agar tidak terjadi kemarahan yang lebih besar lagi
dari ke dua belah pihak.

Memberikan jubah dan juga baju bagi orang yang meminta mempunyai arti untuk memberi lebih dari apa yang sekedar
diminta oleh orang yang membutuhkan. Pria Palestina pada jaman itu memakai pakaian sedikitnya dua lapisan. Baju
adalah lapisan yang di dalam lalu dilapisi dengan jubah. Jubah diperlukan karena iklim di Palestina yang pada malam
hari atau saat tertentu dapat berubah menjadi ekstrim dingin dan saat tertentu menjadi ekstrim panas. Jubah dipakai
untuk penghangat pada waktu cuaca dingin dan ketika cuaca sangat panas jubah dapat dipakai untuk pengganti tas
yang berfungsi untuk membawa sesuatu. Sehingga jika jubah diberikan, mungkin masih ada baju, namun jika bajupun
harus juga diberikan, maka tinggalah ‘cawat’.
Sesungguhnya kedua perintah ini tidak boleh dipahami secara ‘literal’. Karena memang bukan itu yang Yesus
maksudkan. Namun Yesus memakai ‘gambaran’ yang keras untuk mengatakan jangan membalas kejahatan dengan
kejahatan, bahkan harus membalas dengan kebaikan. Yesus memakai ‘pararelisme’ atau ‘ungkapan’ seperti dalam
Matius 5:29-30:… “mencungkil mata, penggal tangan…”. Tentu bukan seperti ini yang Yesus maksudkan, tapi berupaya
menjaga kesucian hidup, tidak membiarkan dosa melekat pada hidup, tapi harus sungguh-sungguh ada pertobatan dan
pemutusan dengan dosa.

Ayat 31: “sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka”

Ajaran Yesus ini diberi istilah ‘Golden Rule’/perintah emas. Para filsuf Yunani dan para guru bijak di Cina sebelum jaman
Yesus telah mengajarkan ‘rule’ ini, namun dalam bentuk yang berbeda.

Isokrates: “hal-hal yang membuat engkau marah ketika orang lain melakukannya kepadamu, janganlah lakukan itu
kepada orang lain”.

Confucius: “apa yang tidak kamu kehendaki orang lain lakukan kepadamu, janganlah lakukan itu kepada orang lain”

Philo : “Apa yang tidak ingin engkau derita, janganlah lakukan itu kepada orang lain”

Ketiga perintah memakai kalimat negative : jangan.., tidak…. Namun Yesus mengajarkan dengan cara yang positif:
lakukan dahulu apa yang baik kepada orang lain sebagaimana kita mau orang lain perbuat kepada kita. Dalam hal ini
orang Kristen harus lebih dahulu berbuat kebaikan kepada orang lain, sebagaimana kita menghendaki orang berbuat
baik kepada kita. Bagaimana jika kita sudah berbuat baik kepada orang lain ternyata orang lain tidak berbuat/
membalas yang sedemikian kepada kita, malah berbuat ‘jahat’ kepada kita, maka kita tetap harus berbuat baik kepada
mereka yang bahkan memusuhi kita.

Ayat 32-34: Ayat- ayat ini mau menegaskan bahwa perbuatan kasih orang Kristen haruslah lebih tinggi nilainya dari
pada ungkapan kasih yang berlaku pada umumnya. Jika kita melakukan kebaikan kepada orang yang telah melakukan
kebaikan kepada kita, apa bedanya kita dengan orang pada umumnya. Tapi membalas kebaikan kepada yang berbuat
jahat itulah yang nilai orang Kristen yang berbeda. Mengapa orang Kristen harus melakukan perbuatan yang ‘berbeda’
ini, karena Bapa, Allah yang Maha Tinggi itu telah menyatakan kasih yang demikian kepada manusia. Allah baik kepada
orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan kepada orang-orang jahat.

Allah adalah Allah yang bermurah hati kepada setiap orang, apapun perbuatannya. Ingat kisah Anak Bungsu yang pergi
menghamburkan uang ayahnya dengan hidup berfoya-foya, ketika semua telah habis, ia kembali kepada Bapa dan
bapa menyambut dan menerimanya kembali dengan kasih yang besar, sekalipun anaknya telah meninggalkannya,
menghamburkan harta bapanya. Demikian pula Dia meminta umat-Nya untuk bermurah hati kepada sesamanya,
kepada teman dan kepada yang memusuhi sekalipun.

REFLEKSI

Sebagai Murid Tuhan, hamba Tuhan, sebagai pelayan Firman, kita akan menyuarakan kembali ajaran Tuhan Yesus
Kristus yang ‘membongkar’ ajaran lama dengan nilai etika dan ajaran baru “Mengasihi orang yang memusuhi,
membalas kejahatan dengan kebaikan, melakukan kasih kepada mereka yang melakukan kejahatan”. Ini tugas yang
sangat berat. Berat karena firman Tuhan ini pertama-tama ditujukan kepada kita terlebih dahulu.

Sangat berat karena pada jaman sekarang ini terkadang mengasihi kepada sesama saja terkadang kita masih sulit
melakukannya dengan tulus, kita masih melakukan perhitungan, masih pikir untung rugi. Terlebih ketika kita harus
mengasihi musuh. Tidak marah kepada musuh saja sudah langkah yang berat, apalagi lalu harus mengasihi orang yang
memusuhi, menyakiti hati kita dan membuat kita menderita, ini membutuhkan kesadaran diri dan keinginan yang kuat
sekali, diperlukan penyangkalan diri di sini.

Dalam konteks nasional, orang Kristen mengalami banyak ketidak adilan bahkan kekejaman. Ingat kasus Poso pada
tanggal 11 Mei 2021, ketika 4 orang Kristen kepalanya dipenggal oleh kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur
(MIT). Banyak gedung gereja yang ditutup, dirusak dan rumah-rumah orang Kristen yang sulit untuk dipakai beribadah,
baik di kota-kota maupun di desa-desa, dogma Trinitas dan salib Kristus yang menjadi sasaran olokan para ‘petinggi’
agama lain. Namun orang Kristen tetap menerima dan berdiam diri, kalaupun mengambil tindakan tapi tidak mendapat
respon yang layak. Sangat beralasan kalau kita mengatakan bahwa ini sebagai wujud ajaran Tuhan Yesus kepada
umat-Nya.

Jelas bagi kita bahwa ajaran Tuhan Yesus sesungguhnya bukanlah soal praktek memberi baju dan jubah, memberi
pipi kiri ketika pipi kanan ditampar, tapi soal mengubah dan menata hati, pikiran dan perbuatan, dari cara
berpikir, merasa dan bertindak yang biasa atau yang pada umumnya, kepada cara merasa, berpikir dan bertindak
dengan nilai-nilai yang baru, nilai kasih yang lebih, bukan hanya sekedar kasih biasa. Terlebih itu Tuhan meminta kita
untuk bertindak menunjukkan kasih secara positif dan aktif terlebih dahulu dan bukan hanya sekedar tindakan balasan
(golden rule)

Mungkinkah ini? Tentu saja mungkin.. tapi sangat tidak mudah, kita perlu terus menerus berefleski diri dan terus
memohon kekuatan hanya dari Dia sang Guru yang Mulia, Bapa yang penuh kasih kepada setiap kita.

Anda mungkin juga menyukai