Anda di halaman 1dari 11

Nama Kelompok : Alfonsus Gaspar Bani (22101006)

Kornelius Anton Kefi (221010017)


Mata Kuliah : Sastra Kebijaksanaan
Dosen : Surip Stanislaus

1. Asal Mula Kitab Amsal


Asal mula buku Amsal: lingkungan sekolah calon pegawai
negeri (karyawan kerajaan) baik yang ada di Yerusalem maupun di
daerah-daerah. Para murid yang mau jadi pegawai ini butuh
pelajaran dan menggunakan buku pegangan untuk belajar. Buku
pelajaran yang dipakai untuk mengajar calon-calon pegawai itulah
yang dikemudian hari dikumpul dan dikoleksi menjadi kumpulan
perkataan hikmat. Koleksi itu disalin (kemahiran menulis), dihafal dan
didiskusikan untuk mempertajam pikiran. Kitab Amsal tidak disusun
sekaligus oleh seorang atau sekelompok orang, melainkan sedikit demi
sedikit tumbuh sebagai hasil dari penggabungan sejumlah kumpulan
Amsal kecil. Karena akan ditemukan “Amsal-amsal Salomo” (10:1),
“juga ini adalah amsal-amsal dari orang bijak” (24:23), perkataan
Agur bin Yake dari Masa (30:1).
2. Watak Si Pemalas (Amsal 6:9)
 Watak pemalas: tidak dapat memulai pekerjaannya.
tidak akan mendapat jawaban pasti, sebab ia sendiri tidak tahu
kapan akan bangun dari tidurnya dan telah menjadi bagian dari tempat
tidurnya. Karena si pemalas selalu mencari alasan untuk tidak bekerja,
seperti rasa dingin pada musim dinginyang tak cocok tuk membajak, dan
bahaya diterkam binatang buas
 Watak Pemalas: tidak dapat menyelesaikan
pekerjaannya.
Ia kadang memulai pekerjaannya tetapi tidak pernah selesai,
sehingga ladang dan kebunnya tidak terurus (24:30-31), dan apa yang
dibuatnya rusak berantakan.Karena malasnya, tinggal mengambil hasil
buruannya saja tidak mau (12:27). Sehingga si pemalas benar-benar
menjadi beban bagi orang yang harus mempekerjakannya (10:26).
 Watak Pemalas: tidak dapat ubah cara berpikir dan
bertindak.
Ia pelan-pelan yakin bahwa alasannya tak mau bekerja, meski
alasan itu dalih belaka, merupakan sikapnya yang realistis dan bijaksana.
 Watak pemalas: tidak dapat lepas dari buruan
keinginannya.
Ia tak mau bekerja, tapi ingin hasil melimpah (20:4). Akibatnya,
keinginannya (13:4) yang ternyata sia-sia belaka telah membunuhnya
(21:25).
 Si Pemalas sebagai Peringatan
Guru-guru bijak mau sampaikan peringatan agar setiap orang yang
tergoda bermalas-malas, belajar dari semut (6:6-8). Semut
mempermalukan segala bentuk kemalasan, sehingga ia tidak
memerlukan seorang atasan yang harus terus-menerus mengingatkan
atau memaksanya untuk bekerja dan memanfaatkan waktu yang tepat
untuk mempersiapkan masa depannya (yakni pada musim panas
mengumpulkan rezeki untuk persiapan musim dingin).
Si pemalas yang tidak mau belajar dari kebijaksanaan, akan
mengalami kemiskinan dan kekurangan, serta status sosialnya sama
dengan perusak, dan jadi begitu rendah dibandingkan orang rajin (8:19).
Si pemalas sering sadar akan kemalangan yang menimpa dirinya, tetapi
kesadaran itu terlambat tak sempat lagi di ubahnya, maka setiap orang
harus rajin bekerja (34:30-34).
3. Wejangan Hikmat 8:4-11
Hikmat mengajak kaum laki-laki (penentu kebijakan-mengikuti
budaya patrialka bangsa Yahudi), untuk membuka diri pada
pengajarannya tentang perkara-perkara yang tepat dan mendalam,
karena mereka “tak berpengalaman dan bebal” (8:5). Mereka perlu
hikmat yang dapat memberi kecerdasan dan pengertian (otak, 8:5-6),
kebenaran dan keadilan (hati, 8:7-8), didikan dan pengetahuan (otak,
8:9-10).
 Ams. 8:7-8→ bagian sentral yang menggambarkan dua sifat moral
paling berharga, yaitu kebenaran dan keadilan. Sejumlah istilah dari
kedua ayat ini (benar, adil, belat-elit, serong) ditemukan dalam Ul. 32:4-
5 yang menggambarkan hubungan YHWH dengan Israel.
 Ams. 8:9→ “semua itu jelas bagi yang cerdas, lurus bagi yang
berpengetahuan”, melukiskan keunggulan nilai dari ajaran hikmat itu
baru akan jelas bila dipraktekkan.
 Ams. 8:10→ Hikmat menutup wejangannya dengan ajakan untuk
menerima didikannya seraya menekankan nilai hikmat yang lebih
tinggi dari harta duniawi, yaitu perak dan emas. (orang yang
berhikmat bisa beli perak dan emas, tetapi perak dan emas tidak
bisa membeli hikmat).

4. Asal Mula Kitab Ayub


Kitab Ayub berasal dari sekitar abad ke-5 atau 4 SM dari seorang
penyair anonim yang mau mengungkapkan pandangan kritisnya
(gugatan) terhadap paham Pembalasan di Bumi.
Ayub orang yang jujur, takut akan Allah, benar → memiliki
banyak lembu, tujuh anak laki-laki dan tiga anak perempuan, keledai,
banyak budak. Berarti paham pembalasan di bumi ini benar. Namun
setelah Allah mencobai Ayub dengan mengambil semua kekayaannya
(atas saran iblis) untuk membuktikan kesetiaan Ayub pada Allah. Apa
yang dialami oleh Ayub ini dapat disimpulkan dia mengalami hukuman
dari Allah. Maka berdasarkan Paham Keadilan Allah dan Pembalasan di
Bumi dapat disimpulkan bahwa Ayub itu jahat, karena dia mengalami
hukuman dari Allah. Namun, pada akhirnya Ayub tetap setia pada Allah
(ayat 20-22).
Untuk menarik perhatian para pembaca, penyair memakai kisah
kuno tentang Ayub si penderita saleh. Ia membuka dengan prolog dan
mengganti dengan dialog antara Ayub dan orang lain dengan dialog
antara Ayub dan ketiga sahabat, lalu menambahkan teofani dan
menutupnya dengan epilog. Alhasil, kritik tajam yang mengambil tokoh
Ayub itu mendapat simpati dan cenderung diterima pembaca karena
Ayub dikenal umum sebagai orang saleh yang dekat dengan Allah.
Namun kritik tajam itu dipandang sangat berbahaya untuk sistem
pendidikan dan kehidupan moral oleh guru-guru kebijaksanaan,
sehingga disisipkan pidato-pidato Elihu untuk memperkuat argumen
ketiga sahabat. Meski demikian, mereka tidak berdaya mengalahkan
argumentasi-argumentasi Ayub, sehingga Ayub pun naik banding
kepada Allah.

5. Jalan Pikiran Ketiga Sahabat dalam menanggapi penderitaan


Ayub
Dalam dialog dengan Ayub, ketiga sahabat (Elifas, Bildad, Zofar)
mengetengahkan pendapat tradisional dari guru-guru kebijaksanaan
yang sekaligus berkat mereka menjadi pandangan umum bangsa
Israel, yakni pembalasan di bumi. argumentasi pemikiran mereka:
Segala penderitaan di bumi ini disebabkan oleh Allah, karena Allah
dikenal sebagai causa prima atau penyebab yang pertama. Pendapat ini
berkaitan dengan monoteisme Yahudi yang sesudah zaman pembuangan
di Babel memandang bahwa penyebab segala kejadian di dunia ini
adalah Allah. Pandangan inipun berakar pada tulisan-tulisan yang lebih
tua, seperti: “adakah terjadi malapetaka di suatu kota dan Tuhan tidak
melakukannya?” (Am. 3:6b).
Penderitaan = hukuman Allah bagi manusia karena dosanya.
Pendapat ini berkaitan dengan paham keadilan Allah. Allah dikatakan
adil bila mengganjar orang baik dengan dan menghukumlah dikatakan
adil bila mengganjar orang baik dengan dan menghukum orang jahat.
Ganjaran terhadap orang baik, benar, saleh, dan takut akan Allah bisa
berupa kekayaan, kemakmuran, banyak akan, kesehatan: sedangkan
hukuman terhadap orang jahat, salah dan tidak percaya akan Allah
berupa kemiskinan, tidak miliki akan dan sakit.
Ayub sedang menderita, maka ia seorang pendosa dan untuk
pemulihannya ia harus bertobat, mengakui dan menyesali dosanya di
hadapan Allah. Pendapat ini pun berkaitan dengan pandangan umum
bangsa Israel bahwa seorang pendosa yang bertobat dapat
mengharapkan pengampunan, pemulihan dan berkat dari Allah (bdk. 1
Raj 8:13).
Argumentasi dan usaha ketiga sahabat untuk menobatkan Ayub itu
ditolak karena Ayub menyatakan bahwa dirinya hidup saleh, takut akan
Allah dan tidak berdosa: bagaimana dapat mengakui dan menyesali dosa
yang tidak dilakukannya? Maka Elifas dan Bildad menuduh Ayub
sebagai pembohong, sebab di hadapan Allah tidak ada makhluk tahir
yang paling benar, bahkan makhluk-makhluk surgawi yang paling luhur
sekalipun, apalagi manusia (Ayb 4:17-21: 15:14-16; 25:4-6). Namun
ayub dapat mematikan argumentasi mereka: bila setiap orang melakukan
dosa sehingga tidak benar di hadapan Allah, tapi mengapa hanya saya
mendapat kemalangan dan orang lain tidak? Jika Allah itu adalah adil
dan mau menghukum dosa, seharusnya Ia menghukum semua orang dan
bukan hanya aku.
Ayub bersikeras tidak mau bertobat dan terus-menerus katakan
mengatakan bahwa ia tidak dapat bertobat karena ia tidak berdosa.
Alhasil, karena ketiga sahabat itu memperlihatkan paham pembalasan di
bumi yang terancam oleh argumentasi Ayub, mereka menakut-nakutinya
dengan memaparkan secara panjang lebar kemalangan yang akan
menimpa orang jahat. Elifas pun secara kejam memaki-maki Ayub
dengan menuduh sederetan daftar dosa Ayub (Ay. 22). Namun, Ayub
melawan mereka dengan memaparkan hasil pengamatannya, di mana
kerap kali justru orang jahat yang malah hidupnya makmur. Sehingga
Ayub menyimpulkan bahwa segala argumentasi mereka adalah tipu daya
belaka.
6. Bagaimana Cara Ayub Menyikapi Penderitaan yang
dialaminya?
Segala penderitaan di dunia ini disebabkan oleh Allah, karena
Allah adalah caus prima. Penderitaan merupakan hukuman dari Allah
terhadap manusia yang berdosa. Ayub hidup saleh, tidak melakukan
kesalahan, tapi menderita, maka Allah memperlakukan Ayub tidak adil.
Jadi Allah tidak adil, maka: Ayub melawan pendapat bahwa penderitaan
adalah akibat langsung dari dosa, Ayub mati-matian membela diri
sebagai orang saleh dan bukan pendosa.
7. Bagaimana model kisah cinta segitiga yang termuat dalam
Kitab Kidung Agung

Raja Salomo sudah punya banyak istri (kurang lebih berjumlah


600, belum termasuk gundik-gundiknya), namun hatinya tertambat pada
seorang gadis Sulam. Masalahnya, si gadis Sulam sudah bertunangan
dengan seorang gembala. Tapi, dengan kekuasaan sang raja, Salomo
berhasil memisahkan gadis Sulam dari si gembala dan membawanya ke
Istana. Di istana, Salomo meminta supaya para puteri istana melayani
dan menjaga gadis Sulam agar tidak melarikan diri. Salomo pun
memanjakan gadis dengan kemewahan dan membujuk agar gadis Sulam
menjadi istrinya. Sang gembala sesekali datang ke istana: melihat gadis
Sulam dari balik jendela, tidak bisa berjumpa dengannya secara
langsung, dan selalu berharap agar gadis Sulam pulang dan kembali
padanya untuk bertunangan. Ini menjadi dilema si gadis Sulam.
Akhirnya dengan segala perjuangannya, si gadis Sulam berhasil
melarikan diri dari istana dan kembali pada cinta pertamanya: si
gembala. Alur cinta segitiga ini mau menunjukkan bahwa harta,
kuasa dan kenyamanan, tidak bisa membeli cinta yang sejati.
Kesetiaan pada cinta pertama menjadi inti Alur Cinta Segitiga.
8. Apa makna dari kitab Kidung Agung bagi relasi antar suami
istri?
Buku Kidung Agung dalam dunia Israel dipandang sebagai buku
yang kudus/sakral. Hal ini karena dari isinya adalah kumpulan lagu
cinta dan cinta itu adalah cinta antara suami dan isteri. Bukan cinta
yang tidak ada hubungan. Tunangan pun tergolong ada hubungan masuk
dalam golongan perkawinan yang sah. Cinta suami/isteri adalah cinta
yang saling menghargai dan menjunjung tinggi kesetaraan gender.
Kidung Agung adalah kidung dari segala kidung yang mengisahkan
cinta sejati suami/isteri sebagai gambaran cinta Allah/Kristus
terhadap umat-Nya/Gereja-Nya. Jadi, disebut buku sakral bukan
hanya sekedar melukiskan kisah cinta suami/isteri, melainkan itu hanya
analog untuk menggambarkan cinta Allah kepada umat-Nya.

9. Ay. 14: “bagiku kekasihku setangkai bungan pacar di kebun-


kebun anggur En-Gedi”.
Tafsir Harfiahnya: Bagi sang gembala, si gadis Sulam sangat
istimewa, luar biasa, obat dan penyejuk gairah cintanya yang
panas kering.
Tafsir Alegoris
Gadis Sulam = Israel, Gembala = Allah. Allah yang begitu jatuh
cinta kepada Israel sehingga menjadikannya umat pilihan-Nya.
10. Jelaskan makna tafsir harafiah dan laegoris Ay. 13:
“bagiku kekasihku bagaikan sebungkus mur, terselip di antara
buah dadaku”.
Tafsir harfiah: sang gembala yang sangat berharga yang selalu
tinggal bersamanya sehingga menyenangkan dan gadis Sulam pun tak
pernah kesepian → “engkaulah jantung hatiku”.

Tafsir Alegoris
 Yahudi = BAIT ALLAH
Bagiku = bangsa Israel yang berbicara
Kekasihku = YHWH, Allah Israel
Tersisip = tinggal, berada
Buah dada = Di Yerusalem inilah tempat Bait Allah. Bait Allah
terdapat di tengah-tengah kedua kerajaan itu.Maka secara alegoris, ayat
ini mau berbicara bangsa Israel yang mengungkapkan imannya, di mana
Allah tinggal bersama mereka di bait Allah yang di Yerusalem.
 Kristen
Bagiku = Umat Kristen, Kekasihku bagaikan sebungkus Mur =
Yesus Mesias mederita → pemakaman disertai campuran minyak mur
gaharu (Yoh. 19:39).
Buah dada = ↔ PL (nubuat penderitaan Yesus)
↔ PB (kesaksian penderitaan Yesus);
↔ Dua hukum kasih (Kasih kepada Allah dan kepada
sesama) → dekalog yang dibagi sama

Anda mungkin juga menyukai