Anda di halaman 1dari 3

BS KE-596 :BEBERAPA CATATAN TENTANG AMSAL 30 : 1-33

Oleh Ferry Nahusona

A. PROLOG
1. Sebagai suatu kumpulan kitab hikmat, kita sungguh mengetahui bahwa dari
satu pasal di kitab Amsal saja, kita dapat membuat begitu banyak khotbah,
dengan aksentuasi yang berbeda-beda. Bahkan dari 33 ayat di Amsal pasal 30
ini saja, kita dapat membuat minimal sekitar 10 pokok khotbah. Hal ini
mengisyaratkan bahwa memang pada dasarnya hikmat-hikmat dalam kitab
Amsal itu laksana “kalung mutiara hikmat” yang menghiasi kehidupan kita
sebagai orang percaya dan sekaligus orang berhikmat. (Band. Amsal 3:3b,
….Kalungkanlah itu pada lehermu….).
2. Siapakah Agur bin Yake dari Masa?
Nama Agur dalam bahasa aslinya (Ibrani) adalah Awgur atau Agar, yang
artinya mengumpulkan. Dengan kata lain, Agur adalah seorang
penghimpun/pengumpul. Anak dari Yake (Yaqeh), yang artinya tidak
bersalah, patuh, yang mungkin berhubungan dengan kepatuhan /
kemurnian. Singkatnya, Agur bin Yake dengan kata lain dapat dimaknai
sebagai seorang berhikmat, karena ia adalah “pengumpul amsal yang
patuh beriman dan menghidupinya”.
Kata Masa yang menunjuk asal wilayah dari Agur, menunjuk kepada
suatu daerah / nama negara yang mungkin berasal dari keturunan Ismael.
Walaupun ada beberapa terjemahan lainnya (KJV misalnya) yang
menerjemahkan “Masa” dengan pesan atau nubuat. Sehingga tetap
melekatkannya pada julukan dari nama raja Salomo, sebagaimana juga
sebutan tentang Lemuel di Amsal 31:1.
Dari kedua sebutan ini (Agur dan Lemuel), menimbulkan beberapa
tafsiran bahwa:
(1) Baik Agur maupun Lemuel, adalah julukan atau nama-nama lain yang
menunjuk kepada raja Salomo;
(2) Memang keduanya berasal dari bangsa lainnya (dari bangsa dan kerajaan
Masa) yang hikmatnya diserap dan dikumpulkan oleh Salomo, dan
selanjutnya kebenarannya telah dihidupi dan menjadi semacam “hukum
besi” yang berlaku untuk setiap generasi, pada tempat dan zaman apapun
(hic et nunc).

B. DIALOG
Hikmat apa sajakah yang ditemukan dalam Amsal 30 ini, ketika didialogkan
dengan realita kehidupan di konteks pengamsal maupun konteks kehidupan
kita ?
Pertama: Pentingnya kesadaran dan pengakuan tentang keterbatasan
dan
ketidakmampuan kita (ayat 1-4). Dalam 1 Raja 11:1-4, raja
Salomo pun pernah “bodoh” ketika ia tidak hidup seperti yang
Tuhan kehendaki. Menarik bila diperhatikan Amsal 30:2, karena
dalam terjemahan bahasa aslinya disebutkan pengakuan pengamsal
bahwa, “Karena aku lebih buas seperti binatang, melebihi
siapapun
dan tidak ada pemahaman yang ada padaku”.
Kedua : Pentingnya kesadaran dan pengakuan tentang kekuasaan Tuhan
dengan Firman dan HikmatNya yang tidak tertandingi (ayat 5-6)
Ketiga : Dengan pola amsal-amsal numerik (menggunakan angka-angka,
misalnya dengan menyebutkan ada 2 hal…, ada 3 hal…, ada 4 hal
dstnya) dari ayat 7 – 33, ada beberapa percikan hikmat pula yang
ditandaskan, antara lain:
(1) Pentingnya kesadaran untuk hanya menikmati apa yang
menjadi bagian kita saja (ayat 7 – 9)
(2) Pentingnya menjaga perkataan kita (ayat 10, 14)
(3) Pentingnya pewarisan hidup (generasi/keturunan) yang bukan
dengan perilaku kefasikan (ayat 11-14) seperti tidak
menghormati orangtua, kemunafikan, kesombongan, dan
menindas yang lemah dan miskin.
(4) Pentingnya hidup dalam kecukupan (ayat 15-16)
(5) Akibat yang mengerikan dari sikap tidak hormati orangtua
(ayat 17)
(6) Tetaplah terbuka dan menyadari bahwa dalam hidup ini ada
juga yang namanya misteri pada jalan-jalan kehidupan
(ayat 18-19)
(7) Sadarlah bahwa manusia cenderung mencari pembenaran
diri, kendatipun telah bersalah (ayat 20)
(8) Kekacauan akan terjadi dalam hidup bila yang berlaku
adalah ketidaknormalan (ayat 22, 23)
(9) Hidup ini sebuah pembelajaran yang dapat kita petik dari
manapun, termasuk dari lingkungan alam kita, baik dari hal-
hal
yang besar tetapi juga yang tampaknya kecil. Dengan begitu,
kita pun akan semakin berhikmat (ayat 24-31)
(10) Akhirnya, sangat penting untuk menjaga hati dan mulut
kita,
sebab bila tidak, kita sendiri akan menuai apa yang kita taburi.
(ayat 32-33).
E. EPILOG
Tidak cukup menjadi orang percaya saja. Kita harus menjadi orang percaya
yang berhikmat. Sebagai orang percaya yang berhikmat, maka kebenaran
firman itu patut dihidupi. Sebaliknya, kitapun tidak hanya menjadi orang
berhikmat semata, melainkan harus menjadi orang percaya di dalam Kristus
Sang Hikmat Allah itu sendiri (1 Korintus 1:30).
Belajar dari Agur bin Yake (sang pengumpul amsal dan menghidupinya),
maka suatu oto-kritik (baca: sebuah TANTANG-JAWAB) yang patut kita
sadari adalah bahwa kita bukan hanya kedapatan sebagai orang-orang yang
“mengumpulkan firman / hikmat” (melalui BS atau forum apa saja yang
berkaitan dengan firman Tuhan), tetapi kita pun terpanggil untuk menghidupi
firman (menjadi pelaku firman) itu sendiri.
Pertanyaan reflektifnya: Sejauhmanakah hal itu berlaku dalam hidup
kita, sebagai pribadi maupun persekutuan kita ? Kalau ada hal yang membuat
kita lelah dan bodoh, maka apa saja penyebabnya yang patut diakui dan
direfleksikan oleh masing-masing kita ? Silakan refleksi dan sharing,
termasuk dalam nuansa perayaan HARI SUMPAH PEMUDA !

Anda mungkin juga menyukai