Anda di halaman 1dari 23

MAN OF COVENANT

PERJANJIAN ADA 2 JENIS YAITU KONTRAK DAN KOVENAN

KONTRAK (2 PIHAK SEJAJAR)

KOVENAN (SALAH SATU LEBIH TINGGI) CONTOH : TUHAN DAN ABRAHAM (TUHAN LAKUKAN
BAGIANNYA YANG TIDAK MUNGKIN DAPAT DILAKUKAN OLEH ABRAHAM)

KOVENAN INISIATIF ALLAH,BERSIFAT KEKAL

SEJARAH KENAPA COVENANT BISA SAMPAI KEPADA MANUSIA SEKARANG

1. MANUSIA YANG TIDAK LUPA DIRI


2. MANUSIA YANG TIDAK TAKUT
3. MANUSIA YANG SETIA (TIDAK MEMBUAT PERJANJIAN DENGAN tuhan YANG LAIN)

Manusia terbiasa melihat atau menilai segala sesuatu dari aksesoris apa yang ada di sekeliling kita.
tapi yang lebih penting manusia harus memiliki dasar (fondasi) yang kuat. Karena jika fondasi tidak
kuat, hidup kita tidak akan kuat.Saat-saat ini generasi muda sedang diserang, keluarga diserang,
karena iblis tahu generasi muda dan keluarga adalah sebagai alat yang dipakai Tuhan secara
luarbiasa.

COVENANT Adalah perjanjian sebagai dasar atau fondasi dalam kehidupan manusia.

Tetapi di tengah jalan, di suatu tempat bermalam, TUHAN bertemu dengan Musa dan berikhtiar
untuk membunuhnya.(Kel. 4:24)

mengapa musa ingin dibunuh oleh Tuhan, ini bukan karena ia melakukan perjinahan atau dosa yang
lain tetapi Musa melupakan perjanjian dengan Tuhan untuk menyunatkan anaknya. Akhirnya Zipora
yang menyunatkan anaknya, "Lalu Zipora mengambil pisau batu, dipotongnya kulit khatan anaknya,
kemudian disentuhnya dengan kulit itu kaki Musa sambil berkata:

"Sesungguhnya engkau pengantin darah bagiku."Lalu TUHAN membiarkan Musa. "Pengantin darah,"
kata Zipora waktu itu, karena mengingat sunat itu.(Kel. 4:25-26)

Alkitab kita adalah alkitab perjanjian dan ALLAH kita adalah Allah yang menghargai perjanjian. Dan
Allah menginginkan agar kita menghargai perjanjian yang di buat oleh TUHAN, karena ALLAH
memberkati kita berdasarkan pernjanjian yang ALLAH buat.

"Tetapi haruslah engkau ingat kepada TUHAN, Allahmu, sebab Dialah yang memberikan kepadamu
kekuatan untuk memperoleh kekayaan, dengan maksud meneguhkan perjanjian yang diikrarkan-Nya
dengan sumpah kepada nenek moyangmu, seperti sekarang ini.(Ula. 8:18)

Tetapi apakah orang kuat ketika di berkati oleh TUHAN karena fakta nya banyak orang diberkati
tidak kuat buktinya banyak orang yang menjadi tidak setia dan berubah dalam kehidupan nya ketika
sudah diberkati.

Tetapi jika engkau sama sekali melupakan TUHAN, Allahmu, dan mengikuti allah lain, beribadah
kepadanya dan sujud menyembah kepadanya, aku memperingatkan kepadamu hari ini, bahwa kamu
pasti binasa;(Ula. 8:19)
Contoh lain yang disebutkan di dalam Alkitab tidak hidup dalam perjanjian (covenant) dengan Tuhan
adalah Simson. Ia dipersiapkan oleh Tuhan untuk membebaskan orang Israel dan ia diurapi oleh
Tuhan dan mempunyai kekuatan yang sangat luar biasa, tetapi Simson tidak setia dengan Tuhan, ia
kenal dengan seorang yang bernama Delila dan akhirnya memberitahukan letak kekuatan yang
dimiliki oleh Simson ia tidak setia dengan perjanjian dengan TUHAN, akhir nya ia kehilangan
kekuatannya dan pada akhirnya simson bertobat dan mendapat anugerah dan pengampunan
dengan TUHAN, dan simson kembali pada perjanjiannya dengan TUHAN.

Orang yang kehilangan COVENANT hidup nya akan terikat oleh dosa, dan akan ditaklukkan oleh
dunia. Oleh sebab itu TUHAN mencari orang yang setia terhadap COVENANT dengan TUHAN.
Di saat kita memikirkan identitas diri, kita tidak mungkin terlepas dari sejarah. Sebuah perkataan yang
sering kali diucapkan berkaitan dengan hal ini adalah, “A man who lost his history, loses his identity.”
Pengabaian akan sejarah menjadikan kita seorang yang akan kehilangan arah karena kita tidak tahu
dari mana kita datang, di mana kita berada, dan ke mana kita seharusnya tuju. Kita kehilangan dasar
atau pijakan kesadaran keberadaan posisi kita. Bagaikan seorang yang tersesat di suatu tempat dan
ia tidak tahu sedang berada di mana, begitu juga seorang yang kehilangan atau melupakan sejarah.
Kompas atau peta yang dimiliki tidak dapat banyak membantu seorang yang tersesat jikalau ia tidak
tahu di mana ia sedang berada. Setidaknya dengan mempelajari sejarah kita akan belajar tiga
aspek: pertama, kita dapat mengerti identitas atau akar asal mula keberadaan kita sebagai sebuah
komunitas (bangsa atau kelompok tertentu); kedua, kita setidaknya dapat menganalisis atau
mempelajari kesalahan yang pernah dibuat di dalam sejarah sehingga kita dapat berusaha untuk
tidak mengulangi kesalahan yang sama; dan ketiga, kita dapat mempelajari aspek-aspek positif yang
dapat menjadi kebijaksanaan di dalam menjalani hidup kita saat ini dan di masa depan. Ironisnya,
pembelajaran akan sejarah menjadi aspek yang ditinggalkan oleh generasi muda saat ini.

Pada artikel bulan lalu, sempat dibahas mengenai kebahayaan yang kita hadapi pada zaman ini, yaitu
tendensi zaman yang ingin menentukan sendiri identitasnya atau bersifat otonomi, dan kelompok
orang yang menyadari identitas diri tetapi tidak dengan sungguh-sungguh menjalankannya atau
bahkan memanfaatkannya bagi kepentingan diri. Hal ini menjadi bagian dari semangat anti-otoritarian
yang banyak memengaruhi generasi muda saat ini. Just do what you think is right. Just follow your
heart. Kalimat-kalimat seperti ini menjadi slogan yang sering kali kita jumpai pada saat ini. Inilah
cerminan dari semangat zaman yang mendidik pengikutnya untuk membuat keputusan hidup bagi
dirinya sendiri, tidak perlu mengikuti tradisi atau apa yang dikatakan oleh orang lain. Dari sejak muda
kita diindoktrinasi untuk memikirkan masa depan kita berdasarkan apa yang menjadi “passion” kita.
Tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan yang diajarkan Alkitab. Seperti yang dibahas dalam
artikel bulan lalu, sebagai umat Allah kita seharusnya hidup berdasarkan “passion” yang sudah
diselaraskan dengan apa yang Tuhan kehendaki, bukan hanya berdasarkan kehendak diri semata.
Pada artikel ini kita melihat lebih jelas bahwa pada dasarnya manusia diciptakan untuk hidup bagi
Allah. Alkitab tidak pernah mengajarkan manusia untuk hidup bagi dirinya sendiri, karena manusia
diciptakan di dalam ikatan relasi perjanjian dengan Allah. Artikel ini akan membahas
mengenai covenant of works, yaitu relasi perjanjian Allah dengan manusia sejak penciptaan hingga
sebelum kejatuhan ke dalam dosa.

Covenantal Relationship at Creation Point

Di antara semua ciptaan, manusia adalah makhluk yang diciptakan dan ditempatkan secara berbeda
dibanding dengan ciptaan lainnya. Sebagai gambar dan rupa Allah, manusia diciptakan di dalam
relasi yang spesial dengan Allah yaitu relasi perjanjian atau covenantal relationship. Di dalam
sebuah covenant terdapat beberapa aspek, yaitu: nama yang berkuasa atas perjanjian tersebut, latar
belakang perjanjian ini, aturan dalam perjanjian, konsekuensi bila patuh atau melanggar perjanjian,
provisi sebagai himbauan untuk umum. Di dalam Kejadian pasal 1 dan 2, memang tidak semua aspek
ini ada secara eksplisit, tetapi ada beberapa aspek yang cukup tergambarkan. Misalnya di dalam
Kejadian 1:28-30:

Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah
banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di
udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” Berfirmanlah Allah: “Lihatlah, Aku
memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-
pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu. Tetapi kepada segala binatang di
bumi dan segala burung di udara dan segala yang merayap di bumi, yang bernyawa, Kuberikan
segala tumbuh-tumbuhan hijau menjadi makanannya.” Dan jadilah demikian.

Ketiga ayat ini bisa dikategorikan sebagai aspek aturan dalam perjanjian yang Tuhan berikan kepada
manusia. Tentu saja aturan ini bukan hanya berisi tugas-tugas yang harus dilakukan manusia, tetapi
juga Tuhan memberikan larangan kepada manusia, yaitu di dalam Kejadian 2:16-17: Lalu Tuhan
Allah memberi perintah ini kepada manusia: “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan
buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah
kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.” Isi dari bagian ini
merupakan sebuah larangan yang di dalamnya terkandung juga konsekuensi dari pelanggaran
tersebut. Bukan hanya itu, di pasal berikutnya kita pun dapat melihat bahwa Tuhan menaruh pohon
kehidupan sebagai bagian dari berkat yang Tuhan berikan jikalau manusia taat kepada Allah, yaitu
kehidupan kekal bersama dengan-Nya. Sehingga, di sini kita dapat melihat adanya dua hal utama
dalam covenant of works: tanggung jawab manusia sebagai ciptaan secara umum, dan juga perintah
khusus yang berupa larangan untuk manusia lakukan.

Man’s Responsibility in the Covenant of Works

Di dalam covenant of works ini terdapat mandat yang mendorong manusia untuk berkembang


melebihi batasan Taman Eden, yaitu hingga menaklukkan seluruh dunia. Covenant ini menuntut
Adam untuk melakukan tugasnya sebagai ciptaan Allah. Ia harus bekerja dan memelihara taman (Kej.
2:15), yang adalah rumah bagi manusia dan juga adalah tempat kudus Allah. Bukan hanya itu saja,
tugas Adam juga adalah mengatur creation ordinances di dalam ciptaan (pekerjaan – Kej. 1:28; 2:15,
pernikahan atau keluarga – Kej. 2:23-25, dan Sabat – Kej. 2:1-3). Hal-hal inilah yang menjadi dasar
atau yang mendefinisikan etika hidup manusia di sepanjang sejarah. Sehingga di dalam aspek ini kita
dapat melihat bahwa covenant ini bersifat individual (yaitu perjanjian dengan Adam dan Hawa), tetapi
juga memiliki aspek universal (karena terkait dengan seluruh dunia). Secara pribadi Tuhan
memberikan perintah kepada Adam dan Hawa sebagai manusia pertama. Mereka diperintahkan
untuk menaklukkan seluruh dunia ini dan mereka harus berkembang untuk memenuhi bumi ini. Untuk
mengerti hal ini lebih jelas kita akan mengaitkannya dengan fungsi manusia sebagai gambar dan rupa
Allah.

Manusia diciptakan dengan kapasitas atau kemampuan untuk berelasi secara pribadi dengan Allah.
Theologi Reformed menjelaskan bahwa manusia diciptakan dengan tiga aspek yang menjadi struktur
dalam kehidupan manusia, yaitu rasio, emosi, dan kehendak. Ketiga aspek ini diciptakan untuk
memampukan manusia di dalam menjalankan tiga fungsi, yakni:

·  Rasio untuk digunakan oleh manusia di dalam mendapatkan kebenaran yang sejati (true
knowledge). Dengan menggunakan rasio, manusia hadir menjadi wadah kebenaran Allah. Mereka
menjadi pribadi yang menerima wahyu yang Tuhan berikan baik secara reguler dengan mempelajari,
menganalisis, dan menginterpretasi alam ini (hal ini kita sebut juga sebagai wahyu umum Allah),
maupun wahyu yang Tuhan langsung sampaikan kepada manusia secara khusus (wahyu khusus
Allah). Sebagai gambar Allah, manusia harus mampu menerima kebenaran Allah dan
menginterpretasikannya sesuai dengan interpretasi Allah yang menciptakannya. Inilah fungsi manusia
sebagai nabi yang menerima kebenaran sejati.

·  Emosi untuk digunakan manusia di dalam menjalankan kehidupan yang kudus sejati (true
holiness). Fungsi ini sering kali dikaitkan dengan fungsi dari seorang imam yang bertugas untuk
membawa persembahan yang kudus bagi Allah. Sebagai seorang imam, manusia memiliki tuntutan
untuk hidup dengan kudus seperti yang Tuhan inginkan, karena seorang imam bisa dikatakan
sebagai orang yang memberikan seluruh hidupnya melayani Tuhan. Maka fungsi true holiness ini
menuntut manusia untuk hidup berdasarkan standar kekudusan Allah dan mereka harus hidup
sepenuhnya taat kepada perintah Tuhan, sehingga akhirnya kehidupan kita dapat menjadi
persembahan yang harum bagi Allah.

·  Kehendak untuk digunakan manusia dalam mengatur dunia ini di dalam kebenaran sejati ( true
righteousness). Manusia diberikan tanggung jawab untuk menaklukkan dunia ini. Tugas ini sering kali
dikaitkan dengan fungsi manusia sebagai raja. Manusia diberikan mandat untuk memimpin dan
mengatur alam semesta ini. Namun, bukan dengan cara yang semau dirinya tetapi harus di dalam
kebenaran yang Tuhan nyatakan. Sebagaimana seorang raja yang memerintah di dalam kebenaran
yang bijak dan adil, begitu juga manusia harus mengusahakan dan memelihara alam semesta ini.

Ketiga fungsi ini menjadi dasar di dalam manusia menjalankan tanggung jawabnya mengusahakan
dunia ini. Pengertian ini seharusnya menyadarkan kita bahwa manusia diciptakan dengan tujuan yang
jelas dari awal. Kita tidak dibiarkan begitu saja menentukan sendiri apa yang menjadi arah dan
kemauan hidup kita, tetapi manusia harus takluk kepada Allah. Manusia harus menyatakan
kebesaran Penciptanya dalam seluruh aspek kehidupannya, bukan menyatakan kehebatan
kemampuan otonominya dalam menjalankan kehendaknya. Manusia harus mengusahakan dunia ini
berdasarkan kebenaran yang Tuhan nyatakan, bukan kebenaran yang manusia bangun sendiri. Lalu,
dengan kebenaran ini manusia memerintah atau mengatur alam semesta ini di dalam kebijaksanaan
dan keadilan yang berkenaan dengan, bahkan mencerminkan, kebijaksanaan dan keadilan Allah.
Tidak hanya berhenti di sini, manusia pun harus memelihara kehidupannya di dalam kekudusan yang
sesuai dengan standar kekudusan Allah, dan mempersembahkan segala yang ia telah usahakan
untuk kemuliaan Allah. Seluruh hidupnya adalah untuk Allah semata. Dengan menjalankan ketiga
fungsi ini, manusia dapat berfungsi sebagai gambar Allah yang sesungguhnya dan
menjalankan covenant of works yang Tuhan berikan kepada manusia. Alkitab menyatakan bahwa jika
manusia dapat menjalankan tanggung jawab ini dengan baik, Tuhan akan terus memberkati manusia
untuk hidup bersama dengan-Nya.

Namun, covenant of works ini tidak hanya berisi tanggung jawab manusia saja, tetapi juga ada
sebuah perintah spesifik yang secara khusus Tuhan nyatakan, yaitu larangan memakan buah pohon
tentang pengetahuan yang baik dan yang jahat. Ini adalah perihal kedua yang perlu kita mengerti di
dalam covenant of works.

God’s Special Command as Man’ Loyalty Test

Larangan yang Tuhan nyatakan di dalam Kejadian 2:16-17 bukan sekadar larangan atau aturan yang
tidak boleh dilanggar oleh manusia. Tetapi hal ini juga menjadi sebuah ujian ketaatan manusia
kepada Allah. Ini adalah ujian khusus yang Tuhan berikan kepada Adam untuk menguji ketaatannya
atau kesetiaannya kepada perjanjian Allah. Allah menyatakan secara eksplisit bahwa pelanggaran
atau kegagalan terhadap ujian ini akan memberikan akibat yang fatal yaitu kematian. Cornelius Van
Til menjelaskan hal ini sebagai ujian untuk menentukan apakah Adam adalah covenant
breaker atau covenant keeper. Jikalau manusia dapat setia menjalankan tanggung jawabnya dan
berhasil melewati ujian ketaatan, yaitu tidak makan buah pengetahuan tentang yang baik dan yang
jahat, manusia lulus sebagai seorang covenant keeper. Ia menjadi ciptaan yang setia terhadap
perjanjiannya dengan Allah. Namun, realitas terjadi sebaliknya, manusia menjadi seorang yang tidak
setia kepada Allah, manusia menjadi seorang yang merusak, melanggar, dan melawan perjanjian
dengan Allah.

Sebagai seorang covenant breaker, manusia menunjukkan dirinya sebagai seorang yang tidak rela
untuk taat kepada Allah. Manusia lebih memilih hidup secara otonom, terlepas dari otoritas Allah.
Ketika manusia akhirnya memilih untuk memberontak kepada Allah, maka fungsi dan tanggung
jawabnya sebagai gambar Allah pun menjadi rusak. Manusia menjadi ciptaan termulia yang akhirnya
jatuh ke dalam dosa dan kehilangan kemuliaan Allah. Ironisnya, manusia melakukan pemberontakan
ini menggunakan kapasitas yang Tuhan sudah anugerahkan. Dengan rasionya manusia menentukan
sendiri apa itu kebenaran, dengan emosinya manusia tidak lagi menginginkan hal yang kudus tetapi
ingin dan bangga berbuat dosa yang keji di mata Allah, dan dengan kehendaknya manusia memimpin
atau menguasai dunia ini di dalam keegoisan. Manusia menggunakan kemampuan yang Allah
berikan untuk memberontak kepada Allah. Manusia gagal untuk melewati ujian kesetiaan yang Allah
tetapkan. Mereka memilih untuk menjadikan diri sebagai allah atas diri sendiri dan mengabaikan
otoritas Allah yang seharusnya mereka patuhi.

Penutup
Covenant of works ini seharusnya menyadarkan kita akan siapa kita dan apa yang seharusnya kita
lakukan di dalam hidup ini. Sebagai ciptaan Allah, manusia tidak dipanggil untuk membuat arah atau
melakukan hal yang berada di luar penetapan kehendak Allah. Manusia ada untuk menjalankan
kehendak Allah di dunia ini hingga akhirnya rencana Allah ini digenapi secara sempurna di dalam diri
Kristus. Oleh karena itu, kita harus kembali menyadari bahwa semangat anti-otoritarian adalah
semangat yang jelas-jelas bertentangan dengan Alkitab. Makin manusia menyimpang jauh dari
panggilannya, makin manusia itu kehilangan identitas. Manusia yang tidak mau takluk kepada Allah
tidak mungkin mendapatkan identitasnya yang sejati. Karena identitas dan signifikansi manusia
adalah untuk menjalankan kehendak Allah. Kiranya pembelajaran mengenai covenant of works ini
menyadarkan kita akan siapa kita sesungguhnya manusia dan apa yang menjadi original design dari
seorang manusia sejati. Kiranya Tuhan menolong kita untuk makin hari makin menghargai sejarah
dan mau untuk belajar dari sejarah tersebut. Mari kita memanusiakan diri kita sebagai manusia sejati!
Kiranya Tuhan menolong kita!
Noahic Covenant: God's Preservation through Judgement
Sejarah manusia, khususnya dalam konteks pemerintahan, sering kali diwarnai oleh kisah-kisah
perebutan akan kekuasaan. Banyak manusia yang hidup dengan ambisi untuk berkuasa baik atas
alam maupun atas sesama manusia lainnya. Bahkan yang lebih celaka, manusia ingin berkuasa atas
Allah. Hal ini terjadi sebagai akibat dari kejatuhan manusia ke dalam dosa. Manusia diciptakan oleh
Allah dengan kapasitas untuk berfungsi sebagai raja, mengatur dan mengelola dunia ciptaan ini.
Namun dosa telah menyimpangkan fungsi ini, sehingga manusia menggunakan kapasitasnya untuk
memimpin dunia ciptaan ini secara salah. Seharusnya manusia berkuasa dengan semangat seorang
yang melayani, tetapi setelah jatuh dalam dosa manusia berkuasa dengan semangat seorang yang
ingin terus dilayani dengan memperbudak segala sesuatu layaknya seorang pemimpin yang lalim.
Namun, Allah tidak selamanya akan membiarkan hal ini. Dia yang berdaulat atas alam semesta ini,
mengatur alam ini sedemikian rupa, sehingga ambisi berdosa manusia ini pun dihambat
perkembangannya. Manusia dibuat menjadi bersusah payah dalam mencapai apa yang ia inginkan,
bahkan relasi manusia dengan alam dan sesamanya yang sebelumnya harmonis menjadi rusak. Hal
ini kita pandang bukan hanya sebagai efek atau akibat dosa saja, tetapi juga sebagai hukuman Allah
atas manusia yang sekaligus adalah bentuk pemeliharaan-Nya terhadap manusia. Hal ini
dimaksudkan untuk mencegah manusia menjadi makin rusak karena dosanya.

Pada artikel bulan ini, kita akan melihat bagaimana Allah secara berkesinambungan terus memelihara
umat-Nya melalui perjanjian-perjanjian yang Ia adakan dengan tokoh-tokoh besar di dalam Alkitab.
Pada artikel kali ini kita akan melihat bagaimana Allah mengadakan perjanjian dengan Nuh sebagai
bentuk pemeliharaan-Nya terhadap umat Allah. Salah satu yang menarik adalah kisah atau latar
belakang yang menyertai dibentuknya perjanjian ini. Kita akan melihat sebuah pola kerja Allah yang
juga akan kita temui di dalam kitab-kitab nabi di Perjanjian Lama, yaitu Allah yang di satu sisi
menyatakan penghukuman-Nya atas dosa manusia, tetapi di sisi yang lain Ia menyatakan anugerah-
Nya kepada orang-orang pilihan-Nya.

Perjanjian Allah dengan Nuh

Sejak Adam dan Hawa memilih untuk memakan buah pengetahuan yang baik dan jahat, Allah
langsung mengintervensi dan mengadakan perseteruan antara keturunan perempuan dan keturunan
ular (hal ini sudah dibahas dalam artikel bulan lalu). Semenjak perseteruan ini, manusia langsung
terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu umat pilihan Allah dan kelompok yang memberontak
kepada Allah. Hal ini secara langsung dicatatkan dalam Kitab Kejadian, yaitu antara garis keturunan
Kain dengan keturunan Set. Secara kontras antara keturunan Kain yaitu Lamekh dengan keturunan
Set yaitu Henokh. Di dalam Alkitab dicatatkan mereka berada pada urutan keturunan ketujuh, dan hal
yang dicatatkan antara kedua orang ini sangatlah bertolak belakang. Lamekh dengan bangganya
menunjukkan dosanya yang telah membunuh orang, sedangkan Henokh dicatatkan sebagai seorang
yang hidup bergaul dengan Allah dan ia dicatatkan tidak mengalami kematian, melainkan ia diangkat
oleh Allah.

Lalu Alkitab mencatatkan pemberontakan dari keturunan Kain makin bertambah hingga pada titik
Tuhan memutuskan untuk menghukum umat manusia pada zaman itu (Kej. 6:5-7). Di tengah
kejahatan manusia yang makin bertambah, keturunan dari Set tetap berada sebagai kelompok yang
setia kepada Tuhan. Namun, dari seluruh kelompok ini pilihan Allah diberikan hanya kepada Nuh dan
keluarganya (Kej. 6:8). Ada theolog yang menafsirkan Kejadian 6 ini sebagai peristiwa kejatuhan
manusia ke dalam dosa yang kedua kali, di mana kelompok keturunan Set (secara lahiriah)
bercampur dengan keturunan Kain sehingga mereka menjadi kelompok orang-orang berdosa yang
memberontak kepada Allah. Di antara mereka hanya tersisa Nuh dan keluarganya sebagai keturunan
Set yang tetap setia kepada Allah. Hal ini menjadi pelajaran bahwa keturunan secara lahiriah (dalam
istilah kita sekarang seorang yang dilahirkan dalam budaya dan tradisi Kristen) tidak dapat menjadi
jaminan untuk tetap setia kepada Allah. Sehingga umat Allah tidak ditentukan secara keturunan
lahiriah tetapi kepada keturunan secara rohani.

Di dalam Kejadian 6:18, dicatatkan bahwa Allah mengadakan perjanjian dengan Nuh, yaitu sebuah
perjanjian untuk menyelamatkan mereka dari hukuman air bah yang Allah akan nyatakan kepada
manusia. Di dalam iman yang dinyatakan dalam kehidupannya, Nuh membangun sebuah bahtera
untuk menjadi tempat perlindungan Nuh beserta seluruh keluarganya, sesuai dengan perintah yang
Allah nyatakan kepadanya (Ibr. 11:7). Di dalam hal ini kita dapat melihat dua sisi pekerjaan Allah,
yaitu menyatakan hukuman kepada manusia-manusia yang berdosa dan memberontak kepada-Nya,
dan anugerah yang Ia nyatakan kepada sekelompok orang yang Ia pilih. Namun, perlu kita ingat
bahwa dasar pemilihan Allah bukanlah karena kualitas yang ada di dalam diri manusia sehingga
akhirnya diberikan anugerah, justru karena anugerah dan pilihan Allah inilah orang tersebut dapat
memiliki kualitas dan hidup taat kepada Allah. Dengan kata lain, Nuh dipilih Allah bukan karena Nuh
memiliki kualitas yang Allah inginkan, tetapi justru Allah beranugerah kepada Nuh sehingga Nuh
dapat hidup setia dan taat kepada Allah.

Di dalam setiap zaman, Allah menyatakan anugerah-Nya kepada sekelompok orang sebagai bentuk
pemeliharaan-Nya bagi umat Allah. Ia memelihara mereka sehingga benang merah atau
kesinambungan dari karya keselamatan-Nya dapat diteruskan dari zaman ke zaman hingga seluruh
rencana Allah ini tergenapi. Bahkan, pemeliharaan Allah ini bukan hanya ditunjukkan melalui
pekerjaan Allah yang khusus seperti ini, tetapi juga Allah menunjukkannya melalui hal-hal yang
bersifat umum, yaitu melalui pemeliharaan Allah atas alam ini. Pemeliharaan Allah atas alam ini
merupakan bagian dari pemeliharaan-Nya atas umat Allah demi meneruskan rencana keselamatan-
Nya. Aspek inilah yang menjadi salah satu karakter dari perjanjian Allah dengan Nuh.

Setelah Allah menurunkan air bah, Nuh memberikan korban persembahan kepada Allah (Kej. 8:20-
22) dan Allah berjanji untuk tidak akan lagi menghukum atau menghancurkan dunia ini dengan air
bah (Kej. 9:16). Selain hal ini, di dalam kisah ini kita juga mendapati Allah seolah membuat perjanjian
untuk tetap memelihara akan alam melalui cara kerja seperti yang sudah Ia lakukan di dalam
penciptaan. Sehingga di dalam perjanjian Allah dengan Nuh ini, pekerjaan Allah secara umum di
dalam alam ini secara jelas terkait dengan karya penebusan Allah. Hal ini tercermin di dalam Kejadian
9:1 dan 7, di mana Allah membarui mandat budaya yang Ia berikan kepada Adam di Taman Eden
dan memberikan mandat ini kepada Nuh sebagai kesinambungan dari perjanjian Allah dengan
manusia pertama di Taman Eden. Selain itu, perjanjian antara Allah dan Nuh ini juga melibatkan
seluruh keluarga Nuh dan seluruh ciptaan (Kej. 9:16). Hal ini berarti melalui orang pilihan-Nya Allah
melanjutkan perjanjian-Nya yang bersifat universal.

Seperti yang sudah dijelaskan dalam artikel bulan Januari, John Frame membagi covenant ke dalam
3 jenis, yaitu: the eternal covenant of redemption, the universal covenant, dan the new covenant. Di
dalam perjanjian Nuh ini kita dapat melihat keterkaitan yang kuat antara the eternal covenant of
redemption dengan the universal covenant. Melalui kesinambungan karya Allah di dalam dunia
ciptaan ini (universal covenant), rencana karya keselamatan Allah melalui umat-Nya dapat terus
dikerjakan (eternal covenant of redemption). Sedangkan di sisi lain, melalui karya keselamatan Allah
yang dinyatakan melalui orang-orang pilihan-Nya (eternal covenant of redemption), Allah menyatakan
kuasa penebusan atau pembaruan-Nya terhadap ciptaan-Nya yang lain (universal covenant). Hal
inilah yang menjadi keunikan dari perjanjian Allah dengan Nuh.

Pembelajaran dari Perjanjian Allah dengan Nuh

Dari perjanjian Allah dengan Nuh ini, ada beberapa hal yang perlu kita mengerti:

Perjanjian Allah memiliki dampak yang luas, tidak hanya bagi orang-orang pilihan Allah saja, tetapi
perjanjian ini juga berdampak atau bahkan melihatkan kelompok yang lebih luas, bahkan seluruh
alam semesta ini. Allah berdaulat atas seluruh ciptaan-Nya meskipun ciptaan-Nya sudah jatuh ke
dalam dosa dan memberontak kepada-Nya, Allah tetap dapat mereka-rekakan mereka untuk menjadi
alat di tangan Allah yang Mahakuasa. Segala kejahatan orang-orang yang melawan Allah dapat Allah
gunakan untuk mendatangkan kebaikan bagi umat Allah, sehingga mereka dapat melanjutkan
tanggung jawabnya dalam menyatakan kehendak Allah di atas dunia ini. Di dalam konteks ini, para
pemberontak Allah ini hanya berada di dalam konteks historical election, yaitu orang-orang yang
dipilih Allah secara sementara saja untuk menjadi alat dalam menjalankan rencana Allah, tetapi pada
akhirnya mereka akan dibuang karena ketidaksetiaan mereka (untuk lebih jelasnya dapat melihat
artikel bulan Februari). Keberadaan mereka hanya sebagai alat Allah untuk memelihara umat Allah
yang sejati atau kelompok manusia yang berada dalam konteks eternal election. Cara kerja Allah
seperti ini tidak hanya dinyatakan dalam konteks manusia saja, tetapi Allah juga dapat menggunakan
alam semesta ini sebagai wadah bagi rencana keselamatan-Nya. Di dalam konteks inilah kita dapat
mengerti bahwa pemeliharaan Allah secara umum terhadap alam adalah bagian dari pemeliharaan
Allah yang secara khusus ditujukan untuk kelanjutan dari karya keselamatan Allah yang disampaikan
melalui umat-Nya. Berkaitan dengan poin pertama, kita juga dapat melihat kaitan antara perjanjian
Allah ini dengan mandat budaya dan juga penerapan karya penebusan di dalam aspek yang lebih
luas (bukan hanya dalam aspek kerohanian). Perjanjian yang Allah adakan dengan umat-Nya adalah
perjanjian yang berdampak terhadap setiap aspek kehidupan lainnya. Perjanjian ini Allah adakan
untuk menghadirkan kegenapan dari karya keselamatan-Nya, dan karya keselamatan ini dinyatakan
bukan hanya untuk menebus umat-Nya dari dosa, tetapi juga untuk menyatakan kuasa penebusan ini
ke dalam seluruh alam semesta. Orang-orang yang sudah menerima anugerah karya penebusan
Allah harus menyatakan kebenaran dan kemuliaan Allah ini di dalam berbagai aspek kehidupan
lainnya. Allah memakai perjanjian-Nya dengan Nuh sebagai renewal of the provision of creation. Allah
menebus kita yang berdosa untuk menyatakan Injil-Nya dan juga menyatakan kebenaran-Nya melalui
mandat budaya. Inilah kesatuan cara pandang dari tugas umat Allah di tengah dunia berdosa ini.

Perjanjian Allah dengan umat-Nya, khususnya di dalam konteks Nuh, berada untuk memelihara umat-
Nya dari kerusakan dosa yang makin parah. Dengan air bah, Allah menyatakan penghukuman-Nya
kepada umat manusia yang sudah makin parah dosanya. Penghukuman ini dinyatakan untuk
membersihkan manusia dan menyisakan hanya orang-orang pilihan Allah. Sehingga orang-orang
pilihan Allah ini dapat hidup di dalam pengejarannya akan kesetiaan kepada Allah. Ini adalah salah
satu anugerah Allah kepada umat-Nya agar tidak jatuh ke dalam dosa lebih jauh lagi.

Perjanjian Allah dengan Nuh adalah bagian dari pemeliharaan Allah atas dunia ini sehingga ordo di
dalam dunia ini dapat terpelihara hingga akhir zaman nanti. Palmer Robertson menyatakan seperti ini,
“The divine dealing with man after the flood must be viewed with this overall perspective in mind. Man
is totally depraved, inclined toward self-destruction, and worthy of judgement. But God in grace and
mercy determines to preserve the life of man, and promotes the multiplication of his descendants.
God’s commitment to preserve man subsequent to the flood also becomes evident in the provision of
Genesis 9:3-6 (creation).” Sederhananya, Robertson menyatakan bahwa air bah merupakan bentuk
pemeliharaan Allah terhadap umat-Nya sekaligus terhadap alam ini. Allah mengizinkan manusia
untuk memakan daging dari binatang yang diciptakan Allah sebagai bentuk pemeliharaan Allah
kepada manusia. Namun di sisi lain, manusia atau binatang yang melakukan pembunuhan yang
melanggar perintah Allah harus dinyatakan keadilan dengan kematian juga. Inilah bentuk
pemeliharaan Allah terhadap tatanan alam semesta ini yang menjadi wadah dari karya keselamatan-
Nya.

Melalui keempat poin di atas, biarlah kita makin mengerti panggilan kita sebagai umat Allah.
Anugerah dan pemeliharaan Allah diberikan kepada kita disertai dengan suatu tugas dan tanggung
jawab yang harus kita jalankan. Kiranya Tuhan menolong kita untuk makin sadar akan siapa diri kita
dan kita pun makin didorong untuk menghidupi panggilan kita sebagai umat Allah.
Abrahamic Covenant: Promise, Obedience, and Grace
Untuk membangun rasa percaya di dalam relasi antarpribadi adalah hal yang tidak mudah dan
memerlukan waktu yang cukup lama. Kita tidak bisa secara langsung memercayai seseorang yang
baru saja kita kenal. Rasa percaya itu timbul ketika kita sudah mengenal dengan baik orang tersebut,
baik di dalam kepribadiannya maupun prinsip hidup yang ia pegang di dalam hidupnya. Namun di sisi
lain, kita pun perlu menyadari bahwa rasa percaya yang sudah dibangun itu tidak bersifat sekali untuk
selamanya. Kita perlu memelihara atau menjaga rasa saling percaya ini, baik dengan menjaga sikap
maupun prinsip hidup dan juga menjaga dengan baik hal-hal yang sudah dipercayakan kepada kita.
Sehingga, bukan hanya ketika membangun kepercayaan saja yang sulit, di dalam memeliharanya
pun bukanlah hal yang mudah. Bahkan di dalam relasi antarmanusia yang paling intim, yaitu antara
suami dan istri, rasa kepercayaan ini pun sering kali mengalami pasang-surut. Tidak sedikit
perceraian yang harus terjadi karena hilangnya rasa percaya satu dengan yang lainnya. Kasus-kasus
pengkhianatan baik oleh seorang teman maupun pasangan (di dalam konteks keluarga), kerap kali
menimbulkan efek samping yang berat dan muncul secara tiba-tiba. Akibatnya, kepercayaan yang
dibangun selama bertahun-tahun dapat rusak dan hancur dalam sekejap mata. Inilah salah satu fakta
yang begitu ironis dalam kehidupan berelasi manusia berdosa.

Kita pun tidak dapat mengabaikan sebuah kenyataan bahwa rasa saling percaya ini tidak hanya
ditentukan oleh pribadi-pribadi yang sedang berelasi, tetapi juga oleh situasi sekitar pribadi tersebut.
Pandangan orang-orang di sekitar kita dapat dengan mudah memengaruhi rasa saling percaya ini,
biasanya dimulai dari timbulnya kecurigaan atau keraguan akan kepercayaan tersebut. Selain
pandangan orang lain, situasi yang tidak menyenangkan atau berbahaya, terutama yang berkaitan
dengan keselamatan diri, dapat juga mengguncangkan rasa saling percaya tersebut. Di dalam kondisi
yang terdesak, sering kali manusia memikirkan keselamatan dirinya dibanding orang lain, bahkan
orang yang terdekat sekalipun. Hanya segelintir orang yang memiliki patriotisme tinggi yang dapat
merelakan dirinya demi kepentingan orang lain. Sehingga, baik pribadi-pribadi yang terkait maupun
situasi sekitar dapat menjadi penyebab hancurnya rasa saling percaya ini. Namun, kehancuran rasa
saling percaya ini tidak berarti akhir dari relasi, karena hancur atau rusaknya rasa saling percaya
tetap masih memiliki kemungkinan perbaikan atau rekonsiliasi. Bahkan di dalam konteks yang benar,
rasa saling percaya yang dibangun kembali ini mungkin menjadi makin kukuh. Hal ini bergantung dari
pribadi yang terlibat, sampai sejauh mana mereka rela mengampuni dan memiliki keinginan untuk
kembali membangun rasa saling percaya tersebut.

Sebagai umat Allah, kita berada dalam relasi antara Sang Pencipta dengan ciptaan-Nya, atau lebih
tepatnya kita berada di dalam covenantal relationship dengan Allah. Jikalau pada artikel bulan lalu
kita sudah membahas mengenai pemeliharaan Allah bagi umat-Nya dengan menyatakan
penghakiman-Nya kepada para covenant breaker,  maka pada artikel kali ini kita akan membahas
relasi antara Allah yang terus setia kepada janji-Nya dengan Abraham yang menyatakan
kesetiaannya kepada Allah secara fluktuatif. Walaupun Abraham merupakan bapak iman bagi orang-
orang percaya, tetap saja di dalam kehidupannya ada masa-masa di mana ia mulai meragukan janji
Allah. Ia menjadi seorang yang tidak dapat percaya sepenuhnya kepada janji Allah dan lebih
mengandalkan pemikiran atau hikmatnya sendiri. Namun, kesetiaan Allah akhirnya mendidik dan
membentuk Abraham menjadi seorang yang memiliki iman yang sejati kepada Allah. Ia menjadi
seorang tokoh Alkitab yang penting, yang menjadi teladan iman di dalam kepercayaan dan
ketaatannya kepada Allah.
Perjanjian Allah dengan Abraham
Kisah relasi antara Allah dan Abraham dimulai dari Kejadian 12:1-3, yaitu ketika Allah memanggil
Abraham.
Berfirmanlah TUHAN kepada Abram: “Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari
rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu; Aku akan membuat engkau menjadi
bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan
menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-
orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.”

Panggilan Allah kepada Abraham merupakan bagian dari Universal Covenant yang Allah kerjakan di
sepanjang sejarah umat manusia. Khususnya di dalam konteks Abraham, Allah menjanjikan akan
keturunan Abraham yang akan menjadi sebuah bangsa yang besar dan juga janji akan adanya
tempat atau tanah yang menjadi tempat tinggal mereka, lalu melalui keturunan Abraham inilah
seluruh bangsa akan memperoleh berkat. Allah menyatakan akan janji-Nya ini beberapa kali kepada
Abraham. Pernyataan janji Allah kepada Abraham berikutnya dicatatkan di dalam Kejadian 15:3-7:
Tetapi datanglah firman TUHAN kepadanya, demikian: “Orang ini tidak akan menjadi ahli warismu,
melainkan anak kandungmu, dialah yang akan menjadi ahli warismu.” Lalu TUHAN membawa Abram
ke luar serta berfirman: “Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang, jika engkau dapat
menghitungnya.” Maka firman-Nya kepadanya: “Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.” Lalu
percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai
kebenaran. Lagi firman TUHAN kepadanya: “Akulah TUHAN, yang membawa engkau keluar dari Ur-
Kasdim untuk memberikan negeri ini kepadamu menjadi milikmu.”

Pada bagian ini, Allah menyatakan janji-Nya dengan lebih jelas, yaitu mengenai keturunan Abraham.
Pernyataan ini Allah kembali nyatakan karena munculnya keraguan dalam diri Abraham mengenai
kemungkinan baginya untuk memiliki anak. Pernyataan ini Allah kembali nyatakan untuk meneguhkan
kembali keyakinan dan kepercayaan Abraham kepada janji Allah. Janji ini kembali Allah nyatakan
pada Kejadian 17: 3-8, setelah intrik antara Hagar dan Sarai, kira-kira 25 tahun setelah janji Allah
dinyatakan pertama kali kepada Abraham.
Lalu sujudlah Abram, dan Allah berfirman kepadanya: “Dari pihak-Ku, inilah perjanjian-Ku dengan
engkau: Engkau akan menjadi bapa sejumlah besar bangsa. Karena itu namamu bukan lagi Abram,
melainkan Abraham, karena engkau telah Kutetapkan menjadi bapa sejumlah besar bangsa. Aku
akan membuat engkau beranak cucu sangat banyak; engkau akan Kubuat menjadi bangsa-bangsa,
dan dari padamu akan berasal raja-raja. Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau
serta keturunanmu turun-temurun menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Allahmu dan
Allah keturunanmu. Kepadamu dan kepada keturunanmu akan Kuberikan negeri ini yang kaudiami
sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan akan Kuberikan menjadi milikmu untuk selama-
lamanya; dan Aku akan menjadi Allah mereka.”

Dari ketiga kali Allah menyatakan janji-Nya kepada Abraham, kita dapat melihat adanya 3 poin yang
Allah janjikan kepada Abraham:
The Promised Land of Canaan (Kej. 12:1, 15:7)
The Promise of Numerous Offsprings (Kej. 15:4-6, 17:6-8)
The Promise of Blessings unto the World (Kej. 12:3)

Ketiga hal yang Allah janjikan ini adalah janji yang besar dan tidak mudah untuk kita terima begitu
saja. Jikalau kita menjadi Abraham, mungkin kita sulit untuk memercayai hal ini apalagi harus menanti
hingga sekitar 25 tahun baru lahir anak yang pertama. Diperlukan iman yang besar untuk memercayai
janji Allah yang besar ini. Di dalam konteks Abraham, Allah tidak hanya memberikan janji-Nya, tetapi
juga menuntut akan ketaatan dan kepercayaan dari Abraham kepada janji dan segala perintah Allah.
Di dalam aspek respons inilah Allah membentuk iman Abraham yang di dalam perjalanan imannya
mengalami jatuh-bangun.

Keraguan Abraham dan Allah yang setia membentuk Abraham


Di dalam kisah hidup Abraham, khususnya sejak ia dipanggil Allah hingga lahirnya Ishak, kita dapat
melihat masa-masa di mana Abraham mengalami keraguan atau bahkan kejatuhan. Kejatuhan iman
Abraham yang pertama kali terjadi adalah ketika timbul kelaparan di negeri yang ia singgahi (Tanah
Negeb). Dicatatkan bahwa ketika timbul kelaparan yang hebat di negeri tersebut, Abraham pergi ke
Mesir. Lalu, kejatuhan Abraham dimulai ketika ia meminta istrinya mengaku sebagai adiknya, demi
keselamatan dirinya. Lalu ketika Firaun berniat mengambil Sarai menjadi istrinya, Tuhan langsung
menimpakan tulah yang hebat kepada Firaun dan seisi istana. Di sini kita dapat melihat pemeliharaan
Allah yang begitu mengherankan terhadap Abraham. Ini adalah manifestasi dari kesetiaan Tuhan
kepada janji-Nya terhadap Abraham. Allah tidak membiarkan orang-orang yang Ia ingin pakai untuk
menjalankan kehendak-Nya dihancurkan oleh nafsu dunia. Ketika Abraham dalam keraguan dan
kejatuhan, Allah tidak membuangnya, tetapi Allah tetap mengingat akan janji-Nya dan memelihara
Abraham, inilah kesetiaan Allah kepada umat yang
Ia pilih. Di dalam pasal 13, kita dapat secara langsung melihat pertobatan dari Abraham. Ketika terjadi
perkelahian antara para gembala milik Abraham dan para gembala milik Lot, Abraham langsung
memutuskan untuk berpisah dengan Lot demi menghindari pertikaian antarsaudara. Di dalam konteks
ini kita dapat melihat bagaimana Abraham membiarkan Lot untuk terlebih dahulu memilih tempatnya.
Sikap egois Abraham yang ditunjukkan ketika di Mesir berubah total di dalam pasal 13 ini. Ia dengan
berbesar hati menyerahkan Lot untuk memilih tempatnya. Di ayat-ayat selanjutnya dijelaskan lebih
lanjut bahwa Lot memalingkan matanya ke lembah Yordan yang pada saat itu merupakan daerah
yang subur. Abraham bisa saja memilih terlebih dahulu tempat yang nyaman baginya, tetapi ia
menyerahkan hidupnya kepada pimpinan Tuhan. Bukan hanya itu, Abraham pun menolong Lot yang
diculik. Bahkan, Abraham tetap mengingat akan Tuhan ketika ia berhasil menyelamatkan Lot. Ia tidak
mengambil sedikit pun harta dari kepunyaan orang-orang yang ia selamatkan, karena ia sudah
berjanji kepada Allah untuk tidak mengambilnya dan sepenuhnya bersandar kepada pimpinan dan
pemeliharaan Allah kepada dirinya. Setelah peristiwa di Mesir dan Lot inilah Allah menyatakan janji-
Nya kepada Abraham yang saat itu mulai meragukan akan janji Allah akan keturunannya.

Keraguan Abraham secara jelas dicatatkan melalui pertanyaannya kepada Allah dalam Kejadian
15:8, “Ya Tuhan ALLAH, dari manakah aku tahu, bahwa aku akan memilikinya?” Inilah keraguan dari
diri Abraham yang secara jelas ternyatakan. Lalu Allah secara langsung menjawabnya dengan
mengadakan perjanjian dengan Abraham. Allah meminta Abraham untuk menyiapkan lembu,
kambing, domba, burung tekukur, dan burung merpati, lalu meminta Abraham untuk memotong
korban-korban ini menjadi dua dan diletakkannya bagian-bagian itu yang satu di samping yang lain.
Biasanya pihak yang mengadakan perjanjian berjalan di antara potongan-potongan ini, sebagai
sebuah simbol pernyataan akan komitmen mereka terhadap janji yang dibuat. Jikalau melanggar,
mereka akan mendapatkan kematian seperti binatang-binatang yang dipotong ini. Namun, hal yang
menarik berada pada Kejadian 15:17, yaitu ada perapian yang berasap beserta suluh yang berapi
jalan di antara potongan-potongan daging itu. Hal ini menunjukkan bahwa Allah yang mengikatkan
diri-Nya dalam perjanjian hidup dan mati dengan Abraham, bahwa Ia akan memenuhi janji-Nya.
Abraham yang mengerti mengenai makna dari upacara ini pasti menyadari bahwa Allah benar-benar
serius akan menggenapkan janji-Nya.

Kejatuhan iman Abraham berikutnya adalah di pasal 16, ketika Sarai tidak kunjung memiliki anak
sedangkan mereka sudah menantikan selama lebih dari 20 tahun sejak Allah pertama kali
menyatakan janji-Nya. Sarai yang tidak sabar akhirnya meminta suaminya untuk menghampiri hamba
dari Sarai, yaitu Hagar. Ketika akhirnya Abraham menghampiri Hagar dan ia mengandung, pertikaian
rumah tangga ini pun dimulai. Sarai yang merasa dipandang rendah oleh Hagar mengadu kepada
Abraham dan Sarai pun menindas Hagar hingga ia lari meninggalkan tuannya. Sikap Abraham yang
mendengarkan permintaan istrinya untuk menghampiri Hagar menjadi bukti bahwa Abraham kembali
mulai meragukan janji Allah kepadanya. Ia menyadari bahwa umurnya makin tua tetapi ia tidak
kunjung memiliki anak. Namun, cara yang mereka pikir sebagai jalan keluar ternyata bukanlah
kehendak Allah. Sehingga akhirnya terjadi permasalahan rumah tangga yang merupakan
konsekuensi dari kebimbangan iman Abraham kepada Allah. Namun, di sini pun kita tetap dapat
melihat pemeliharaan Allah terhadap Abraham. Ia tidak membiarkan keturunan Abraham yang bukan
pilihan-Nya mengambil peranan di dalam rencana-Nya. Allah tetap dengan kedaulatan-Nya mereka-
rekakan situasi sehingga rencana-Nya dapat tetap dijalankan secara murni. Lalu pada pasal
berikutnya, di pasal 17 inilah Allah kembali menyatakan janji-Nya kepada Abraham, ketika ia sudah
berumur 99 tahun. Di dalam pernyataan kembali janji-Nya ini, Allah meminta Abraham untuk
melakukan sunat bagi laki-laki di antara kelompok Abraham. Sunat inilah yang menjadi tanda
perjanjian Allah dengan Abraham.

Barulah ketika Abraham berumur 100 tahun (Kej. 21), Sara melahirkan anak bagi Abraham dan anak
ini dinamai Ishak. Inilah keturunan yang Allah janjikan bagi Abraham. Namun, kisah ini tidak berakhir
di sini saja. Pada pasal 22, Allah menguji Abraham dengan memintanya untuk mengorbankan Ishak.
Jikalau sebelumnya Abraham yang memulai keraguannya kepada janji Allah, pada pasal ini Allah
sendiri yang menguji kepercayaan Abraham kepada Allah. Ini merupakan ujian yang berat bagi
seorang ayah yang menantikan keturunan selama puluhan tahun, dan ketika keturunan itu sudah
ada, secara tiba-tiba Allah meminta Abraham untuk mengorbankannya bagi Allah. Namun pada pasal
ini kita dapat melihat Abraham yang sudah makin dewasa imannya. Ia dengan taat menjalankan
segala perintah Tuhan dan ia tetap percaya kepada Allah meskipun harus melakukan hal yang paling
sulit di dalam hidupnya saat itu, yaitu mengorbankan anak satu-satunya yang telah lama dinantikan.
Di sinilah kita bisa melihat bagaimana Allah membentuk seorang Abraham menjadi tokoh yang Tuhan
layakkan untuk menjadi bapak dari segala orang beriman. Dari keraguan, akhirnya Abraham menjadi
seorang yang beriman kepada Allah karena Allah sendiri yang setia membentuk Abraham. Inilah
relasi antara Allah dengan umat perjanjian-Nya. Refleksi
Melalui kisah Abraham ini, kita dapat melihat bagaimana Allah bekerja memelihara umat-Nya ini
untuk menjadi wadah dalam menjalankan rencana-Nya. Meskipun imannya mengalamai jatuh-
bangun, Allah tetap memelihara dan membentuk Abraham menjadi seorang yang pada akhirnya
dapat memancarkan imannya sebagai umat Allah. Hal ini menjadi pembelajaran bagi kita, umat Allah
yang hidup pada zaman ini. Perjalanan hidup sebagai umat Allah bukan perjalanan yang mudah dan
lancar. Bukan hanya kita harus berhadapan dengan situasi dunia ini yang begitu menggoda kita untuk
menyimpang dari kehendak Allah, tetapi kita juga harus berhadapan dengan diri kita yang masih
penuh dengan kebiasaan berdosa yang harus diselesaikan. Bahkan bisa dikatakan, musuh terbesar
kita dalam menjalankan kehendak Allah dengan taat adalah diri kita sendiri. Namun, melalui kisah
Abraham ini kita dapat sepenuhnya berserah kepada Allah yang adalah Pemimpin kita, untuk
beranugerah membentuk diri kita. Sehingga pada akhirnya kita dapat menjadi umat-Nya yang hidup
memancarkan kemuliaan Allah, dan melalui diri kita inilah dunia ini memperoleh berkat. Kiranya
Tuhan menolong dan terus berbelaskasihan membentuk diri kita menjadi umat-Nya.

Mosaic Covenant: Living under God's Law


Kebebasan adalah sebuah tema yang cukup populer bagi generasi muda saat ini, khususnya bagi
kaum milenial. Hal ini sering kali diidentikkan dengan kehidupan yang dapat memilih jalan hidup
sesuai dengan kata hati atau keinginan mereka, tidak peduli apa yang menjadi aturan atau tradisi
turun-menurun. Apa pun yang dianggap benar atau tepat bagi hati mereka, itulah yang menjadi dasar
dari keputusan hidup mereka. Inilah konsep kebebasan yang dimengerti oleh generasi muda saat ini.
Oleh karena itu tidaklah mengherankan jikalau berbagai institusi, baik dunia kerja, pendidikan,
maupun berbagai organisasi sosial dan budaya, harus mengubah norma atau peraturan yang ada
dalam organisasi mereka demi merangkul generasi muda saat ini.

Namun, realitas menyatakan bahwa kehidupan yang bebas tanpa adanya aturan adalah kehidupan
yang tidak berbeda dengan seorang barbar. Bahkan binatang pun hidup di dalam kendali hukum alam
yang Tuhan tetapkan. Maka, adalah ketidakmungkinan untuk seorang manusia hidup dengan
kebebasan yang sebebas-bebasnya. Kebebasan yang sejati adalah kebebasan di dalam batasan,
layaknya kereta api yang dengan bebas bergerak ketika berada di dalam rel. Sehingga, pada
beberapa tahun terakhir ini muncul arus pemikiran yang mencoba untuk mengembalikan manusia
hidup bertanggung jawab. Jadi, dibanding hidup hanya menekankan kebebasan dan hak, maka pada
arus pemikiran ini manusia diajak kembali memikirkan apa yang menjadi tugas dan tanggung
jawabnya sebagai manusia.

Arus berpikir yang mendorong manusia untuk kembali memikirkan tanggung jawabnya ini dapat kita
lihat di dalam pesan dari beberapa film terkenal yang kita saksikan akhir-akhir ini. Misalnya saja di
dalam film “Spider-Man: Into the Spider-Verse” dan juga dalam “Avengers: Endgame”. Di dalam
film Spider-Man: Into the Spider-Verse, kita dapat melihat tokoh utama, yaitu Miles Morales, yang
bergumul di dalam mengendalikan kekuatannya, hingga ia tertekan dan melarikan diri dari tanggung
jawabnya. Namun, suatu peristiwa terjadi yang menjadi titik balik dari karakter Miles, hingga ia
menyadari akan tanggung jawabnya, lalu ia menjadi rela untuk memikul tanggung jawabnya sebagai
seorang superhero. Pada mula film ini, karakter Miles digambarkan sebagai anak muda yang sangat
menginginkan kebebasan, namun plot cerita membawa dirinya mengalami titik balik dan menjadi
seorang yang berkarakter penuh tanggung jawab akan tugasnya. Hal ini menjadi sebuah kritikan
terhadap filsafat postmodern yang terlalu menekankan kebebasan individual tetapi akhirnya
mengabaikan tanggung jawabnya.
Kritik yang serupa pun tergambar dengan jelas dalam film Avengers: Endgame. Salah satu karakter
yang perlu disoroti dalam film ini adalah karakter Iron Man. Ia memutuskan untuk mengorbankan
dirinya demi menyelamatkan umat manusia dari ambisi seorang Thanos yang ingin melenyapkan
setengah penduduk alam semesta. Di dalam kisah ini, kita dapat melihat perbedaan yang begitu
drastis antara karakter Thanos di Infinity War dan karakter Thanos di dalam Endgame.

Dalam kedua film ini, Thanos digambarkan sebagai seorang tokoh yang kental dengan
semangat postmodern. Pada Infinity War, kita dibuat bingung mengenai Thanos yang sebenarnya
bisa merupakan seorang yang jahat atau justru penyelamat. Karena pada dasarnya ia tidak menyukai
apa yang ia lakukan, tetapi ia merasa hal tersebut harus ia lakukan demi menyelamatkan kehidupan
di alam semesta. Namun, di sisi yang lain, ia melakukan usaha penyelamatannya itu dengan
mengorbankan banyak hal, bahkan hingga anaknya sendiri. Hal ini sangat kontras dengan karakter
Thanos di Endgame, yang kental dengan ambisinya yang jahat, yaitu melenyapkan seluruh alam
semesta. Namun karakter ini masih mencerminkan semangat postmodern, yaitu embrace the
meaninglessness. Thanos sudah tahu bahwa dirinya akan mati, tetapi ia tetap berjalan bahkan
mendekati orang-orang yang akan menghabisi nyawanya. Namun karakter yang
bersemangat postmodern ini dihancurkan oleh seorang Iron Man yang digambarkan sebagai seorang
yang menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Menariknya, karakter Iron Man dalam film-film
sebelumnya digambarkan sebagai orang yang nyentrik dan hidup bebas sebagaimana yang ia ingin
lakukan. Namun, di akhir hidupnya ia melakukan suatu usaha penyelamatan yang begitu besar dan
signifikan sebagai wujud dari tanggung jawabnya sebagai seorang superhero.

Bercermin dari semangat untuk membawa kembali manusia ke dalam tanggung jawabnya,
maka kita perlu kembali memikirkan apa itu artinya kebebasan. Apakah kebebasan itu berarti hidup
liar tanpa batas atau kekangan? Atau justru kebebasan yang sebenarnya memerlukan ikatan dan
batasan? Semangat yang ingin membawa manusia kembali ke dalam tanggung jawabnya, belum bisa
menjawab hal ini karena mereka hanya berhenti di dalam pemikiran bahwa kita harus bertanggung
jawab. Mereka tidak memberikan arahan yang lebih lanjut yaitu tanggung jawab mana yang harus kita
jalankan? Hal ini belum ada jawaban yang jelas. Namun, Alkitab menyatakan hal ini dengan jelas,
yaitu kita harus hidup bertanggung jawab di bawah ketetapan yang Allah berikan kepada kita.
Khususnya, sebagai umat Allah, kita dipanggil dan ditebus-Nya bukan untuk sekadar hidup dalam
kebebasan yang liar. Kita dipanggil untuk hidup sebagai umat Allah yang tunduk kepada segala
perintah-Nya dan menjalankan segala kehendak-Nya. Inilah definisi kebebasan Alkitab!

Di dalam artikel-artikel sebelumnya, kita pun sudah mempelajari bahwa sebagai umat Allah, kita
hidup dalam ikatan perjanjian dengan-Nya. Maka, kehidupan sebagai umat Allah adalah kehidupan
yang tunduk kepada-Nya. Kita harus hidup berdasarkan kehendak dan aturan yang Ia berikan kepada
kita. Dengan kata lain, kita dituntut untuk hidup bertanggung jawab kepada-Nya berdasarkan perintah
yang Ia sudah nyatakan. Inilah yang menjadi salah satu tema dalam perjanjian Allah dengan Musa,
yaitu dinyatakan-Nya hukum Allah yang menjadi dasar atau prinsip kehidupan umat Allah. Pada
artikel ini kita akan melihat secara overview mengenai covenant of law, dan bagaimana hal ini
menjadi bagian penting dari kehidupan umat Allah.
Mosaic Covenant
Sebelum terjadinya perjanjian Allah dengan Musa, bangsa Israel sudah berada di dalam ikatan
perjanjian dengan Allah sebagai kelanjutan dari perjanjian Allah dengan Abraham. Narasi ini dimulai
ketika Allah mendengarkan keluhan atau seruan dari bangsa Israel, “Allah mendengar mereka
mengerang, lalu Ia mengingat kepada perjanjian-Nya dengan Abraham, Ishak, dan Yakub” (Kel.
2:24). Perjanjian Allah dengan Musa dilaksanakan setelah Allah membebaskan Israel dari Mesir dan
menyatakan diri-Nya sebagai Allah atau Tuhan dari Israel. Allah mengadakan Covenant of
Law dengan Musa ketika di Gunung Sinai, di mana melalui perjanjian inilah Sepuluh Hukum Allah
dinyatakan kepada umat-Nya. Sehingga pengertian kita akan Sepuluh Hukum Allah seharusnya
dilatarbelakangi oleh konteks sejarah ikatan perjanjian Allah dengan umat-Nya yaitu, “ I am the LORD
your God, who brought you out of the land of Egypt, out of the house of bondage.” Untuk menjelaskan
keterkaitan antara law dan covenant, seorang theolog bernama W. Gutbrod menjelaskan seperti
demikian:

“The Law have their place in the doctrine of the covenant. Yahweh has chosen Israel as His people,
and Israel has acknowledged Yahweh as its God. This fundamental OT principle is the direct basis of
these laws.”
Maka, perjanjian Allah dengan umat-Nya adalah konsep yang lebih besar atau lebih tinggi dari hukum
Allah. Di dalam perjanjian, orang-orang yang terkait diikat berdasarkan peraturan yang dicantumkan
dalam perjanjian tersebut. Hal ini adalah aspek legal dalam perjanjian. Seperti yang kita telah pelajari
dalam artikel-artikel sebelumnya, perjanjian-perjanjian yang Allah buat dengan umat-Nya adalah
bagian dari karya penebusan-Nya, dan di dalam konteks ini, hubungan perjanjian Allah dengan umat-
Nya diperbarui dalam perjanjian dengan Musa yang lebih menekankan aspek legal dari relasi
tersebut. Di dalam konteks inilah kita seharusnya mengerti Sepuluh Hukum Allah.

Palmer Robertson menjelaskan bahwa covenant of law ini menjadi ciri khas dari Mosaic Covenant. Ia
menyatakannya demikian:

“The Mosaic Covenant manifests its distinctiveness as an externalized summation of the will of God.
The Patriarchs certainly were aware of God’s will in general terms. On occasion, they received direct
revelation concerning specific aspects of the will of God. Under Moses, however, a full summary of
God’s will was made explicit through physical inscripturation of the law. This external-to-man, formally
ordered summation of God’s will constitutes the distinctiveness of the Mosaic Covenant.”

Namun, pemberian Sepuluh Hukum Allah ini tidak boleh kita samakan dengan covenant of
works yang diberikan oleh Allah ketika manusia belum jatuh ke dalam dosa. Covenant of law ini
diberikan oleh Allah kepada manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa. Bedanya, covenant of
works diberikan oleh Allah dengan sebuah tuntutan untuk manusia taat secara sempurna terhadap
perjanjian ini sebagai syarat untuk manusia menerima anugerah hidup yang kekal. Namun, sejarah
membuktikan manusia gagal untuk memenuhi tuntutan Allah ini, dan manusia akhirnya jatuh ke
dalam dosa. Berbeda dengan covenant of works, covenant of law diberikan ketika manusia sudah
jatuh ke dalam dosa. Hukum ini diberikan bukan dengan maksud agar manusia taati secara
sempurna sehingga akhirnya bisa menerima kehidupan yang kekal. Hukum ini diberikan sebagai
bagian yang menyatu dengan sistem korban persembahan sebagai bagian dari karya keselamatan
Allah yang progresif. Pdt. Stephen Tong mengibaratkan Sepuluh Hukum Allah ini seperti rontgen
yang menunjukkan betapa berdosanya manusia dan memerlukan anugerah keselamatan dari Allah.
Oleh karena itu, Sepuluh Hukum Allah ini tidak boleh dipisahkan dari karya keselamatan yang
puncaknya digenapi dalam diri Yesus Kristus.

Palmer Robertson menjelaskan keterkaitan antara covenant of law dan karya keselamatan seperti


demikian:

“The Covenant of Law as revealed at Sinai would be best divorced from ‘covenant of works’
terminology. The ‘covenant of works’ refers to legal requirements laid on man at the time of his
innocency in creation. The covenant of law refers to a new stage in the process of God’s unfolding the
richness of the covenant of redemption. As such, the Law which came through Moses did not in any
way disannul or suspend the covenant of promise.”

Maka untuk mengerti lebih jelas lagi signifikansi atau kesinambungan covenant of law ini
dengan covenant lainnya, kita perlu mengerti 3 aspek tersebut:

1. Covenant of law berkait secara organik dengan karya penebusan Allah secara total.
Hukum yang Allah berikan pada masa Musa bukanlah hukum yang diberikan secara terpisah dan
hanya berlaku pada zaman Musa saja. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Robertson, covenant of
law merupakan externalized summation of the will of God. Hal ini berarti apa yang Allah nyatakan
dalam Sepuluh Hukum Taurat bukanlah sesuatu yang baru muncul pada era Musa, tetapi merupakan
kristalisasi dari apa yang sudah Allah nyatakan sebelumnya. Perbedaannya, pada era-era
sebelumnya kehendak Allah hanya dinyatakan secara parsial, sedangkan pada era Musa kehendak
Allah secara menyeluruh dikristalisasikan dan dinyatakan secara eksternal atau dalam bentuk yang
tertulis. Namun, secara isi dari hukum ini kita dapat melihat keterkaitannya dengan kehendak Allah
yang dinyatakan baik pada era-era sebelum Musa maupun era-era setelah Musa. Hal ini secara jelas
tercermin di dalam isi dari perjanjian yang Allah adakan dengan umat-Nya, di mana ketaatan umat
Allah kepada perintah-Nya akan membawa mereka kepada kehidupan yang penuh berkat,
sedangkan umat Allah yang hidup dalam ketidakbenaran atau pemberontakan kepada Allah akan
membawa penghakiman bagi perbuatan dosa mereka. Sehingga di dalam konteks ini, seluruh umat
Allah di dalam segala zaman akan dihakimi berdasarkan perbuatan mereka. Hal ini pun terus berlaku
bagi kita di zaman ini. Walupun keselamatan diberikan melalui iman kepada karya Kristus saja,
penghakiman Allah atas umat-Nya didasarkan kepada perbuatan mereka selama kehidupannya. Di
dalam konteks inilah kita dapat mengerti bahwa hukum Allah tidak pernah menjadi usang dan selalu
relevan hingga saat ini.

2. Covenant of law berkait secara progressive dengan keutuhan karya keselamatan Allah.


Seperti yang kita mengerti bahwa wahyu Allah dinyatakan secara progresif, sehingga wahyu Allah
yang dinyatakan tidak akan pernah usang di zaman-zaman berikutnya, tetapi akan terus berproses
hingga mencapai titik puncaknya yaitu di dalam diri Yesus Kristus. Hal ini berarti hukum Allah yang
diberikan pada zaman Musa merupakan kesinambungan dari wahyu pada era-era sebelumnya, dan
hukum Allah ini bukanlah akhir dari pernyataan Allah, melainkan menjadi pijakan bagi pernyataan
selanjutnya hingga mencapai puncaknya di dalam diri Kristus. Berkaitan dengan hal ini Palmer
Robertson menyatakan seperti demikian:

“The life-experience of the believer under any epoch always will have a direct relationship to the
revelation that has been made available to that point. The self-revelation of God throughout the ages
may be regarded as the ‘raw material’ used by the Holy Spirit to apply the benefits of redemption to
the life-experience of the believer. For this reason, advancement in revelation involves advancement
in life-experience. The believer under the old covenant may have experienced by believers under the
new covenant. But heightened revelation also involves a deeper and richer experience of deliverance
from sin and its consequences.”

3. Covenant of law tergenapi di dalam diri Yesus Kristus.


Seluruh kisah di dalam Alkitab, baik di Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, menyatakan suatu
fakta bahwa tidak ada satu pun manusia yang sanggup menjalankan hukum Allah ini secara
sempurna. Hanya di dalam diri Kristuslah kepatuhan sempurna terhadap hukum Allah ini dapat
dilakukan. Sementara di sisi lain, Ia juga menanggung hukuman atas kegagalan kita mematuhi
hukum Allah ini.

Kesimpulan
Sebagai umat Allah, kita tidak hanya dipanggil keluar dari perbudakan dosa, tetapi juga dipanggil
untuk hidup berdasarkan hukum yang Allah sudah nyatakan di dalam Alkitab. Meskipun kita sudah
dibebaskan dari dosa, bukan berarti kita dapat mengabaikan hukum Allah. Justru anugerah
keselamatan itu menjadi dasar untuk kita mengejar kehidupan yang bertanggung jawab dan taat
kepada Allah. Sebagai orang Kristen, kita harus menyadari bahwa kebebasan yang liar hanya akan
menghancurkan hidup ini bahkan akan makin menjerat kita di dalam dosa dan makin jauh dari
kebebasan yang sejati. Oleh karena itu, kita harus rela untuk taat dan menjalankan segala perintah
yang Allah nyatakan, karena itulah kebebasan hidup yang sejati. Hak kehidupan akan terjamin jikalau
kita menjalankan tanggung jawab kita. Hidup di dalam berkat Allah yang berlimpah dapat kita rasakan
ketika kita hidup secara bertanggung jawab menjalankan segala perintah Allah. Kiranya Tuhan
memimpin dan membentuk kita untuk terus taat menjalankan segala kehendak-Nya.

Davidic Covenant: The Everlasting Kingdom


Sebagai umat Allah, seharusnya kita menyadari bahwa seluruh hidup kita harus tunduk di bawah
pemimpin kita, yaitu Allah itu sendiri. Ketaatan kita kepada sang pemimpin tersebutlah yang
menentukan keberlangsungan kita sebagai bagian dari umat-Nya. Pada artikel sebelumnya, kita
melihat bagaimana umat Allah dibentuk sebagai bagian dari perjanjian Allah dengan tokoh-tokoh
utama di dalam Alkitab, seperti Abraham yang menerima janji akan tanah dan juga keturunan baginya
yang akan menjadi suatu bangsa besar. Dan pada artikel yang terakhir, kita membahas sepintas
mengenai perjanjian Allah dengan Musa yang salah satu tema utamanya adalah pemberian hukum
Allah sebagai dasar etika kehidupan umat Allah. Hingga titik ini (pemberian hukum Allah), seharusnya
kita menyadari bahwa Allah adalah the Lord of the covenant. Hal ini berarti Allah adalah satu-satunya
pribadi yang berhak atas seluruh hidup kita. Kehidupan kita, beserta seluruh aspek di dalamnya
berada dalam ikatan perjanjian dengan Allah. Maka pada masa kehidupan Daud, Allah ingin
menyatakan takhta-Nya secara konkret di dalam sebuah wilayah. Sehingga, Ia tidak lagi memerintah
umat-Nya secara mobile, tetapi dari sebuah wilayah yang jelas. Dengan kata lain, pada masa Daud
inilah Kerajaan Allah mulai dinyatakan walaupun belum sepenuhnya. Namun, hal ini bukan berarti
Allah tidak pernah memerintah pada masa-masa sebelumnya. Ia tetap menyatakan pimpinan-Nya
melalui hakim-hakim yang Ia tunjuk. Untuk mengerti latar belakang dari Kerajaan Daud, kita akan
sedikit mengulas cerita yang menjadi latar belakang kemunculan Daud hingga masa pasca-Daud.

Establishment of the Davidic Covenant


Ketika hakim yang terakhir, Samuel, sudah tua, para tua-tua Israel berkumpul dan meminta Samuel
untuk menunjuk seorang raja. Mereka berkata, “Engkau sudah tua dan anak-anakmu tidak hidup
seperti engkau; maka angkatlah sekarang seorang raja atas kami untuk memerintah kami, seperti
pada segala bangsa-bangsa lain” (1Sam. 8:5). Hal yang menarik yang dapat kita lihat pada bagian ini
adalah keinginan Israel memiliki seorang raja yang bermotifkan keirihatian mereka terhadap bangsa-
bangsa lain, padahal secara ambivalen Alkitab mencatatkan bahwa Israel memiliki sejarah yang
kelam berkaitan dengan penunjukan seorang raja. Misalnya saja Abimelekh bin Yerubaal yang
dinobatkan menjadi raja setelah ia membunuh hampir seluruh saudara-saudaranya yang berjumlah
70 orang dan menyisakan satu orang saja yang tidak dibunuh karena ia bersembunyi. Walaupun
Allah sendiri menjanjikan akan adanya raja baik kepada Abraham maupun Yakub, namun penunjukan
seorang manusia sebagai raja perlu pertimbangan yang sangat bijak. Demikian juga ketika Israel
meminta seorang raja, Allah memberikan keputusan sekaligus peringatan seperti demikian (1Sam.
8:7-9):

TUHAN berfirman kepada Samuel: “Dengarkanlah perkataan bangsa itu dalam segala hal yang
dikatakan mereka kepadamu, sebab bukan engkau yang mereka tolak, tetapi Akulah yang mereka
tolak, supaya jangan Aku menjadi raja atas mereka. Tepat seperti yang dilakukan mereka kepada-Ku
sejak hari Aku menuntun mereka keluar dari Mesir sampai hari ini, yakni meninggalkan Daku dan
beribadah kepada allah lain, demikianlah juga dilakukan mereka kepadamu. Oleh sebab itu
dengarkanlah permintaan mereka, hanya peringatkanlah mereka dengan sungguh-sungguh dan
beritahukanlah kepada mereka apa yang menjadi hak raja yang akan memerintah mereka.”

Lalu Samuel memperingatkan bangsa Israel bahwa seorang raja dapat menjadi seorang tiran yang
menindas mereka, tetapi pada akhirnya seorang raja pun ditunjuk, yaitu Saul (1Sam. 9:2). Saul dipilih
karena ia memiliki penampilan fisik yang sangat berbeda dibanding orang lain; selain wajahnya yang
tampan, perawakannya yang tinggi pun menjadi dasar dalam pertimbangan pemilihannya. Memang
pada mulanya Saul memimpin Israel menuju kepada kemenangan, tetapi berikutnya Saul melanggar
perintah Allah, hingga Allah menyatakan bahwa kerajaannya tidak akan berlanjut, tetapi akan
diserahkan kepada seorang yang Tuhan pilih (1Sam. 13:14), seorang yang dikatakan sebagai “a man
after God’s own heart”. Jikalau kita membandingkan penunjukan Saul dan Daud sebagai raja, kita
akan menjumpai perbedaan yang cukup signifikan. Sederhananya, Saul dipilih menjadi raja karena
penampilan fisiknya, sedangkan Daud karena Allah sendiri yang membuatnya menjadi seorang yang
berkenan di hati-Nya. Terdapat rentang waktu yang cukup panjang mulai dari penunjukannya hingga
Daud benar-benar diangkat menjadi seorang raja. Di dalam kekristenan, kita percaya bahwa seorang
pelayan Tuhan itu matang karena Tuhan sendiri yang memimpin dan membentuk hidupnya, bukan
karena kehebatan yang diperjuangkan oleh orang itu sendiri. Perbedaan yang lain antara Daud dan
Saul adalah ketika mereka jatuh ke dalam dosa. Saul yang melanggar perintah Allah tidak mengalami
pertobatan, sedangkan Daud begitu menyesal dan bertobat di hadapan Allah. Allah mengampuni
kesalahan Daud, walaupun pada masa akhir hidupnya terjadi pemberontakan dan hal-hal yang begitu
menyedihkan hatinya. Namun, di balik semua ini, Daud tetaplah raja yang paling agung yang pernah
ada di dalam sejarah Kerajaan Israel dan Yehuda.

Ketika Daud menjabat sebagai raja Israel inilah perjanjian Allah dengan Daud diadakan (2Sam. 7:8-
16).

Oleh sebab itu, beginilah kaukatakan kepada hamba-Ku Daud: Beginilah firman TUHAN semesta
alam: Akulah yang mengambil engkau dari padang, ketika menggiring kambing domba, untuk
menjadi raja atas umat-Ku Israel. Aku telah menyertai engkau di segala tempat yang kaujalani dan
telah melenyapkan segala musuhmu dari depanmu. Aku membuat besar namamu seperti nama
orang-orang besar yang ada di bumi. Aku menentukan tempat bagi umat-Ku Israel dan
menanamkannya, sehingga ia dapat diam di tempatnya sendiri dengan tidak lagi dikejutkan dan tidak
pula ditindas oleh orang-orang lalim seperti dahulu, sejak Aku mengangkat hakim-hakim atas umat-
Ku Israel. Aku mengaruniakan keamanan kepadamu dari pada semua musuhmu. Juga diberitahukan
TUHAN kepadamu: TUHAN akan memberikan keturunan kepadamu. Apabila umurmu sudah genap
dan engkau telah mendapat perhentian bersama-sama dengan nenek moyangmu, maka Aku akan
membangkitkan keturunanmu yang kemudian, anak kandungmu, dan Aku akan mengokohkan
kerajaannya. Dialah yang akan mendirikan rumah bagi nama-Ku dan Aku akan mengokohkan takhta
kerajaannya untuk selama-lamanya. Aku akan menjadi Bapanya, dan ia akan menjadi anak-Ku.
Apabila ia melakukan kesalahan, maka Aku akan menghukum dia dengan rotan yang dipakai orang
dan dengan pukulan yang diberikan anak-anak manusia. Tetapi kasih setia-Ku tidak akan hilang dari
padanya, seperti yang Kuhilangkan dari pada Saul, yang telah Kujauhkan dari hadapanmu. Keluarga
dan kerajaanmu akan kokoh untuk selama-lamanya di hadapan-Ku, takhtamu akan kokoh untuk
selama-lamanya.

Di dalam bagian ini, kita dapat melihat adanya janji Allah yang akan mengukuhkan Kerajaan Daud
selama-lamanya, tetapi juga ada disiplin yang akan diberikan bagi setiap pelanggaran. Di dalam
bagian ini kita dapat melihat adanya janji Allah, tanggung jawab manusia, berkat bagi ketaatan, dan
disiplin bagi ketidaktaatan. Ini adalah aspek-aspek yang muncul dalam sebuah perjanjian. Di dalam
perjanjian Allah dengan Daud ini pun kita dapat melihat adanya kesinambungan atau pemeliharaan
Allah yang terus berlangsung bagi umat manusia. Janji Allah kepada Daud tidak hanya diberikan bagi
Daud saja, tetapi juga kepada keturunan-keturunannya. Salomo, anak Daud yang menggantikannya
menjadi raja Israel, memiliki kekuasaan yang melebihi Daud, seorang raja yang dikatakan sebagai
raja yang sangat bijaksana. Pada masa Salomo inilah Bait Allah akhirnya didirikan (2Sam. 7:12-13).
Walaupun Kerajaan Israel ini akan terpecah pascakepemimpinan Salomo, sebagai salah satu
konsekuensi dari dosa Salomo, Tuhan telah berjanji bahwa Kerajaan Daud akan berlangsung
selama-lamanya. Hal ini pada nantinya dapat dimengerti di dalam kaitannya dengan janji kedatangan
Mesias.

Salah satu aspek penting dalam penjanjian Daud dengan Allah adalah kerajaan yang berlangsung
selama-lamanya, sebuah stabilitas atau keberadaan yang permanen. Hal ini adalah lanjutan atau
perkembangan dari janji mesianis yang Allah nyatakan. Janji akan datangnya Juruselamat yang
bukan hanya menebus dosa manusia berdosa, tetapi juga menjadi Raja atas Kerajaan Allah yang
akan hadir di dunia ini. Oleh karena itu, Kerajaan Daud disebut juga sebagai bayang-bayang dari
Kerajaan Allah. Palmer Robertson mengatakan, “David’s throne was a typological representation of
the throne of God itself.” Dengan berdirinya Kerajaan Daud, bisa dikatakan bahwa Kerajaan Allah
sudah datang tetapi tetap merupakan bayang-bayang dari masa di mana Kerajaan Allah dinyatakan
sepenuhnya. Hal ini menjadi sebuah berita yang memberikan harapan kepada umat Allah, sekaligus
pernyataan akan kedaulatan Allah atas Kerajaan-Nya.

David’s Kingdom and the Messianic Promise


Ketika Salomo meninggal, Kerajaan Israel terpecah menjadi dua, kerajaan selatan yang dipimpin oleh
Rehabeam (anak Salomo), dan kerajaan utara yang dipimpin oleh Yerobeam. Sehingga kerajaan
selatan dipimpin oleh keturunan Daud dan kerajaan utara dipimpin oleh raja yang memberontak
kepada dinasti Daud. Pada masa-masa selanjutnya, kedua kerajaan ini sama-sama memiliki
pemimpin yang tidak berkenan di mata Allah; hanya ada beberapa raja saja yang menyatakan
kesetiaannya kepada Allah. Maka pada masa raja-raja inilah Allah membangkitkan para nabi untuk
mengonfrontasi dosa para raja dan masyarakat.

Di dalam konteks ini, para nabi adalah pelaksana dari perjanjian Allah, yang menegur Israel akan
dosanya terhadap Allah dan menyampaikan penghakiman Allah kepada mereka. Tetapi melalui nabi
ini juga Allah menyatakan belas kasihan dan anugerah-Nya kepada Israel dengan memberikan janji
akan pemulihan Kerajaan Israel. Janji-janji pemulihan yang dinyatakan oleh para nabi ini merupakan
perkembangan dari janji Allah dengan Adam, janji akan adanya keturunan perempuan yang
meremukkan kepala si ular (Yes. 9:6-7; 53:4-6). Seluruh janji ini menunjuk kepada Kristus yang akan
datang pada masa Perjanjian Baru. Sehingga Kristus adalah Raja yang lahir dari keturunan Daud,
yang telah menerima janji Allah. Dengan kata lain, di dalam Kristuslah janji akan Kerajaan Daud yang
berdiri selama-lamanya tergenapi. Kristus adalah Raja yang dijanjikan Allah akan memerintah umat-
Nya di dalam kerajaan yang akan berlangsung selama-lamanya. Kristuslah Raja yang layak atau
sesuai dengan standar Allah. Kristus adalah Raja atas seluruh alam semesta, keturunan dari
perempuan yang memimpin seluruh ciptaan, dan menyatakan berkat serta kemuliaan Allah kepada
umat yang sudah dipilih-Nya.

Conclusion
Berada di dalam ikatan covenant dengan Allah, keberadaan seorang raja di dalam Kerajaan Israel
sangatlah unik sifatnya. Keberadaan mereka memiliki fungsi ganda. Di satu sisi, sebagai raja, mereka
menjadi kepala bangsa yang memerintah dan mengatur berbagai aspek dari sebuah kerajaan. Di sisi
lain, ia juga menjabat sebagai mediator dalam covenant Allah dengan Israel. Palmer Robertson
mengatakan, “In his office as covenant mediator, the king not only represents God in his authority as
covenant Lord to the people. He also represents the people to God. As head of the people, he
embodies them and their cause before the Lord.” Sehingga, sikap dari seorang raja Israel sangat
menentukan nasib dari bangsa ini di hadapan Allah. Di dalam Alkitab, kita dapat melihat kisah dari
raja-raja yang lalim yang akhirnya Tuhan hancurkan atau singkirkan, disertai dengan hukuman yang
datang kepada Israel. Di sisi yang lain, raja yang saleh dan setia kepada Allah mendatangkan banyak
berkat yang juga dirasakan oleh bangsa Israel. Melalui hal inilah kita dapat mengerti akan
keberadaan Kristus sebagai penggenapan dari seluruh janji Allah. Hanya Dialah yang layak menjadi
Raja yang memimpin selama-lamanya. Karena Dialah yang setia di hadapan Allah dan menjadi
perwakilan yang sangat representative dari umat manusia di hadapan Allah.

Sebagai pengikut Kristus, kita harus menyadari akan peranan Kristus sebagai Raja atas seluruh
ciptaan. Hanya Dia yang berhak memimpin setiap langkah dan tindakan yang kita lakukan. Di
hadapan Allah, Ia menjadi seorang yang setia dan tak bercacat sebagai representasi manusia yang
menerima anugerah keselamatan. Di hadapan manusia, Dia adalah Raja yang mewakili Allah
memerintah di dalam kebenaran dan kebajikan. Oleh karena itu, biarlah kita semua dengan
kesadaran dan kerelaan penuh mengikuti setiap pimpinan dan teladan yang Ia nyatakan kepada kita.
Melalui ketaatan inilah kita dibentuk sebagai alat-alat-Nya yang dipakai untuk memuliakan nama-Nya
dan membagikan berkat-Nya hingga ke seluruh dunia. Kiranya Tuhan menolong kita menjadi umat
yang mau tunduk di bawah Sang Raja yang layak memimpin seluruh kehidupan kita.

Covenant of Grace: Hope for the Hopeless and Helpless


Covenant Breakers
Dalam beberapa minggu terakhir ini, kita dihebohkan dengan release-nya sebuah film yang sangat
dinanti-nantikan, yaitu Avengers: Endgame. Selain karena memang film Avengers itu sendiri selalu
menjadi film yang populer, banyak orang menantikan film ini dengan begitu antusias karena berkaitan
dengan film sebelumnya, Avengers: Infinity War, yang memiliki ending yang begitu suram. Hampir
seluruh penikmat film ini kecewa dan tidak bisa menerima sebuah sad ending,  di mana separuh dari
penduduk seluruh alam semesta musnah, termasuk sebagian dari superheroes yang kita jago-
jagokan. Sebuah kondisi yang begitu kelam, suram, dan tidak ada pengharapan ini adalah kondisi
yang tidak bisa diterima oleh mayoritas manusia yang berusaha untuk mencari kebahagiaan.
Menariknya, selama masa penantian dari film kedua ini, begitu banyak teori yang dikemukakan untuk
menduga-duga kelanjutan dari film selanjutnya, dan hampir seluruh teori ini berisi harapan
akan happy ending. Hal ini menjadi sebuah kenyataan yang perlu kita sadari, bahwa manusia tidak
mungkin hidup di dalam keputusasaan yang berkepanjangan. Manusia memerlukan harapan di dalam
hidupnya.

Jikalau urusan cerita sebuah film yang fiksi saja banyak yang peduli, bukankah seharusnya kita lebih
peduli dengan kondisi yang sesungguhnya terjadi di depan mata kita? Seharusnya kita semua
menyadari bahwa ancaman kita lebih berbahaya dan lebih mematikan dibandingkan dengan yang
dihadapi para superheroes Avengers. Tragedi kejatuhan manusia ke dalam dosa bukan hanya
mengancam sebagian penduduk alam semesta saja, tetapi seluruh umat manusia di sepanjang
sejarah. Kita semua berada di dalam ancaman kematian kekal sebagai akibat kejatuhan manusia ke
dalam dosa.

Pada artikel sebelumnya, kita melihat peristiwa kejatuhan manusia ke dalam dosa sebagai
rusaknya covenantal relationship antara manusia dan Allah. Kita juga sudah membahas bagaimana
efek kerusakan relasi ini mengakibatkan manusia tidak lagi mampu berfungsi sebagai gambar dan
rupa Allah. Manusia menjadi hopeless dan helpless.

The Hopeless and Helpless Covenant Breakers

Manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa tidak mungkin menyelamatkan dirinya dari dosa, inilah
yang dimaksud dengan manusia yang helpless. Di sepanjang sejarah, umat manusia terus berusaha
mencari cara untuk membebaskan diri dari kondisi yang terjerat dosa. Segala sesuatu yang
dikerjakan manusia hanya akan berujung kepada dosa, bahkan usaha manusia untuk menolong
dirinya sendiri pun adalah perbuatan dosa di mata Allah. Di dalam Theologi Reformed, hal ini dikenal
juga sebagai total depravity atau kerusakan total. Seluruh aspek di dalam hidup manusia sudah rusak
dan kecenderungannya adalah berbuat dosa. Seorang Bapa Gereja yang bernama Agustinus
menjelaskan kondisi ini di dalam pemikirannya mengenai empat kondisi manusia:

Posse peccare (bisa berdosa)

Kondisi atau status ini adalah status dari manusia sebelum jatuh ke dalam dosa. Manusia diciptakan
dalam kondisi yang Allah katakan sungguh amat baik. Manusia berada dalam kondisi yang sangat
baik bagi mereka untuk menjalankan kehendak Allah. Namun, di dalam kondisi ini manusia masih
perlu diuji oleh Allah, yaitu ujian ketaatan. Sehingga di dalam diri manusia ada potensi untuk mereka
jatuh ke dalam dosa. Manusia saat itu tidak berdosa, namun bisa berdosa.

Non posse non peccare (tidak bisa tidak berdosa)

Kondisi ini adalah kondisi dari manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa. Seperti yang dibahas dalam
artikel sebelumnya, masalah utama dari manusia berdosa bukanlah perbuatan mereka, tetapi
ketaatan hati mereka kepada Allah. Sikap hati seperti inilah yang akhirnya menuntut manusia kepada
perbuatan-perbuatan berdosa. Bukan hanya itu, manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa akan
terjerat di dalam kondisi tersebut dan akan terus-menerus mengulangi dosanya bahkan di dalam
tingkatan yang makin parah. Di dalam kondisi inilah manusia tidak mungkin untuk melepaskan dirinya
dari jerat dosa. Bahkan hal yang terlihat baik tetapi dilakukan oleh manusia dengan motivasi yang
salah pun adalah dosa di mata Allah. Oleh karena itu, apa pun yang dilakukan manusia hanyalah
dosa di mata Allah.

Posse non peccare (bisa tidak berdosa)

Kondisi ini adalah setelah manusia ditebus dan menerima Kristus sebagai satu-satunya Juruselamat.
Melalui kuasa penebusan yang dikerjakan oleh Allah Anak dan diterapkan dalam diri manusia oleh
Allah Roh Kudus, manusia dimampukan untuk melawan kebiasaan berdosanya. Kuasa penebusan
Allah bukan hanya membersihkan orang-orang percaya dari dosa-dosanya, tetapi juga memberikan
mereka hati yang baru dan juga Roh Kudus yang memimpin mereka untuk membangun hidup yang
kudus di hadapan Allah. Sehingga manusia yang sebelumnya selalu berbuat dosa, setelah ditebus
mampu untuk tidak berbuat dosa karena Allah yang menopang kehidupan mereka.

Non posse peccare (tidak bisa berdosa)

Kondisi yang terakhir adalah ketika manusia sudah disempurnakan dan hidup kekal bersama Allah.
Dalam kondisi ini, manusia sudah tidak mungkin lagi berbuat dosa karena mereka sudah hidup
sepenuhnya didedikasikan bagi Allah. Segala sesuatu yang dilakukan lahir dari hati yang rindu
memuliakan Allah dan berpaut dengan segala kehendak yang Allah nyatakan.

Konsep dari empat status manusia ini memberikan kita gambaran yang lebih jelas mengenai kondisi
manusia setelah jatuh ke dalam dosa. Manusia yang kecenderungan hatinya terus berbuat dosa tidak
mungkin dapat menyelamatkan dirinya. Di satu sisi, mereka masih terus berbuat dosa yang
merupakan kekejian di mata Allah. Di sisi lain, karena kondisi berdosa ini, manusia tidak mungkin
memulihkan relasinya dengan Allah yang kudus. Jikalau dikaitkan dengan kisah Hosea dan Gomer,
manusia berdosa bagaikan Gomer yang terus-menerus melacurkan dirinya kepada dosa dan, secara
status, Gomer sangat tidak layak menjadi istri dari Hosea yang adalah seorang nabi. Oleh karena itu,
di dalam kisah ini Allah menyuruh Hosea secara inisiatif menerima Gomer walaupun ia masih
melacurkan dirinya. Relasi Hosea-Gomer inilah yang menjadi analogi relasi Allah dengan manusia.
Kondisi manusia yang hopeless dan helpless hanya bisa menemukan harapannya di dalam Allah,
yaitu Allah yang berinisiatif sendiri untuk memulihkan relasi manusia dengan Allah dan membawa
kembali manusia untuk hidup secara utuh bagi Allah.

Tanpa adanya intervensi Allah secara langsung, manusia tidak mungkin dapat mempertahankan
panggilannya sebagai umat Allah. Di sepanjang sejarah Alkitab, kita dapat melihat bagaimana Allah
yang secara langsung bertindak ke dalam sejarah manusia untuk menjaga benang merah dari
perjanjian-Nya dengan manusia. Hal ini terlihat dengan jelas di dalam peristiwa kejatuhan manusia ke
dalam dosa. Allah secara langsung membuat perjanjian penebusan (covenant of redemption) dengan
umat-Nya. Pada artikel ini kita akan melihat bagaimana perjanjian Allah dengan manusia yang secara
langsung dibuat ketika manusia sudah jatuh ke dalam dosa.

Pertanyaan pertama yang Allah lontarkan kepada manusia ketika manusia sudah jatuh ke dalam
dosa adalah, “Di manakah engkau?” (Kej. 3:9). Ini adalah sebuah pertanyaan yang perlu kita
renungkan dengan baik-baik sebagai manusia berdosa. Salah satu efek kejatuhan adalah
bergesernya posisi manusia dari covenant keeper menjadi covenant breaker, dari umat Allah menjadi
seteru Allah. Manusia berdosa, tanpa pertolongan Allah, berada di dalam statusnya sebagai
pemberontak kepada Allah, dan sudah sepatutnya dihukum Allah. Berkaitan dengan posisi manusia,
secara umum dapat dibagi menjadi dua posisi, entah hidup taat kepada Allah dan seteru terhadap
dunia, atau hidup mengikuti arus dunia tetapi berseteru dengan Allah. Hal ini sangat berkaitan
dengan covenantal relationship antara Allah dan manusia. Sebagai covenant keeper, seharusnya
manusia hidup sepenuhnya taat kepada kehendak Allah, tetapi jikalau manusia tidak rela untuk hidup
taat sepenuhnya kepada Allah, manusia sudah memilih untuk menjadi covenant breaker. Dengan
dibuatnya covenant of redemption, Allah menyatakan anugerah-Nya kepada manusia sehingga
manusia mendapatkan pengharapan untuk kembali ke posisinya sebagai covenant keeper. Palmer
Robertson menamakan perjanjian antara Allah dan Adam setelah jatuh ke dalam dosa
sebagai covenant of commencement, perjanjian yang menjadi awal atau permulaan dari covenant of
redemption. Di dalam Kejadian 3:14-19, Allah menyatakan perkataan-Nya kepada Iblis, Hawa, dan
juga Adam. Di dalam perkataan ini, terdapat unsur berkat dan kutuk/hukuman sebagai bagian dari
perjanjian Allah dengan manusia.

God’s Word to Satan, Woman, and Man

Lalu berfirmanlah TUHAN Allah kepada ular itu: “Karena engkau berbuat demikian, terkutuklah
engkau di antara segala ternak dan di antara segala binatang hutan; dengan perutmulah engkau
akan menjalar dan debu tanahlah akan kaumakan seumur hidupmu. Aku akan mengadakan
permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya;
keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya.” (Kej. 3:14-15)

Kutukan yang Allah berikan kepada ular tidak hanya ditujukan kepada ular secara literal, tetapi juga
kepada Iblis. Di satu sisi, memang binatang ular itu sendiri mendapat kutukannya dan berjalan
dengan perutnya, tetapi di sisi lain, hal ini pun ditujukan kepada si Iblis sebagai sebuah lambang
kekalahan mutlak dari si Iblis. Inti dari perkataan Allah kepada ular ini adalah deklarasi perseteruan
yang berkelanjutan di sepanjang sejarah umat manusia hingga akhir zaman, sebuah peperangan
rohani antara umat Allah dan seteru Allah, antara covenant keeper dan covenant breaker.  Allah
mengadakan perseteruan ini sebagai bagian dari pemeliharaan-Nya atas umat-Nya. Tanpa adanya
perseteruan antara umat-Nya dan dunia atau keturunan si Iblis, maka kemurnian kekudusan
kehidupan umat Allah akan sulit dijaga. Melalui perserteruan ini, Allah ingin memelihara sekelompok
manusia hingga lahirnya Sang Juruselamat, dan melalui kelahiran-Nya inilah kemenangan dan karya
keselamatan Allah digenapi.

Firman-Nya kepada perempuan itu: “Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat
banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada
suamimu dan ia akan berkuasa atasmu.” (Kej. 3:16)

Inti dari perkataan Allah kepada perempuan itu adalah adanya hukuman bagi sang perempuan
dengan adanya kesakitan di dalam melahirkan dan membesarkan anak. Hal ini tetap harus dijalankan
oleh perempuan sebagai bagian dari pemeliharaan Allah bagi kelangsungan umat manusia. Selain
itu, yang paling utama di balik hukuman ini adalah berkat dan harapan yang Tuhan janjikan, yaitu
kelahiran dari seorang Anak yang spesial yang akan menyatakan kemenangan-Nya di dalam
perseteruan dengan si Iblis (akan meremukkan kepala si jahat) dan menyelamatkan umat Allah dari
dosa.

Lalu firman-Nya kepada manusia itu: “Karena engkau mendengarkan perkataan istrimu dan
memakan dari buah pohon, yang telah Kuperintahkan kepadamu: Jangan makan dari padanya, maka
terkutuklah tanah karena engkau; dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah
seumur hidupmu: semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-
tumbuhan di padang akan menjadi makananmu; dengan berpeluh engkau akan mencari
makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab
engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.” (Kej. 3:17-19)

Di dalam perkataan Allah kepada manusia (laki-laki), kita dapat melihat adanya hukuman Allah
kepada manusia, khususnya laki-laki, yang harus bekerja keras untuk kelangsungan hidupnya.
Mereka harus bekerja keras dalam mengusahakan tanah sehingga dapat memberikan hasil.
Meskipun hasil itu bisa jadi hanya semak dan rumput duri, yang berarti adalah hal yang sia-sia, tetapi
Tuhan tetap memberikan berkat, bahwa usaha ini akan memberikan hasil yang dapat digunakan
untuk hidup. Di dalam konteks ini, laki-laki harus bekerja untuk memelihara kelangsungan hidup
manusia di dalam kebutuhan fisik sebagai bagian dari pemeliharaan Allah hingga kelahiran Sang
Anak yang dijanjikan. Di balik hukuman kesulitan dan kesusahan di dalam bekerja, terdapat berkat
yang Allah janjikan, yaitu lahirnya Sang Juruselamat.

John Frame merangkum pengertian dari 3 perkataan ini seperti demikian:


“By following the narrative of the fall, Scripture indicates that God intends to save His fallen people.
There is good news mixed with the bad. God curses Satan, the serpent (Gen. 3:14-15), but at the end
of this curse He indicates that Satan will be crushed by a Child of Eve (v. 15). Though labor and
childbearing are to be painful, they will preserve the human race until the time when the special Child
of the woman will gain this victory and save His people. Adam and Eve received this promise in faith.
Adam named his wife Eve, “mother of all living” (3:20), expressing his confidence that God would
keep mankind alive until the Deliverer should come, and Eve named her first son Cain, honoring
childbirth as a gift of God (4:1). So the promise of seed (the child promise) correlates with the promise
that Adam’s work will continue to feed the human race (the land promise), bringing God’s blessing out
of curse.”

Inilah perjanjian yang Allah adakan langsung setelah manusia jatuh ke dalam dosa, perjanjian yang
menjadi harapan bagi umat manusia dari ancaman kematian dan murka Allah atas dosa-dosa
mereka, sebuah perjanjian keselamatan yang menjadi janji dan harapan yang terus manusia ingat
dan pelihara sebagai bagian dari anugerah Allah atas manusia berdosa.

Conclusion
Allah yang kita imani adalah Allah yang setia dan terus memelihara perjanjian yang Ia adakan dengan
manusia. Di satu sisi, Allah tetap mengeksekusi setiap pelanggaran terhadap perjanjian-Nya dengan
manusia. Segala keberdosaan yang dilakukan manusia akan dihukum oleh Allah sesuai dengan
perjanjian. Namun, di sisi lain, Allah tetap menyatakan kasih-Nya yang tidak bersyarat dengan
mengadakan perjanjian penebusan atau keselamatan. Ia menjanjikan akan adanya Sang Juruselamat
bagi manusia berdosa, dan melalui-Nya-lah kita mendapatkan pengharapan akan keselamatan dan
jalan perdamaian dengan Allah yang kudus. Tentu saja janji ini menuntut manusia yang menerima
anugerah tersebut untuk hidup dalam ketaatan kepada Allah. Setiap umat Allah yang menerima
anugerah ini harus berespons dengan iman yang hidup dan secara aktif menjalankan setiap
kehendak dan perintah Allah, iman yang ternyatakan di dalam kehidupan yang secara total
didedikasikan bagi Allah dan hidup berseteru dengan arus dunia berdosa ini. Kita dipanggil untuk
kembali menjalankan misi kita sebagai umat-Nya, untuk menyatakan kemuliaan dan kebesaran-Nya
ke seluruh bagian di bumi ini, hidup menyatakan Injil dan kebenaran-Nya kepada dunia yang berdosa
ini. Biarlah kita bersyukur atas anugerah Allah yang besar ini dan dengan tanggung jawab dan gentar
kepada Allah, kita menjalankan setiap kehendak-Nya. Kiranya Tuhan menolong kita!
Perjanjian Allah dengan Manusia
Bentuk hubungan yang dipilih Allah dalam Alkitab adalah hubungan perjanjian.

Pengantar
Ketika masa krisis tahun 1998 berlangsung, seorang teman saya pernah tidak mampu lagi membayar
hutang-hutang dagangnya. Ketika itu kurs Rupiah terhadap Dollar melonjak tajam, dari Rp 2.500/US$
menjadi Rp 15.000/US$. Dengan inisitatifnya sendiri, teman saya ini kemudian mendatangi partner
dagangnya dan menceritakan semua permasalahan yang ada. Akhirnya dibuatlah sebuah perjanjian
baru, tempo pembayaran dan kurs yang dipakai. Alhasil, hingga sekarang teman saya tersebut masih
dipercaya oleh partner dagangnya. Mirip seperti kejadian itu, namun dengan inisiatif yang berbeda,
Allah mengikatkan diri-Nya sendiri melalui perjanjian-perjanjian yang dibuat-Nya sendiri untuk
kepentingan dan keselamatan manusia.

Perjanjian Allah dengan Adam dan Hawa


Kejadian 3:15 mencatat perjanjian pertama yang dibuat Allah. Bahwa keturunan perempuan akan
meremukkan kepala ular (iblis), walaupun keturunan ular juga tetap akan memberontak dan mampu
meremukkan tumit keturunan Hawa. Perjanjian ini langsung dibuat setelah manusia kedapatan jatuh
dalam dosa. Kita tahu bahwa keturunan Hawa yang dimaksud adalah Tuhan Yesus Kristus sendiri.

Perjanjian Allah dengan Nuh


Kejadian 6:18 mencatat demikian “Tetapi dengan engkau Aku akan mengadakan perjanjian-Ku, dan
engkau akan masuk ke dalam bahtera itu: engkau bersama-sama dengan anak-anakmu dan isterimu
dan isteri anak-anakmu.” Inilah perjanjian yang pertama kali dibuat dengan Nuh. Mengapa Nuh
terpilih untuk diselamatkan? Karena Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di antara
orang-orang sezamannya; dan Nuh hidup bergaul dengan Allah (Kej. 6:9). Ketika manusia semakin
merosot moral dan akhlaknya, Allah berfirman bahwa Dia akan memusnahkan seluruh umat manusia.
Namun menyisakan Nuh dan keluarganya karena mereka hidup berkenan di hadapan Allah.

Sesudah air bah melanda muka bumi dan memusnahkan seluruh umat manusia, Allah kembali
mengadakan perjanjian bahwa Dia tidak akan mengulangi hal yang sama: tidak ada lagi air bah untuk
melenyapkan seluruh umat manusia dan binatang. Sebagai tanda perjanjian ini Allah meletakkan
busur-Nya di langit berupa pelangi. Busur ini dalam bahasa Ibrani disebut qeset yang memiliki arti
senjata. Jadi busur atau pelangi yang nampak sesudah hujan adalah melambangkan senjata Allah
yang melindungi bumi dan segala isinya.

Perjanjian Allah dengan Abraham


Perjanjian Allah dengan Abraham ini terjadi dua kali. Alkitab mencatat perjanjian pertama pada
Kejadian 15:1-21 dan perjanjian kedua pada Kejadian 17:1-27. Dalam Kejadian 15 dicatat bahwa
Allah menjanjikan keturunan yang sangat besar bagi Abraham, walaupun pada saat itu Abraham
sudah tua dan isterinya sudah mati haid. Perjanjian itu disahkan dengan dibakarnya persembahan
Abraham oleh api Allah pada malam hari. Ketika itu nama Abraham masih Abram.

Pada bagian kedua perjanjian Allah dengan Abraham dinyatakan dengan tegas bagian Allah dan
bagian manusia (Abraham). Tanda dari perjanjian ini adalah sunat. Setiap laki-laki keturunan
Abraham harus disunat. Sunat bukan hanya tanda sumpah dan pengakuan terhadap ke-Tuhanan
Allah tetapi juga merupakan tanda pengudusan atau meterai kebenaran berdasarkan iman (bdk.
Roma 4:11).

Perjanjian Allah dengan Israel


Ketika umat Israel hidup dalam penindasan bangsa Mesir selama lebih dari 400 tahun, kembali Allah
berinisiatif untuk menyelamatkan mereka. Melalui Musa Allah bertindak membawa bangsa Israel
keluar dari Mesir dengan berbagai cara (tulah). Peristiwa keluaran ini menjadi tonggak dan inti iman
umat Israel, menjadi pujian-pujian syukur bagi bangsa Israel (Kel.15).

Dalam perjalanannya menuju tanah perjanjian, Allah memberikan 10 hukum-Nya untuk ditaati dan
dikerjakan oleh umat Israel. Ini sebuah perjanjian bersyarat bahwa Allah tetap menjadi pelindung
umat Israel secara keseluruhan namun umat sendiri harus melaksanakan hukum-hukum yang sudah
diberikan-Nya.

Perjanjian Baru
Walaupun melalui berbagai perjanjian umat Israel banyak melakukan pelanggaran, namun Allah tetap
bersabar. Melalui nabi Yeremia Allah kemudian memberikan satu perjanjian baru yang sungguh luar
biasa! (Yer.31:31-34). Perjanjian baru ini merupakan janji tanpa syarat dari Allah kepada umat Israel
yang tidak setia untuk mengampuni dosa-dosa mereka dan membuat hubungan yang baru dengan
mereka atas dasar hukum-hukum-Nya yang ditulis dalam hati mereka sendiri. Sebuah perjanjian atas
dasar rahmat semata. Perjanjian baru ini berpuncak pada diri Tuhan Yesus Kristus yang
menyelamatkan bukan hanya bangsa Israel tetapi seluruh umat manusia. Tanda perjanjian baru ini
adalah Baptisan Kudus.

Makna Hidup dalam Perjanjian Allah


Seluruh perjanjian yang dibuat Allah adalah untuk membebaskan manusia dari belenggu dosa dan
hidup dalam persekutuan yang indah dengan Allah. Oleh karena itu hidup dalam perjanjian dengan
Allah selalu berkaitan dengan “spiritualitas kehidupan.” Bagaimana kita menjalani kehidupan sebagai
manusia yang sekaligus adalah umat Allah yang sudah ditebus, dimerdekakan.

Anda mungkin juga menyukai