Anda di halaman 1dari 13

Bab II

Komitmen Hidup Ber-Qur’an


(Qs. Al-Qalam: 1-7)

 CBA

 m  l k j i h g f e d  c b a ` _ ~ } | { zyo
  ~ } | { z y x w v u t s r q p o n
n ¢ ¡
“Nun. Demi pena dan apa yang mereka tulis (1). Berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad)
sekali-kali bukan orang gila (2). Sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak
putus-putusnya (3). Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (4). Maka kelak
kamu akan melihat, dan mereka (orang-orang kafir) pun akan melihat (5). Siapa di antara kamu
yang gila (6). Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang sesat dari jalan-
Nya; dan Dialah yang paling mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (7).”1

TAFSIR RINGKAS
Allah bersumpah dengan pena (al-qalam) yang dipergunakan oleh malaikat dan manusia
untuk menulis. Allah juga bersumpah dengan segala kebaikan, kemanfaatan, dan ilmu
pengetahuan yang mereka tuliskan. Sungguh engkau, wahai Rasul, dikarenakan karunia
kenabian dan risalah yang Allah berikan kepadamu, engkau bukanlah orang yang lemah
akal, bukan pula berpikiran tolol. Sungguh, dikarenakan semua tekanan hebat yang
engkau alami dalam menyampaikan risalah, engkau akan mendapat balasan yang sangat
besar, yang tidak terkurangi dan tidak terputus. Sungguh engkau, wahai Rasul, benar-
benar memiliki akhlak yang agung, yaitu segala akhlak mulia yang dikandung oleh Al-
Qur’an.
Mematuhi Al-Qur’an, bagi beliau, sudah menjadi karakter yang membuat beliau
melaksanakan apa saja yang diperintahkannya dan menghentikan apa saja yang
dilarangnya.
Sebentar lagi, wahi Rasul, engkau akan melihat, dan orang-orang kafir itu pun akan
melihat, siapa diantara kalian yang sebenarnya mengidap kesintingan dan kegilaan?
Sungguh Tuhanmu, Dia lebih tahu siapa yang celaka lagi menyimpang dari agama Allah
dan dan jalan kebenaran; dan Dia pun lebih tahu siapa yang bertakwa lagi mendapat
petunjuk kepada agama yang benar.

1
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Zadul Masir, dan as-Sa’di, ayat 1-7 disatukan dan ditafsirkan sebagai satu topik
berangkai.
34
PELAJARAN PENTING
1. Surah al-Qalam adalah surah kedua yang turun, sesudah al-‘Alaq. Memang terdapat
perbedaan pandangan dalam masalah ini, namun disepakati bahwa surah ini
termasuk yang mula-mula diturunkan bersama sejumlah surah lainnya.
2. Sekali lagi, Allah mengingatkan betapa pentingnya ilmu, yang disimbolkan dengan
“pena dan apa yang dituliskannya”, terutama bagi para da’i dan pemimpin.
3. Ikatlah ilmu dengan menuliskannya, atau dengan memiliki buku-buku yang
menyimpan ilmu, atau dengan rajin mengunjungi perpustakaan. Rawatlah buku dan
pelajari baik-baik, sebab ilmu akan menjadi senjata dakwah yang sangat ampuh dan
bekal kehidupan yang sangat melimpah.
4. Dengan berpegang pada Al-Qur’an atau syariat Allah, maka manusia tidak akan
menjadi gila dalam menjalani kehidupannya. Sebaliknya, siapa saja yang tidak
berpegang kepada Al-Qur’an, pasti menjadi gila. Allah menyebutnya dengan majnun
(tertutup akalnya), yakni punya akal tetapi tidak bisa membedakan mana baik dan
buruk, benar dan salah, lurus dan bengkok; atau maftun (tersesat dari kebenaran),
yakni tahu kebenaran tetapi tidak mau mengikutinya, dan malah mengikuti jalan-
jalan lain yang mencelakakan.
5. Kehidupan orang-orang gila pasti penuh kontradiksi, pertentangan, dan ironi. Mereka
ingin kebaikan tetapi caranya justru dengan mengobarkan keburukan. Misalnya,
mereka hendak mencegah meluasnya wabah HIV/AIDS, tetapi caranya dengan
mempromosikan pergaulan bebas dan memfasilitasi perzinaan. Mereka ingin
menghapuskan hukuman mati bagi pembunuh dengan alasan HAM, namun mereka
samasekali lupa bahwa si pembunuh itu sendiri sebenarnya telah melanggar HAM
dari si korban, berikut seluruh keluarga yang turut merasakan akibatnya. Masih
banyak contoh lain untuk “kegilaan” semacam ini.
6. Orang yang mendapat hidayah hidupnya akan terang dan tenang, karena ia tahu pasti
arah dan tujuan yang diharapkannya. Sebaliknya, orang yang tersesat hidupnya akan
gelap dan gelisah, karena ia bingung terhadap segala sesuatu yang dihadapinya. Inilah
kegilaan atau “tersesat dari jalan-Nya”, yakni terbelokkan dari agama Allah yang
terang, mudah ditempuh, dan pasti membawa akibat yang membahagiakan.
7. Allah menjanjikan pahala yang tidak terputus, yang tidak bisa ditimbang dan
mustahil dihitung karena sedemikian banyaknya, bagi siapa saja yang mengikuti jejak
Nabi  dalam berpegang dan mendakwahkan agama-Nya, meskipun menghadapi
banyak rintangan, gangguan, ejekan, siksaan, dsb. Jaminan Allah adalah pasti, takkan
meleset.
8. Rasulullah  adalah manusia yang paling sempurna akhlaknya. Pelajarilah sejarah
hidup beliau, dan contohlah akhlaknya. Berusahalah meneledaninya dalam segala
aspek kehidupan semaksimal mungkin, terutama bagi para da’i dan pemimpin sebab
mereka akan menjadi panutan umat.
9. Sejarah dan fakta akan membuktikan, siapa sebenarnya orang yang gila dan tidak
waras pikirannya itu. Walau pun orang-orang kafir selalu menuduh kaum muslimin
yang berpegang teguh pada agamanya dengan berbagai tuduhan buruk dan
menyakitkan, semua tuduhan itu akan berbalik kepada mereka sendiri, entah di
dunia ini maupun kelak di akhirat.
10. Ukuran benar dan salah, sesat dan hidayah, itu semua datang dari Allah; bukan
didasarkan pada kriteria dan keinginan hawa nafsu manusia sendiri. Biar pun seluruh
35
dunia mengatakan “sesat”, tetapi jika menurut Allah “benar”, maka semua perkataan
mereka tidak usah dianggap dan hanya omong kosong belaka. Demikian juga
sebaliknya.

--oOo--

ANALISIS MUFRADAT
• al-qalam ( ‫) ا‬: Kita sudah mengetahui makna aslinya dalam kajian surah al-‘Alaq.
Disana, sebagian besar mufassirin memaknai al-qalam dengan pena di dunia ini, yakni
alat tulis yang dipergunakan manusia; namun dalam penafsiran surah al-Qalam
banyak yang memaknainya sebagai pena takdir yang dipakai menuliskan ketetapan-
ketetapan Allah di Lauh Mahfuz. Tampaknya, penafsiran ini berpangkal pada pilihan
kemana merujukkan dhamir yang ada pada kata yasthurun (mereka tulis), sebab kata
ganti “mereka” ada yang mengartikannya “para malaikat” dan ada pula yang
mengartikannya “semua penulis” secara mutlak.2
• yasthurun ( ‫ون‬ ): Makna dasarnya adalah berderet/berbaris, seperti tulisan,
pohon, atau apa saja yang berderet. Sudah dimaklumi bahwa tulisan selalu terdiri dari
huruf-huruf yang berderet.3
• ni’mah (  ): Ada banyak cabang makna untuk kata ini, namun seluruhnya
merujuk kepada arti dasar kehidupan yang sejahtera, nyaman, dan baik. Disini, yang
dimaksud ni’mah adalah karunia yang hanya bisa diberikan oleh Allah, yakni
ketauhidan dan hidayah ke dalam Islam.4
• majnun ( ‫) ن‬: Kata dasar janna aslinya berarti tertutup dan menutup diri/tidak
terlihat, sehingga dari sini muncul istilah yang artinya selalu merujuk kepada makna
asli ini, seperti: jannah (taman/kebun yang rapat/lebat pohon dan daunnya, surga
yang tersembunyi dari manusia di dunia), janan (hati, kegelapan malam), junnah
(perisai pelindung), janin (bayi dalam kandungan, jenazah dalam kubur), dan jinn
(makhluk yang tidak terlihat). Makna majnun atau jinnah adalah tertutup akalnya.5
Kadang, kegilaan atau ketidakwarasan akal ini dihubungkan dengan jin atau
kerasukan makhluk halus. Tuduhan “gila” oleh kaum kafir kepada Nabi memiliki
kedua konotasi ini, yakni kehilangan kewarasan akal maupun kerasukan bangsa jin.
• ajrun ( ‫) أ‬: Ada dua makna asli darinya, yaitu upah dari perkerjaan dan pengobatan
untuk tulang yang patah. Jika disatukan, seakan-akan upah yang diterima seorang
pekerja merupakan pengobat bagi kelelahan yang dialaminya. Begitulah hakikat
pahala Allah bagi orang yang beramal.6
• ghairu mamnun ( ‫)   ن‬: Aslinya, kata manna berarti sesuatu yang dijadikan
(alat) untuk menimbang. Jadi, ghairu mamnun berarti: tidak bisa ditimbang (ghairu
mauzun) atau tidak bisa dihitung (ghairu ma’dud), karena jumlahnya yang sangat
banyak melampaui kemampuan perhitungan dan timbangan.7

2
Zadul Masir, VIII/428. Lihat juga pernyataan Ibnu Katsir yang akan dikutip setelah ini.
3
Mu’jam Maqayis al-Lughah III/72-73, Lisanul ‘Arab III/2007-2008.
4
Mu’jam Maqayis al-Lughah V/446-447, Lisanul ‘Arab juz 50 hal. 4478-4485.
5
Mu’jam Maqayis al-Lughah I/421-422, Lisanul ‘Arab I/701-706.
6
Mu’jam Maqayis al-Lughah I/62-63.
7
Mu’jam Mufradat Alfazhil Qur’an hal. 494-495.
36
• khuluq (  ): Kata ini punya akar yang sama dengan khalaqa (menciptakan). Silakan
merujuk kembali kepada penjelasannya dalam penafsiran surah al-‘Alaq.
• al-maftun ( ‫) ا ن‬: Kata fatana aslinya berarti memasukkan emas atau perak ke
dalam api agar mencair sehingga bisa dipisahkan unsur yang baik dari unsur yang
buruk. Dari sini, lalu dipergunakan sebagai kiasan untuk banyak makna dan tujuan,
misalnya: (a) dimasukkannya manusia ke dalam api neraka, (b) akibat dari siksaan, (c)
ujian, (d) tergoda oleh sesuatu sampai lalai. Istilah fitnah sebenarnya bisa berarti
positif dan negatif, sama dengan ujian, tetapi umumnya dimaknai negatif. Dalam
konteks ini, maftun artinya terkena siksaan berupa kegilaan.8
• dhalla (  ): Maknanya adalah bergeser dari jalan lurus, dan kebalikannya adalah al-
hidayah (mendapat petunjuk). Maka, adh-dhalal adalah segala bentuk pergeseran dari
jalan yang terang baik secara sengaja maupun tidak, sedikit maupun banyak, sebab
jalan lurus yang diridhai Allah itu merupakan sesuatu yang sangat sulit. Kesesatan itu
adakalanya dalam masalah ilmu-ilmu teoritis, seperti ketersesatan dari mengenal
Allah, keesaan-Nya, kenabian, dan yang semacamnya; ada pula kesesatan dalam
masalah ilmu-ilmu praktis seperti pengetahuan perihal hukum-hukum syariat, yakni
ibadah-ibadah.9
• sabilihi (  ! ): Makna aslinya adalah melepas atau menjulurkan sesuatu dari atas ke
bawah, dan segala sesuatu yang memanjang. Maka jalan disebut sabil karena ia
memanjang, dan tindakan memanjangkan pakaian disebut isbal. Istilah sabil merujuk
kepada jalan yang jelas dan mudah diikuti, yang terus memanjang dan bersambung
hingga sampai ke tujuan.10
• muhtadun ( ‫"ون‬# ): Aslinya, ada dua makna dasar, yaitu maju untuk membimbing
dan kiriman hadiah. Dalam konteks ini, yang dimaksud adalah makna pertama. Ada
banyak cabang makna yang muncul darinya, seperti: (a) kebalikan tersesat, (b)
kelompok terdepan dari pasukan berkuda, (c) tongkat, (d) arah, (e) tujuan, dan (f)
siang hari. Jika digabungkan, maka makna-makna ini memperlihatkan pengertian
yang indah, dimana hidayah adalah kejelasan arah dan tujuan; seperti terangnya siang
hari; seperti kelompok terdepan dalam pasukan berkuda yang tahu betul arah yang
dituju, tidak hanya ikut-ikutan seperti kelompok yang ada di belakangnya; seperti
tongkat yang maju terlebih dahulu membimbing orang yang memegangnya.11

TAFSIR DAN URAIAN TERPERINCI


1. Tafsir Ibnu Katsir
Firman-Nya: ( ‫) وا‬, makna yang paling kuat adalah pena yang biasa dipakai menulis,
sebagaimana firman Allah: “Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang
mengajar (manusia) dengan perantaraan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya.” (Qs. al-‘Alaq: 3-5). Ini adalah sumpah dari Allah, dan pengingat
yang diberikan-Nya kepada makhluk-Nya perihal nikmat yang telah Dia berikan
kepada mereka, yaitu diajari menulis yang dengannya mereka bisa mendapatkan ilmu.
Oleh karenanya, Allah berfirman: wa ma yasthurun. Menurut Ibnu ‘Abbas, Mujahid,
dan Qatadah, maknanya: apa yang mereka tulis.

8
Lisanul ‘Arab juz 37 hal. 3344-3347, Mu’jam Mufradat Alfazhil Qur’an hal. 385-386.
9
Mu’jam Mufradat Alfazhil Qur’an hal. 306-307.
10
Mu’jam Maqayis al-Lughah III/129-130, Lisanul ‘Arab III/1930-1932.
11
Mu’jam Maqayis al-Lughah VI/42-43, Lisanul ‘Arab VI/4638-4642.
37
Firman-Nya: ( ‫ن‬  ‫)  أ   ر‬, maksudnya: segala puji bagi Allah, engkau
tidaklah gila sebagaimana yang dituduhkan oleh orang-orang bodoh dari kaummu,
yang mendustakan hidayah dan kebenaran nyata yang engkau bawa kepada mereka,
lalu mereka menyebutmu sebagai orang gila.
Firman-Nya: ( ‫) وإن  ا   ن‬, maksudnya: sebaliknya, engkau mendapatkan
balasan yang sangat besar dan pahala yang melimpah, yang takkan terputus dan
takkan musnah, dikarenakan engkau telah menyampaikan Risalah Tuhanmu kepada
makhluk-Nya dan bersabar atas segala gangguan mereka. Makna ghairu mamnun
adalah tidak terputus. Menurut Mujahid, ghairu mamnun maksudnya: tidak terhitung
(banyaknya). Penafsiran ini merujuk kepada makna yang telah kami katakan
sebelumnya.
Firman-Nya: (  !  ‫) وإ‬, al-‘Aufi berkata: dari Ibnu ‘Abbas: “Maksudnya
adalah: sungguh engkau berada diatas agama yang agung, yaitu Islam.” Demikian pula
pendapat Mujahid, Abu Malik, as-Suddi, ar-Rabi’ bin Anas, adh-Dhahhak, dan Ibnu
Zaid. ‘Athiyyah berkata, “Maksudnya adalah: sungguh engkau berada diatas adab yang
agung.” Ma’mar berkata: dari Qatadah: ‘Aisyah ditanya perihal akhlak Rasulullah ,
maka beliau menjawab, “Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.” Makna hadits ini adalah:
kepatuhan Rasulullah  terhadap Al-Qur’an, baik berupa perintah maupun larangan,
sudah mendarah daging dengan beliau, sudah menjadi akhlak yang terpatri dalam diri
beliau, dan beliau telah meninggalkan tabiat bawaannya sendiri. Maka, apa saja yang
diperintahkan oleh Al-Qur’an pasti beliau laksanakan, dan apa saja yang dilarangnya
pasti beliau tinggalkan. Ini masih disertai dengan akhlak-akhlak agung yang telah
Allah tanamkan dalam diri beliau, seperti malu, dermawan, pemberani, lapang dada,
santun, dan semua akhlak indah lainnya
Firman-Nya: ( ‫ ن‬$) ‫'* ا‬+ . ‫"ون‬#'‫" و‬#$%& ), maksudnya: kelak engkau akan tahu, hai
Muhammad, demikian juga orang-orang yang berseberangan dan tidak
mempercayaimu itu: siapa sebenarnya yang gila dan tersesat, apakah kamu atau
mereka. Makna maftun sangat jelas, yaitu: yang telah terfitnah dari kebenaran dan
tersesat darinya.
Firman-Nya: ( ,'-$.  ‫ وه أ‬0#1 , 23 , ‫) إن ر  ه أ‬, maksudnya: Dia (Allah)
mengetahui manakah dari dua golongan itu – yaitu: golonganmu dan golongan
mereka – yang mendapat petunjuk, dan Dia juga tahu mana dari dua kelompok itu
yang tersesat dari kebenaran.”

2. Tafsir Ath-Thabari
Adapun pena ( ‫) ا‬, maka itu adalah pena yang sudah dikenal. Hanya saja, pena yang
digunakan oleh Tuhan kita untuk bersumpah disini adalah pena yang diciptakan oleh
Allah, lalu Dia memerintahkannya untuk menuliskan semua yang terjadi sampai Hari
Kiamat.
( ‫ون‬4%' ‫) و‬, Allah berfirman: yang mereka tulis dan catat. Jika penakwilannya
diarahkan ke sini, maka sumpah tersebut adalah sumpah dengan makhluk dan amal
perbuatan mereka. Namun perkataan ini punya kemungkinan makna lain, yaitu: wa
sathruhum ma yasthurun (dan tulisan yang mereka tulis), dimana ma disini berarti
mashdar. Jika penakwilannya diarahkan ke sini, maka sumpah tersebut adalah dengan
kitab/tulisan, seakan-akan dikatakan: “demi pena dan tulisan.”

38
Firman-Nya: ( ‫ن‬  ‫)  أ   ر‬, Allah berfirman kepada Nabi-Nya: bahwa
dengan nikmat Tuhanmu engkau bukanlah orang gila. Allah menolak tuduhan kaum
musyrikin Quraisy yang mengatakan kepada beliau, “Engkau ini benar-benar gila.”
Firman-Nya: ( ‫) وإن  ا   ن‬, Allah berfirman: sungguh engkau, hai
Muhammad, akan mendapatkan pahala yang sangat besar dari Allah dikarenakan
kesabaranmu menerima ganggung orang-orang musyrik, tidak dikurangi dan tidak
pula terputus.
Firman-Nya: (  !  ‫) وأ‬, Allah berfirman kepada Nabi-Nya: sungguh engkau,
hai Muhammad, berada diatas adab yang agung, yaitu adab Al-Qur’an yang telah
Allah didikkan kepadamu, yaitu Islam dan syariat-syariat-Nya.
Firman-Nya: ( ‫"ون‬#'‫" و‬#$%& ), Allah berfirman: kelak kamu akan melihat, hai
Muhammad, demikian juga orang-orang musyrik diantara kaummu itu, yang
menyebutmu sebagai orang gila, ( ‫ ن‬$) ‫'* ا‬+ ), siapa diantara kalian yang gila.
Firman-Nya: ( 0#1 , 23 , ‫) إن ر  ه أ‬, Allah berfirman: sesungguhnya
Tuhanmu, hai Muhammad, Dia lebih mengetahui terhadap siapa yang telah tersesat
dari jalan-Nya, seperti tersesatnya orang-orang kafir Quraisy dari agama Allah dan
jalan kebenaran.
( ,'-$.  ‫) وه أ‬, Allah berfirman: Dia lebih tahu siapa yang telah mendapat
petunjuk, lalu mau mengikuti dan mengakui kebenaran, sebagaimana engkau telah
mendapat petunjuk lalu mengikuti kebenaran. Ini merupakan kalimat sindiran.
Makna sebenarnya dari kalimat ini adalah: sesungguhnya Tuhanmu, hai Muhammad,
lebih tahu terhadap siapa dirimu. Engkau adalah orang yang telah mendapat
petunjuk, sedangkan kaummu – yaitu: kaum kafir Quraisy – sungguh mereka adalah
orang-orang yang tersesat dari jalan kebenaran.

3. Tafsir Al-Biqa’iy
Maksudnya (yakni: surah al-Qalam) adalah menampakkan apa yang tertutup dan
menjelaskan apa yang samar-samar di dalam surah al-Mulk: “Kelak kamu akan
mengetahui siapakah yang berada dalam kesesatan yang nyata.” (Qs. al-Mulk: 29),12 yakni
dengan menentukan secara definitif siapa yang mendapat hidayah, yang telah nyata
terbukti bahwa ia benar-benar mendapat hidayah, telah mendapat bagian ilmu yang
merupakan cahaya teragung, yang tidak akan membuat tersesat bila berteman akrab
dengannya, yakni dengan menerima Al-Qur’an dan berakhlak dengannya, dimana ia
merupakan sifat Tuhan yang Maha Pengasih, semaksimal mungkin yang bisa dicapai
oleh kekuatan manusia.
Tanda di dalam surah al-Qalam yang paling bisa menunjukkan pada tujuan ini adalah
nuun dan al-qalam itu sendiri. Oleh karenanya pula, surah ini dinamai dengan
keduanya. Dengan mengkaji masing-masing dari kedua nama itu maka tujuan
tersebut akan bisa diketahui. Kesimpulannya, sebagaimana nuun itu penjelasannya
membuat (sesuatu menjadi) gamblang dan lengkap, seperti sinar matahari meliputi
semua yang dibuatnya menjadi terlihat jelas; demikian pula tempat tinta itu – dengan
tinta yang ada di dalamnya – akan meliputi apa saja yang ditunjukkan olehnya dengan

12
Salah satu tujuan penyusunan Tafsir Al-Biqa’iy adalah menjelaskan kesalingterkaitan diantara surah satu
dengan lainnya dalam urutan Mushaf. Karena surah al-Qalam terletak sesudah al-Mulk, maka beliau pun
mengaitkan isi kandungan kedua surah ini.
39
keluarnya tinta itu dan dengan sifat-sifat yang dimilikinya.13 Maka, menjadi
mantaplah pernyataan yang muncul (melalui tinta itu), dan (menjadi jelas pula)
makna dari perkataan-perkataan yang sama pengucapannya. Adapun al-qalam (pena),
maka sudah tidak bisa dipungkiri lagi bagaimana ia bisa menjelaskan aneka
pengetahuan.

4. Tafsir As-Sa’di
Allah bersumpah dengan pena, dan ini adalah nama yang mencakup semua jenis
pena, yang dipergunakan untuk menulis beraneka ragam ilmu, dipakai mencatat
semua narasi maupun sajak. Yang demikian itu karena pena beserta semua perkataan
yang mereka tulis dengannya, merupakan salah satu ayat Allah yang paling besar,
sehingga layak untuk dijadikan obyek sumpah oleh Allah, bahwasanya Nabi
Muhammad  terbebas dari kegilaan yang dituduhkan oleh musuh-musuhnya. Allah
menafikannya dari beliau dengan nikmat dan kebaikan-Nya, dimana Dia telah
menganugerahi beliau akal yang sempurna, pikiran yang hebat, perkataan yang terang,
yang merupakan hal terbaik yang bisa ditulis oleh pena dan dicatat oleh umat
manusia. Ini adalah kebahagiaan di dunia. Allah kemudian menyitir kebahagiaan
beliau di akhirat.
Allah berfirman: ( ‫) وإن  ا‬, yang sangat besar – didasarkan pada isim-nya yang
berbentuk nakirah; ( ‫)   ن‬, yakni: tidak terputus, akan tetapi konstan dan terus-
menerus. Hal itu dikarenakan Nabi  telah lebih dahulu melakukan amal-amal shalih
dan akhlak-akhlak yang sempurna.
Oleh karenanya, Allah berfirman: (  !  ‫) وإ‬, maksudnya: dengan akhlak itu
engkau menjadi sangat tinggi (kedudukanmu), mengungguli siapa pun dengan akhlak
yang telah Allah anugerahkan kepadamu.
Dari semua akhlak, beliau memiliki yang paling sempurna dan paling hebat. Pada
masing-masing dari setiap akhlak, beliau berada di puncak tertinggi. Beliau adalah
seseorang yang mudah, lemah-lembut, dekat dengan semua orang, mau memenuhi
panggilan orang yang memanggilnya, mau membayar hutang kepada orang yang
menagihnya, tidak mengecewakan hati orang yang meminta kepadanya, tidak pula
menolaknya, dan tidak pula mengembalikannya dengan tangan hampa. Bila Sahabat-
sahabatnya menginginkan sesuatu dari beliau maka beliau pun menyetujui dan mau
mengikutinya selama tidak ada yang perlu diwaspadai di dalamnya. Jika beliau berniat
melakukan sesuatu, maka beliau tidak memaksakannya kepada orang lain, namun
mengajak mereka bermusyawarah dan meminta saran-saran mereka. Beliau
mengharagai orang yang berbuat baik, memaafkan orang yang melakukan kesalahan.
Ketika Allah telah menempatkan beliau pada kedudukan tertinggi dalam segala aspek,
sementara musuh-musuh beliau justru menggelarinya sebagai orang gila dan sinting,
maka Allah pun berfirman: ( ‫ ن‬$) ‫'* ا‬+ . ‫"ون‬#'‫" و‬#$%& ). Sudah jelas bahwa beliau

13
Untuk diketahui, hampir seluruh karya tafsir memuat pandangan yang menyatakan bahwa makna Nuun
adalah “tempat tinta”, karena kemiripan bentuk huruf nun dengannya dan adanya kata al-qalam (pena)
sesudahnya. Ini salah satu kemungkinan makna yang ditangkap oleh mufassirin, selain penafsiran-
penafsiran lainnya. Jadi, pernyataan al-Biqa’iy diatas ada hubungannya dengan penafsiran ini. Memang
ada hadits marfu’ dari Abu Hurairah yang dikutip terkait penafsiran ini, namun ternyata bathil-munkar.
(lihat: al-La’ali’ al-Mashnu’ah I/120-121; al-Fawa’id al-Majmu’ah no. 48; as-Silsilah adh-Dha’ifah no. 1253).
Menurut kami, akan lebih selamat untuk membiarkan penafsiran huruf-huruf muqaththa’ah semacam ini
dalam wilayah mutasyabihat, sebagaimana dipilih banyak ulama’ lainnya. Wallahu a’lam.
40
adalah manusia yang paling lurus, dan paling sempurna dalam memperlakukan diri
sendiri maupun orang lain. Musuh-musuhnya adalah orang yang paling sesat dan
paling buruk dalam memperlakukan orang lain. Merekalah yang memfitnah hamba-
hamba Allah dan menyesatkan dari jalan Allah. Cukuplah pengetahuan Allah atas
masalah ini, sebab Dialah yang memperhitungkan dan memberikan balasan.
( ,'-$.  ‫ وه أ‬0#1 , 23 , ‫) إن ر  ه أ‬, kalimat ini mengandung ancaman
serius kepada orang-orang yang sesat, janji bagi mereka yang mengikuti petunjuk, dan
penjelasan hikmah Allah, dimana Allah hanya memberi hidayah kepada orang yang
layak menerimanya, bukan yang lain.

5. At-Tafsir Al-Hadits
Di dalam surah ini terdapat peneguhan, penenangan dan pujian kepada Nabi ,
serangan keras dan peringatan kepada para pendusta, serta gambaran tentang sikap-
sikap mereka terhadap dakwah Islam. Di dalamnya juga terdapat kisah dalam rangka
mengingatkan dan memberi peringatan, sebagaimana di dalamnya juga terdapat
isyarat sekilas kepada kisah Nabi Yunus  dalam rangka meneguhkan Nabi
Muhammad .
Isi kandungan empat ayat permulaan dan yang mengiringinya memungkinkan bahwa
empat ayat tersebut diturunkan dalam satu kesatuan, dan bahwasanya ayat-ayat
selebihnya diturunkan sesudah itu dengan jarak waktu tertentu. Tidak menutup
kemungkinan pula bahwa seluruh surah ini diturunkan sekaligus. Penempatan urutan
surah ini sebagai yang kedua adalah berdasar pada kemungkinan turunnya empat ayat
permulaan tersebut secara terpisah, di belakang lima ayat pertama surah al-’Alaq.
Akan tetapi, jika kemungkinan ini tidak benar sehingga empat ayat pertama tersebut
dan ayat-ayat seterusnya diturunkan secara bersamaan, maka penempatan tata
urutannya – sebagai yang ke-2 – tentunya tidak tepat. Dan, demikianlah fakta
sebenarnya. Hal itu berarti mengharuskan surah ini diturunkan lebih belakangan
setelah tempo tertentu.
Mushhaf yang kami jadikan pegangan juga menyebutkan bahwa ayat 17-33 dan ayat
48-50, adalah Madaniyah. Namun, baik uslub maupun isi kandungannya
mengisyaratkan tidak benarnya pernyataan tersebut.
Ayat-ayat dalam surah ini terangkai sedemikian rupa, baik dalam tema, untaian
maupun “cetakan”-nya. Hal ini melapangkan jalan bagi pendapat bahwasanya surah
al-Qalam termasuk diantara surah-surah yang diturunkan sekaligus atau terpisah
dalam bagian-bagian yang saling beriringan waktu penurunannya, dengan satu catatan
terkait empat ayat pertamanya yang sudah kami sebutkan dimuka.
Setelah mengutip ayat 1-4 dan menjelaskan sebagian kosakata sulit, beliau
melanjutkan:
Dialog dalam ayat-ayat ini ditujukan kepada Nabi , yang di dalamnya terkandung :
Sumpah dengan al-qalam (pena) yang dipergunakan oleh manusia untuk menulis,
dalam rangka menguatkan bahwa perhatian dan nikmat Allah melingkupi diri beliau;
bahwa beliau tidak gila; bahwa beliau akan mendapat pahala yang tiada terputus dari
Allah sebagai balasan atas tindakan beliau melaksanakan tugas besarnya, berikut
segala yang beliau tanggung di sepanjang jalannya; dan bahwa beliau berada diatas
akhlaq yang agung yang membuat beliau berhak dipilih dan diperhatikan oleh-Nya.

41
Sementara itu, kalimat “demi pena dan apa yang mereka tulis” bisa jadi juga
memunculkan kesan bahwa Nuun adalah nama tempat tinta, karena adanya
kesesuaian yang cukup jelas. Akan tetapi, banyaknya surah lain yang dimulai dengan
satu atau lebih huruf hijaiyah dan setelah itu diikuti dengan sumpah, mengakibatkan
munculnya pendapat bahwa huruf nun disini sama saja dengan huruf-huruf lainnya.
Hanya saja, isi kandungan lima ayat pertama surah al-’Alaq – yakni, bagian Al-Qur’an
yang turun pertamakali – dan isi kandungan permulaan surah al-Qalam ini memiliki
satu kesamaan tema. Dalam surah pertama, Allah menyuruh untuk membaca,
menyebut-nyebut pena dan segala apa yang telah Dia ajarkan kepada manusia;
sementara dalam surah al-Qalam Allah bersumpah dengan tempat tinta, pena dan
penulisan. Semua ini sejalan dengan hadits Abu Hurairah yang di dalamnya memuat
penafsiran Nabi  bahwa Nuun adalah tempat tinta, dan tidak ada faktor yang
menghalangi untuk menerima ke-shahih-annya. Seluruhnya menjadikan pendapat
terakhir ini lebih kuat dibanding lainnya.14
Jika pen-tarjih-an ini benar, maka dimungkinkan bahwa pembukaan surah al-Qalam
diturunkan setelah lima ayat pertama surah al-’Alaq, sebagai penguat isi kandungan
ayat-ayat ini dalam memulai tuntunan Al-Qur’an – sejak awal mula penurunannya –
tentang pentingnya membaca, menulis, ilmu dan pengajaran dalam kehidupan serta
kemuliaan umat manusia.
Setelah membahasa masalah: (a) kisah-kisah Israiliyat dalam tafsir, (b) riwayat-
riwayat yang tidak memiliki sandaran shahih, (c) makna huruf-huruf mutaqatha’ah
di awal surah-surah Al-Qur’an, (d) makna al-qalam (pena), sumpah-sumpah di
dalam Al-Qur’an, beliau berkata:
Waktu penurunan ayat-ayat pertama surah ini. Diriwayatkan bahwa ayat-ayat ini
merupakan ayat yang turun mengikuti permulaan surah al-‘Alaq.15
Peletakan surah al-Qalam sebagai urutan kedua dalam penurunan surah-surah Al-
Qur’an adalah dikarenakan hal ini. Jika riwayat tersebut shahih, maka ayat-ayat itu
pastilah diturunkan secara terpisah sementara bagian surah selebihnya diturunkan
setelah itu dengan jeda waktu tertentu; yang kemudian dirangkai sehingga dengan
demikian sempurnalah penyusunan dan sosoknya. Surah ini pun diturunkan dalam
rangka menenangkan dan meneguhkan Nabi ‘alaihis salam, menafikan apa yang beliau
sangka dan takutkan, yakni kekhawatiran beliau bahwa apa yang beliau lihat dan
dengar saat pertamakali diberi wahyu hanyalah bentuk kesurupan jin sehingga beliau
sempat berkeinginan menjatuhkan dirinya dari puncak gunung,16 sebagaimana yang

14
Riwayat dimaksud bersumber dari Abu Hurairah, namun haditsnya bathil-muknar, sehingga tidak bisa
dijadikan sandaran. Lihat: al-Fawa’id al-Majmu’ah no. 48 dan as-Silsilah adh-Dha’ifah no. 1253. Jadi, pen-
tarjih-an Syaikh Darwazah diatas gugur dengan sendirinya. Pen.
15
As-Sirah al-Halabiyah, I/244.
16
Menurut penelitian Dr. Akhram Dhiya’ al-’Umuri dalam bukunya, Seleksi Sirah Nabawiyah, hal. 109-110
(Darul Falah, Jakarta, 2004), kisah bahwa Nabi ingin “bunuh diri” adalah tambahan riwayat yang dha’if
dan tidak bisa dijadikan hujjah. Ada beberapa faktor: Pertama, dalam teksnya ada selingan frase “menurut
yang kami dengar”, yang mencirikan kelemahan di dalamnya, alias semacam kabar burung yang belum
diverifikasi. Kedua, menurut Ibnu Hajar, ini adalah riwayat mursal az-Zuhri, dan kaidah yang berlaku:
riwayat mursal az-Zuhri adalah dha’if. Ketiga, dalam riwayat ath-Thabari terdapat perawi bernama Nu’man
bin Rasyid al-Jazri, seorang perawi yang jujur namun hafalannya sangat buruk. Ia sering memberikan
tambahan-tambahan yang dha’if dalam riwayat tadi, tanpa ada jalur penguatnya. Keempat, secara makna,
tambahan tersebut dianggap kabur karena bagi Nabi yang ma’shum, tidak layak menjatuhkan diri dari atas
gunung, apa pun persoalan yang beliau hadapi.
42
diriwayatkan oleh ath-Thabari17 dalam sebuah hadits yang disandarkan kepada
‘Abdullah bin az-Zubair, bersumber dari Nabi ‘alaihis salam.18 Jika riwayat ini tidak
shahih, maka dari satu sisi ayat-ayat ini merupakan penenang dan peneguh bagi beliau,
sekaligus bantahan atas penyifatan kaum kafir kepada beliau sebagai orang “gila” dari
sisi lain. Al-Qur’an sendiri telah mengisahkan tentang orang-orang ini dalam banyak
ayat, misalnya dalam surah al-Hijr: 6: “Mereka berkata: “Hai orang yang diturunkan Al-
Quran kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila.”
Sama halnya dengan yang ada dalam surah al-Mu’minun: 70 berikut: “Atau (apakah
patut) mereka berkata: “Padanya (Muhammad) ada penyakit gila.” Sebenarnya dia telah
membawa kebenaran kepada mereka, dan kebanyakan mereka benci kepada kebenaran itu.”
Juga, dalam ayat terakhir surah al-Qalam itu sendiri: “Dan sesungguhnya orang-orang
kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala
mereka mendengar Al-Quran dan mereka berkata: “Sesungguhnya ia (Muhammad) benar-
benar orang yang gila”. Dan Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat.”
Patut digarisbawahi, bahwa adanya kecocokan dan kesatuan rangkaian diantara ayat-
ayat ini dengan ayat-ayat sesudahnya, bisa melemahkan riwayat pertama diatas, dan
layak dikatakan bahwa ayat-ayat tersebut beserta ayat-ayat sesudahnya diturunkan
dalam satu rangkaian tak terpisah atau saling beriringan. Dan, peletakannya sebagai
surah urutan kedua pun tidak benar, karena ayat-ayat selanjutnya memuat
pemandangan pendustaan dan perdebatan, berondongan cercaan dan kutipan kata-
kata para pendusta bahwasanya Al-Qur’an hanyalah dongengan kaum terdahulu;
dimana hal ini tidak mungkin terjadi kecuali setelah turunnya sejumlah besar ayat-
ayat Al-Qur’an, juga setelah Nabi ‘alaihis salam berhubungan dengan orang banyak
disertai pembacaan beliau akan ayat-ayat tersebut kepada mereka, juga setelah
keterlibatan beliau dalam perdebatan dan adu argumen dengan mereka.
Akhlaq Nabi . Pujian dari Allah terhadap akhlaq Nabi  dengan uslub yang sangat
kuat dan mantap. Penyifatan beliau dengan keagungan dalam hal akhlaq merupakan
sesuatu yang sangat luar biasa, yang akan membuat segala sanjungan, penyifatan serta
pemuliaan dari manusia menjadi tak berarti. Demikian pula apa yang disebutkan
dalam sebagian kitab sirah maupun syama’ail,19 yang menyifati kepribadian beliau
dengan aneka sifat yang nyaris mengeluarkan beliau dari karakteristik
kemanusiaannya; tanpa didasarkan pada suatu tujuan dan kepentingan yang relevan;
tidak juga selaras dengan apa yang dinyatakan secara jelas oleh Al-Qur’an. Bahwa,
beliau adalah manusia biasa sebagaimana umumnya dari segi fisik maupun
penampilan luar. Bahwa, beliau hanya seorang rasul dimana telah banyak rasul lain
sebelumnya; bukan sosok yang samasekali berbeda diantara para rasul itu,
sebagaimana dinyatakan dalam surah al-Ahqaf: 9: “Katakanlah: “Aku bukanlah Rasul

17
Tarikh ath-Thabari, II/48-49, penerbit al-Istiqamah. Diantara kandungan riwayat ini, sebagaimana
dikisahkan Nabi sendiri, “Tatkala malaikat telah pergi dariku dan aku terbangun dari tidur, seakan-akan telah
tertulis sebuah kitab di dalam hatiku. Padahal, tidak ada satu pun diantara makhluk Allah yang lebih kubenci
dibanding penyair atau orang gila (kesurupan jin). Aku tidak pernah sanggup melihat mereka berdua. Aku katakan:
‘Ini lebih jauh lagi’ – maksudnya, diri beliau sendiri – (dari) penyair atau orang gila.’ Jangan sampai kaum Quraisy
membicarakan aku untuk selamanya. Aku akan menuju puncak salah satu bukit dan menjatuhkan diriku sendiri
darinya, sehingga aku mati dan bisa tenang dari urusan ini…” – dst.
18
Riwayat ini seharusnya bukan dari ‘Abdullah bin az-Zubair, tetapi dari ‘Ubaid bin ‘Umair, seorang
Tabi’in, sebagaimana akan Anda lihat sebentar lagi. Jadi, riwayat ini mursal.
19
Syama’ail adalah jenis literatur dalam hadits dan sirah yang secara khusus mengulas sifat dan perilaku
Nabi, seperti warna kulit, bentuk wajah, rambut, tinggi badan, cara berjalan, berbicara, menyisir rambut,
memakai sandal, dan lain-lain.
43
yang pertama di antara Rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat
terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang
diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang
menjelaskan”.”
Juga, dalam surah Ali ‘Imron: 144 di bawah ini: “Muhammad itu tidak lain hanyalah
seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat
atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?”
Kemudian, yang ada dalam surah al-A’raf: 188 ini: “Katakanlah: “Aku tidak berkuasa
menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang
dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat
kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain
hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.”
Juga, dalam surah al-Kahfi: 110: “Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti
kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan
yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat
kepada Tuhannya.”
Mudah dimengerti, bahwa penyifatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam sebagian kitab sirah dan syama’il tersebut berhubungan dengan terbatasnya
pemahaman dalam menemukan keagungan macam apa yang ada dalam akhlaq beliau
dan kebersihan macam mana yang ada dalam jiwa beliau, juga ketulusan yang ada di
dalam hati beliau yang menjadikannya pantas dipilih oleh Allah; sehingga
keterbatasan pemahaman ini mendorong para penulis tersebut untuk mencari-cari
penyebab-penyebab lain, dimana di dalamnya terkandung sikap berlebih-lebihan yang
tidak sejalan dengan tabiat apapun, juga tidak selaras dengan nash-nash Al-Qur’an.
Ayat-ayat ini termasuk bagian Al-Qur’an yang mula-mula diturunkan. Hal ini
bermakna pula, bahwa akhlaq yang agung yang dimiliki Nabi ‘alaihis salam, yang
dengannya beliau memperoleh sanjungan dari Allah yang mantap ini, sudah
merupakan watak yang menghiasi diri beliau sebelum diutus sebagai nabi, dan sifat
itu pulalah yang membuat beliau pantas dipilih sebagai nabi; dan untuk
melaksanakan tugas yang besar. Dan, tentu Allah lebih tahu dimana Dia selayaknya
menitipkan risalah-Nya. Dalam hadits riwayat al-Bukhari yang bersumber dari ‘Aisyah,
dikisahkan bahwa Sayyidah Khadijah berkata kepada beliau – saat beliau kembali
menemuinya setelah turunnya wahyu pertamakali, lalu beliau menceritakan apa yang
beliau lihat dan dengar seraya berkata, ‘Sungguh aku mengkhawatirkan diriku sendiri’ –
maka Khadijah berkata kepada beliau, “Bukan begitu! Demi Allah, Dia takkan
menghinakan engkau untuk selamanya. Engkau selalu menyambung tali
persaudaraan, menanggung beban orang lain, memberi pekerjaan kepada yang tak
berpunya, memuliakan tamu, serta membantu pada saat timbul bencana.”
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan ath-Thabari dari ‘Abdullah bin az-Zubair
disebutkan bahwa Khadijah – pada saat Nabi berkata kepadanya, ‘Sungguh aku takut
jika diriku berubah menjadi penyair atau orang gila’ – berkata kepada beliau, “Aku
memohonkan perlindungan kepada Allah untukmu dari hal-hal seperti itu, wahai hai
Abul Qasim. Tidak mungkin Allah melakukan hal seperti itu kepadamu, karena aku

44
tahu kejujuran ucapanmu, besarnya sifat amanahmu, bagusnya akhlaqmu, dan
silaturrahim yang engkau lakukan.”20
Hal ini semakin menguatkan apa yang kami katakan, karenan akhlaq-akhlaq mulia ini
merupakan sesuatu yang telah menghiasi diri beliau sebelum diutus sebagai nabi.
Setelah menyitir ayat 5-16 dan menjelaskan sebagian kosakata sulit, beliau berkata:
Ungkapan dalam ayat ini jelas sekali. Di dalamnya mengandung kisah tentang apa
yang terjadi antara Nabi ‘alaihis salam dengan kaum kafir, berikut bantahan dan
cercaan terhadap mereka, sekaligus peneguhan kepada Nabi: (1) Sebagian dari kaum
kafir mengejek Nabi sebagai orang yang sinting, sesat, keluar dari agama serta tradisi
nenek moyang. Maka ayat pertama diatas membantah hal ini, dan menyatakan bahwa
kebenaran tidak akan mungkin mendukung dan mengakui orang yang sinting. Lalu,
pembicaraan dialihkan kepada Nabi ‘alaihis salam yang di dalamnya mengandung
peneguhan bahwasanya Rabb-nyalah yang lebih mengetahui siapa yang benar-benar
sesat dan siapa pula yang benar-benar mendapat petunjuk; (2) Sebagian dari mereka…
dst.

6. Komentar Dr. ‘Amru Khalid


Di dalamnya (yakni: surah al-Qalam) terkandung seruan untuk mengikat ilmu. Surah
ini merupakan surah yang kedua diturunkan sesudah al-‘Alaq (Iqra’). Sekarang, tiba
gilirannya untuk mengikat ilmu ini: “Demi pena dan apa yang mereka tulis.” Ilmu diikat
dengan tulisan. Oleh karenanya, pena disitir disini yang sudah dikenal fungsinya
sebagai (alat untuk) menulis dan mendokumentasikan. Pena adalah sarana untuk
mengabadikan ilmu. Sebab, ketika kita telah mengikat ilmu, maka ia bisa menjadi
senjata kita dalam berdakwah. Dulu, kaum muslimin memiliki perpustakaan yang
dipadati oleh ilmu-ilmu, yaitu perpustakaan kota Baghdad. Sekarang, di zaman ilmu
pengetahuan ini, bagaimana upaya kita untuk mengikat ilmu-ilmu kita?
Surah ini juga menggambarkan akhlak seorang da’i, juga akhlak-akhlak yang
seharusnya dimiliki oleh seorang da’i. Oleh karenanya, Allah berfirman: “Sesungguhnya
kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”, sebab Rasulullah  adalah pemimpin para
da’i, juga da’i yang paling tinggi akhlaknya, ilmunya, dan agamanya. Sebagai
bandingan, surah ini kemudian menyitir orang yang akhlaknya buruk, seperti para
pemilik kebun itu. Maka, tidak layak bagi seorang da’i pun untuk berakhlak buruk,
dan hendaknya ia meneladani akhlak Rasulullah .21

20
Riwayat ini, seharusnya bukan dari ‘Abdullah bin az-Zubair, tetapi dari ‘Ubaid bin ‘Umair, seorang
tabi’in, sebagaimana dikutip ath-Thabari dalam Tarikh-nya, juga sumber-sumber lain. Ada sedikit
kekurangcermatan pengutipan, walau tidak mengubah materi. Semoga Allah merahmati Syekh Darwazah.
Bagian awal riwayat ath-Thabari memang mengesankan bahwa yang berbicara adalah Ibnu az-Zubair,
walau sebenarnya bukan. Aslinya, sbb: Wahb bin Kaysan – maula keluarga az-Zubair – berkata: saya
mendengar ‘Abdullah bin az-Zubair berkata kepada ‘Ubaid bin ‘Umair bin Qatadah al-Laitsi, “Ceritakan
kepada kami, hai ‘Ubaid, bagaimana awal mula kenabian kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
tatkala Jibril mendatangi beliau!” Maka, ‘Ubaid pun bercerita – dan, saya hadir ketika ia berbicara kepada
‘Abdullah bin az-Zubair dan orang-orang di sekitarnya, … dst. Teksnya sangat panjang. Al-Hakim juga
mengutipnya dengan diringkas, dan menurut adz-Dzahabi: mursal. Benar, karena ‘Ubaid bin ‘Umair
adalah tabi’in yang tidak menyaksikan sendiri peristiwa tersebut, sedangkan beliau disini tidak
menyebutkan siapa narasumbernya.
21
Khawathir Qur’aniyah, surah ke-68 (al-Qalam). Tentang kisah “pemilik kebun”, silakan baca surah al-
Qalam: 17-33.
45
RIWAYAT TERKAIT
• ‘Aisyah pernah ditanya, “Wahai ummul mu’minin, ceritakanlah kepadaku tentang
akhlak Rasulullah.” Maka, beliau menjawab, “Bukankah engkau telah membaca Al-
Qur’an? Akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an.”22
• Nabi  bersabda, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia.”23
• Beliau juga bersabda, “Aku meninggalkan di tengah-tengah kalian dua perkara. Kalian
tidak akan tersesat selama selalu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitabullah
dan Sunnah Nabi-Nya.”24
• Sufyan bin ‘Uyainah pernah berkata, “Sesungguhnya Rasulullah  adalah timbangan
terbesar (al-mizan al-akbar). Terhadap beliaulah segala sesuatu dihadapkan (untuk
ditimbang), berdasarkan akhlak, gaya hidup dan perilaku beliau. Apa saja yang selaras
dengannya maka itulah kebenaran, dan apa saja yang bertentangan dengannya adalah
kebatilan.”25

22
Riwayat Muslim no. 746; Abu Dawud no. 1342; an-Nasa’i no. 1600, dsb. Bagian dari sebuah hadits
panjang. Pernyataan ‘Aisyah diatas merujuk kepada surah al-Qalam: 4.
23
Riwayat al-Hakim dalam al-Mustadrak, no. 4221, dari Abu Hurairah. Menurut adz-Dzahabi: ‘ala syarthi
muslim. Diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan, no. 21301.
24
Riwayat Malik dalam al-Muwatha’ no. 1594 (riwayat Yahya al-Laitsi). Riwayat ini termasuk balaghat milik
Imam Malik, dan menurut as-Suyuthi dalam al-La’ali’ al-Mashnu’ah I/86, kemungkinan besar Imam Malik
mengambilnya dari jalur yang lemah yang ditunjukkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam al-Jami’, sehingga
beliau tidak secara eksplisit mengungkapkannya. Menurut Ibnu Hajar, sanad riwayat ini tidak sampai
derajat maudhu’, akan tetapi hanya dha’if saja. Juga dinukil al-Baihaqi dalam Dala’il an-Nubuwwah no.
2182, bersumber dari ‘Urwah bin az-Zubair secara mursal, bagian dari khutbah Nabi dalam Haji Wada’;
kemudian Ibnu ‘Abdil Barr mengutipnya melalui isnad yang lemah dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi
no. 10008. Ada redaksi lain untuk riwayat ini yang dikutip dalam Sunan at-Tirmidzi, dari Jabir. Riwayat
diatas dinyatakan hasan dan mursal oleh Syaikh al-Albani dalam Misykatul Mashabih no. 186.
25
Al-Jami’ li Akhlaqi ar-Rawi I/9 no. 8.
46

Anda mungkin juga menyukai