51
Setelah diberkati sarana rumah sakit semakin disediakan, sehingga
pelayanan tidak saja dilakukan oleh para mantri tetapi secara rutin mendapat
kunjungan dari dokter yang berasal dari Rumah Sakit Gunung Maria Tomohon.
Pihak keuskupan memberikan kepercayaan kepada mantri Jetje Pangaila
sebagai Kepala Rumah Sakit dan wakilnya adalah Jan Mantow. Bagian
administrasi ditangani oleh Coen Nelwan sedangkan keuangan ditangani
langsung oleh keuskupan.
Pada bulan Agustus 1950 Mantri Jetje Pangaila melanjutkan pendidikan
dan sebagai gantinya adalah Cornelia Foet, seorang perawat berijasah
perawatan anak-anak. Tahun 1952 Cornelia Foet dipindah-tugaskan ke
Kalimantan dan kepemimpinannya diserahkan kepada bidan Lies Rumbayan dan
tahun 1955 diserahkan lagi kepada Jan Mantow.
Rumah Sakit Cantia semakin berkembang dan pada tahun 1955 pihak
keuskupan mengundang para suster JMJ untuk berkarya di Tompasobaru yaitu
Sr. Margaretha Groot seorang perawat bidan dan Sr. Laetitia Wowiling mengurus
kerumahtanggaan.
Pada tanggal 2 Maret 1957 pecah pergolakan Permesta. Situasi ini
sangat berpengaruh dalam keberadaan rumah sakit dan pengelolaannya. Hal ini
berlangsung sampai tahun 1959. Para karyawan meninggalkan rumah sakit,
dengan demikian ketiga suster yang bertugas di Tompasobaru, yaitu Sr. Nicoline
Kuin, Sr. Margaretha Groot dan Sr. Laetitia Wowiling dan beberapa pembantu
yang tinggal memberikan pelayanan.
Tahun 1958, keuskupan mohon kesediaan para suster tarekat JMJ untuk
mengambil alih rumah sakit Cantia, sehingga tugas pastor paroki pun tidak
dibebani dengan pekerjaan di Rumah Sakit, dengan tujuan supaya perhatian
kepada pelayanan rumah sakit semakin lancar. Mooder Doreothee
Wennekendonk JMJ yang pada waktu itu sebagai regional Overste dan telah
lama bekerja sebagai misionaris di Indonesia, menerima tawaran ini sehingga
pada tanggal 1 Januari 1958 diadakan pengalihan pengelolaan rumah sakit dari
keuskupan Manado kepada Yayasan Joseph.
Selama waktu pergolakan ini, keadaan rumah sakit tak menentu,
komunikasi rumah sakit dengan masyarakat sulit, karena penduduk mengungsi.
Komunikasi dengan RS. Gunung Maria tertutup. Ini berlangsung sampai tahun
1960.
52
Sejak saat itu secara resmi RS. Cantia Tompasobaru dikelola secara
penuh oleh para suster JMJ. Oleh karena itu, masih ada dalam suasana
pergolakan, komunikasi pun belum ada. Ketiga suster yang berada di
Tompasobaru pada waktu itu tidak ada kontak sama sekali dengan rekan-rekan
suster di komunitas lain. Daerah Tompasobaru dan seluruh daerah Minahasa
Selatan, dikuasai oleh pasukan tentara permesta yang menempati gedung-
gedung tertentu untuk perlindungan.
Tahun 1960 pasukan TNI menyerang daerah Minahasa Selatan termasuk
daerah Tompasobaru dan memerintahkan agar desa Tompasobaru dikosongkan.
Penduduk harus mengungsi ke Modoinding. Dengan demikian rumah sakitpun
dikosongkan, para suster harus mengungsi. Mereka diangkut ke Tomohon atas
jasa seorang tentara yang baik hati. Tahun 1961 suasana mulai tenang,
penduduk mulai kembali dari pengungsian.
Pada 1962 rumah sakit dibuka kembali setelah situasi membaik. Pada
Tanggal 18 Maret 1962 pastor paroki yang baru yaitu pastor Albertus Rutges
MSC membawa perawat Joseph Wolf setelah pergolakan permesta berakhir
untuk melayani di Rumah Sakit. Bapak Joseph Wolf di antar oleh Pastor
Theodorus Moors MSC bersama dr. Que Giok Tong direktur RS. Gunung Maria
Tomohon waktu itu dan Sr. Adriana Korompis sebagai Supervisor, dan mulai saat
itu pelayanan kesehatan di RS. Cantia berjalan normal lagi dan pimpinannya
diberikan kepada seorang perawat yaitu bapak Josef Wolf selama 18 tahun
sampai pensiun pada tahun 1980.
Sejak tahun 1964 ketenagaan mendapat bantuan dari RS. Gunung Maria
Tomohon, sehingga pelayanan tetap ditingkatkan. Tahun 1967 RS. Cantia
mendapat bantuan dari Memisa (Belanda), berupa seperangkat tempat tidur,
paket peralatan lain, sebuah kendaraan Jeep Landrover dan obat-obatan.
Komunikasi dan transportasi ke Tomohon-Manado sudah mulai lancar, terutama
untuk pengambilan obat-obatan dan pembelanjaan bahan makanan serta bahan-
bahan lainnya.
Tanggal 4 oktober 1970 pimpinan rumah sakit Cantia, Josef Wolf dan
satu tenaga perawat, yaitu Evert Turang diundang mengikuti rapat di dinas
kesehatan Tondano tetapi gagal karena mengalami kecelakaan dalam
perjalanan karena kendaraan yang mereka tumpangi masuk jurang. Mantri Josef
Wolf menderita luka-luka sehingga memerlukan perawatan di RS. Gunung Maria
53
dan Evert Turang menderita cacat tubuh. Pimpinan RS. Cantia untuk sementara
waktu digantikan oleh Sr. Jeanne d’Arc Toreh.
54
RSU Cantia memiliki beberapa
fasilitas penunjang medis antara lain
Elektrokardiografi (EKG), ultrasonografi
(USG) hibah dari RSU Gunung Maria
Tomohon, Laboratorium, dan Ronxen
sejak tahun 2003. Apotek dengan obat yang cukup lengkap dibuka selama 1 x 24
jam. Ambulans yang dimiliki oleh RSU Cantia saat ini berjumlah 3 unit yang siap
beroperasi 24 jam. Adapun status kepemilikannya antara lain pinjam pakai dari
Pemkab Minahasa Selatan (APV tahun 2009) dan 2 milik RSU Cantia
Tompasobaru. Dalam peringatan 60 tahun rumah sakit.
Pelayanan persalinan dibantu oleh 5 orang bidan dan 1 orang dokter ahli
kandungan dan Kebidanan dengan 3 tempat tidur untuk persalinan dan
pemeriksaan kandungan serta dilengkapi ruang perawatan pasca bersalin dan
perawatan bayi. Pelayanan Ruang Pemulasaran Jenasah juga setelah
direnovasi diakhir tahun 2015, diberi nama St. Barbara saat ini memiliki fasilitas
ruang memandikan dan pengawetan jenasah serta tersedia ruang kumpul
keluarga dan ruang doa sebelum dibawa ke rumah duka.
Telah disediakan juga perawatan luka intensif sebagai layanan unggulan.
Hal ini disediakan karena tingginya jumlah pasien dengan luka baik sebagai luka
mekanis maupun akibat penyakit sistemik. Melakukan evaluasi staf medis dalam
perawatan untuk semakin mendalami dan terbukti memberikan hasil setelah
perawatan intensif dan pasien memberikan pengakuan positif akan kinerja staf
medis kami.
55
2009 – 2012 : dr. Sr. Mareyke Sengkeh, JMJ
2012 – 2015 : dr.Joppy A. Sewow
2015 – 2020 : dr. Indra K. Silaen
2021 _ sekarang : dr James Komaling
56