Anda di halaman 1dari 1

Pandemi dalam Imajinasi Masyarakat Kita 

Sore ini saya melihat video dokumentasi Magelang Bergerak yang membagikan beras kepada
tukang-becak dan pedagang kaki lima. Kebetulan beberapa menit sebelum itu saya membaca
tulisan tentang Covid-19 dari Mr Ian Belts, Pak Eko Tunas, Pak Nursamad Kamba, dan Mbah
Emha. 

Saya menyadari masih banyak saudara kita yang terpaksa masih ada di jalan . Ada 2
kemungkinan untuk keadaan seperti itu : desakan ekonomi & tidak mempedulikan
himbauan. 

Meskipun jumlah pengidap di Indonesia sudah mencapai 5923 orang per 17 April 2020,
kayaknya bahaya virus belum terkomunikasikan ke masyarakat gagap teknologi atau
masyarakat melek teknologi tapi nyepelekke.

1. Masyarakat Televisi

Hari ini saya sudah selesai karantina mandiri dan semua berjalan baik-baik. Sekarang
bergema Azan Maghrib dan 2 minggu kebelakang dimasa karantina saya menyadari ada hal-
hal yang mengganggu pikiran saya. 

Simbah saya tidak begitu passion untuk belajar ulang tentang hal-hal baru : contohnya belajar
menggunakan Whatsapp / memahami cara kerja video call. Beliau menanyakan keadaan kota
besar tempat saya kuliah, dan bagaimana kuliah berlangsung ketika seperti ini. 

Saya menanyakan balik bagaimana keadaan Desa ketika ada seperti ini, semua berjalan biasa
katanya, dan Lek-ku (paman) mengatakan bahwa di desanya juga seperti tidak ada apa-apa.
biasa saja.

Kanal informasi utama untuk keluarga kami yang dipahami semua anggota keluarga adalah
televisi. Informasi anjuran cuci tangan dan di rumah saja cukup kencang. Tapi tidak dengan
kemampuan memahami keadaan.

Dari kasus itu, saya cukup yakin desa-desa akan memiliki masyarakat demikian jika tidak ada
follow up informasi yang lebih dari orang sekitar/ pak RT/Pak Kadus. Saya tidak cukup yakin
dengan pemerintah pusat dapat menjangkau segmen demikian. Karena tidak akan ada
pemahaman informasi lagi yang lebih ketika mengandalkan televisi yang menjual banyak
kekhawatiran.

2. Masyarakat Ber-Tuhan yang Tidak Berpikir

Anda mungkin juga menyukai