Anda di halaman 1dari 8

Faktor risiko kecacatan pada pasien kusta: studi cross-sectional

LATAR BELAKANG
Kusta sering menyebabkan kecacatan dan deformitas tetapi jarang menyebabkan
kematian. Kecacatan pada kusta disebabkan oleh invasi dan infiltrasi kulit dan
mukosa oleh M. leprae, yang mengakibatkan kerusakan saraf dan deformitas,
kehilangan sensorik (anestesi), dan manifestasi okular. Terdapat 9.795 kasus baru
disabilitas grade-2 (G2D) secara global pada tahun 2019, dan terdapat 1.121 kasus
di Indonesia.

Risiko kecacatan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis kusta,
lama penyakit, jumlah saraf yang terkena, terjadinya reaksi kusta, jenis kelamin,
usia, jenis pengobatan, faktor sosial ekonomi, pendidikan, etnis, pekerjaan, dan
metode yang digunakan dalam studi penemuan kasus kusta. Keberhasilan program
pengendalian pengobatan kusta dapat dinilai dengan baik dengan menentukan
tingkat kecacatan sebelum dan sesudah pengobatan. Gangguan primer dihasilkan
dari proses penyebab, dan penyakit primer menyebabkan gangguan sekunder.
Gangguan utama kusta termasuk penebalan dan nodul pada kulit dan jaringan
subkutan, perubahan pada mata, kehilangan kepekaan (sensibilitas), dan
kelumpuhan motorik tangan, kaki, dan mata. Gangguan sekunder termasuk
ulserasi, kontraktur, dan kehilangan penglihatan. Sistem penilaian kecacatan
berdasarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memiliki tiga tingkatan (G0D,
G1D, dan G2D) dan telah digunakan selama bertahun-tahun sebagai referensi
untuk menentukan tindakan rehabilitasi fisik pada tingkat individu maupun
komunitas. Disabilitas Grade-1 (G1D) ditandai dengan gangguan sensasi kaki atau
tangan dan gangguan penglihatan tetapi tidak berdampak parah. Cacat tingkat 2
(G2D) meliputi deformitas pada kaki dan tangan, serta mata mengalami gangguan
penglihatan yang parah.

Studi retrospektif ini menganalisis faktor risiko kecacatan pasien kusta di Klinik
Rawat Jalan DermatoVeneologi Divisi Kusta RSUD Dr. Soetomo tahun 2017-
2019. Mengetahui faktor risiko kecacatan sangat penting dalam program
pencegahan kecacatan kusta.

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian analitik cross-sectional retrospektif untuk
mengetahui hubungan antara faktor risiko dengan derajat kecacatan pasien kusta
yang dirawat di Poliklinik Penyakit Kulit dan Kelamin Divisi Kusta RSUD Dr.
Soetomo Surabaya selama tiga tahun, dari Januari 2017 sampai dengan Desember
2019. Kriteria inklusi meliputi semua pasien yang tercatat di rekam medik dengan
diagnosis kusta dengan kecacatan. Pasien tanpa kehilangan sensitivitas atau
deformitas yang terlihat dieksklusi dalam penelitian ini.
Variabel tingkat kecacatan (G1D dan G2D), jenis kelamin, usia, durasi penyakit,
indeks bakteri, jenis kusta, reaksi kusta, dan riwayat MDT dipertimbangkan dalam
penelitian ini. Penilaian tingkat kecacatan kusta dilakukan menurut klasifikasi
WHO. Tingkat 1 ditandai dengan hilangnya sensitivitas tanpa deformitas yang
terlihat, dan tingkat 2 ditandai dengan deformitas yang terlihat. Grade 0 tanpa
kehilangan sensitivitas maupun deformitas yang terlihat. Diagnosis kusta
ditentukan berdasarkan kriteria WHO. Pasien dengan kusta menunjukkan satu
atau lebih dari ciri-ciri berikut, seperti lesi kulit hipopigmentasi atau eritematosa
dengan hilangnya sensasi, keterlibatan saraf tepi dengan penebalan saraf yang
pasti, dan apusan kulit positif untuk basil tahan asam. Pasien diklasifikasikan ke
dalam tipe MB ketika ditemukan sebanyak lebih dari lima lesi dengan atau tanpa
indeks bakteri positif, dan tipe PB ketika ditemukan sebanyak kurang dari lima
lesi dengan indeks bakteri negatif.

Data diperoleh dari data sekunder pada berkas rekam medis dan rekam medis
elektronik dan dimasukkan ke dalam lembar pendataan untuk dianalisis dengan
menggunakan Statistical Package for Social Science (SPSS) versi 21. Korelasi
antara variabel dengan kejadian disabilitas dianalisis dengan menggunakan uji
korelasi Spearman's rho. Variabel yang diduga sebagai faktor risiko kecacatan
dianalisis menggunakan regresi logistik.

HASIL
Terdapat 1.132 pasien kusta, termasuk 345 pasien dengan disabilitas. Dua ratus
tujuh puluh lima pasien kusta dengan disabilitas yang memenuhi kriteria inklusi
penelitian, dan 70 pasien dikeluarkan karena data yang dibutuhkan tidak
ditemukan. Seratus lima puluh dua pasien (55,3%) adalah pasien baru, dan 123
pasien yang sebelumnya dirawat (44,7%). Jumlah kasus G1D sebanyak 76 pasien
(27,6%), dan G2D lebih dominan yaitu sebanyak 199 pasien (72,4%) (Tabel 1).
Disabilitas pada kaki ditemukan pada 148 pasien (53,8%), tangan 120 pasien
(43,6%) dan mata 7 pasien (2,5%). Pada penderita G1D, lokasi disabilitas pada
kaki ditemukan dominan pada 42 pasien (15,3%), dan begitu juga pada G2D,
lokasi disabilitas pada kaki sebanyak 106 pasien (38,5%). Pemeriksaan klinis
didapatkan penderita dengan ulkus terbanyak sebanyak 95 penderita (34,5%),
diikuti dengan claw hand sebanyak 57 penderita (20,7%), dan anestesi sebanyak
40 penderita (14,6%).

Pasien laki-laki lebih banyak daripada perempuan, masing-masing sebanyak 202


(73,4%) berbanding 73 (26,6%) pasien. Mayoritas berada pada kelompok 25-44
tahun (42,18%), dengan G1D dan G2D masing-masing sebanyak 31 (40,79%) dan
85 (42,71%) pasien. Seratus empat puluh empat pasien (52,36%) menderita
penyakit ini selama lebih dari 12 bulan. Pasien G1D terbanyak menderita penyakit
kurang dari 6 bulan yaitu sebanyak 43 pasien (56,58%). Sedangkan pasien G2D
lebih dari 12 bulan sebanyak 125 pasien (62,81%). Pada penelitian ini, 147 pasien
(53,45%) memiliki indeks bakteri negatif, 37 pasien (48,68%) dengan G1D, dan
110 pasien (55,28%) dengan G2D. Dua ratus lima puluh tiga pasien (92%)
memiliki jenis kusta multibasiler (MB), yaitu pada G1D sebanyak 70 pasien
(92,11%) dan pada G2D sebanyak 183 pasien (91,96%). Pasien laki-laki lebih
banyak daripada perempuan, laki-laki sebanyak 202 (73,4%) dibandingkan
dengan perempuan sebanyak 73 (26,6%) pasien. Mayoritas berada pada kelompok
usia 25-44 tahun (42,18%) dengan G1D dan G2D masing-masing sebanyak 31
(40,79%) dan 85 (42,71%) pasien. Seratus empat puluh empat pasien (52,36%)
menderita penyakit ini selama lebih dari 12 bulan. Pasien G1D terbanyak
menderita penyakit kurang dari 6 bulan yaitu sebanyak 43 pasien (56,58%).
Sedangkan pasien G2D lebih dari 12 bulan sebanyak 125 pasien (62,81%).

Sebagian besar pasien tidak mengalami reaksi kusta yaitu sebanyak 187 pasien
(68%), sedangkan G1D dan G2D masing-masing sebanyak 57 pasien (75%) dan
130 pasien (65,33%). Seratus dua puluh lima pasien (45,5%) telah menerima
terapi MDT. Mayoritas adalah 106 pasien (53,27%) dengan G2D, sedangkan G1D
hanya 19 pasien (25%). Pasien yang belum mendapatkan MDT sebanyak 101
pasien (36,72%), 48 pasien (63,16%) dengan G1D, dan 53 pasien (26,63%)
dengan G2D.

Penelitian ini menganalisis hubungan antara variabel seperti jenis kelamin, usia,
lama penyakit, indeks bakteri, jenis kusta, reaksi kusta, dan riwayat pengobatan
MDT. Analisis bivariat menunjukkan bahwa usia, lama penyakit, dan riwayat
pengobatan MDT memiliki p-value <0,05, sehingga secara statistik memiliki
korelasi positif yang signifikan dengan kejadian kecacatan pada pasien kusta.
Tabel 2 menyajikan hasil analisis regresi logistik multivariabel untuk
mengidentifikasi faktor risiko kecacatan pada pasien kusta. Studi ini menunjukkan
probabilitas kecacatan yang tinggi pada pasien kusta dengan faktor risiko berusia
kurang dari 15 tahun dan lebih dari 24 tahun dengan durasi penyakit lebih dari 12
bulan dan menjalani terapi atau setelah menerima pengobatan MDT, yaitu 90,9%.
PEMBAHASAN
Studi ini menunjukkan bahwa deformitas pada kaki dominan ditemukan pada
pasien G1D dan G2D, masing-masing sebanyak 42 pasien (15,3%) dan 106 pasien
(38,5%). Deformitas yang paling umum adalah ulkus, ditemukan pada 95 pasien
(34,5%). Studi Bungin tahun 2019 di Samarinda menunjukkan keluhan yang
paling sering adalah adanya ulkus pada tangan dan kaki. Keluhan G1D yang
paling umum adalah hilangnya sensasi (anestesi) di tangan atau kaki. Ulkus
tropikal merupakan deformitas yang paling banyak ditemukan pada penelitian
Mangala tahun 2015-2018, yaitu sebanyak 37,6%. Sama halnya dengan penelitian
kami, kelainan bentuk yang paling banyak ditemukan adalah ulkus, ditemukan
pada 95 pasien (34,5%).

Kecacatan pada penderita kusta lebih banyak pada penderita laki-laki (73,4%).
Jenis kelamin tidak berhubungan bermakna dengan disabilitas pada penelitian ini
(p>0,05). Sebuah studi retrospektif tahun 2015 di India menunjukkan bahwa
kecacatan pada pasien pria dengan G1D dan G2D lebih dominan daripada wanita
(62,73% vs. 37,27%, p=0,031). Sebuah studi oleh Monteiro pada 2001-2012
menyimpulkan bahwa pria adalah faktor risiko untuk kecacatan G2D dengan total
490 pasien (p=<0,001). Tingginya insiden kecacatan pada laki-laki terkait dengan
tingginya prevalensi kusta dan kerentanan terhadap trauma akibat kerja.
Korelasi penelitian antara usia dan kecacatan ini signifikan (p=0,025). Usia
kurang dari 15 tahun dan lebih dari 24 tahun lebih berisiko mengalami kecacatan.
Terdpat beban tinggi pada kelompok usia produktif yang terkait dengan G2D.
Sebuah studi oleh Sarkar et al. menyatakan bahwa usia tidak berhubungan secara
signifikan dengan disabilitas, namun berbeda dengan penelitian Naik pada tahun
2015 yang menunjukkan adanya korelasi antara disabilitas dengan usia, mayoritas
disabilitas terjadi pada usia 19 hingga 60 tahun (60,69%), dan hanya 0,58% yang
berusia di bawah 14 tahun. Studi retrospektif yang dilakukan Mani pada 2017-
2018 menunjukkan bahwa usia juga tidak signifikan sebagai faktor risiko. Umur
berhubungan langsung dengan lamanya penyakit, sehingga penderita lanjut usia
dapat meningkatkan potensi kecacatan karena sifat penyakit kusta yang kronis.
Studi retrospektif yang dilakukan Mani pada 2017-2018 menunjukkan bahwa usia
juga tidak signifikan sebagai faktor risiko. Umur berhubungan langsung dengan
lamanya penyakit sehingga penderita lanjut usia dapat meningkatkan potensi
kecacatan akibat sifat penyakit kusta yang kronis.

Terdapat korelasi yang signifikan antara durasi penyakit dan kecacatan pada
pasien kusta. Durasi lebih dari 12 bulan meningkatkan risiko kecacatan pada
penelitian ini. Studi oleh Shumet di Etiopia menunjukkan durasi gejala penyakit
berkisar antara 6-12 bulan (p=0,017), dan di atas 24 bulan (p=0,005) disertai
dengan kehilangan sensori, kerusakan saraf, dan reaksi reversal yang dapat
berlanjut menjadi kecaacatan. Durasi penyakit aktif yang lebih singkat, maka
deformitas yang berkembang akan lebih rendah karena kontrol obat yang lebih
baik dan keterlibatan saraf dan jaringan tubuh lainnya yang lebih sedikit. Faktor
yang paling penting dalam mencegah kecacatan pada pasien kusta adalah
diagnosis dini dan pengobatan gangguan saraf yang memadai. Untuk pencegahan
kecacatan sekunder kusta, penilaian G1D adalah yang paling utama untuk
dilakukan.

Pada penelitian ini, meskipun sebagian besar penderita kusta tipe MB,
pemeriksaan indeks bakteri sebagian besar negatif karena sebagian besar penderita
telah menyelesaikan pengobatan (RFT). Berdasarkan studi oleh Sales, indeks
bakteri awal tidak terkait dengan masalah lanjutan setelah terapi. Penelitian ini
terkait dengan penelitian Sharma et al., jenis kusta dan indeks bakteri tidak
mempengaruhi kejadian, perkembangan, atau regresi gangguan neurologis.
Sebuah studi oleh Jha et al. menunjukkan bahwa 36,12% pasien memiliki
perbedaan antara indeks bakteri dan tipe klinis kusta. Jenis kusta dengan
multibasiler (MB) memiliki jenis terbanyak (92%). Penderita kusta tipe G1D dan
G2D dengan tipe Multibasiler (MB) masing-masing sebanyak 70 (92,11%) dan
183 (91,96%) penderita. Korelasi antara jenis kusta dan kecacatan pada penelitian
ini tidak bermakna (p>0,05). Sebuah studi oleh Sarkar et al. pada tahun 2012
menunjukkan bahwa kecacatan pada pasien MB lebih signifikan daripada pasien
PB (31,6% vs 10%, p=0,001). Kusta borderline dan lepromatosa memiliki risiko
yang tinggi dibandingkan dengan tipe indeterminate dan tuberkuloid yang
memiliki risiko kelainan bentuk yang sangat rendah. Deformitas umum terjadi
pada pasien lepromatous karena keterlibatan saraf yang luas.

Disabilitas derajat 1 dan 2 pada pasien kusta lebih banyak ditemukan pada pasien
tanpa reaksi kusta (68%), reaksi tipe 2 pada 65 pasien (23,6%), dan reaksi tipe 1
pada 23 pasien (8,4%). Reaksi kusta pada penelitian ini tidak berhubungan dengan
kecacatan (p>0,05). Serupa dengan penelitian kami, Domple melaporkan bahwa
pasien dengan G1D dan G2D adalah 61,9% (p=0,64) lebih cenderung tidak
mengalami reaksi. Studi oleh Santos menyatakan bahwa sebagian besar kasus
kecacatan (2.043; 86,7%) tidak mengalami reaksi kusta. Studi lain mencatat
kecacatan yang lebih tinggi pada pasien dengan reaksi tipe 2 versus tipe 1 masing-
masing 61,9% dan 36,4% (p = 0,069). Studi oleh Sales menunjukkan kurangnya
hubungan antara reaksi tipe 1 dan 2 terhadap kecacatan yang memburuk di antara
pasien pada pengobatan di pusat rujukan. Reaksi kusta menyebabkan kerusakan
saraf dan jika tidak diobati dini, dapat menyebabkan kecacatan. Reaksi kusta pada
pasien kusta borderline menyebabkan kerusakan saraf akut, yang terkadang dapat
pulih sepenuhnya dengan pengobatan yang tepat.

Studi ini menunjukkan bahwa riwayat MDT berhubungan signifikan dengan


disabilitas. Pasien dalam pengobatan dan pasca-MDT dapat meningkatkan potensi
kecacatan. Kerusakan saraf yang menyebabkan kecacatan dan kelainan bentuk
dapat terjadi sebelum, selama, dan pasca selesai terapi. Dalam sebuah studi tahun
2012 oleh Kumar, kejadian kecacatan tinggi setelah menyelesaikan pengobatan
MDT meningkat (OR 3,05; 95% CI 1,10 – 8,48) berdasarkan usia dan
keterlambatan pengobatan. Sales melaporkan dalam penelitiannya, bahwa 40%
pasien mengalami kecacatan yang memburuk setelah menyelesaikan pengobatan
ditemukan pada akhir periode pengamatan. Pasien memburuk satu tahun setelah
pengobatan sebesar 9% dan setelah lima tahun sebesar 30%. Kurangnya tindak
lanjut aktif setelah menyelesaikan pengobatan adalah umum dan memperburuk
kecacatan yang ada.

Dalam sebuah penelitian di Indonesia, G2D yang terjadi hingga 5 tahun setelah
RFT meningkat dari 31% menjadi 49%. Dalam studi oleh Haefner di daerah
hiperendemik Brasil, sebagian besar kecacatan (783/858; 91,3%) terjadi pada
pasien yang telah menyelesaikan pengobatan. Terjadinya kecacatan pada kusta
menunjukkan kurangnya manajemen pengendalian kusta. Tindak lanjut pada
pasien setelah RFT harus diintegrasikan secara sistematis ke dalam layanan
kesehatan untuk memastikan pengelolaan penyakit dan morbiditas pasien;
tingkatkan kesadaran tentang penyakit ini, dan segera cari pertolongan jika gejala
sisa terkait kusta muncul kemudian.
Penelitian ini memiliki keterbatasan karena menggunakan data retrospektif yang
terdapat dalam rekam medis dan hanya melibatkan satu rumah sakit tingkat
tersier. Sebagian besar pasien dirujuk dengan diagnosis kusta tipe MB. Banyak
catatan medis yang tidak lengkap dalam mengidentifikasi faktor risiko seperti
indeks bakteri, jenis kusta, lama pengobatan, dan riwayat pengobatan MDT,
sehingga tidak semua pasien kusta dengan G1D dan G2D dimasukkan dalam
penelitian ini.

KESIMPULAN
Pada penelitian ini disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara faktor risiko
usia, lama penyakit, dan riwayat pengobatan MDT dengan kejadian kecacatan
pada penderita kusta. Kecacatan tidak berhubungan bermakna dengan jenis
kelamin, indeks bakteri, jenis kusta, dan reaksi kusta. Deteksi dini, manajemen,
dan pendidikan sangat diperlukan untuk mencegah kecacatan. Perawatan diri dan
pengenalan gejala awal kecacatan dapat segera ditindaklanjuti untuk mengurangi
terjadinya kecacatan yang mempengaruhi kualitas hidup pasien.

KONFLIK KEPENTINGAN
Dinyatakan tidak terdapat konflik kepentingan.

PENDANAAN
Studi ini tidak menerima hibah khusus dari lembaga manapun.

PERSETUJUAN ETIK
Penelitian ini telah mendapat persetujuan etik dari Komite Etik Rumah Sakit
RSUD Dr. Soetomo Surabaya (0440/LOE/301.4.2/IV/2021).

KONTRIBUSI PENULIS
Semua penulis berkontribusi dalam penelitian ini, termasuk kerangka kerja
konseptual, desain, pengumpulan data, dan analisis data.

Anda mungkin juga menyukai