Anda di halaman 1dari 13

Mikrobiota Kulit dan Interaksinya terhadap Penyembuhan Luka

Abstrak

Mikrobiota kulit sangat erat kaitannya dengan kesehatan dan penyakit kulit.
Interaksi antara mikrobiota komensal dan berbagai jenis sel yang terlibat dalam
penyembuhan luka, pengatur respon imun dan proses restorasi barier kulit.
Hubungan antara sel inang dan mikrobiota ini tidak berlaku pada luka kronis.
Dalam ulasan ini, kami pertama-tama menjelaskan bagaimana kemajuan dalam
perjalanan pendekatan dan analisis yang telah digunakan untuk mempelajari
mikrobiota pada luka kronis, dan bagaimana temuan ini menggarisbawahi
kompleksitas komunitas mikroba dan hubungannya dengan hasil klinis pada
pasien dengan gangguan luka kronis. Kami juga membahas wawasan mekanistik
yang dikumpulkan dari beberapa model hewan dari infeksi luka polimikrobial.
Selain peran bakteri yang dijelaskan dengan baik yang berada dalam bioflm
polimikroba, kami juga membahas peran bakteri intraseluler dalam penyembuhan
luka. Kami menjelaskan bagaimana perbedaan antara spesies patogen yang
mampu mengalahkan kekebalan kulit, dengan komensal yang sangat penting
untuk regulasi sistem kekebalan kulit dan memberikan perlindungan dari patogen
intraseluler melalui modulasi molekul antibiotik Perforin-2. Terlepas dari
kemajuan baru-baru ini, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan
crosstalk antara host-mikrobioma dalam luka kronis yang sembuh dan tidak
sembuh sebagai panduan dalam perkembangan terapeutik yang tepat.

Pendahuluan

Luka kronis yang paling umum adalah ulkus kaki diabetikum, ulkus dekubitus,
ulkus tungkai vena, dan luka bedah yang tidak kunjung mengalami penyembuhan.
Kondisi tersebut merupakan masalah kesehatan utama. Luka kronis biasanya
terjadi pada individu yang lebih tua dengan kondisi yang mendasari seperti
diabetes melitus, penyakit pembuluh darah, dan obesitas. Status imun dan nutrisi
yang mengalami penurunan, dan stres mekanik kronis juga telah terbukti
berkontribusi terhadap penyembuhan luka yang buruk. Luka kronis dikaitkan
dengan kematian yang sangat tinggi: angka kematian 5 tahun dari ulkus kaki
diabetikum (55%), neuropatik (45%), dan neuroiskemik (18%) lebih tinggi atau
serupa dengan yang terkait dengan kanker payudara (18%) dan kanker prostat
(8%). Luka kronis juga terkait dengan biaya perawatan kesehatan yang tinggi: di
AS, perkiraan pengeluaran total untuk luka kronis yang tidak dapat disembuhkan
berkisar antara US$28,1 hingga US$96,8 miliar pada tahun 2014 menurut analisis
retrospektif dari Medicare 5% Limited Data Set. Meskipun prevalensi yang tidak
sedikit dan biaya perawatan yang tinggi, perawatan yang efisien pada luka kronis
masih kurang.

Penyembuhan luka kulit merupakan proses yang kompleks dan sangat


terorganisir, dikontrol oleh beberapa jenis sel melalui sekresi faktor pertumbuhan,
sitokin, dan kemokin seperti yang diilustrasikan pada Gambar 1. Gangguan pada
proses penyembuhan luka, mencegah pemulihan barier kulit dengan tepat,
sehingga luka tidak kunjung sembuh dan menjadi kronis. Tingkat proliferasi
keratinosit yang lebih tinggi, tidak adanya migrasi, dan fibrosis telah diamati pada
luka kronis, terlepas dari jenis luka yang dialami. Berbeda dengan proses normal
pada penyembuhan luka, terjadi angiogenesis, perekrutan dan aktivasi sel punca,
dan remodeling matriks ekstraseluler telah terbukti terganggu pada kondisi luka
kronis, sedangkan kondisi inflamasi ditemukan persisten dan tidak kunjung
berakhir. Meskipun patologi penyembuhan luka sekarang telah dijelaskan dengan
baik, mekanisme seluler dan molekuler dari gangguan penyembuhan luka masih
dipelajari. Secara khusus, peran mikroorganisme dalam patologi luka kronis tidak
sepenuhnya dipahami dan pentingnya agen antibiotik topikal dalam
pengobatannya terus diperdebatkan.
Gambar 1. Perkembangan penyembuhan luka kulit: fase penyembuhan akut yang
tumpang tindih. Keratinosit epidermis, neutrofil, dan makrofag adalah jenis sel
utama yang terlibat dalam respon inflamasi yang terjadi bersamaan dengan
hemostasis pada tahap awal penyembuhan luka. Kolonisasi luka dengan
mikrobiota komensal dapat meningkatkan penyembuhan luka melalui aktivasi
respon imun bawaan. Pada fase proliferasi, keratinosit berkembang biak dan
bermigrasi, fibroblas bermigrasi dan menyimpan matriks ekstraseluler, dan
terjadilah angiogenesis. Remodeling matriks ekstraseluler menghasilkan
pembentukan jaringan parut dan pemulihan terakhir dari penghalang kulit. Faktor
pertumbuhan dan sitokin yang paling umum ditunjukkan pada gambar. EGF
epidermal growth factor, IL interleukin, TGFβ transforming growth factor-beta,
TNFα tumor necrosis factor alpha, VEGF vascular endothelial growth factor.

Luka memberikan kesempatan bagi mikroorganisme yang berasal dari permukaan


kulit yang merupakan mikrobiota kulit, ditambah dengan mikroorganisme dari
lingkungan, untuk masuk ke jaringan di bawahnya dan menemukan kondisi
optimal untuk kolonisasi dan pertumbuhan. Interaksi mikroorganisme komensal
dengan sel-sel kulit selama proses penyembuhan luka kulit normal dianggap
bermanfaat dalam memodulasi respon imun bawaan. Sebaliknya, mikroorganisme
patogen diduga memainkan peran penting dalam penundaan proses penyembuhan
luka. Dengan demikian, menganalisis komposisi mikrobiota kulit baik pada proses
penyembuhan luka akut maupun yang terganggu sangat diperlukan untuk
mengidentifikasi strategi terapi baru untuk pasien dengan luka kronis.

Dalam ulasan ini, pertama-tama kami membahas manfaat dari kemajuan yang
memungkinkan analisis mikrobiota kulit dan membahas mengenai tantangan
penerapan penelitian terkait pada bidang penyembuhan luka. Setelah menjelaskan
hasil yang diperoleh sejauh ini dan menyajikan aplikasi klinis yang akan datang
pada pasien dengan luka kronis, kami kemudian memberikan informasi terbaru
mengenai mekanisme bakteri yang diidentifikasi dalam penelitian ini dapat
berkontribusi pada penundaan proses penyembuhan luka.

1.1 Analisis Mikrobiota Kulit pada Luka Kronis: Kemajuan dan Tantangan
Teknik berbasis kultur telah digunakan sejak akhir 1800-an sebagai metode
pilihan untuk mengidentifikasi bakteri yang tergolong ke dalam mikrobiota kulit.
Meskipun teknik ini memiliki manfaat, tetapi hanya memungkinkan identifikasi
mikroorganisme yang tumbuh di bawah kondisi laboratorium biasa, yang belum
tentu merupakan mikroorganisme yang paling menonjol. Selain itu, kultur bakteri
anaerob sangat sulit. Bias yang terkait dengan pendekatan berbasis kultur
tampaknya telah diatasi dengan perkembangan terbaru dari sekuensing generasi
berikutnya yang menargetkan gen RNA ribosomal subunit kecil (16S rRNA)
spesifik spesies, sebuah metode yang sekarang dapat diakses secara luas. Teknik
molekuler tanpa kultur ini memungkinkan karakterisasi mikrobiota luka menurut
ketiga dimensi yang dianggap penting untuk memahami perannya dalam
penyembuhan luka. Ketiga dimensi tersebut antara lain jumlah mikroba,
keragaman mikroba, dan keberadaan patogen. Metode sekuensing 16S rRNA telah
menunjukkan sensitivitas tinggi dalam analisis mikrobiota luka, mengungkapkan
keragaman dan jumlah bakteri yang lebih besar daripada metode berbasis kultur
tradisional. Dalam studi mikrobiota pada ulkus kaki diabetikum, teknik berbasis
kultur menunjukkan jumlah bakteri yang lebih renda dengan rata-rata 2,34 log dan
> 6 log dalam beberapa kasus, dan juga gagal mengidentifikasi rata-rata
setidaknya 26 spesies bakteri per ulkus kaki diabetikum apabila dibandingkan
dengan sekuensing 16S rRNA. Demikian juga, dalam studi lain dari luka kronis
dari berbagai etiologi, 17 taksa bakteri yang berbeda diidentifikasi dengan kultur
aerobik, sedangkan 338 taksa bakteri yang berbeda diidentifikasi dalam sampel
yang sama dengan sekuensing 16S rRNA. Sebagai catatan, sembilan dari 20
bakteri paling menonjol yang diidentifikasi dengan sekuensing 16S rRNA dalam
penelitian ini adalah anaerob dan oleh karena itu tidak akan diidentifikasi apabila
kultur aerobik merupakan satu-satunya metode identifikasi yang digunakan.

Meskipun sekuensing 16S rRNA dapat menjadi solusi dalam banyaknya


keterbatasan pendekatan berbasis budaya, tetapi teknik ini memiliki
keterbatasannya sendiri. Dengan memiliki kelebihan yakni banyak bakteri dapat
diidentifikasi menggunakan teknik berbasis molekuler, tetapi kontribusi aktif
bakteri ini terhadap perjalanan penyembuhan luka tidak diketahui. Lebih jauh lagi,
meskipun pengurutan memungkinkan identifikasi perbedaan antara individu yang
“berkemampuan penyembuhan” dan “gangguan penyembuhan”, masalah korelasi
vs sebab-akibat masih tetap ditemukan. Mengumpulkan data longitudinal di
beberapa titik waktu atau menilai komposisi mikrobiota kulit sebelum manifestasi
penyakit atau pada permulaan awal luka dapat membantu untuk menemukan
hubungan penyebab. Selain itu, pendekatan komplementer, termasuk analisis
metagenomik, harus dimasukkan ke dalam studi penyembuhan luka karena
sekuensing 16S rRNA tidak dapat mengidentifikasi mikroorganisme nonbakteri
(misalnya, jamur dan virus), yang juga merupakan mikrobiota kulit dan dapat
mempengaruhi hasil penyembuhan luka. Pendekatan metagenomik (shotgun DNA
sequencing) tidak hanya memungkinkan mengidentifikasi semua genom mikroba
dalam sampel, tetapi juga memungkinkan analisis jalur fungsional dan
metabolisme berdasarkan urutan fragmen DNA di seluruh genom. Tidak seperti
sekuensing 16S rRNA, pendekatan metagenomik memberikan identifikasi
komposisi mikrobioma pada resolusi strain-level.

Di luar metode yang digunakan untuk menyelidiki komposisi mikrobiota kulit,


faktor lebih lanjut harus dipertimbangkan untuk mencapai kualitas tertinggi,
penelitian mikrobioma kulit standar dan memungkinkan reproduktivitas dan
perbandingan antar studi. Dua penelitian terbaru mengidentifikasi potensi jebakan
yang terkait dengan penelitian mikrobiota kulit, dan menetapkan pedoman untuk
melakukan dan melaporkan penyelidikan terkait yang mendorong pertimbangan
desain penelitian, pengumpulan/penyimpanan sampel kulit, pemrosesan sampel,
pendekatan pengurutan, kontrol yang diperlukan, analisis pipelines, dan deposisi
data.

2. Komposisi Mikrobiota pada Luka Kronis

2.1 Individu yang Berisiko Mengalami Luka Kronis

Ulkus kaki diabetikum yang merupakan komplikasi umum dari diabetes, adalah
jenis luka kronis yang luas. Untuk menyelidiki apakah terjadi perubahan
komposisi mikrobiota kulit pada individu yang berisiko terkena ulkus diabetikum,
Redel et al. melakukan studi observasional kasus-kontrol menggunakan high
throughout 16S rRNA sequencing technology untuk menganalisis mikrobiota kulit
dari lengan dan kaki pria diabetes tanpa riwayat ulkus kaki diabetikum
sebelumnya dan dari pria nondiabetes yang sesuai dengan kriteria sebagai kontrol.
Meskipun komposisi mikrobiota dan jumlah bakteri total ditemukan serupa pada
sampel lengan kedua kelompok, tetapi keragaman bakteri ditemukan lebih tinggi
pada sampel kaki plantar pria diabetes dibandingkan dengan pria nondiabetes.
Jumlah relatif Firmicutes lebih rendah pada pria diabetes setelah penyesuaian
untuk tingkat penemuan palsu, sedangkan jumlah Actinobacteria ditemukan lebih
tinggi. Selain itu, sampel kaki plantar pria diabetes menunjukkan jumlah spesies
Staphylococcus secara keseluruhan relatif lebih rendah dibandingkan pria
nondiabetes. Namun, jumlah yang lebih tinggi dari bentuk Staphylococcus aureus
yang lebih ganas menjadi ciri mikrobiota kaki pada pasien diabetes. Perbedaan
mikrobiota kulit antara individu diabetes dan nondiabetes mungkin terkait dengan
risiko pengembangan ulkus kaki diabetik di masa depan. Studi serupa diperlukan
untuk menyelidiki perubahan potensial pada mikrobiota kulit pada populasi
berisiko, misalnya, pasien dengan insufisiensi vena yang berisiko mengalami
ulkus tungkai vena dan pasien dengan cedera medula spinalis yang berisiko
mengalami ulkus dekubitus.

2.2 Individu dengan Luka Kronis

Studi awal yang meneliti mikrobiota pada luka kronis menggunakan sekuensing
16S rRNA tidak menyelidiki korelasi antara komposisi mikrobiota dan
penyembuhan luka. Berdasarkan review dari lima studi mikrobioma, Misic et al.
menemukan sebagian besar bakteri yang ditemukan pada jaringan luka kronis
milik 21 famili, di antaranya Staphylococcaceae dan Pseudomonadaceae yang
dominan terlepas dari etiologi luka dan jenis pengambilan sampel. Selain itu, studi
retrospektif skala besar mikrobiota dari 2963 sampel luka kronis dari berbagai
etiologi menunjukkan bahwa Staphylococcus dan Pseudomonas adalah genera
yang paling umum, diidentifikasi pada 63% dan 25% dari luka, masing-masing.
Staphylococcus aureus dan S. epidermidis adalah spesies yang dominan, dan
spesies Staphylococcus yang resisten methicillin diidentifikasi pada sekitar 25%
dari luka kronis. Sebagai catatan, bakteri komensal termasuk spesies
Corynebacterium dan Propionibacterium, serta bakteri anaerob, sangat lazim
dalam sampel luka kronis yang dianalisis. Akan tetapi, terdapat perbedaan
mikrobiota luka kronis dengan mikrobiota kulit sehat di sekitarnya. Tidak ada
perbedaan signifikan dalam komposisi mikrobiota yang diamati di seluruh jenis
luka. Studi skala kecil tambahan juga mengidentifikasi S. aureus sebagai spesies
yang paling umum pada luka kronis dari berbagai etiologi dan pada ulkus kaki
diabetik neuropatik. Dalam studi oleh Gardner et al. meneliti hubungan antara
komposisi mikrobiota dan faktor klinis diidentifikasi ditemukan keragaman
mikroba yang tinggi, serta peningkatan jumlah relatif bakteri anaerob dan
Proteobakteri Gram-negatif, diamati pada ulkus yang dalam dan pada durasi yang
lama, sedangkan jumlah Staphylococcus, terutama S. aureus, ditemukan pada
ulkus superfisial dan pada ulkus yang berlangsung singkat. Kelompok yang sama
mengevaluasi dinamika temporal dari mikrobiota yang terdapat pada ulkus kaki
diabetik dan menemukan bahwa perubahan yang cepat dan dinamis dalam
mikrobiota dikaitkan dengan penyembuhan yang lebih cepat dan hasil yang lebih
baik. Menggunakan shotgun metagenomics, Kalan et al. mengidentifikasi
perbedaan strain-spesifik dalam mikrobioma ulkus kaki diabetik yang berkorelasi
dengan hasil klinis penyembuhan. Dua isolat S. aureus secara klinis ditemukan
berhubungan dengan luka yang tidak sembuh, SA10757 dan SA7372, dan
penghambatan penyembuhan dikonfirmasi pada model tikus. Sebaliknya, luka
yang terinfeksi Alcaligenes faecalis, bakteri lingkungan yang umum, sembuh
dengan kecepatan yang sama dengan kontrol. Penyelidikan lebih lanjut
mengungkapkan bahwa A. faecalis dikaitkan dengan tingkat tinggi interleukin-8
dan sitokin lain yang meningkatkan penyembuhan luka. Studi-studi ini
menunjukkan bahwa perbedaan tingkat fungsional antara spesies mikrobiota, atau
bahkan antara strain mikrobiota tertentu, mungkin memainkan peran penting
dalam menentukan hasil klinis dari luka kronis.

3. Organisasi Struktural Mikrobiota Kulit pada Luka Kronis: The Biofilm

3.1 Deskripsi dan Karakteristik Biofilm pada Luka

Mikroorganisme yang termasuk ke dalam mikrobiota luka kronis telah terbukti


diatur dalam biofilm, yaitu, komunitas mikroba kompleks yakni bakteri dan jamur
yang dikelilingi oleh matriks polimer yang terdiri dari polisakarida, lipid, protein,
dan asam nukleat. Menggunakan teknik mikroskop elektron cahaya dan
pemindaian, James et al. mengidentifikasi biofilm pada 60% luka kronis tetapi
hanya 6% pada luka akut. Dalam tinjauan sistematis dan pengumpulan data
metaanalisis dari delapan studi kohort prospektif termasuk 185 luka kronis dan
satu seri laporan kasus, prevalensi bioflm pada luka kronis manusia yang tidak
sembuh dinilai dengan mikroskop yang terkait dalam beberapa kasus dengan
metode molekuler-adalah 78,2%, bervariasi antara 60 dan 100%. Oleh karena itu,
biofilm diduga berkontribusi terhadap patologi luka kronis dan gangguan
penyembuhan luka.

3.2 Dapatkah Biofilm pada Luka Kronis Digunakan untuk Tujuan


Diagnostik?

Karena dominasi biofilm pada luka kronis dan peran bakteri yang mampu
membentuk biofilm dalam gangguan penyembuhan luka (lihat Bagian 4.1),
perangkat atau metode yang dapat dengan cepat mendeteksi keberadaan biofilm
pada luka akan berguna untuk mengembangkan pilihan pengobatan yang efektif
dan untuk memantau kemajuan pengobatan. Schultz dan Sampson menjelaskan
satu metode untuk mendeteksi biofilm berdasarkan pewarnaan dengan rutenium
merah atau biru Alcian untuk mendeteksi mukopolisakarida dari matriks biofilm.
Dalam studi observasional prospektif yang menguji penerapan klinis dari metode
non-invasif ini, Nakagami et al. menemukan bahwa teknik tersebut dapat
digunakan untuk memprediksi perubahan dalam pengembangan pengelupasan
luka (bioflm) pada pasien dengan ulkus dekubitus yang telah menjalani sharp
debridement dan pencucian luka sebelum deteksi biofilm. Dalam studi
observasional retrospektif yang lebih baru, kelompok yang sama menunjukkan
bahwa metode deteksi biofilm ini dapat digunakan untuk memantau efek eliminasi
biofilm dengan sharp debridement: 1 minggu setelah blotting, persentase
penurunan area luka secara signifikan lebih tinggi pada kelompok yang tanpa
biofilm daripada kelompok dengan biofilm yang masih tersisa, dan keberadaan
biofilm yang tersisa merupakan faktor prediktif independen untuk persentase
penurunan yang lebih rendah di area luka. Hasil ini menunjukkan bahwa
penghilangan bioflm menggunakan sharp debridement meningkatkan
penyembuhan ulkus dekubitus. Oleh karena itu, metode cepat dan non-invasif ini
dapat berguna untuk membantu dokter menghilangkan seluruh biofilm dengan
mendeteksi dan memetakan distribusinya pada luka. Sebuah uji klinis yang lebih
besar diperlukan untuk memvalidasi metode ini untuk penggunaan klinis.

4. Mekanisme dimana Mikrobiota Kulit Berkontribusi pada Penyembuhan


Luka yang Tertunda: Temuan dari Model Eksperimental

4.1 Bakteri Ekstraseluler Ditemukan pada Biofilm

Bioflm dapat berkembang dari satu spesies bakteri atau jamur, dapat bersifat
polimikrobial (yaitu terdiri dari beberapa spesies), atau bahkan dapat menjangkau
kingdom yang tersusun dari bakteri dan jamur yang berinteraksi. Beberapa
penelitian telah melaporkan bahwa sebagian besar luka kronis yang tidak sembuh
bersifat polimikroba, termasuk analisis retrospektif skala besar yang dilakukan
oleh Wolcott et al. di mana 93% (n = 2963) sampel dari luka berbagai etiologi
adalah polimikroba. Dengan demikian, penelitian mengenai crosstalk antara
spesies sangat penting untuk memahami regulasi penyembuhan luka. Dengan
tujuan ini, kelompok kami menggunakan model luka babi yang mapan untuk
mempelajari interaksi antara dua spesies bakteri paling umum yang diidentifikasi
pada luka akut dan kronis dari berbagai etiologi yakni S. aureus dan
Pseudomonas aeruginosa. Menggunakan methicillin-resistant S. aureus (MRSA)
USA300 0114 dan isolat luka klinis P. aeruginosa, kami menemukan bahwa
kedua spesies hidup berdampingan dalam luka kulit babi secara in vivo. Kami
juga menemukan bahwa MRSA tidak mempengaruhi pertumbuhan P. aeruginosa,
tetapi P. aeruginosa mengurangi pertumbuhan MRSA dalam biofilm spesies
campuran baik in vivo maupun in vitro, dengan efek yang lebih rendah diamati
secara in vivo daripada in vitro. Selain itu, keberadaan P. aeruginosa pada luka
koinfeksi menyebabkan ekspresi dua faktor virulensi MRSA yang lebih tinggi:
Panton-Valentine leukocidin (pvl) pada hari ke-2 dan ke-4 pasca-luka, dan -
hemolysin (Hla) pada hari ke-4. pasca-luka. Kami juga menemukan bahwa
dibandingkan dengan luka yang tidak terinfeksi dan luka yang terinfeksi dengan
bioflm spesies tunggal, luka yang koinfeksi dengan P. aeruginosa dan MRSA
menunjukkan epitelisasi yang tertunda melalui penurunan regulasi ekspresi faktor
pertumbuhan keratinosit 1. Faktor pertumbuhan keratinosit 1 terutama diproduksi
oleh fibroblas selama proses penyembuhan luka akut dan diketahui memainkan
peran penting dalam epitelisasi ulang dengan merangsang proliferasi dan migrasi
keratinosit secara parakrin. Sebagai kesimpulan, kami mengamati bahwa interaksi
dalam biofilm spesies campuran menghasilkan penurunan beban tetapi
meningkatkan virulensi MRSA, dan secara signifikan menunda penyembuhan
luka dibandingkan dengan luka yang tidak terinfeksi dan luka yang terinfeksi
dengan biofilm spesies tunggal. Temuan serupa dari model infeksi luka murine
dan kelinci menggarisbawahi kontribusi lingkungan luka polimikrobial terhadap
gangguan respon host dan penghambatan penyembuhan. Studi masa depan yang
menggunakan metatranskriptomik (pengurutan transkrip RNA) dengan
kemampuan untuk mengidentifikasi berbagai gen yang ditranskripsi secara aktif
dari inang dan mikrobioma akan memungkinkan analisis mendalam mengnai
interaksi host-mikroba pada luka.

4.2 Niche Bakteri Intraseluler

Meskipun bioflm memainkan peran penting dalam infeksi berulang yang diamati
pada pasien dengan luka kronis, terdapat faktor lain yang ditemukan terlibat
dalam infeksi luka kronis. Kami berhipotesis bahwa, selain bakteri ekstraseluler,
niche mikroba intraseluler berkontribusi pada gangguan penyembuhan luka.
Keratinosit merupakan barier seluler pertama terhadap infeksi pada tingkat kulit.
Seperti sel imun bawaan, mereka baru-baru ini ditunjukkan untuk
mengekspresikan Perforin-2 (P-2) secara konstitutif pada tikus dan manusia.
Perforin-2 adalah protein imun bawaan kuno yang diteruskan dari spons ke
manusia. Perforin-2 terletak di dalam membran vesikel endosom, yang melalui
dan menyatu dengan fagosom yang mengandung bakteri sehingga memungkinkan
eliminasi bakteri intraseluler. Perforin-2 telah terbukti penting untuk pembersihan
berbagai patogen Gram-positif dan Gram-negatif yang menjelaskan mengenai
peran penting Perforin-2 dalam respon antimikroba bawaan dari host.

Untuk menentukan peran bakterisida dari P-2 melawan MRSA secara in vivo,
kelompok kami mempelajari efek menginfeksi tikus dengan kondisi kekurangan
P-2, tikus heterozigot, dan tikus tipe liar dengan beban MRSA yang secara
tradisional sub-letal setelah tape stripping. Dua belas hari setelah infeksi epikutan
MRSA, MRSA hanya dapat dipulihkan dari organ internal pada beberapa tikus
heterozigot, sedangkan tikus tipe liar hanya memiliki unit pembentuk koloni yang
dapat dipulihkan di kulit. Namun, unit pembentuk koloni bakteri ditemukan dari
darah, limpa, dan ginjal semua tikus yang kekurangan P-2. Hewan-hewan ini
gagal mengeliminasi MRSA dan akhirnya terjadi infeksi yang lebih luas. Kami
juga telah menyelidiki ekspresi P-2 dan distribusi seluler pada kulit manusia.
Menggunakan hibridisasi in situ yang diperkuat dengan teknik penyortiran sel
(FISH-Flow), kami menemukan bahwa transkrip P-2 terdeteksi dalam sel gamma
delta T, sel endotel, keratinosit, dan fbroblas, yang mengkonfirmasi ekspresi P-2
oleh sel imun profesional dan nonprofesional (Gbr. 2). Selain itu, kami
menemukan bahwa garis sel keratinosit yang mengekspresikan protein fusi P-2-
GFP secara berlebihan membersihkan infeksi S. aureus intraseluler lebih efisien
daripada sel kontrol, mendukung temuan kami tentang pentingnya P-2 dalam
eliminasi bakteri di kulit. Kami juga menggunakan model luka manusia ex vivo
untuk mengevaluasi ekspresi P-2 selama penyembuhan luka dan untuk
menentukan bagaimana tingkat perubahan sebagai respons terhadap patogen kulit
dan luka yang paling umum yakni S. aureus. Kami menemukan bahwa meskipun
ekspresi P-2 diinduksi selama penyembuhan luka, infeksi S. aureus menghambat
ekspresi P-2 pada sel hematopoietik dan nonhematopoietik yang mengakibatkan
penghambatan penutupan luka (Gbr. 2).

Gambar 2. Imunitas kulit diatur secara berbeda oleh mikroorganisme komensal


dan patogen melalui modulasi Perforin-2. a Kolonisasi luka dengan bakteri
komensal dapat meningkatkan penyembuhan luka dengan menginduksi protein
antimikroba seperti Perforin-2, sehingga merangsang respon imun protektif
terhadap bakteri patogen. b Infeksi luka dengan bakteri patogen menyebabkan
supresi Perforin-2 baik pada sel hematopoietik maupun nonhematopoietik dan
penghambatan penyembuhan

Sebaliknya, komensal kulit, termasuk S. epidermidis, telah ditemukan


mempromosikan penyembuhan dan menginduksi ekspresi antimikroba yang
berbeda. Mengingat prevalensi S. aureus pada luka kronis, tampaknya penekanan
S. aureus terhadap P-2 meningkatkan persistensi bakteri di lokasi luka yang
mengakibatkan kronisitas luka. Sebaliknya, keberadaan bakteri komensal dapat
memodifikasi kulit dan lingkungan luka untuk mencegah atau mengatasi infeksi
luka bakteri. Studi lebih lanjut tentang mekanisme aksi P-2 memiliki potensi
untuk memberikan kemajuan besar dalam pemahaman kita tentang kekebalan
bawaan di kulit, dan wawasan yang diperoleh dapat diterapkan pada penyakit
yang membahayakan barier kulit tanpa menyebabkan luka kronis, seperti
dermatitis atopik.

5 Kesimpulan dan Perspektif

Kemajuan terbaru telah memungkinkan karakterisasi bakteri yang lebih baik pada
luka kronis. Lebih penting lagi, studi terbaru tidak hanya menggambarkan "apa
yang ada?", tetapi juga membangun korelasi dengan hasil penyembuhan luka dan
memberikan wawasan tentang "apa yang dilakukannya?". Ini adalah area
penyelidikan aktif yang secara terus menerus mengungkapkan jalur potensial baru
untuk intervensi terapeutik untuk pasien dengan luka kronis. Mikroorganisme
yang merupakan "mikrobiota luka kronis" terutama dalam bentuk biofilm
polimikroba. Interaksi antara spesies yang berbeda dalam lingkungan
polimikrobial telah terbukti dinamis dan mengubah perilaku bakteri,
menghasilkan peningkatan virulensi dan penyembuhan luka yang tertunda.
Penting untuk menyelidiki lebih lanjut interaksi mikrobiota-host tersebut untuk
mengidentifikasi terapi potensial terbaru. Penelitian kami sendiri menunjukkan
bahwa bakteri yang kebal terhadap antibiotik dapat mengalahkan peran P-2,
sehingga mencegah bakteri untuk terbunuh. Memahami bagaimana salah satu
kolonisasi luka yang paling sering, S. aureus, menghindari aktivitas antimikroba
P-2, serta bagaimana bakteri komensal dapat mencegah atau membalikkan efek
penghambatan patogen, akan memberikan wawasan baru yang mendasar tentang
mekanisme rumit yang bakteri komensal dan patogen memediasi crosstalk dengan
sistem kekebalan kulit selama penyembuhan luka. Memahami mekanisme aktivasi
P-2 akan memungkinkan pengembangan terapi untuk membersihkan patogen luka
kronis yang resisten antibiotik. Juga menarik untuk menilai apakah analisis
molekuler mikrobiota luka kronis dapat digunakan untuk menentukan kemanjuran
pengobatan dan meningkatkan pengembangan terapi baru. Karena kompleksitas
dan dinamika proses penyembuhan luka kulit, pengembangan pengobatan
kombinasi—menargetkan host dan mikrobioma—mungkin diperlukan untuk
meningkatkan penyembuhan dan mencegah serta mengobati infeksi pada luka,
kulit, dan jaringan lunak.

Anda mungkin juga menyukai