Anda di halaman 1dari 57

IMUNISASI DAN TERAPI GEN DALAM

KONTROL KARIES

SURYA DINATA
NPM. 160421170007

PEMBIMBING:
PROF. DR. YETTY HERDIYATI., SP. KGA(K)

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
BANDUNG
2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI v
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II TERAPI IMUN 4
2.1 Imunologi Umum 4
2.1.1 Respon Imun Tidak Spesifik 5
2.1.2 Respon imun spesifik 7
2.1.3 Antigen dan Imunogenisitas 8
2.1.4 Imunogenisitas 10
2.1.5 Imunoglobulin 14
2.1.6 Kelas Imunoglobulin 15
2.2 Imunologi Karies Gigi 19
2.2.1 Respon Imun Terhadap Bakteri Penyebab Karies Gigi 21
2.2.2 Komponen antigenik S. mutans yang ditargetkan oleh vaksin 23
2.2.3 Respon imun pada karies gigi 25
2.2.4 Imunisasi terhadap karies gigi 28
2.2.5 Faktor Resiko Penggunaan Vaksin Karies28
2.3 Penerapan Imunisasi Pada Manusia 30
2.3.1 Imunisasi Aktif 30
2.3.2 Imunisasi Pasif 30
2.4 Jalur-Jalur untuk Imunisasi 30
2.4.1 Rute Oral 31
2.4.2 Kelenjar saliva minor 32
2.4.3 Rute sistemik 32
2.4.4 Rute Aktif Gingivo-Saliva 33
2.5 Penelitian-penelitian yang berkaitan 35
BAB III TERAPI GEN 38
3.1 Definisi 38
3.2 Mode Pengiriman Gene dalam Terapi Gen 39
3.3 Prinsip Umum dari Transfer Genetika 40
3.4 Kegunaan Terapi Gen dalam Kedokteran Gigi 43
3.4.1 Perbaikan Tulang43
3.4.2 Terapi Gen untuk Kelenjar Ludah 44
3.4.3 Replacement Therapy 46
3.4.4 Rekayasa Genetik, produk Basa–Streptococci 50
BAB IV SIMPULAN 52
DAFTAR PUSTAKA 54
BAB I PENDAHU

LUAN

Karies adalah salah satu penyakit yang paling umum terjadi pada manusia

yang lazim baik di negara maju, berkembang, dan terbelakang dan tersebar tidak

merata di antara populasi. Di dunia modern, ia telah mencapai proporsi epidemi.

Kenaikan prevalensi karies gigi secara global ini mempengaruhi anak-anak

maupun orang dewasa, gigi primer maupun permanen, dan permukaan koronal

dan akar. Karies gigi masih merupakan masalah kesehatan mulut utama di

sebagian besar negara industri, yang mempengaruhi 60-90% anak sekolah dan

sebagian besar orang dewasa. Ini juga merupakan penyakit mulut yang paling

lazim di beberapa negara Asia dan Amerika Latin. Lebih dari 60% anak-anak

berusia 5 sampai 17 tahun di Amerika Serikat telah membusuk, kehilangan, atau

mengisi gigi permanen karena karies gigi dan 91% orang dewasa memiliki

pengalaman karies.1
Karies gigi adalah salah satu penyakit masa kanak-kanak yang paling

umum. Diperkirakan lebih dari 90% populasi dunia akan mengalami karies gigi

setidaknya sekali selama masa hidup mereka (Marchisio 2010). Karies gigi

dianggap sebagai salah satu penyakit yang paling umum pada manusia di semua

kelompok usia karena mereka mempengaruhi 60-90% populasi dunia (Petersen

2005).2
Karies gigi terbentuk melalui interaksi kompleks antara bakteri penghasil

asam dan karbohidrat yang dapat difermentasi, dan banyak faktor host termasuk

gigi dan air liur. Penyakit ini berkembang baik pada mahkota dan akar gigi, dan

1
bisa timbul pada anak usia dini sebagai kerusakan gigi agresif yang

mempengaruhi gigi utama bayi dan balita. Kelompok mikroorganisme yang luas

dapat diisolasi dari lesi karies yang Streptococcus mutans, Lactobacillus

acidophilus, Lactobacillus fermentum, Actinomyces viscosus adalah spesies

patogen utama yang terlibat dalam inisiasi dan perkembangan lesi karies. Bakteri

kariogenik ini mampu menghasilkan asam dengan memanfaatkan gula yang ada

dalam makanan. S. mutans adalah spesies yang paling umum di antara semua

mikroorganisme dan telah terlibat sebagai organisme penyebab karies gigi.1


Karies yang disebabkan oleh sekelompok mikroorganime streptokokus, terutama

terdiri dari Streptococcus mutans. Terjadi dalam tiga fase : 1) Interaksi awal

dengan permukaan gigi yang di mediasi oleh adhesins; 2) akumulasi dari bakteri

dalam sebuah biofilm dan 3) Pembentukan asam laktat.3


Meskipun kita bertahun-tahun telah mengenal bahwa karies merupakan

penyakit infeksius, management terhadap karies baik tahap awal dan tahap

lanjutan dari penyakit masih dilaksanakan hanya berupa pemeriksaan dan

perawatan di tempat praktik saja. 3


Saat ini berbagai strategi pencegahan karies sudah di gunakan seperti

pendidikan kesehatan gigi, pengendalian kimia dan mekanis plak, penggunaan

fluorida, penerapan pit dan fissure sealant dll. Banyak dari pendekatan ini dapat

efektif secara luas. Namun, hambatan ekonomi, perilaku, atau budaya yang

mereka gunakan telah melanjutkan epidemi dental caries.1


Metode pencegahan di masa yang akan datang berupa Replacement

therapy (Probiotik) dan / Vaccines. Pada individu dengan karies aktif, bakteri

yang tahan terhadap asam dan asidogenik diantaranya seperti streptococcus mutan

dan laktobacilus berikatan relatif dengan bakteri sensitive terhadap asam pada

2
enamel yang sehat.3 Melalui pengembangan vaksin efektif yang sangat sesuai

untuk aplikasi kesehatan masyarakat terutama di lingkungan yang tidak

memberikan layanan kesehatan reguler.1

BAB II

TERAPI IMUN

II.1 Imunologi Umum

Dalam menangani serangan bakteri yang dapat menimbulkan infeksi atau

kerusakan jaringan, tubuh manusia dibekali sistem pertahanan untuk melindungi

dirinya. Sistem pertahanan tubuh dikenal sebagai mekanisme imunitas alamiah,

merupakan tipe pertahananan yang mempunyai spektrum luas, yang tidak hanya

ditujukan kepada antigen yang spesifik. Namun di dalam tubuh manusia juga

3
ditemukan mekanisme imunitas yang didapat yang hanya diekspresikan dan

diaktifkan karena paparan antigen yang spesifik. Tipe ini dapat dikelompokkan

menjadi imunitas yang di dapat secara aktif dan di dapat secara pasif.4

Mekanisme imunitas tubuh juga dapat dikelompokkan menjadi sistem

imunitas spesifik dan tidak spesifik. Sistem imunitas tidak spesifik, dapat

bereaksi terhadap segala jenis zat asing atau mikroorganisme potensial.

Sedangkan sistem imunitas spesifik hanya pada satu macam mikroorganisme yang

mengaktifkan sistem itu.4

Pada saat dilahirkan manusia hanya di bekali imunitas tidak spesifik

sedangkan imunitas spesifik berkembang karena pengalamannya dengan

mikroorganisme patogen. Namun imunitas spesifik dapat diberikan ibunya pada

saat di dalam kandungan. Baik imunitas spesifik dan non-spesifik reaksi dapat

bersifat humoral dan seluler. Dalam menjalankan tugasnya ke dua sistem tersebut

dapat bekerjasama.4

Mekanisme pertahanan alamiah dapat dikelompokkan menjadi garis

pertahanan pertama yang meliputi barier anatomik, fisiologik, dan biokimiawi,

serta garis pertahanan kedua yang lebih didominasi oleh elemen seluler seperti sel

fagosit termasuk polimorfonuklear (PMN) neutrofil, monosit, dan makrofag.4

Tipe Imunitas Asal Teladan


Tidak spesifik - Membran mukosa, sel

fagositik, sekresi enzim,

interferon
Spesifik Alamiah Transfer antibodi lewat

4
plasenta, sembuh dari sakit
Artifisial Pemberian Antitoksin,

Vaksinasi
Tabel 1

II.1.1 Respon Imun Tidak Spesifik

Pertemuan host dengan bakteri, terdapat dua mekanisme pertahanan

utama. Diawali dengan mobilisasi sel fagosit ke daerah beradanya bakteri yang

merupakan bagian dari respon inflamasi diikuti perubahan pada bagian humoral

host dan peristiwa fagositosis.4

Inflamasi

Menyertai kerusakan jaringan akibat bakteri, didalam tubuh host akan

terjadi perubahan-perubahan seluler dan sistemik sebagai usaha untuk

mempertahankan homeostasis, yang dikenal dengan respon inflamasi. Bila terjadi

infeksi bakteri, jumlah leukosit akan meningkat. Sebagai respon fase akut,

fibrinogen, faktor Hageman, aktifitas fibrinolisis, dan pembentukkan eritrosit juga

meningkat.4

Respon demam merupakan reflek untuk meningkatkan aktifitas

metabolisme selama terjadi kerusakan jaringan. Sejumlah komponen protein

plasma, seperti protein C-reaktif (CRP), α 1-antitripsin, α2- makroglobulin,

5
seruloplasmin, C9, dan juga faktor B yang secara kolektif disebut fase akut, yang

secara dramatis akan meningkat kadarnya sebagai respon terhadap infeksi. CRP

yang dilepaskan oleh hati sebagai respon terhadap pirogen, endogen, berasal dari

makrofag yanng terstimulasi endotoksin, kadarnya dapat meningkat sampai

dengan 1000 kali. Pada infeksi virus, kadar α-interferon, agen antiviral yang tidak

spesifik, juga meningkat karena fungsinya menghambat replikasi virus

intraseluler.4

Fagositosis

Setelah diimobilisasi, sel-sel fagosit seperti PMN neutrofil, monosit,

makrofag, akan menyerang sel target dengan cara menelan dan

menghancurkannya. Bila menemukan sel target sel fagosit bergerak ke arah objek

karena efek kemotaksis, lalu terjadi perlekatan sel target pada fagosit. Melalui

mekanisme endositosis, sel target di telan dan dihancurkan. Penghancuran intra

seluler ini, melalui suatu seri reaksi biokimia yang kompleks, melibatkan berbagai

enzim dan senyawa kimia lainnya.4

II.1.2 Respon imun spesifik

Definisi

Imunologi merupakan studi tentang mekanisme dan fungsi sistem imunitas

tubuh yang timbul sebagai akibat pemaparan terhadap zat asing, dan usaha untuk

mengeliminasi serta menetralisasi zat asing tersebut berikut produk-produknya.4

6
Fungsi

Pada masa lalu, fungsi sistem imun hanya dianggap untuk pertahanan

tubuh, namun sebenarnya jangkauannya lebih luas lagi. Tujuan utamanya adalah

untuk homeostasis, yaitu untuk menjaga keseimbangan di dalam tubuh. Untuk

tujuan homeostasis, sistem imun bertindak sebagai pertahanan tubuh terhadap

serangan mikroorganisme. Selain itu sistem ini berfungsi melakukan surveilance

(pengawasan) karena memiliki daya ingat. Dalam melakukan fungsi pegawasan

semua komponen yang bekerja dalam sistem ini selalu berpatroli mengelilingi

tubuh. 4

Karakteristik

Sistem imunitas spesifik, mempunyai sifat-sifat khusus yang sangat

penting. Sistem ini mempunyai daya ingat (memori), spesifisitas, dan mampu

mengenali antigen asing (Non self). Ketiga karakteristik ini yang membedakan

antara imunitas spesifik dan imunitas non spesifik.4

Bila sistem ini sudah diaktifkan terhadap antigen asing tertentu, selamanya

sistem ini mampu mengenali antigen tersebut karena mempunyai daya ingat.

Dengan demikian, di dalam tubuh selalu tersedia pertahanan terhadap antigen

asing yang pernah masuk ke dalam tubuhnya.4

7
Sistem imunitas ini dikatakan spesifik karena mempunyai spesifisitas,

yang artinya daya ingat dan daya imun yang diakifkan terhadap satu organisme

dan tidak mempunyai efek proteksi terhadap organisme lain. Jadi secara spesifik

sistem imun dapat membedakan antar dua mikroorganisme. Kemampuan

menemukan dan mengenali satu antigen dengan antigen lainnya merupakan hal

yang penting dalam imunitas spesifik. Namun, yang penting dikenali adalah

antigen asing (non-self). Kesalahan membedakan self dan non-self akan

mengakibatkan disintesisnya antibodi terhadap organ tubuh sendiri

(autoantibodi).4

II.1.3 Antigen dan Imunogenisitas

Suatu substansi dikatakan sebagai antigen bila mempunyai dua sifat.

Pertama, imunogenisitas yang maksudnya kemampuan untuk menginduksi

respon imun spesifik dengan membentuk antibodi dan atau membangkitkan

imunitas seluler. Kedua, reaksi spesifik yaitu substansi tersebut harus juga

bereaksi secara spesifik dengan antibodi atau sel yang memproduksinya.

Berdasarkan kedua sifat tadi dapat dikatakan bahwa antigen adalah suatu

substansi yang mempunyai sifat imunogen dan dapat bereaksi secara spesifik. 4

Ada beberapa substansi yang mempunyai sifat kedua tanpa sifat pertama

yaitu contohnya hapten yang molekulnya kecil. Senyawa ini tidak dapat

merangsang pembentukan antibodi tetapi dapat bereaksi spesifik dengan antibodi.

Bila hapten berikatan dengan molekul karier, barulah bersifat imunogenik. Contoh

hapten adalah dinitrofenol, dan penisilin, sedangkan molekul kariernya bisa

albumin, globulin, atau polipeptida spesifik. Oleh karena itu dapat dikatakan

8
bahwa imunogen adalah antigen, tetapi antigen belum tentu imunogen. Selain itu

dikenal juga adanya alergen yaitu antigen yang dapat menimbulkan reagin (IgE)

dengan hasil akhir bukan kekebalan, melainkan reaksi hipersensitifitas (alergi)

yang tidak menguntungkan host.4

Bagian molekul antigen yang mampu bereaksi dengan antibodi disebut

gugus determinan yang menentukan spesifisitasnya. Spesifisitas respon imun yang

diaktifkan juga karena induksi determinan ini. Antibodi bereaksi spesifik dengan

gugus determinan antigen walaupun antigennya hanya merupakan molekul kecil,

misalnya hanya terdiri atas 4 atau 5 sama amino. Hapten juga merupakan gugus

determinan, walaupun hapten artifisial sedangkan gugus determinan alamiah.

Biasanya antigen merupakan makro molekul, multivalen dan banyak mengandung

gugus determinan. Molekul antigen dapat di manipulasi dengan mengubah

determinannya. Misalnya, penisilin yang menimbulkan alergi, derivatnya juga

dapat bertindak sebagai hapten.4

Secara garis besar antigen dapat dikelompokkan menjadi antigen eksogen

dan antigen endogen. Antigen eksogen berasal dari luar inang, bisa dalam bentuk

mikroorganisme, obat-obatan, atau polutan. 4

II.1.4 Imunogenisitas

Imunogenisitas suatu molekul, ditentukan oleh beberapa faktor dengan

formula:

Imunogenisitas = <keasingan> <Kompleksitas><Ukuran molekul>

9
Antigen harus berupa material asing untuk host. Walaupun merupakan organ host

sendiri, bila tidak dikenali atau dianggap asing oleh host, maka akan dianggap

sebagai imunogen.

Hubungan material asing dan host dapat dikelompokkan menjadi : 4

1. Autolog, materi berasal dari individu yang sama jadi bukan merupakan

material asing hingga tidak merangsang produksi antibodi. Contohnya,

transplantasi kulit dengan jaringan cangkok yang berasal dari individu itu

sendiri, tidak akan menimbulkan reaksi penolakan.

2. Singeneik, material berasal dari saudara sekandung atau kembar identik

hingga struktur genetiknya identik. Misalnya cangkok antar saudara

kandung merupakan cangkok singeneik atau isograf

3. Alogenik atau homolog, material berasal dari spesies yang sama tetapi

berbeda individu. Teladannya, transplantasi ginjal dari ibu ke anak,

cangkoknya disebut homograf atau alograf

4. Xenogeneik atau heterolog, material berasal dari spesies yang berbeda.

Semakin besar perbedaan filogenetiknya, semakin tinggi tingkat

keasingannya. Misalnya, cangkok ginjal dari monyet ke manusia dengan

cangkok xenograf.

5. Isoantigen atau aloantigen, berarti material dari anggota tertentu seperti

substansi golongan darah.

10
6. Heterofil atau anti heterogenetik, merupakan antigen yang terdapat pada

spesies berbeda. Contohny spirokaeta penyebab sifilis, mempunyai antigen

identik dengan hapten pada otot jantung sapi. Antigen heterofil ini

digunkan sebagai dasar tes sifilis. 4

Otak dan lensa mata tidak mempunyai kelenjar limfatik sehingga tidak punya sel

yang mempunyai antibodi. Karena itu jarang terjadi reaksi tolakan pada

tranplantasi lensa mata. Apabila terjadi sesuatu dan melepaskan antigen terpisah

(sequestered antigen), akan mengakibatkan kelainan autoimun. Beberapa organ

juga dapat berlaku sebagai antigen misalnya, tiroid merupakan antigen organ-

spesifik. Tiroid dari berbagai spesies mengandung antigen tiroid.4

II.1.4.1 Kompleksitas

Kompleksitas suatu imunogen, ditentukan oleh sifat-sifat fisik dan

kimianya. Dalam bentuk monomer, suatu protein dapat ditoleransi oleh host,

tetapi dalam bentuk agregat polimer protein tadi menjadi sangat imunogen.

Beberapa imunogen tidak dapat menginduksi respon imun bila dalam keadaan

murni, namun menjadi imunogenik bila menjadi partikel besar. Polipeptida atau

polisakarida linear atau bercabang mampu merangsang respon imun. Antibodi

yang dibentuk karena stimulasi struktur konformasi yang berbeda, sangat spesifik.

Bila imunogen mengalami perubahan konformasi, antibodi yang diinduksi oleh

struktur aslinya tidak dapat berkombinasi lagi. Bila gugus determinan imunogen

terdiri atas sekuen asam amino dari bagian yang berbeda suatu rantai polipeptida

11
berlipat, antibodi yang dibentuk terhadap determinan tadi tidak dapat

berkombinasi lagi bila rantai polipeptida tadi mengalami denaturasi.4

Muatan listrik pada antigen tidak mempengaruhi imunogenitasnya. Namun

muatan imunogen akan menghasilkan antibodi dengan muatan berlawanan.

Imunisasi dengan imunogen bermuatan positif, menghasilkan antibodi bermuatan

negatif.4

Protein merupakan imunogen potensial karena molekulnya besar,

kerangkanya tersusun dari sekuen asam amino yang mempunyai banyak gugus

determinan dengan spesifitasnya yang berbeda. Sebagai imunogen protein dapat

dalam keadaan murni, dalam bentuk lipoprotein, dalam bentuk glikoprotein,

maupun dalam bentuk nukleoprotein. Respon imun total terhadap suatu protein

merupakan jumlah dari seluruh antibodi individual setiap gugus yang determinan

yang terbentuk. 4

TIPE SUMBER
Protein Protein serum, produk-produk mikroba (toksin), enzim
Lipoprotein Lipoprotein serum, membran sel
Polisakarida Kapsul bakteri pneumokokus
Glikoprotein Substansi golongan darah A dan B
Polipeptida Hormon (insulin, hormon-hormon pertumbuhan)
Asam nukleat DNA untai tunggal
Lipopolisakarida Dinding sel bakteri gram negatif (endotoksin)
Tabel 2

12
II.1.4.2 Ukuran Molekul

Semakin besar ukuran suatu molekulnya, suatu material merupakan

antigen yang sangat baik walaupun ada pengecualian yaitu bila dianggap bukan

sebagai benda asing. Dalam hal imunogenisitasnya, ukuran molekul penting

artinya karena semakin besar suatu protein semakin banyak gugus determinannya.

Disamping itu, molekul besar pasti akan difagositosis dan ini akan mempercepat

pembentukan antibodi karena sudah diproses oleh makrofag.4

Agar menjadi suatu imunogen yang efektif suatu material harus mempunyai berat

molekul diatas 10000. Beberapa molekul kecil seperti insulin (BM 5.000) dan

glukagon (BM 4.600) dapat berfungsi sebagai imunogen, namun respon imun

yang ditimbulkan sangat sangat kecil pada beberapa host. Agar BM nya

meningkat maka molekul ini harus digandeng dengan suatu karier protein agar

Bmnya meningkat di atas 10000 sehingga dapat menginduksi respon imun yang

kuat, Respon imun terhadap kompleks hapten_protein dapat terjadi melalui hapten

dan/ atau kariernya, Pada imunitas humoral, spesifisitasnya terutama terhadap

hapten, sedangkan pada imunitas seluler reaktivitasnya terhadap hapten dan

protein kariesrnya.4

II.1.5 Imunoglobulin

Antibodi merupakan molekul protein kompleks yang diproduksi oleh sel

plasma atau beberapa limfosit dan berperan dalam sistem imunitas humoral.

Substansi ini dapat ditemukan di beberapa lokasi, seperti pusat germinal nodus

limfatik, folikel limfoid, tonsil, adenoid, bercak-bercak peyer sepanjang saluran

13
pencernaan, beberapa sel yang beredar dalam sirkulasi, serta cairan sekresi

eksternal.4

Imunoglobulin merupakan glikoprotein yang terdiri atas 82-96%

polipeptida dan 4-18 % karbohidrat. Antibodi merupakan molekul bifungsional

yang dapat mengikat antigen dengan spesifik dan dapat menimbulkan berbagai

fenomena sekunder seperti fiksasi komplemen atau penglepasan histamin oleh sel

mast. Molekul antibodi sangat heterogen, hal ini dapat dilihat baik dari

spesifitasnya terhadap antigen maupun perbedaan aktifitas biologiknya.

Heterogenisitas antibodi dapat ditunjukkan melalui reaksi serologik,

elektroforesis, atau metode sekuensing asam amino.4

II.1.6 Kelas Imunoglobulin

Berdasarkan perbedaan antigenik pada regio konstan rantai-H,

imunoglobulin dapat diklasifikasikan secara formal, yaitu IgG, Ig A, IgM, IgD,

dan IgE. Selain itu berdasarkan perbedaan antigenik minor pada regio CH, antibodi

dapat dibedakan menjadi beberapa subkelas. IgG mempunyai 4 subkelas, IgA dan

IgM mempunyai 2 subkelas. Rantai-L mempunyai dua kelas, yaitu tipe κ dan tipe

λ. Setiap kelas imunoglobulin mungkin mempunyai rantai L tipe κ dan tipe λ,

tetapi tidak pernah satu rantai mempunyai tipe κ dan tipe λ sekalligus.4

II.1.6.1 Imunoglobulin G

Merupakan imunoglobulin dominan di dalam tubuh manusia tersebar baik

dalam vaskularisasi maupun di dalam ruang ekstravaskular. Jumlahnya sekitar

14
75% dari total imunoglobulin serum. Struktur IgG merupakan prototipe dari

semua bentuk imunoglobulin, mempunyai molekul globular dan pada

elektroforesis bergerak lambat pada pH 8,6. Waktu paruh sekitar 23 hari. Reseptor

IgG terlihat pada monosit manusia, PMN leukosit, sel RES di dalam limfa dan

hati, serta pada beberapa limfosit. 4

IgG merupakan satu-satunya imunoglobulin yang dapat melewati plasenta

dari ibu ke janin yang dikandungnya. Mekanisme ini untuk membantu pertahanan

tubuh bayi dari serangan bakteri pada bulan pertama kehidupannya. IgG juga

berperan dalam imunitas terhadap bahan infeksius yang menyebar di dalam darah,

termasuk bakteri, virus, parasit dan beberapa jamur. 4

II.1.6.2 Imunoglobulin A

Jumlah IgA di dalam serum menempati urutan kedua dari seluruh kelas

imunoglobulin, yaitu 15% dari total imunoglobulin serum. IgA serum ditemukan

dalam bentuk monomer atau polimer. Bentuk monomer IgA mempunyai 4 rantai

polipeptida, 2 rantai-L dan 2 rantai-H.4

Kontribusi IgA dalam sistem imun lebih penting pada sistem sekretori

eksternal. Di dalam cairan sekretori eksternal seperti saliva, air mata, cairan

intestinum, cairan hidung, atau sekresi saluran pernafasan, antibodi ini terdapat

dalam bentuk sIgA (sekretori imunoglobulin A) karena berkombinasi dengan

komponen sekretori (SC). Jaringan limfoid yang terdapat pada saluran

15
pencernaan, pernafasan dan kemih kelamin, memproduksi sIgA dalam jumlah

yang tinggi. Kadar sIgA akan meningkat jika terjadi stimulasi lokal oleh antigen.

Produksinya akan sama dengan tempat terjadinya stimulasi. Pada keadaan normal,

akumulasi sIgA saliva disebabkan flora mikrobial normal, atau antigen dari

makanan.4

Sintesis sIgA terjadi secara lokal di dalam kelenjar sekresi eksternal.

Molekulnya terdiri atas dua bagian protein, masing-masing disintesis oleh sel

yang berbeda. Protein yang identik dengan IgA serum, disintesis di dalam sel-

plasma limfoid organ sekresi, sedangkan komponen sekresi disintesis didalam sel

epitelnya. 4

Imunoglobulin A sekretori lebih tahan terhadap proteolisis daripada

protein lain. Ikatan kovalen SC dan IgA dimer akan menghasilkan konformasi tiga

dimensi sehingga lipatannya relatif resisten terhadap proteolisis. Reseptor IgA

ditemukan pada limfosit, PMN, leukosit dan monosit. 4

Di dalam rongga mulut, sIgA berfungsi melindungi permukaan mukosa

dari infeksi virus dengan cara menghambat pertumbuhan virus. Antibodi ini

mampu mengaktifasi sistem komplemen melalui jalur alternatif dan mempunyai

aktifitas opsonisasi, efek bakterisidal, efek bakteriolitik. Lisisnya bakteri di duga

karena adanya kerjasama antara sIgA, komplemen dan lisozim. Secara in vitro

sIgA dapat menghambat perlekatan S. salivarius pada permukaan epitel mukosa

pipi. Hal ini mungkin juga berlaku pada perlekatan, agregasi dan kolonisasi

S.mutans pada proses pembentukan plak gigi dan karies gigi. Sehinga sIgA

16
diduga ikut berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap terjadinya

karies gigi, sebagai agen kariostatik.4

II.1.6.3 Imunoglobulin M

IgM disebut makroglobulin (900.000/ 19S) karena molekulnya sangat

besar dan terbesar diantara semua imunoglobulin. Jumlah IgM sekitar 10% dari

total imunoglobulin serum dan kadarnya paling tinggi pada awal respon imun

terhadap antigen diantara kelas imunglobulin lainnya. Bersama dengan IgD, IgM

merupakan imunoglobulin utama yang diekspresikan pada permukaan sel B. IgM

cukup diaktivasi hanya dengan satu molekul IgM yang terikat pada antigen.4

II.1.6.4 Imunoglobulin D

Secara fisik, IgD relatif labil dan mudah terdegradasi karena panas atau

karena enzim proteolitik. Di dalam serum jumlahnya hanya sedikit yaitu sekitar

0,02% dari total imunoglobulin serum, karena itu informasi mengenai IgD sangat

kurang sehingga fungsi utamanya belum dapat diketahui dengan pasti.

Berbagai penelitian menunjukkan keberhasilan mengisolasi IgD dengan

aktifitas antibodi terhadap antigen tertentu, termasuk insulin, penisilin, protein

susu, toksoid, difteri, antigen nukleus, dan antigen tiroid. Seperti IgM, IgD

merupakan antibodi predominan di permukaan limfosit-B pada manusia dengan

stadium tertentu selama perkembangan sel ini.4

17
II.1.6.5 Imunoglobulin E

Di dalam serum manusia IgE sulit terdeteksi karena jumlahnya hanya

sekitar 0,004% dari total imunoglobulin serum dan dari sekitar 5000 molekul

antibodi, hanya satu yang termasuk kelas imunoglobulin ini. IgE mempunyai berat

molekul 190.000 (8S). Seperti IgG dan IgD, IgE hanya terdapat dalam bentuk

monomer. 4

IgE mengikat sel mast dengan afinitas yang sangat tinggi. Bila

berkombinasi dengan antigen spesifik tertentu yang disebut alergen, IgE akan

memicu sel mast melepaskan mediator farmakologik yang bertanggung jawab atas

reaksi hipersensitifitas tipe cepat seperti anafilaktik. Alergen juga merangsang

produksi IgE pada individu yang alergi terhadap alergen tersebut. Karena itu pada

individu yang sedang mengalami alergi maka kadar IgE di dalam serumnya tinggi.

IgE mungkin berperan penting dalam mekanisme pertahanan terhadap parasit,

Imunoglobulin ini sering disebut sebagai reagin.4

II.2 Imunologi Karies Gigi

Agregat bakteri asidogenik di dalam plak gigi, akan memfermentasikan

gula menjadi asam. Sumber utamanya adalah glukosa yang masuk ke dalam plak

gigi. Penyebab utama terbentuknya asam tadi adalah S. mutans serotipe tipe c

yang terdapat pada plak karena kuman ini memetabolisme lebih cepat

dibandingkan kuman lain dalam agregat.4

18
Koloni S mutans yang dilapisi glukan, dapat menurunkan sifat air ludah

sebagai pelindung dan antibakteri pada plak gigi. Secara fisik plak dapat

menghambat difusi asam ke dalam liur, akibatnya terjadi lokalisasi produk asam

dengan konsentrasi yang tinggi pada permukaan email. Asam ini akan melepaskan

ion hidrogennya yang akan bereaksi dengan kristal apatit, sehingga kristal apatit

menjadi tidak stabil. Selain itu akan terbentuk air dan fosfat yang larut, yang

akhirnya akan menghancurkan membran email. Reaksinya dapat dituliskan

sebagai berikut : 4

Ca10(PO4)6(OH)2 + 8 H+  10 Ca2+ + 6HPO42- + 2H2O

Bila reaksi ini lebih bergerak ke kanan, kerusakan membran email akan semakin

parah. Sebaliknya bila reaksinya bergerak ke kiri akan terjadi remineralisasi yang

justru akan memperkuat email. Bergeraknya reaksi ke kiri, juga mengakibatkan

remineralisasi plak gigi membentuk karang gigi. Pada keadaan ini air liur menjadi

lebih basa dan melepaskan CO2.4

Dengan hancurnya membran email, asam yang terbentuk akan

berpenetrasi lebih dalam lagi dan akan melarutkan kristal apatit pada lapisan yang

lebih dalam. Karena itu, sering terlihat permukaan email yang masih utuh, namun

lapisan yang lebih dalam sudah mengalami demineralisasi. Ini merupakan

karakteristik awal karies pada email. Proses selanjutnya adalah dekalsifikasi

dentin karena infiltrasi kuman-kuman asidurik dan asidogenik ke dalam dentin.4

Dekalsifikasi dentin akan mengakibatkan kerusakan gigi berupa lubang

yang merupakan tempat tersangkutnya sisa-sisa makanan. Daerah yang

19
merupakan tempat yang sangat mendukung pertumbuhan kuman-kuman

asidogenik. Akibatnya produksi asam akan meningkat dan suasana asam di dalam

rongga mulut menjadi lebih lama sehingga demineralisasi gigi akan berlangsung

terus. Bila hal ini dibiarkan, akan terjadi siklus yang terus berulang yang bisa

digambarkan sebagai dua lingkaran yang saling bersinggungan dengan efek yang

saling menguatkan seperti pada gambar 16-1.

Gambar 1 Efek saling menguatkan antara produksi asam oleh Streptococcus


mutans dan terjadinya karies gigi. Pembentukan plak gigi
dihambat oleh sIgA.

II.2.1 Respon Imun Terhadap Bakteri Penyebab Karies Gigi

Rongga mulut bayi pada saat dilahirkan dalam keadaan steril, namun

hanya dalam waktu beberapa jam sudah akan terjadi kolonisasi di dalam rongga

mulutnya. Diawali oleh S. salivarius, pada hari pertama mungkin juga sudah

terlihat adanya Veilonella alcalescens, Lactobacillus, dan C. albicans.

20
Actinomyces dan kuman anaerob lain baru terlihat setelah beberapa bulan,

sedangkan S. sanguins dan S. mutans mengikuti setelah gigi geligi susu erupsi.

Kolonisasi Bakteri-bakteri ini diikuti dengan produksi antibodi oleh tubuh bayi itu

sendiri. Namun sebelumnya, bayi tersebut telah menerima turunan IgG dari

ibunya melalui plasenta.4

Pembentukan plak gigi oleh S. mutans serotipe c merupakan pemicu

terjadinya proses karies. Dalam pandangan imunologis bakteri ini merupakan

antigen sehingga akan membangkitkan respon imun dalam tubuh manusia. Dalam

saliva terdapat komponen imunitas tidak spesifik diantaranya lisozim, laktoferin,

saliva supporter, dan peroksidase. Dalam saliva juga terdapat secretory

immunoglobulin A (sIgA) yang mampu melindungi permukaan mukosa mulut.

Kemampuan memproduksi respon imun yang efektif terhadap S. mutans,

tergantung pada gen Ia (Immune associated). 4

Hambatan kolonisasi S. mutans oleh sIgA secara in vitro, diperkirakan

karena sIgA menghambat kerja glukosiltransferase sehingga glukan tidak

terbentuk, akibatnya tidak terjadi perlekatan bakteri pada mekanisme

pembentukan plak gigi. Secara in vitro isolat sIgA dari saliva seseorang, mampu

berisolasi spesifik dengan isolat S. mutan dari plak gigi pada individu lain. Isolat

sIgA saliva seseorang juga mempunyai efek protektif terhadap isolat S. mutans

plak gigi orang lain. Efek protektifnya berupa penghambatan pembentukan glukan

(plak) oleh S. mutans, oleh karena kemampuan sIgA menghambat aktifitas GTF

S. mutan.4

21
Cairan sirkular gingiva memproduksi sIgA yang merupakan komponen imun

terutama sehingga dianggap sebagai mediator utama kekebalan adaptif pada saliva

beserta imunoglobulin lainnya yaitu IgG dan IgM . Selain itu, sulkus gingiva

juga mengandung berbagai komponen seluler dari sistem kekebalan tubuh seperti

limfosit, makrofag dan neutrofil. 1

Respon imun humoral di dalam rongga mulut mempunyai hubungan

dengan karies gigi. Antibodi yang berperan adalah sIgA yang merupakan antibodi

terbanyak di dalam saliva. Kadar sIgA parotis yang sekresinya dirangsang, sekitar

4mg/L, sedangkan IgG dan IgM hanya 1% dari kadar sIgA. Kadar sIgA dalam

saliva yang tidak dirangsang sekitar 20mg/dL, IgG 1,4 mg/dL, dan IgM 0,2

mg/dL. Saliva pada individu tahan karies lebih banyak mengandung sIgA spesifik

terhadap S. mutans tetapi aviditasnya lebih rendah daripada individu rentan karies.

Kadar sIgA saliva grup yang tahan karies lebih tinggi (17,88 ± 5,80 mg/dL) dari

pada kadar sIgA grup rentan karies (11,78 ± 4,61 mg/dL). Kadar sIgA akan

meningkat bila terjadi stimulasi lokal oleh antigen dan produksinya dalam tempat

yang sama dengan tempat stimulasi. Pada keadaan normal, akumulasi sIgA

disebabkan flora mikrobial normal, atau antigen dari makanan.4

II.2.2 Komponen antigenik S. mutans yang ditargetkan oleh vaksin

Beberapa komponen protein yang terlibat dalam molekul Patogenesis S. mutans

dapat menginduksi kekebalan protektif. Komponen ini bisa dimanfaatkan untuk

persiapan vaksin. Mikroorganisme dapat dibersihkan dari rongga mulut dengan

22
agregasi yang dimediasi antibodi, saat masih dalam fase saliva, sebelum terjadi

kolonisasi. Peninjauan ini akan berfokus pada adhesins, glucosyltransferase

(GTF), protein pengikat glukan (AS) dan dekstranase karena sebagian besar

eksperimen telah mengeksploitasi komponen ini untuk pengembangan vaksin.1

II.2.2.1 Adhesin

Komponen antigenik yang efektif telah diperoleh dari S. mutans dan S.

sobrinus dalam bentuk protein utuh dan vaksin subunit. Rantai polipeptida

tunggal ini sekitar 1600 residu panjangnya. S. mutans Ag I / II mengandung

daerah pengulangan tandem kaya alanin di terminal N ketiga, dan daerah ulangan

kaya proline di pusat molekul. Daerah ini telah dikaitkan dengan aktivitas adhesin

Ag I / II. Pendekatan imunologi mendukung fungsi terkait adhesin dari keluarga

protein AgI / II dan daerah pengulangannya. Bukti in vitro dan in vivo yang

melimpah menunjukkan bahwa antibodi dengan spesifisitas untuk S. mutans AgI /

II atau S. sobrinus SpaA dapat mengganggu kepatuhan bakteri dan karies gigi

berikutnya. Selain itu, banyak pendekatan imunisasi telah menunjukkan bahwa

imunisasi aktif dengan antigen I / II utuh atau imunisasi pasif dengan antibodi

monoklonal atau transgenik terhadap epitop domain pengikat saliva yang

mengandung salin dalam komponen ini dapat melindungi hewan pengerat,

primata, atau manusia dari karies gigi yang disebabkan oleh S. mutans.1

23
II.2.2.2 Glucosyltransferase (GTF)

S. mutans yang telah kehilangan kemampuan untuk berproduksi GTF tidak

mampu menghasilkan penyakit pada model hewan. S. mutans pada dasarnya

memiliki tiga bentuk glukotransferase-GTF 1, GTF-S-1, GTF-S dan gen masing-

masing adalah GTF-B, GTF-C dan GTF-D. Antibodi yang diarahkan pada GTF

asli atau urutan yang terkait dengan fungsi pengikat katalitik atau glukannya

mengganggu aktivitas sintetis enzim dan dengan formasi plak in vitro. Karena

GTFs dari S. mutans dan S. sobrinus, memiliki urutan yang sangat mirip dalam

domain fungsional, imunisasi dengan vaksin protein atau subunit GTF dari satu

spesies dapat menginduksi ukuran perlindungan untuk spesies lain.1

II.2.2.3 Glucan Binding Protein (GBP)

Berbagai protein dengan sifat pengikatan glukan telah terjadi diidentifikasi

dalam S. mutans dan S. sobrinus yang dijelaskan di tempat lain. S. mutans

mengeluarkan setidaknya tiga protein berbeda dengan aktivitas pengikatan

glukan: GbpA, GbpB dan GbpC. GbpA memiliki urutan deduktif 563 asam

amino. Berat molekul untuk protein olahan adalah 59,0 kDa. Protein GbpB yang

diekspresikan adalah 431 residu dan memiliki berat molekul 41,3 kDa. The

mutans mutans non-protein enzim pengikatan glukan, GbpC, terdiri dari 583 asam

amino. Protein ini memiliki berat molekul yang dihitung 63,5 kDa. Dari ketiga

protein mutans glucan-binding mutans, hanya GbpB yang telah terbukti

menginduksi respon imun protektif terhadap karies gigi eksperimental. Hal ini

24
dapat dicapai melalui injeksi GbpB subkutan di daerah kelenjar ludah atau dengan

aplikasi mukosa oleh rute intra-nasal.1

II.2.3 Respon imun pada karies gigi

Selama perkembangan karies, antibodi ditemukan dalam saliva, cairan

pulpa gigi, dan cairan dentin. Hal ini menunjukkan bahwa saliva, dentin, dan

pulpa gigi dapat memberikan respon imunologik terhadap serangan antigen

bakteri penyebab karies gigi. Imunoglobulin juga ditemukan dalam dentin sehat

dan yang mengalami karies. Antibodi yang terletak dibawah dentin yang

mengalami karies berasal dari cairan pulpa, sedangkan antibodi yang ditemukan

pada dentin dengan karies lunak berasal dari saliva. Komponen sekresi baik yang

terikat pada IgA maupun dalam bentuk sIgA, hanya ditemukan pada lesi yang

dangkal. Selain itu ditemukan juga IgG, IgA, dan transferin di dalam karies yang

dalam, sedangkan komponen sekresi tidak ditemukan. 4

Adanya antibodi di dalam dentin yang sehat di bawah zona translusen

dentin yang terserang karies membuktikan bahwa pulpa gigi telah memberikan

respon imunologik. Tidak dijumpainya mikroorganisme di bawah lesi karies

mengindikasikan akan adanya respon imun yang kuat yang diaktifkan sebagai

refleksi pertahanan terhadap invasi bakteri dari karies gigi.4

Pada lesi karies yang telah mengenai dentin, antigen bakteri yang larut

akan menginduksi respon peradangan klasik pada pulpa gigi berupa vasodilatasi,

peningkatan permeabilitas kapiler, dan eksudasi cairan serta PMN. Makrofag,

limfosit, dan sel plasma akan ditemukan setelah karies mencapai atau mendekati

25
pulpa. Selain itu terdapat juga imunoglobulin ekstravaskular dengan jumlah IgG

yang terbanyak, dijumpai juga sel plasma yang mengandung IgG, IgA, IgE dan

terkadang IgM.4

Karies gigi yang tidak direstorasi, akan memperluas demineralisasi dan

dekalsifikasi dentin yang akhirnya akan mengenai atap pulpa. Pada keadaan ini

biasanya telah terjadi respon imun di dalam jaringan pulpa (gambar 16-2). Bila

hal ini tidak diatasi, antigen bakteri akan berdifusi ke dalam jaringan pulpa dan

menimbulkan berbagai kelainan di dalam pulpa gigi. Lebih lagi bila kondisi ini

diabaikan, daerah periapikal akan terinfeksi akan dapat berkembanng menjadi

abses periapikal akut atau kronis.4

26
Gambar 2
Respon imun di dalam pulpa dan jaringan periapikal terhadap antigen dan karies
gigi. Antigen bakteri berdifusi kedalam pulpa yang dibantu oleh tekanan kunyah
dan membangkitkan respon imun di dalam pulpa. Bila hal ini tidak diatasi, antigen
bakteri dan produk degenerasi bakteri akan membangkitkan respon imun di dalam
pulpa. Bila hal ini tidak diatasi maka antigen bakteri dan produk degenerasi
bakteri akan mengaktifkan respon imun di daerah pulpa yang dapat menyebabkan
kematian pupa. Pada saat mengunyah, jaringan periapikal akan tertekan dan
teriritasi. Bersama antigen bakteri, antigen jaringan, baik pulpa maupun periapikal
masuk ke kelenjar limfatik atau pembuluh darah dan membangkitkan respon imun
pada nodus limfatik dan pembuluh darah.4

27
II.2.4 Imunisasi terhadap karies gigi

Secara imunologik dapat dikatakan bahwa karies gigi merupakan penyakit

infeksi dengan S. mutans bertindak sebagai antigennya. Oleh karena itu,

terjadinya karies gigi seharusnya dapat dicegah dengan pendekatan imunologik,

yaitu dengan metode imunisasi. Tujuan imunisasi ialah menginduksi respon imun

di dalam rongga mulut untuk mencegah pembentukan plak gigi dan kolonisasi S.

mutans pada permukaan gigi sehingga terjadinya karies gigi dapat dihindari.

Dengan metode imunisasi diharapkan prevalensi karies gigi dapat diturunkan

karena dapat dilakukan secara masal dan mudah. Berbeda dengan penggunaan

bahan kimia lainnya, imunisasi tidak mengakibatkan perubahan mikroflora rongga

mulut karena antibodi yang ditimbulkan sifatnya spesifik hanya terhadap antigen

tertentu.4

II.2.5 Faktor Resiko Penggunaan Vaksin Karies

Semua vaksin, yang jika dibuat dan dikelola dengan benar, tampak tidak

memiliki resiko. Resiko yang paling serius adalah sera dari beberapa pasien

dengan demam reumatik yang menunjukkan reaktivitas silang serologis antara

antigen jaringan jantung dan antigen tertentu dari Streptococci hemolitik.

Percobaan yang memanfaatkan antisera dari kelinci yang diimunisasi dengan sel

utuh S. mutans dan dengan protein dengan berat molekul tinggi S. mutans

dilaporkan bereaksi silang dengan kelinci normal dan jaringan jantung manusia.

Polipeptida secara imunologis saling silang dengan jaringan jantung manusia dan

28
otot tulang kelinci myosin ditemukan di membran sel S. mutans dan

Streptococcus ratti.1

Masalah yang mungkin timbul ialah terjadinya reaksi silang antara

S.mutans dengan jaringan otot jantung yang dapat mengakibatkan endokarditis

bakterial sub akut atau demam rematik. Namun, determinan antigenik pada sel S.

mutans yang dapat menyebabkan reaksi silang ini sampai saat ini belum diketahui.

Beberapa antigen yang terdapat pada dinding sel kuman ini telah dicoba, tetapi

belum ditemukan antigen penyebab reaksi silang ini. Antigen I/II yang merupakan

protein terbanyak pada permukaan S. mutans, juga tidak menimbulkan reaksi

silang dengan jaringan jantung manusia.4

Beberapa metode imunisasi sudah dilakukan, termasuk juga jenis hewan

percobaan yang digunakan. Tikus dan monyet merupakan spesies yang sering

dijadikan model untuk studi imunisasi karies gigi. Berdasarkan berbagai

percobaan pada kedua spesies ini, menunjukan adanya perbedaan jalur mekanisme

pertahanan tubuh terhadap karies gigi yang diaktifkan, yaitu melalui cairan celah

gusi dan lewat saliva. Respon imun melalui cairan celah gusi, meliputi komponen

seluler dan humoral sistem imun sistemik.

II.3 Penerapan Imunisasi Pada Manusia

II.3.1 Imunisasi Aktif

Hanya sedikit percobaan klinis yang telah dilakukan di bidang ini. Ketika

manusia diimunisasi dengan glukosil-transferase dari S. mutans atau S. sobrinus,

29
terjadi pembentukan IgA tingkat rendah. Kapsul dilapisi enterik dengan preparat

antigen S. mutans GS-5 GTF mentah yang terkandung dalam lipososme,

diimunisasi secara oral beberapa orang dewasa. Imunisasi mukosa dengan GTF

mempengaruhi kemunculan kembali Streptococcus mutan pada orang dewasa

muda setelah profilaksis gigi. Pemberian topikal menunjukkan adanya

keterlambatan munculnya mutans S saat GTF diterapkan di bibir bagian bawah.5

II.3.2 Imunisasi Pasif

Saat IgA monoklonal tikus atau sekresi antibodi gen IgA / G transgenik

diterapkan secara topikal, rekolonisasi mutans Streptococci tidak terjadi

setidaknya selama dua tahun setelah perawatan. Antibodi monoklonal, dalam

bentuk sekresi, lebih efektif, karena mereka telah meningkatkan masa bertahan di

rongga mulut dibandingkan dengan IgA. Anak-anak muda tidak terinfeksi

S.mutans selama jendela infektivitas tetap tidak terdeteksi selama beberapa tahun.
5

II.4 Jalur-Jalur untuk Imunisasi

Karena sekresi IgA merupakan komponen utama imun mayor dan sekresi

kelenjar liur minor, aplikasi mukosa vaksin karies gigi umumnya lebih disukai

untuk menginduksi antibodi IgA sekretori di kompartemen saliva. Banyak peneliti

telah menunjukkan bahwa paparan antigen pada jaringan limfoid terkait mukosa

di usus, nasal, bronkial, atau rektum dapat menimbulkan respons kekebalan tidak

hanya di daerah induksi, tetapi juga di lokasi terpencil. Oleh karena itu, sebuah

konsep baru yang dikenal sebagai "sistem kekebalan mukosa umum"

30
dikemukakan oleh Mestecky. Akibatnya, beberapa rute telah dikutip dimana

imunisasi terhadap S. mutans dapat diberikan pada individu.1

II.4.1 Rute Oral

Beberapa penelitian terdahulu mengandalkan induksi imunitas oral di

jaringan limfoid terkait usus (GALT) untuk mendapatkan respon antibodi IgA

pelindung saliva. Dalam penelitian ini, antigen diterapkan dengan pemberian oral,

intubasi lambung, atau kapsul atau liposom yang mengandung vaksin. Berbagai

uji coba hewan yang dilakukan pada tikus bebas kuman dengan memberi death S.

mutans dalam air minum menghasilkan pengurangan karies yang signifikan

terkait dengan peningkatan kadar antibodi IgA saliva. Imunisasi oral dari 7

sukarelawan dewasa dengan kapsul enetrik berlapis yang mengandung 500

mikrogram GTF dari S. mutans juga menghasilkan peningkatan antibodi IgA

saliva terhadap persiapan antigen. Meskipun rute oral tidak ideal untuk alasan

termasuk efek merugikan dari keasaman lambung pada antigen, atau karena situs

induktif relatif jauh, percobaan dengan rute ini menetapkan bahwa induksi

imunitas mukosa saja cukup untuk mengubah jalannya infeksi dan penyakit

streptokokus mutans. pada model hewan.1

II.4.2 Kelenjar saliva minor

Bibir, pipi dan palatum lunak adalah tempat utama untuk lokasi kelenjar

saliva minor Kelenjar ini telah disarankan sebagai rute potensial untuk induksi

mukosa pada respon imun saliva. Percobaan dimana S. sobrinus GTF diberikan

secara topikal ke bibir bawah orang dewasa muda dikarenakan pada daerah ini

31
berpotensi untuk menyebabkan karies. Dalam percobaan ini, mereka yang

menerima aplikasi labial GTF memiliki proporsi streptokokus mutans asli yang

secara signifikan turun / flora streptokokus total di seluruh saliva mereka turun

selama periode enam minggu setelah profilaksis gigi, dibandingkan dengan

kelompok plasebo.1

II.4.3 Rute sistemik

Antibodi serum IgA, IgG dan IgM merupakan produk hasil dari

keberhasilan pemberian S. mutans secara subkutan pada monyet. Antibodi

tersebut menemukan jalan mereka ke dalam rongga mulut melalui cairan gingival

crevicular dan bersifat protektif terhadap karies gigi. Injeksi subkutan dari sel

death S. mutans memunculkan kelas antibodi IgG, IgM, dan IgA. Penelitian telah

menunjukkan bahwa antibodi IgG terpelihara dengan baik pada titer tinggi,

antibodi IgM semakin turun dan antibodi IgA meningkat secara perlahan dalam

titer. Perlindungan terhadap karies dikaitkan terutama dengan peningkatan

antibodi IgG serum.1

II.4.4 Rute Aktif Gingivo-Saliva

Untuk membatasi potensi efek samping yang terkait dengan rute

pemberian vaksin, dan untuk melokalisasi respon imun, cairan gingival crevicular

32
telah digunakan sebagai jalur pemberian. Selain IgG, ini juga terkait dengan

peningkatan kadar IgA.

Berbagai penelitian yang dicoba adalah sebagai berikut :

 Menyuntikkan lisozim ke dalam gingiva kelinci, yang menimbulkan

antibodi lokal dari respons sel.

 Menyikat S. mutans hidup ke gingiva pada rhesus monyet gagal

menginduksi pembentukan antibodi.

 Menggunakan antigen Streptococci dengan berat molekul lebih kecil

menghasilkan kinerja yang lebih baik karena penetrasi yang lebih baik.

Pendekatan lain terletak pada pengembangan antibodi yang sesuai untuk

aplikasi pasif oral terhadap karies gigi. Ini memiliki potensi keuntungan yang

besar karena hal itu sama sekali menghindari risiko yang mungkin timbul dari

imunisasi aktif. Sebaliknya, jika tidak ada respon aktif dari pihak penerima, tidak

ada induksi memori imunologis, dan antibodi yang diberikan dapat bertahan di

mulut hanya beberapa jam paling banyak atau sampai 3 hari dalam plak.

Pemberian antibodi pasif juga telah diperiksa untuk efek pada streptococci mutans

asli.

Beberapa pendekatan penelitian dicoba dilakukan :1

33
 Obat kumur yang mengandung susu sapi atau kuning telur ayam IgY antibodi

terhadap sel S. mutans menyebabkan penurunan jangka pendek dalam jumlah

streptococci mutans asli pada saliva atau plak gigi.1

 Perkembangan terakhir di bidang imunisasi pasif adalah penggunaan tanaman

transgenik untuk memberi antibodi. Para ilmuwan telah mengembangkan

vaksin karies dengan menghasilkan empat tanaman taburan transgenik

Nicotiana tabacum yang mengekspresikan rantai kappa antibodi monoklonal

murine, rantai berat imunoglobulin A-G hibrida, rantai penggabung murine,

dan komponen sekresi kelinci. Vaksin, yang tidak berwarna dan tidak berasa,

dapat di oleskan ke gigi daripada disuntikkan dan merupakan vaksin tanaman

pertama yang berasal dari tanaman GM.1

 Efek jangka panjang pada flora asli diamati setelah pemberian topikal aplikasi

dari monoklonal mouse IgG atau sekretori tanaman antibodi transgenik

sIgA/G, masing-masing dengan spesifisitas untuk Ag I/II.1

 Para peneliti juga sedang mencari cara menyuntikkan peptida yang

menghalangi bakteri S. mutans yang menyebabkan kerusakan gigi. Ilmuwan

Inggris di Guys Hospital di London telah mengisolasi gen dan peptida yang

mencegah bakteri menempel pada gigi. Mereka mencoba menemukan cara

untuk mengantarkan peptida ke dalam mulut melalui apel dan stroberi.1

34
II.5 Penelitian-penelitian yang berkaitan

Pemberian pasif antibodi eksogen, menawarkan keuntungan berupa

penghindaran faktor resiko, betapapun kecilnya, yang menyertai prosedur

pemberian imunisasi aktif, namun kebutuhan untuk penyediaan sumber antibodi

yang berkelanjutan guna mempertahankan perlindungan jangka panjang

merupakan tantangan besar. Meskipun teknologi baru untuk rekayasa antibodi

dan produksi pada hewan atau terutama pada tanaman ('plantibody') menawarkan

prospek agar bahan-bahan ini dimasukkan ke dalam produk untuk penggunaan

sehari-hari, seperti obat kumur dan pasta gigi, keefektifan jangka panjang. belum

dapat ditunjukkan secara nyata.1

Imunisasi diinduksi oleh antibodi IgA yang dapat menghambat mekanisme

akumulasi streptokokus pada permukaan gigi tergantung pada pemilihan dari

vaksin antigen. Imunisasi mukosa didesain untuk menginduksi tingginya tingkat

antibodi saliva yang dipertahankan pada periode tertentu dan memastikan apa

yang disebut “Immune memory”. Penelitian pada manusia menunjukan bahwa

aplikasi antibodi pasif pada streptokokus mutan dapat menekan rekolonisasi.6

Imunisasi aktif subkutan dilakukan untuk membangkitkan respon imun

dari cairan celah gusi. Kelenjar saliva akan memproduksi sIgA bila diimunisasi

secara langsung ke dalam kelenjar saliva atau melalui imunisasi peroral dengan

mesensitisasi sel-B di dalam GALT (gut-associated lymphoidt Tissues) yang

kemudian sel-B akan melakukan homing ke kelenjar saliva.4

35
Suntikan sub kutan pada kaki kontralateral monyet dengan S.mutans

menghasilkan penurunan sektor karies, berkorelasi dengan antibodi serum dan

dengan penurunan jumlah S.mutans. Induksi antibodi kelas IgA di dalam saliva

dengan S. mutans yang telah dimatikan, menunjukkan adanya efek protektif

terhadap karies gigi tikus. Rata-rata kadar sIgA saliva dan gigi berkaries, pada

grup tikus yang diimunisasi dan grup tikus terinfeksi lebih tinggi dari pada kontrol

yang tidak diimunisasi. Imunisasi pasif dengan serum yang mengandung antibodi

terhadap karies gigi pada monyet tidak menunjukkan hasil yang positif.4

Beberapa rute imunisasi juga pernah dicoba pada tikus, diantaranya

dengan suntikan di sekitar kelenjar air liur, suntikan pada kelenjar parotis, serta

imunisasi perenteral dan melalui submukosa mulut. Imunisasi langsung pada gusi

tikus, memperlihatkan adanya efek protektif terhadap gigi tikus dari karies.4

Produksi sIgA spesifik didalam saliva mencit berhasil dirangsang dengan

mengimunisasi per oral memakai E. coli dan C. albicans. Imunisasi peroral

memakai antigen S.mutans pada manusia dan pada tikus, membuktikan bahwa

sIgA air liur yang terbentuk mempunyai efek proteksi terhadap karies gigi.4

Beberapa tipe antigen telah dicoba, diantaranya S. mutan serotipe c dan

serotipe g, ribosom S. mutans, mutans UAB108, dari UAB66 isolat strain 6715,

antigen Streptococcal dengan berat molekul 3800, antigen polisakarida murni dari

serotipe f yang dikonjugasi dengan protein dinding sel, dan antigen S. mutans

murni. Semuanya dilaporkan menunjukkan efektifitas dalam mereduksi karies

gigi.4

36
Perlekatan dari bakteri streptokokus mutan pada jaringan gigi merupakan

prasyarat untuk kolonisasi. Bukti lain kebutuhan vaksin atau terapi lain guna

menghambat faktor virulens spesifik untuk mencegah karies. Proses imunisasi

aktif dan pasif telah dikembangkan sebagai terapi imun terhadap dental karies.

Pada hewan percobaan tikus dan kera, yang telah diimunisasi subkutan, oral, atau

intranasal dengan antigen ini menunjukan hasil yang signifikan berupa

penghambatan karies. Namun, hanya sedikit penelitian mengenai uji kegunaan

vaksin karies gigi pada manusia.3

Imunisasi pasif lokal dengan antibodi monoklonal spesifik terhadap

antigen I/II permukaan S. mutans, menunjukkan bahwa setelah lebih dari dua

tahun, subjek yang diberi antibodi monoklonal tersebut, bebas S. mutans.

Berkumur dengan susu sapi yang mengandung antibodi terhadap S. mutans

menunjukkan penurunan jumlah koloni S. mutans. Imunisasi pasif menggunakan

antibodi hen egg-yolk (IgY) spesifik terhadap S.mutans serotipe c, menunjukan

hambatan terhadap pembentukan lesi karies pada tikus. Imunisasi Pasif dengan

antigen yang sama juga dilakukan terhadap manusia. Hasilnya juga

memperlihatkan adanya hambatan terhadap pembentukan plak gigi. 4

Imunisasi peroral pada mencit dengan 15 µg antigen protein permukaan

I/II S. mutans yang di konjugasi pada sub unit toksin kolera B menghasilkan sel

plasma pada kelenjar saliva dengan aktif mensekresikan sIgA spesifik untuk Ag

I/II tetapi tidak untuk toksin kolera. Kadar sIgA saliva anti-antigen I/II juga

meningkat dengan puncak peningkatan pada hari ke 35 dan turun kembali sampai

titik terendah setelah 5 sampai dengan 6 bulan.4

37
BAB III T

ERAPI GEN

III.1 Definisi

Terapi gen ialah sebuah teknik mengantarkan partikel DNA dan urutan

RNA pada sel-sel atau jaringan untuk memperbaiki cacat genetik atau untuk

merawat suatu penyakit. Penerapan terapi gen paling awal didasarkan pada

prinsip bahwa suatu penyakit disebabkan oleh satu (kombinasi beberapa) gen

yang salah dan jika gen tersebut dapat diganti dengan versi yang benar, penyakit

tersebut dapat saja terkontrol, dicegah atau bahkan disembuhkan, baik secara in

vivo maupun ex vivo, dan belum tentu sebuah gen diketahui menjadi penyebab

timbulnya penyakit. Seiring berjalannya waktu, teknologi terbaru, teknik dan

strategi dan ide-ide untuk mentransfer gen telah diperkenalkan. Awalnya dikenal

sebagai Genetic Replacement Theraphy pada awal tahun 1980, sekarang telah

berkembang luas dan diterapkan pada semua jenis protokol yang melibatkan

elemen transfer genetik. 6

Terapi gen juga didefinisikan sebagai "transfer gen untuk tujuan

mengobati penyakit manusia, ini termasuk pengalihan materi genetik baru, serta

manipulasi bahan genetik yang ada." Adapun Tujuan utama terapi gen adalah

pengenalan materi genetik baru ke dalam sel target dengan mempertahankan sel

normal di sekitarnya tidak rusak.7

38
III.2 Mode Pengiriman Gene dalam Terapi Gen

Virus / bakteri dan metode non-virus lainnya digunakan untuk

mengirimkan materi genetik ke dalam sel inang. Semua virus mengikat host

mereka dengan mengenalkan materi genetik mereka ke dalam sel inang. Dalam

terapi gen, virus bertindak sebagai kendaraan (vektor) untuk mengantarkan DNA

terapeutik ke sel inang setelah DNA virus dikeluarkan.7

Efisiensi pengiriman gen secara in vivo oleh vektor non-virus terbatas

karena penghambatan oleh komponen serum. Meskipun terdapat beberapa metode

non-virus, namun virus menyediakan mode terapi gen yang lebih efisien.7

Gen adalah satuan unit fungsi terkecil yang mengontrol fungsi dan

perkembangan dari semua organisme. Gen merupakan bagian berbeda dari sel-sel

DNA. Secara garis besar gen terdiri dari 2 jenis fungsi :

- Menentukan struktur dari ribuan protein-protein yang berbeda yang ada

pada tubuh manusia

- Mengatur kapan, dimana, dan dalam jumlah berapa setiap protein dibuat.

Protein adalah molekul-molekul yang mempunyai perbedaan fungsi di dalam

tubuh kita. Beberapa membentuk struktur dari jaringan; beberapa adalah enzime

yang mengatur ribuan reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh manusia. Beberapa

protein menstimulasi atau menekan multiplikasi sel-sel.

39
III.3 Prinsip Umum dari Transfer Genetika

Konsep dari terapi gen mencakup pengenalan gen eksogen ke dalam sel

somatik yang membentuk organ dari tubuh guna memproduksi efek terapeutik

yang diharapkan. Fragmen DNA yang dipilih pertama-tama harus dibelah dengan

restriksi endonuklease. Tahap berikutnya dalam keberhasilan transfer gen ialah

persiapan dari vektor atau perantara yang digunakan untuk mentransfer material

genetik. Perantara (vektor) harus terlebih dahulu diisolasi, dimurnikan dan dibelah

guna memberikan pemasangan fragmen DNA. DNA fragmen harus digabungkan

pada akhir pembelahan dari vektor, secara efektif menutup molekul. Keberhasilan

dari pemasangan sebuah molekul DNA eksogen ini ke dalam sebuah vektor

menghasilkan sebuah DNA chimera. Konstruksi vektor ini merupakan dasar dari

teknik recombinat DNA. Tahap kedua berupa pengenalan konstruksi ke dalam sel

yang memungkinkan produksi sel genetik identik berisi urutan DNA yang

diperkenalkan oleh vektor. Hal ini memungkinkan produksi massal sel dengan

susunan genetik yang dirancang khusus.6

Vektor ideal akan memiliki efisiensi tinggi (sel 100% transfected),

spesifisitas tinggi dan toksisitas rendah. Bukan tak mungkin, pada masa yang

akan datang, segala kebutuhan jaringan akan dipenuhi oleh setiap jenis vektor

tunggal; dengan kata lain, vektor yang berbeda akan diperlukan untuk aplikasi

klinis yang berbeda. Memang kekurangan vektor adalah salah satu kekurangan

utama lapangan ini. Beberapa vektor yang tersedia saat ini cukup berguna untuk

kondisi tertentu, seperti adenovirus berguna untuk terapi gen kanker kepala dan

leher.2

40
Persyaratan ideal untuk vektor adalah :8

- Ini tidak boleh diidentifikasi oleh sistem kekebalan tubuh (non-

imunologis)

- Harus stabil dan mudah untuk bereproduksi

- Harus memiliki umur panjang ekspresi

- Harus memiliki efisiensi tinggi (sel 100% transfected)

- Spesifisitas tinggi dan toksisitas rendah

- Harus bisa melindungi dan mengantarkan DNA melintasi membran sel ke

dalam nukleus. Ini harus bisa menargetkan pengiriman gen ke sel tertentu

- Harus mudah diproduksi dalam jumlah besar dan murah.

Saat ini belum ada jenis vektor tunggal yang memenuhi semua kebutuhan

untuk semua jaringan, yaitu vektor yang berbeda akan dibutuhkan untuk aplikasi

klinis yang berbeda.8

Beragam vektor yang digunakan pada terapi gen dijabarkan pada tabel 1.

Dari semua vektor virus yang sedang dipelajari, adenovirus dan retrovirus yang

paling umum digunakan. Virus ini dikelompokkan menjadi gen transfeksi, namun

tidak dapat mereplikasi atau menyebabkan infeksi. Manipulasi genetik dari tipe

liar dari virus tersebut dengan cara menghilangkan kemampuan mereka untuk

bereplikasi, menghilangkan sisi patogenisitas dari virus tersebut. Adenovirus-

associated virus (AAV), vaccinia virus, lentivirus, herpes simplex virus dan

banyak lagi yang saat ini sedang dipelajari dengan intensif. Metode non viral

41
menghadirkan beberapa keuntungan melebihi metode viral, dengan skala

produksi yang lebih besar dengan cara yang sederhana dan tingkat transfeksi yang

rendah dan imunogenisitas host rendah.2

Tabel 3
Aplikasi klinis dari transfer gen dapat ditempuh dalam 2 jalan : in vivo

atau ex vivo. Pada saat transfer gen in vivo, gen asing di injeksikan ke dalam

pasien dengan metode viral atau non viral. Sebaliknya, gen transfer ex vivo

transfer gen sebuah gen asing ditransmisikan ke dalam sel pada jaringan biopsi,

diluar dari tubuh, lalu dihasilkan gen dengan sel termodifikasi yang

ditransplantasikan kembali ke dalam pasien.6

Transfer In vivo merupakan pengiriman gen terjadi di dalam tubuh. Selama

transfer gen in vivo, gen asing disuntikkan ke pasien dengan metode virus dan non

virus.8

42
Transfer Ex vivo merupakan persalinan terjadi di luar tubuh dan sel-sel

ditempatkan kembali ke tubuh. Transfer gen ex vivo melibatkan gen asing yang

ditransduksi ke dalam sel jaringan yang dibudidayakan di laboratorium di luar

tubuh, dan kemudian menghasilkan sel yang dimodifikasi secara genetik lalu

ditransplantasikan kembali ke pasien.8

III.4 Kegunaan Terapi Gen dalam Kedokteran Gigi

III.4.1 Perbaikan Tulang

Secara umum keberhasilan regenerasi tulang bergantung pada keberadaan

setidaknya 4 unsur utama, sebut saja osteoinduksi, diferensiasi osteoblas yang

mengarah kepada produksi matriks osteoid, osteo konduksi dan stimulasi

mekanis. Terapi gen dapat menghadirkan pendekatan ideal dalam meningkatkan

regenerasi tulang sebagaimana ia meningkatkan tiga kondisi yang diperlukan

untuk regenerasi tulang yakni : terapi gen dapat meningkatkan osteoinduksi

dengan ekspresi faktor pertumbuhan, menginduksi diferensiasi osteoblas dan

memfasilitasi produksi dari matriks osteoid dan menggunakan perangkat

penunjang osteokonduksi. Pertama kali dipahami sebagai tatalaksana sistemik

untuk cacat gen tunggal keturunan, terapi gen terlokalisasi sangat sesuai untuk

pembentukan tulang karena kemampuan untuk mengirimkan gen ke lokasi diskrit.

Dalam kasus regenerasi tulang, ekspresi sementara juga merupakan manfaat yang

diinginkan dan tersedia dengan teknik transfer gen yang ada.6

43
III.4.2 Terapi Gen untuk Kelenjar Ludah

Kerusakan kelenjar ludah terjadi sebagai hasil dari beberapa kondisi

patologis, diantaranya terapi radiasi pada kanker leher dan kepala dan sindrom

Sjogren (SS). Sejumlah perkembangan perawatan untuk mengembalikan dan

meregenerasi kerusakan jaringan kelenjar ludah telah lama ditunggu hinga

berkembangnya terapi gen. Kelenjar ludah merupakan daerah terbaik untuk

transfer gen. Kelenjar ludah mampu memproduksi sejumlah besar protein, dan

juga Dienkapsulasi, suatu keadaan yang cenderung meminimalkan akses yang

tidak diinginkan dari vektor dan transgen yang diberikan ke jaringan lain. Struktur

anatomis dari kelenjar ludah, yang menyerupai banyak cabang seperti batang

pohon, menjelaskan bahwa ujung apikal masing-masing sel kelenjar dapat diakses

untuk transfer gen dengan prosedur invasif minimal. Pembukaan duktus utama di

rongga mulut merupakan jalur dan vektor pembawa gen, viral atau non viral,

diinfuskan dengan injeksi retrograde.6

III.4.2.1 Transfer Gen Ke Kelenjar Ludah

Transfer gen ini berhasil pada kelenjar liur tikus, setelah diberikan vektor

rAd5 yang berupa pengkodean alfa-1 antitrypsin (hA1AT) yang terdapat pada,

mampu mengeluarkan protein transgen ke aliran darah. Perluasan potensi transfer

gen ini dilakukan dalam penelitian selanjutnya dengan menggunakan vektor

pembawa rAd5 lain yang mengatur hormon pertumbuhan manusia (hGH), yang

juga diberikan pada kelenjar ludah tikus.6

44
Transfer gen juga dapat digunakan untuk menambah sekresi ludah dengan

mentransfer gen pengkode sekretori protein pada kelenjar saliva. Protein

kemudian disekresi secara secara berkala dalam kelenjar exokrin. Hal ini berhasil

dilakukan pada hewan penelitian, dengan transfer histatin 3 cDNA manusia ke

kelenjar submandibular tikus. Histatin 3, yang biasanya tidak disekresikan dalam

air liur hewan pengerat, disekresikan dengan jumlah besar (sampai 1 mg / ml)

setelah dilakukan transfer genetik.6

III.4.2.2 Terapi Gen Untuk Iradiasi yang Disebabkan Hiposalivasi

Transfer gen juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan sekresi saliva

dengan mentransfer gen yang mengkode protein sekretori ke dalam kelenjar.

protein kemudian disekresi secara exokrin. Hal ini berhasil dilakukan pada hewan

penelitian, dengan mentransfer histatin 3 c DNA manusia ke kelenjar

submandibular tikus. Hasilnya, Histatin 3 yang normalnya tidak disekresikan pada

saliva hewan pengerat, setelah transfer gen menjadi disekresikan dalam jumlah

yang cukut besar (diatas 1mg/ml).6

III.4.2.3 Terapi Gen Untuk Hiposalivasi yang Diinduksi Iradiasi

Sebuah studi menunjukkan potensi terapi gen untuk memperbaiki

hipofungsi saliva yang ter-iradiasi. Transfer gen adenovirus-yang dimediasi air

(aquaporin-1, AQP1) ke kelenjar submandibular iradiasi menunjukkan

peningkatan aliran air liur pada model tikus. 6

Studi lain mengevaluasi keefektifan pemberian tunggal AdhAQP1 ke

kelenjar parotid monyet rhesus dewasa. Dalam penelitian ini, kelenjar parotid

45
tunggal monyet rhesus diiradiasi dengan dosis tunggal 10 Gy dan AdhAQP1

diberikan secara intraduktif pada 19 minggu post irradiasi dan sekresi saliva

diperiksa 3, 7 dan 14 hari kemudian. Namun Hasilnya, tidak konsisten dan hanya

dua dari empat kera yang diaplikasikan dengan AdhAQP1 yang menunjukkan

peningkatan laju alir saliva. 6

Transfer gen juga dapat digunakan untuk menambah sekresi ludah dengan

mentransfer gen pengkode sekretori protein pada kelenjar saliva. Protein

kemudian disekresi secara secara berkala dalam kelenjar exokrin. Hal ini berhasil

dilakukan pada hewan penelitian, dengan transfer histatin 3 cDNA manusia ke

kelenjar submandibular tikus. Histatin 3, yang biasanya tidak disekresikan dalam

air liur hewan pengerat, disekresikan dengan jumlah besar (sampai 1 mg / ml)

setelah dilakukan transfer genetik.6

III.4.3 Replacement Therapy

Beberapa mikroorganisme komensalis rongga mulut memiliki potensi

menjadi patogen pada inang. Bakteri yang dapat mempromosikan karies

diantaranya streptokokus mutan dan laktobasilus. Meskipun streptokokus mutan

memiliki daya gabung untuk melekat pada permukaan gigi, lakbtobasilus kasei

dan lactobasilus fermenti memiliki daya gabung yang rendah terhadap permukaan

rongga mulut, dugaan kaitannya dengan lesi karies mungkin dapat disebabkan

oleh adanya perlekatan mekanis. Peneliti telah meneliti sejumlah mekanisme

untuk menginterfensi interaksi bakteria ini. Konsumsi dari bakteri probiotik

khususnya laktobasilus, umumnya dilakukan untuk meningkatkan keseimbangan

mikroflora rongga mulut. Sebagaimana terjadinya peningkatan resistensi bakteri

46
terhadap agen antibakteri maka harus dilakukan penelitian akan kolonisasi pada

jaringan tubuh manusia dengan strain efektor spesifik yang mampu bersaing

melawan bakteri-bakteri patogen yang telah diketahui. Beberapa kemajuan telah

terbukti khususnya pada aplikasi dari streptokokus mutans yang virulen pada

karies dental, alfa hemolitik streptokokus untuk mengurangi otitis media rekuren

dan streptokokus salivarius untuk mencegah streptokokal faringitis.3

Replacement Theraphy melibatkan penggunaan strain efektor yang tidak

berbahaya yang berkolonisasi permanen pada mikroflora inang. Strain Effector ini

di desain untuk mencegah kolonisasi atau pertumbuhan berlebih dari bakteri

patogen khususnya.3

Banyak penelitian menggambarkan interaksi mikroorganisme bakteri baik

positif maupun negatif dengan meningkatkan atau menghalangi kehadiran bakteri

patogen. Replacement Theraphy digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi

(umumnya mengacu pada terapi probiotik), dengaan cara mengkolonisasikan

strain efektor baik, strain efektor alami maupun dengan modifikasi genetik dekat

dengan jaringan inang yang rentan dikolonisasi oleh bakteri patogen. Jika strain

efektor lebih beradaptasi dibandingkan yang patogen, kolonisasi dan pertumbuhan

berlebih dari bakteri patogen akan dicegah dengan cara menutupi sisi perlekatan,

dengan bersaing dalam mendapatkan nutrisi, atau dengan mekanisme lain. Selama

strain efektor menetap sebagai flora normal, inang akan terlindungi untuk jangka

waktu tertentu.3

47
Strain S. mutans BCS3-L1 ialah sebuah strain efektor yang telah

dimodifikasi secara genetik di gunakan sebagai replacement theraphy untuk

mencegah terjadinya karies gigi,oleh karena itu BCS3-L1 harus stabil secara

genetik. Syarat yang harus di penuhi oleh BCS3-L1 :3

1. Secara signifikan menurunkan potensi patogenitas yang meningkatkan

karies.

2. Harus terus menerus berkolonisasi di tempat S. mutans berkoloni,

sehingga mencegah perlekatan kolonisasi strain penyebab penyakit

pada inang.

3. Secara agresif mengantikan kolonisasi awal dari S. mutans dan

memfasilitasi subjek yang terinfeksi dirawat dengan replacement

theraphy.

4. Aman dan tidak menyebabkan inang rentan terhadap penyakit lain.

Berdasarkan patogenisitasnya, defisiensi Lactate dehydrogenase (LDH)

dapat digunakan sebagai cara untuk mengurangi tingkat acidogen pada saat

pembentukan strain BCS3-L1. Asumsi akan defisiensi LDH menyebabkan mutasi

lethal dari kebanyakan S. mutan menjadi dasar produksi cloning defisiensi LDH,

yang dilakukan pada saat pengkodean genetik dari S. mutan.3

Teknologi rekombinasi DNA digunakan pada BCS3-L1 untuk

menghapuskan pengkodean Lactate Dehidrogenase (LDH) menyebabkan BCS3-

L1 tidak dapat memproduksi asam laktat. Strain efektor ini juga di desain untuk

menghasilkan sejumlah besar a novel peptide antibiotics yang disebut mutacin

48
1140 yang menjadikan BCS3-L1 pilihan dengan keuntungan terkuat diantara

strain Streptokokus lainya. Strain efektor ini menunjukan tidak tidak adanya

aktifitas LDH yang terukur dan menginduksi sepuluh kali lipat peningkatan ADH

(Alkohol Dehidrogenase) dibandingkan pendahulunya JH1140. Analisis produk

akhir dari fermentasi menunjukan bahwa BCS3-L1 tidak tedeteksi adanya asam

laktat. Sebagaaimana telah diprediksikan sebelumnya metabolime karbon diubah

menjadi produk akhir yang bersifat netral, ethanol dan acetoin.3

Nilai pH akhir pada BCS3-L1 lebih tinggi 0,4 -1,2 pH unit dibandingkan

pendahulunya. Pengurangan asidogenik ini cukup besar menurunkan potensi

kariogenik pada beberapa model hewan. BCS3-L1 secara signifikan lebih tidak

kariogenik dibandingkan JH1140 pada hewan gnothobiotic (bebas bakteri) dan

model konvensional - hewan pengerat. BCS3-L1 berkolonisasi sama baiknya

seperti JH1140 pada gigi tikus percobaan. Tidak terdapat abnormalitas dari organ-

organ mayor baik secara garis besar maupun mikroskopik, yang merupakan

dampak dari kolonisasi BCS3-L1 pada tikus percobaan selama durasi waktu 6

bulan. Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa strain BCS3-L1 yang

merupakan strain S.mutan dengan defisiensi LDH secara signifikan mereduksi

potensi pathogenitasnya, dan memenuhi persyaratan pertama penggunaan sebuah

replacement theraphy untuk karies gigi. 3

Berdasarkan penjabaran ini pencegahan karies dengan menggunakan

metode ini (replacement theraphy), menanamkan sebuah strain efektor akan

sangat baik diberikan pada anak-anak segera setelah gigi erupsi dan sebelum

mendapatkan strain penyebab karies.3

49
Aspek terakhir dari keamanan replacement theraphy ialah pesyaratan

untuk kontrol penyebaran strain dalam populasi. Meningkatnya produksi Mutacin

1140b menyediakan keuntungan tertentu pada kolonisasi BCS3-L1. Dosis

minimum infeksi pada strain ini atau strain S. mutan lain belum ditentukan pada

manusia. Penelitian lebih lanjut dengan populasi sample yang lebih besarr perlu

dilakukan untuk mengukur potensi terjadinya transmisi horizontal. Pengurangan

patogenisitas dari strain probiotik BCS3-L1, kestabilan genetik meningkatkan

potensi kegunaan sebagai strain efektor untuk replacement theraphy untuk

mencegah karies gigi pada populasi manusia dengan resiko tinggi karies.

Keuntungan utama dari replament theraphy berupa perlindungan jangka panjang

yang diberikan dengan aplikasi tunggal.3

III.4.4 Rekayasa Genetik, produk Basa–Streptococci

pH dari cairan plak merupakan sebuah kunci faktor lingkungan yang

mempengaruhi fisiologi, ekologi dan patogenisitas dari kolonisasi bio film

rongga mulut. Bakteri rongga mulut dapat dimodifikasi secara genetik untuk

menghasilkan lingkungan basa, yang dapat menguntungkan dalam usaha

mencegah atau menghentikan proses karies. Beberapa peneleitian menunjukan

bahwa generasi basa berperan penting dalam keseimbangan biofilm rongga mulut

dan menghalangi perlekatan dan proses terjadinya karies pada gigi. Dalam sebuah

tinjauan singkat, Burne dan Marquis mengambarkan sebuah proses pembentukan

basa sebagai hasil dari produksi amonia dari arginin dan urea. Proses ini

dihubungkan dengan perrubahan genetik strain streptokokus dalam interaksinya

50
dengan komponen dari dental plak. Belum ada data penelitian yang tersedia baik

secara acak maupun terkontrol yang mendukung aplikasi klinis dari terapi ini.3

51
BAB IV SIMPU

LAN

Karies gigi adalah penyakit multifaktorial, banyak mencegahnya seperti

penggunaan fluoride, kontrol mekanis dan kimia dari plak, pit dan fissure sealant

dll. Namun demikian, untuk sebagian besar, pengobatan penyakit ini sebagian

besar terbatas pada pengangkatan bagian yang sakit pada gigi dan menempatkan

restorasi yang sesuai. Vaksin gigi telah menjadi topik imunologi mukosa dan

penelitian penyakit menular. Ternyata, fokus utama penelitian gigi adalah

pengembangan vaksin anti mutan oral yang aman dan manjur. Vaksinasi terhadap

karies didasarkan pada gagasan bahwa prinsip yang sama yang berlaku untuk

kekebalan mukosa berlaku untuk perlindungan terhadap karies.

Secara umum, replacement theraphy menggunakan strain efektor yang

dirancang untuk memberikan sejumlah keunggulan dibandingkan strategi

pencegahan konvensional dan vaksin oral. Dalam kasus karies gigi, satu rejimen

kolonisasi tunggal yang menyebabkan kolonisasi persisten oleh strain efektor

harus memberikan perlindungan seumur hidup. Salah satu keuntungan terbesar

replacement theraphy dan vaksinasi karies adalah kebutuhan minimum kepatuhan

pasien terhadap pencegahan karies meskipun tindakan kebersihan mulut untuk

mencegah penyakit periodontal masih diperlukan. Konsekuensi jangka panjang

mengganggu mikroflora komensal dari rongga mulut yang telah berevolusi selama

berabad-abad harus ditentukan.

52
Namun, dilema adalah bahwa karies gigi terjadi tidak pada permukaan

mukosa namun pada permukaan yang keras dan sebagian tidak reaktif. Penelitian

pada hewan menunjukkan bahwa ada harapan besar dalam implantasi strain

mikroba oral a patogen yang berhasil diselesaikan dengan S. mutans

(replacement theraphy), namun hanya sedikit percobaan manusia yang telah

dilakukan sampai saat ini. Perbedaan pendapat yang signifikan mengenai apakah

antibodi untuk perlindungan terhadap karies harus berada di kelas antibodi IgG

atau IgA. Terlepas dari mekanisme dimana perlindungan kekebalan terhadap

karies gigi tercapai, kemajuan lebih lanjut untuk membuat imunisasi terhadap

karies dapat dipraktikkan akan bergantung pada uji klinis yang bertujuan untuk

menentukan apakah temuan dari percobaan hewan dapat berhasil ditransfer ke

manusia. Strategi imunisasi aktif atau pasif, yang menargetkan elemen kunci

dalam patogenesis molekuler S. mutans, memegang janji. Mengintegrasikan

pendekatan ini ke dalam program kesehatan masyarakat berbasis luas mungkin

telah mencegah penyakit karies gigi yang dialami oleh banyak anak di dunia, di

antaranya risiko karies tinggi dapat memperoleh manfaat terbesar.

53
DAFTAR PUSTAKA

1. Romário da Silva D, Cristina Barbosa da Silva A, Macedo Filho R, Dornela Verli F,


Aparecida Marinho S. Vaccine against Dental Caries: An Update. Adv Microbiol
[Internet]. 2014;4(4):925–33. Available from: http://www.scirp.org/journal/aim
%0Ahttp://dx.doi.org/10.4236/aim.2014.413103%0Ahttp://creativecommons.org
/licenses/by/4.0/
2. Chong C. Review of Approaches to Caries Treatment. 2016;
3. Anusavice KJ. Present and future approaches for the control of caries. J Dent
Educ. 2005;69(5):538–54.
4. Roeslan B. Imunologi Oral. Balai Penerbit Fakultas Kedokteraan Universitas
Indonesia Jakarta,2002; 2002.
5. Dental Caries Vaccine – A Possible Option ? 2013;7(6):1250–3.
6. Article R. Gene Therapy and its Implications in Dentistry. 2011;4(August):85–92.
7. Jacob KC, Yashoda R, Puranik MP. Gene Therapy in the Treatment and Prevention
of Oral Cancer: An Overview. Int J Adv Heal Sci @BULLET. 2015;2(2):14–20.
8. Article R. Research and Reviews : Journal of Dental Sciences Gene Therapy :
Principles and Applications in Dentistry . 2014;2(1):5–12.

54

Anda mungkin juga menyukai