Anda di halaman 1dari 21

Judul asli : The Skin Microbiome : Current Perspectives and Future Challenges

Penulis : Yiyin Erin Chen, PhD, and Hensin Tsao, MD, PhD

Diambil dari : Journal of American Academy of Dermatology (JAAD)

http:///www.jaad.org/article/S0190-9622%2813%2900076-

Penerjemah : Yudha Permana

Mikrobioma Kulit : Perspektif Masa Kini dan Tantangan Masa Depan

Komunitas kompleks bakteri, jamur, dan virus berkembang biak pada kulit kita. Komposisi
komunitas ini tergantung pada karakteristik kulit, seperti konsentrasi kelenjar sebasea, kadar air,
dan suhu, serta faktor genetika host dan lingkungan eksogen. Penelitian metagenomik terkini
telah menemukan sebuah keragaman mengejutkan dalam ekosistem ini dan mendorong
pandangan baru mengenai organisme komensal yang memainkan peran besar dalam modulasi
imun dan kesehatan epitel dibandingkan perkiraan sebelumnya. Memahami interaksi mikroba-
pejamu dan menemukan faktor-faktor yang mendorong kolonisasi mikroba akan membantu kita
memahami patogenesis penyakit kulit dan mengembangkan terapi baru promikroba dan
antimikroba. ( J Am Acad Dermatol 10.1016/j.jaad.2013.01.016.)

Kata Kunci : antibiotik; dermatitis atopi; Proyek mikrobioma manusia; imunologi; imunitas
bawaan; metagenomik; kanker kulit; mikrobioma kulit

Dimulai dengan penemuan mikroskop van Leeuwenhoek di abad ke-17,


penelitian yang menghubungkan mikroba terhadap penyakit pada manusia dengan
mengungkap secara langsung, satu persatu hubungan antara patogen dan patologi
kulit. Penemuan seminal yang meliputi virus papilloma humanus sebagai
penyebab kanker sel skuamosa dan Treponema pallidum sebagai penyebab sifilis.
Baru-baru ini, kemajuan metagenomik memungkinkan kami untuk melakukan
pemeriksaan tidak hanya satu patogen pada waktu tertentu tetapi ribuan mikroba
yang berbeda secara bersamaan. Dengan teknik ini, para ilmuwan secara
mengejutkan menemukan komunitas mikroba yang beragam dan kompleks yang
berkembang biak pada permukaan epitel dari setiap individu. Komunitas ini
mempengaruhi fisiologi manusia, imunitas, dan penyakit dengan cara yang kita
sekarang baru sadari.

1
Diperkirakan 1 juta bakteri, dengan ratusan spesies yang berbeda,
menghuni setiap sentimeter persegi kulit. Banyak penelitian menunjukkan bahwa
mikroba dapat memberikan kontribusi pada penyakit yang secara patologi tidak
menular, seperti dermatitis atopi (DA), psoriasis, rosasea, dan akne meskipun
penelitian molekuler akhir-akhir ini mulai menjelaskan hubungan yang kompleks
antara pejamu dan mikroorganisme. Penelitian ini membentuk paradigma baru
mengenai bagaimana mikroba menyebabkan penyakit, di mana bukan hanya
faktor patogen tetapi juga ketidakseimbangan dalam ekosistem komensal
menyebabkan patologi kulit. Ketidakseimbangan ini bisa primer atau sekunder
disebabkan oleh perubahan kulit pejamu dan imunitas dan bagaimana
ketidakseimbangan ini menyebabkan disfungsi epitel, regulasi imun yang salah,
atau pertumbuhan berlebih dari mikroba patogen adalah pertanyaan baru pada
penelitian yang akan berdampak terhadap cara kita memahami dan mengobati
penyakit kulit.

Singkatan yang digunakan:


DA : dermatitis atopi
AMPs : peptida antimikroba
IL : interleukin
rRNA : ribosomal RNA
VRSA : Staphylococcus aureus resisten vankomisin

Ulasan terbaru secara komprehensif diringkas pada mikrobioma kulit.


Ulasan ini menjelaskan secara singkat penelitian pada mikrobioma kulit tetapi
tetap fokus pada kesenjangan dalam penelitian, pertanyaan klinis relevan, dan
metode potensial menangani pertanyaan-pertanyaan ini.

APAKAH METAGENOMIK ITU?


Secara historis, karakteristik mikroba kulit melibatkan kultur swab kulit
atau biopsi spesimen. Namun, kurang dari 1% spesies bakteri dapat dibiakkan
dalam kondisi laboratorium standar, dan banyak organisme yang tumbuh
merupakan persaingan dengan organisme lain yang tumbuh lebih cepat.
Akibatnya, mudah dibiakkannya bakteri atau jamur, seperti Staphylococcus atau
spesies Malassezia, banyak menempati survei mikroba awal. Kemajuan terbaru

2
dalam amplifikasi DNA dan teknologi sequencing saat ini dapat menjadi jalan
pintas melewati tahap kultur dan memungkinkan lebih lengkap mengenai
pandangan obyektif mikrobiota kulit dan kandungan genetiknya, yang secara
kolektif disebut mikrobioma'' (untuk daftar istilah, lihat Tabel I).

TABEL 1.
Istilah Definisi
Metagenomik Tanpa kultur, analisa genom mikroba
dengan ekstraksi langsung dan kloning
DNA dari ekosistem partikular, seperti
kulit
Mikrobioma Definisi asli: komunitas ekologi,
simbiosis komensal, dan
mikroorganisme patogen yang secara
tepat terbagi pada bagian tubuh
Secara umum : kumpulan kandungan
gen di dalam ekosistem mikroba
Gen 16S rRNA Gen ribosomal pada bakteri dengan
conserved region yang digunakan untuk
amplifikasi PCR dan variable region
yang digunakan untuk klasifikasi
taksonomi
MINE Kelompok metode statistik untuk
menemukan dan membuat karakteristik
hubungan dalam kumpulan data besar
dengan banyak variabel
Metatranskriptomik Analisis bebas kultur dari total RNA
(mRNA dan rRNA) diisolasi dari
ekosistem mikroba
MINE, Maximal information-based nonparametric exploration; mRNA,
messenger RNA; PCR, polymerase chain reaction; rRNA, ribosomal RNA

Metode sequencebased bebas kultur yang menganalisis setiap koleksi


mikroorganisme, seperti mikrobiota kulit, dapat disebut sebagai metagenomik.
Pada analisis mikrobioma bakteri, metode ini paling sering melibatkan amplifying
the prokaryotic small subunit ribosomal RNA (rRNA 16S) gene dengan
polymerase chain reaction (PCR) langsung dari sampel kulit (Gambar 1, A). Gen
16S rRNA terdapat di semua bakteri dan archaea tetapi tidak pada eukariota. Gen
ini berisi conserved regions yang berfungsi sebagai pengikat lokasi PCR primer
dan variable regions untuk klasifikasi taksonomi setelah high-throughput
sequencing dari produk PCR (Gambar 1, B).

3
Gambar 1. Metagenomik adalah metode bebas kultur untuk menilai mikrobiota kulit.
A. DNA dimurnikan secara langsung dari swab kulit atau biopsi spesimen. DNA ini berisi
campuran DNA genom dari kulit dan sel mikroba. Polymerase chain reaction (PCR) dengan
primer yang menguatkan ke conserved region gen 16S ribosomal RNA (rRNA) digunakan untuk
memperkuat DNA bakteri. Kemudian, amplikon PCR diurutkan. Akhirnya, urutan dapat
diklasifikasikan secara taksonomi untuk memberikan identitas spesies dalam mikrobioma dan
urutan dapat dihitung untuk memberikan kelimpahan relatif dari masing-masing spesies.
B. Kesejajaran rangkaian gen 16S rRNA antara Staphylococcus aureus dan Staphylococcus
epidermidis didownload dari Pusat Nasional untuk Informasi Bioteknologi Information dan selaras
melalui Geneious (http://www.geneious.com/). Garis biru menunjukkan nukleotida yang berbeda
antara 2 spesies. Inset menunjukkan contoh perbedaan urutan spesifik.

Urutan yang identik lebih dari 97% dapat diklasifikasikan dalam 1 spesies. Dalam
1 spesies, variasi urutan diasumsikan sebagai variasi galur intra-spesies. Selain
itu, jumlah urutan dihitung dalam 1 spesies mewakili kelimpahan relatif dari
spesies dalam sampel kulit asli. Dengan demikian, pendekatan metagenomik
memberikan gambaran komprehensif tentang komunitas bakteri dengan
menyuguhkan identifikasi dan kelimpahan relatif dari semua spesies yang ada
(Gambar 2).

4
Gambar 2. Komposisi dari metagenom tunggal.
A. Pohon filogenetik contoh metagenom didownload dari MG-RAST (data dari Fierer dkk). Jumlah
urutan dalam metagenom yang sesuai untuk setiap kategori filogenetik didaftar. Misalnya, 3790
urutan membuat naik 62% dari urutan metagenom yang ditemukan menjadi Actinobacteria oleh
kesamaan dengan urutan referensi.
B. Bagan Pie menunjukkan komposisi mikroba dalam contoh metagenom yang sama. Bagan
dihasilkan menggunakan software Krona yang tersedia di MG-RAST (http://
metagenomics.anl.gov /).

MIKROBIOMA NORMAL PADA KULIT MANUSIA


Pada tahun 2007, National Institutes of Health meluncurkan Proyek
Mikrobioma Manusia untuk melakukan survei tentang kandungan mikroba pada
242 orang dewasa yang sehat, membuat katalog referensi urutan genom mikroba,
dan memahami bagaimana habitat tertentu dalam usus, sistem genitourinari, dan
kulit berkontribusi pada kesehatan dan status penyakit. Baru-baru ini, hasil Proyek
Mikrobioma Manusia telah diterbitkan dimana menggambarkan metode
metagenomik dan database yang tersedia untuk umum dari seluruh genom dan
urutan gen 16S rRNA. Karya ini dan penelitian lain dalam dekade terakhir telah
membuat karakteristik mikrobioma kulit orang sehat dan variasinya pada
perbedaan tempat spasial, individu, dan waktu (Tabel II).

5
6
7
Dalam rahim, kulit janin adalah steril, tetapi beberapa menit setelah lahir,
kolonisasi mulai terjadi. Bayi baru lahir pertama kali terdapat kolonisasi
mikrobioma yang sama dengan keanekaragaman yang rendah pada semua daerah
kulit. Bayi yang kontak dengan mikrobiota lingkungan dan daerah yang berbeda
dari kulit mengembangkan perbedaan kelembaban, suhu, dan karakteristik
kelenjar, habitat kulit individu muncul secara divergen, mikrobiota semakin
bervariasi. Habitat ini berubah karena pubertas, penuaan, dan paparan lingkungan.
Penelitian metagenomik menggunakan 16S rRNA sekuensing pada orang dewasa
menunjukkan bahwa sebagian besar bakteri kulit dan flora usus termasuk dalam 4
filum: Actinobacteria, Firmicutes, Bacteroidetes, dan Proteobacteria, tetapi dalam
filum ini ada ribuan spesies yang berbeda. Sebuah survei dari
mikrobioma telapak tangan, misalnya, ditemukan 4742 spesies yang berbeda di 51
subyek sehat, dengan rata-rata 158 spesies hidup bersama pada sebuah telapak
tangan.
Survei mikrobioma lebih dari 20 lokasi kulit yang berbeda menunjukkan
bahwa habitat yang sama, seperti aksila dan fosa poplitea, memiliki komposisi
mikroba yang sama (Gambar 3). Contoh, pada semua individu, spesies
Propionibacterium mendominasi daerah sebasea seperti dahi, lipatan retroaurikula
lipatan, dan punggung, sedangkan spesies Staphylococcus dan Corynebacterium
mendominasi daerah lembab, seperti aksila (Gambar 3). Anehnya, organisme
Gram-negatif yang melimpah, sebelumnya dianggap mengkolonisasi kulit yang
jarang mengkontaminasi gastrointestinal, ditemukan pada mikrobioma habitat
kulit yang kering, seperti lengan atau kaki.

Kapsul Ringkasan

- Penelitian metagenomik terbaru telah mengungkapkan bahwa terdapat


ekosistem mikroba yang beragam dan kompleks yang menghuni kulit,
dikenal sebagai mikrobioma kulit.
- Ulasan ini merangkum penelitian terbaru mengenai karakteristik
mikrobioma kulit dan menyoroti kesenjangan penelitian.
- Memahami bagaimana interaksi mikrobioma kulit dengan sistem imun
host dan dengan patogen bisa membuka jalan mengenai terapi baru
antimikroba dan promikroba untuk berbagai macam penyakit,
termasuk dermatitis atopi, psoriasis, luka kronis, dan kanker.

8
Gambar 3. Komposisi mikrobioma pada kulit manusia normal. Habitat sebasea (teks biru),
lembab (teks oranye), dan kering (teks hijau) diberi label anatomis. Komposisi mikroba berbeda di
antara habitat (diagram lingkaran di kanan). Empat filum utama ditampilkan: Actinobacteria,
Firmicutes, Proteobacteria, dan Bacteroidetes. Dalam filum ini, 3 yang paling melimpah
ditampilkan: Propionibacterium, Corynebacterium, dan Staphylococcus. Gambar dikompilasi
dengan data yang diperoleh dari berbagai metagenom, dari Grice et al. Gambar ini diadaptasi dari
Gambar 3 pada Grice dan Segre dengan izin dari Nature Publishing Group.

Selain komposisi spesies yang berbeda, masing-masing habitat juga


memiliki tingkat karakteristik tersendiri mengenai keragaman mikroba dan
fluktuasi temporal. Misalnya, fossa antekubiti memiliki varian tertinggi dalam
komposisi spesies antara subjek, disebut keragaman beta, tetapi masing-masing
satu fossa antekubiti memiliki sedikit keragaman alpha, atau lebih sedikit spesies
berbeda di dalam 1 habitat dibandingkan dengan lokasi lain. Lokasi kulit yang
berbeda juga memiliki berbagai tingkat variabilitas temporal. Sebagian pada
lokasi terhambat, seperti lipatan inguinal, memiliki komunitas bakteri lebih stabil
dari waktu ke waktu, sedangkan daerah yang lebih kering dan terbuka, seperti
telapak tangan, memiliki keragaman yang lebih tinggi dan fluktuasi temporal yang

9
lebih. Karakteristik habitat kulit berdasar indeks seperti keragaman alpha,
keragaman beta, dan volatilitas temporal memberikan informasi tentang struktur
komunitas dan dapat menjadi metode kuantitatif mengikuti perubahan
mikrobioma kulit setelah pemberian antibiotik, kehadiran patogen, dan gangguan
lainnya.
Konsisten dengan ide tempat ekologi, transplantasi mikroba dari habitat
satu ke habitat lain, seperti dari lidah ke dahi, disebabkan oleh hanya kehadiran
sementara mikrobiota lidah ke dahi yang akhirnya kembali lagi ke mikrobioma
dahi. Genetik individu dan paparan lingkungan juga berkontribusi terhadap
komposisi mikrobioma, dimana habitat kontralateral dalam satu individu akan
lebih mirip dibandingkan habitat yang sama pada individu yang berbeda. Selain
itu, dalam satu spesies bakteria, perbedaan genotip pada tingkat galur terdapat
dalam bagian populasi, secara potensial berhubungan dengan karakteristik genetik
atau imun individu pejamu.
Meskipun studi metagenomik menggunakan 16S rRNA gene sequencing
merevolusi pemahaman kita tentang mikrobioma kulit yang sehat, banyak
pertanyaan yang perlu diselesaikan. Sebuah penelitian baru menunjukkan bahwa
hidung, fossa antekubiti, lengan sisi volar, dan fossa poplitea pada anak-anak
secara global berbeda di lokasi yang sama pada orang dewasa dalam hal
komposisi bakteri (Tabel II). Sebagai contoh, Staphylococcus aureus lebih
berlimpah di hidung anak-anak, dan ini secara signifikan berhubungan dengan
kolonisasi Staphylococcus aureus di lokasi kulit lainnya. Investigasi lanjutan
mengenai komposisi mikrobioma kulit dalam berbagai kelompok usia dan etnis
dapat membantu menjelaskan mengapa populasi tertentu lebih rentan terhadap
patologi tertentu dan apakah host atau faktor lingkungan menentukan komposisi
ekosistem kulit.
Selain terdapatnya kelimpahan spesies Propionibacterium,
Staphylococcus, dan Corynebacterium, sebagian besar spesies dalam mirobioma
kulit, masing-masing menyusun kurang dari 1% total flora di setiap habitat
tertentu. Spesies minoritas ini tidak banyak diteliti dan banyak yang sebelumnya
tidak diketahui mengenai kolonisasinya pada kulit, namun demikian spesies

10
dengan kelimpahan rendah tetap mampu menjaga roda ekosistem kulit. Penelitian
tentang metagenomik ekosistem tanah telah menunjukkan bahwa beberapa spesies
jamur dengan kelimpahan rendah sangat aktif dalam proses dekomposisi esensial.
Oleh karena itu, suatu kemungkinan bahwa mikroba kulit dengan kelimpahan
rendah juga memberikan pengaruh besar kepada spesies yang melimpah, seperti
Staphylococcus epidermidis, atau spesies patogen, seperti Staphylococcus aureus.
Salah satu cara untuk mendeteksi hubungan antar pasangan spesies dalam
mikrobioma adalah dengan menggunakan statistik nonparametrik eksplorasi
berbasis informasi yang maksimal. Alat statistik terakhir ini telah dikembangkan
dan diterapkan untuk berbagai set data yang besar, termasuk mikrobioma usus.
Aplikasi eksplorasi nonparametrik berbasis informasi maksimal terhadap data
mikrobioma kulit bisa mengisyaratkan pasangan spesies bakteri mana yang secara
fungsional bersimbiosis atau antagonistik dan bagaimana gangguan dalam
beberapa spesies bisa merubah ekosistem secara keseluruhan.
Cara lain untuk mempelajari spesies dengan kelimpahan rendah dalam
mikrobioma kulit adalah metatranskriptomks, yang telah digunakan untuk
mempelajari mikrobioma tanah. Semua penelitian survei mikrobioma kulit yang
diterbitkan menggunakan DNA-centerred, pendekatan genomik. Sebaliknya, pada
metatranskriptomiks RNA, bukan DNA, pemurnian dari sampel kulit sebelum
dilakukan sekuensing. Karena sel sudah diperkuat RNA, pendekatan ini lebih baik
mendeteksi organisme dengan kelimpahan rendah. Selain itu, data transkriptom
menangkap aktivitas metabolik dan dapat mengungkapkan apakah spesies dengan
kelimpahan rendah memberikan kontribusi secara proporsional lebih untuk
ekosistem. Selanjutnya, karena RNA jauh lebih stabil daripada DNA,
metatranskriptom hanya mengidentifikasi mikroorganisme hidup, dan
menyediakan bidikan lebih akurat daripada metagenomik. Namun, satu tantangan
teknis untuk pendekatan ini adalah keterbatasan pada ukuran spesimen kulit
dibandingkan dengan sampel tanah, membuat isolasi RNA yang cukup lebih sulit.
Oleh karena itu, pendekatan metatranskriptomik ini lebih mungkin diaplikasikan
ketika molekul tunggal sekuensing DNA dapat dilakukan dengan cara yang lebih
murah dan throughput tinggi.

11
MIKROBIOMA PADA DERMATITIS ATOPI (DA)
Salah satu penyakit yang sering diteliti menggunakan metagenomik adalah
DA. Meskipun DA tidak menular, flareups berhubungan dengan perubahan
mikroba kulit. Dermatitis atopi bersifat kronis, kelainan kambuhan yang
mempengaruhi sekitar 15% anak-anak di Amerika Serikat. Banyak hipotesis telah
dihadirkan mengenai patogenesis DA, termasuk defisiensi protein barier epitel
filaggrin, kolonisasi oleh Staphylococcus aureus, dan hipersensitivitas imun.
Pengobatan empiris yang efektif untuk DA meliputi antibiotik, steroid, dan dilute
bleach baths. Pengobatan dianggap bekerja dengan mengurangi beban bakteri dan
menghambat respon imun disfungsional dan besar terhadap flora kulit.
Menggunakan metode kultur, kolonisasi dan infeksi Staphylococcus
aureus secara umum dikaitkan dengan DA. Konsisten dengan ini, sebuah
penelitian menunjukkan bahwa spesies metagenomik Staphylococcus meningkat
dari 35% sampai 90% dari mikrobioma selama flareups, tapi mengejutkan, baik
Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis keduanya meningkat.
Dengan demikian, data mikrobioma menunjukkan bahwa pemahaman bagaimana
Staphylococcus aureus mempengaruhi DA memerlukan pemahaman tentang
fluktuasi Staphylococcus aureus sebagai bagian besar ekosistem yang kompleks.
Staphylococcus epidermidis dapat menghasilkan molekul yang selektif
menghambat Staphylococcus aureus, dan beralasan bahwa Staphylococcus
epidermidis mungkin bertentangan dengan Staphylococcus aureus. Namun, dalam
usus, spesies patogen dapat lebih mudah berkolonisasi ketika spesies komensal
terkait juga berlimpah, menunjukkan bahwa spesies Staphylococcus mungkin
mutualistik. Mengingat perbedaan data di atas, dalam kasus kulit DA, masih
belum jelas apakah Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis saling
meningkatkan kolonisasi masing-masing atau apakah Staphylococcus epidermidis
meningkat sebagai respon yang bertentangan dengan populasi Staphylococcus
aureus yang meningkat. Selain perubahan jelas mengenai kelimpahan

12
Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis, banyak lain yang tidak
terkait, spesies non staphylococcal juga terlihat berubah dalam kelimpahan selama
flareup DA. Penelitian masa depan harus memeriksa apakah perubahan pada kulit
host pertama kali akan memicu perubahan komposisi spesies, sehingga
memungkinkan Staphylococcus tumbuh berlebihan, atau jika Staphylococcus
tumbuh berlebihan merupakan kejadian utama yang kemudian memaksa spesies
lain untuk berubah dalam kelimpahannya.
Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin diteliti lebih lanjut pada model mouse
DA, seperti pada NC / Nga mouse, yang mengembangkan penyakit dimana secara
klinis dan histologis mirip dengan DA setelah terpapar aeroalergen lingkungan.
Yang penting, memahami bagaimana Staphylococcus aureus berhubungan dengan
fluktuasi mikrobioma secara keseluruhan dapat mengungkapkan perawatan baru
pada flareups DA seperti rebalancing dan rediversifying mikrobioma kulit
daripada menghilangkan Staphylococcus aureus atau beban bakteri pada kulit.
Pelajaran dari DA juga menginformasikan tentang pemahaman kita mengenai
patologi kulit lainnya, seperti psoriasis, akne, dan luka kronis, yang juga mungkin
terkait dengan ketidakseimbangan mikrobioma.
Penelitian mikrobioma yang mirip dengan DA telah dilakukan pada pasien
dengan psoriasis, luka kronis, atau akne (Tabel II). Pada luka kronis, mikrobioma
ditemukan kurang beragam dibandingkan dengan kulit yang sehat tetapi tidak ada
konsensus mikrobioma ditemukan, bahkan di antara luka dengan etiologi yang
sama. Sebaliknya, mikrobioma folikel pada akne lebih beragam daripada di folikel
sehat, dimana kolonisasi secara eksklusif oleh Propionibacterium acnes. Dan pada
psoriasis, konsensus masih kurang mengenai bagaimana dan mengapa
mikrobioma plak psoriatik berbeda dari kulit normal. Penelitian metagenomik
dengan stratifikasi lebih rinci berdasarkan status klinis pasien dan regimen
pengobatan dapat membantu menjelaskan signifikansi klinis temuan ini.

ANTIBIOTIK DAN MIKROBIOMA


Sebuah kesenjangan besar dalam pemahaman kita saat ini adalah
bagaimana pengobatan saat ini dapat mempengaruhi mikrobioma. Pengobatan

13
dermatologi banyak menggunakan bakterisida atau imunosupresif dan mungkin
memiliki efek yang tak terduga pada mikrobioma. Dalam usus, antibiotik
ditemukan menyebabkan tidak hanya kerugian sementara dalam keanekaragaman
bakteri tetapi juga kerugian jangka panjang pada anggota mikrobioma melampaui
target langsung antibiotik tersebut. Meskipun vankomisin hanya mempunyai
target terhadap bakteri Gram-positif, populasi Gram-negatif berkurang setelah
pengobatan vankomisin. Efek off-target mikroba ini mungkin terjadi sebagai
akibat dari hubungan tidak langsung antara spesies bakteri yang dibunuh melalui
proses ekosistem-wide, seperti pertukaran metabolit dan pembuangan produk
limbah.
Selanjutnya, setelah penghentian pengobatan antibiotik dan setelah
pemulihan kepadatan bakteri dalam usus, perubahan jangka panjang dalam
komposisi komunitas mikroba memfasilitasi kolonisasi patogen, seperti
vankomisin-resistant Enterococcus, yang kemudian potensial menginvasi aliran
darah. Oleh karena itu, menggunakan pengobatan bakterisida seperti antibiotik
untuk DA atau sinar ultraviolet pada psoriasis mungkin memiliki jangkauan luas,
yaitu efek yang tidak diketahui pada mikrobioma dan kekambuhan penyakit. Saat
ini, data tentang pengobatan probiotik untuk penyakit kulit seperti DA tetap
kontroversial. Sebuah meta-analisis dari 7 ulasan Cochrane dan non-Cochrane
menunjukkan tidak ada bukti jelas tentang intervensi probiotik, menghindari
antigen maternal, dan diet different-antigen avoidance mengurangi kejadian DA.
Meskipun data yang dikumpulkan menunjukkan penurunan kejadian eksim
dengan pemberian ASI eksklusif selama minimal 6 bulan dan dengan suplemen
probiotik ibu, data ini didasarkan pada uji coba yang kecil. Selain itu, uji coba ini
difokuskan pada modulasi mikrobioma usus yang mempengaruhi kesehatan kulit.
Penelitian di masa depan mengenai pengobatan untuk patologi kulit terkait
mikroba dapat diarahkan kepada rejimen probiotik yang secara langsung
memodulasi mikrobiome kulit.

METAGENOMIK UNTUK INVESTIGASI INFEKSI KUTANEUS

14
Studi metagenomik telah memberikan wawasan tentang DA, psoriasis,
akne, dan luka kronis. Penyakit ini tidak menular tetapi dapat dipengaruhi oleh
pergeseran dan ketidakseimbangan dalam mikrobiota kulit. Organisme yang
menyebabkan infeksi kulit juga dapat dipelajari melalui metagenomik, yang bisa
sangat berguna pada infeksi yang terkait dengan rentang yang luas dari fitur klinis,
variabilitas geografis dan variabilitas host. Salah satu organisme tersebut adalah
Staphylococcus aureus, merupakan sumber utama infeksi rumah sakit dan
komunitas didapat. Manifestasi berkisar dari asymtomatic nasal carriage sampai
impetigo, deskuamasi diperantarai enterotoksin, pneumonia necrotizing parah, dan
septikemia. Selain itu didapatkan berbagai virulensi dan kapabilitas menghasilkan
toksin, Staphylococcus aureus juga menunjukkan kerentanan antibiotik variabel,
termasuk metisillin dan resistensi vankomisin. Patogenisitas luas dan
meningkatnya resistensi antibiotik ditambah dengan berkurangnya pilihan
pengobatan membuat Staphylococcus aureus merupakan patogen penting untuk
dipelajari demi keselamatan pasien dan perspektif kesehatan masyarakat.
Sejauh ini, 14 strain Staphylococcus aureus telah seluruhnya diurutkan,
dengan lebih banyak bagian sequencing. Selain itu, DNA microarrays telah
dikembangkan untuk perbandingan genom antara strain Staphylococcus aureus.
Studi menggunakan seluruh genom sequencing dan DNA microarray
menunjukkan bahwa virulensi dan resistensi antibiotik yang terkait dengan kedua
factor, host-spesifik dan keturunan-spesifik, dan dikodekan dalam berbagai cara,
termasuk mutasi titik atau sisipan kecil dalam gen tertentu, large mobile genetic
elements terdiri dari banyak gen virulensi yang bergerak bersama-sama, dan
plasmid conjugatif dari spesies terkait, seperti Enterococcus resisten vankomisin.
Penelitian tentang vankomisin-resistant Staphylococcus aureus (VRSA)
memberikan contoh bagaimana penelitian genomik dapat mencirikan munculnya
dan epidemiologi dari strain resisten antibiotik untuk mengidentifikasi target
pengobatan masa depan. Sejak kemunculannya, semua isolat VRSA telah
ditemukan strainnya dalam keturunan klonal Complex 5 (CC5) dan resistensi
tampaknya muncul dari akuisisi transposon, ditunjuk Tn1546, dari Enterococcus
resisten vankomisin selama infeksi dibanding penyebaran VRSA antara individu.

15
Baru-baru ini, penelitian komparatif dari seluruh genom 12 VRSA
mengungkapkan bahwa strain CC5 strain memiliki beberapa fitur genetik yang
tidak muncul dalam garis keturunan Staphylococcus aureus lainnya, yang dapat
meningkatkan akuisisi plasmid dari spesies bakteri lainnya dan merusak fungsi
imun tubuh pejamu.
Selain teknik menggunakan seluruh genom, metode seperti multilocus
sequence typing dan spa typing telah dikembangkan untuk menganalisis
epidemiologi Staphylococcus aureus pada ratusan sampel yang berbeda klinisnya,
geografis, atau karakteristik pejamu. Serupa dengan metode metagenomik 16S
rRNA yang dijelaskan sebelumnya, multilocus sequence typing dan spa typing
bergantung koleksi sampel bebas kultur, maka urutan daerah spesifik yang ada di
galur Staphylococcus aureus, dan akhirnya klasifikasi galur didasarkan pada
strain spesific allel. Penelitian menggunakan pendekatan ini menunjukkan bahwa
meskipun ada jumlah besar garis keturunan Staphylococcus aureus yang muncul
di seluruh dunia, hanya 10 yang dominan, 3 garis keturunan yang jarang
berhubungan dengan resistensi methisillin. Kemajuan lebih lanjut dan lebih luas
dalam penggunaan genomik untuk mempelajari epidemiologi patogen akan terus
meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana informasi genetik dalam
patogen mengkodekan patologi dan spesifisitas host. Penelitian serupa di luar
Staphylococcus aureus telah menunjukkan asosiasi kuat antara genotip strain
Helicobacter pylori dan etnis host dan pola migrasi.

MIKROBIOMA PADA PERKEMBANGAN IMUN


Sebagai garis pertama pertahanan terhadap infeksi, kulit merupakan
sebuah penghalang fisik dan imunologi. Bersama dengan usus, kulit adalah salah
satu yang paling banyak lokasi yang teramati imun-nya dalam tubuh. Sistem imun
tidak hanya harus membedakan antara diri dan lainnya tetapi juga melakukan
tugas yang lebih sulit yaitu membedakan antara mikroba menguntungkan dan
patogen. Karena semua mikroba berbagi molekul yang sama pada pola
lipopolisakarida dan peptidoglikan, ini telah menjadi tantangan untuk memahami
persis peringatan apa tentang sistem kekebalan tubuh sampai patogenisitas-nya.

16
Sekarang bukti menunjukkan bahwa baik mikrobiota kulit dan usus memainkan
peran penting dalam mendidik dan membantu sistem kekebalan tubuh.
Percobaan pada tikus laboratorium bebas kuman menawarkan wawasan
pertama peran penting mikrobiota untuk perkembangan imun. Tikus-tikus ini
menunjukkan pengembangan jaringan limfoid terkait usus dan kelenjar getah
bening mesenterika yang rusak, mengurangi ekspresi epitel untuk molekul
kekebalan tubuh, dan diferensiasi T-sel yang tidak sesuai. Studi juga
menunjukkan bahwa gangguan pada mikrobiota usus berkontribusi terhadap
penyakit disregulasi imun. Demikian pula, baru-baru ini penelitian telah
menunjukkan bahwa tikus bebas kuman tanpa mikroba kulit komensal memiliki
produksi sitokin dan populasi T-sel kulit yang abnormal. Tikus bebas kuman ini
tidak bisa melakukan peningkatan yang sesuai respon imun terhadap infeksi
utama Leishmania intradermal, namun imunitas bisa diselamatkan dengan
membiarkan Staphylococcus epidermidis berkolonisasi pada kulit tikus bebas
kuman. Hasil ini menawarkan bukti menggoda bahwa, seperti usus, kulit telah
berkembang dengan baik fungsi imunnya baik pada tingkat epitel dan imun
jaringan terkait. Dengan demikian, banyak prinsip yang sama dan jalur
penyelidikan di mikrobioma usus dapat diterapkan ke mikrobioma kulit.
Penghalang kulit sehat terdiri atas imun pengawasan dan keratinosit epidermis,
yang menghasilkan peptida antimikroba (AMP) yang berkontribusi pada
kekebalan alami (Gambar 4). Ekspresi AMP ini di up-regulasi oleh kehadiran
spesies Propionibacterium dan bakteri Gram positif lainnya. Selain AMP, sebosit
dapat menghasilkan asam lemak bebas antimikroba oleh hidrolisis trigliserida
sebum. Hidrolisis trigliserida ini juga dilakukan oleh flora bakteri komensal
seperti Propionibacterium acnes dan Staphylococcus epidermidis.
Sejumlah besar komensal Gram-positif, termasuk spesies Lactococcus,
Streptococcus, dan staphylococcus, juga memproduksi faktor bakterisida de novo.
Peptida yang disebut phenosoluble modulins diproduksi oleh Staphylococcus
epidermidis dan memiliki aktivitas selektif terhadap Staphylococcus aureus,
kelompok streptokokus A, dan Escherichia coli tapi tidak Staphylococcus
epidermidis lainnya. Menariknya, strain Staphylococcus aureus juga

17
memproduksi modulins phenosoluble, tetapi memiliki aktivitas antimikroba
minimal dan bukannya menginduksi lisis neutrofil sedangkan modulins
phenosoluble Staphylococcus epidermidis memiliki aktivitas membunuh bakteri
tetapi tidak berpengaruh pada neutrofil. AMP yang diproduksi bakterial tidak
hanya memainkan peran kecil dalam imunitas alami tetapi berlimpah pada kulit
dan, dalam jumlah nanomolar, dapat menurunkan kelangsungan hidup patogen
pada kulit manusia sehat dengan 2 sampai 3 kali lipat log.

Gambar 4. Mikrobioma dan imunologi kulit. Virus, bakteria, dan jamur (ungu, merah, atau hijau)
membungkus kulit dan appendiks. Keratinosit menghasilkan peptida antimikroba (AMPs). Sebosit
menghasilkan asam lemak bebas (FFAs). Beberapa mikroba komensal juga memproduksi AMPs,
FFAs, dan modulin fenosolubel (PSMs). Semua molekul ini menghambat kolonisasi
patogen.Mikroba komensal dapat juga menghambat pertumbuhan patogen dengan kompetisi dan
mengelompok di permukaan kulit. Mikrobiota juga berinteraksi dengan sel imun untuk
mengaktivasi molekul-molekul itu dan memproduksi produksi sitokin pro dan antiinflamasi.
Diagram kulit punggung di download dan digunakan dengan izin dari Docstoc

Mikrobiota tidak hanya mengaktifkan dan membantu kekebalan alami


tetapi juga mempengaruhi imunitas adaptif, meskipun interaksi ini lebih kompleks
dan kurang dipahami dengan baik. Studi dalam tampilan usus dimana komensal
Bacteroides fragilis mengaktifkan pengaturan Sel T dan merangsang produksi
sitokin anti-inflamasi, terutama interleukin (IL) -10. Penelitian lain tentang
bagaimana mikrobiota usus mungkin memodulasi sistem kekebalan tubuh dibahas

18
di tempat lain. Bagaimana mikrobiota kulit mungkin mempengaruhi sistem
kekebalan bawaan dan adaptif sekarang harus menjadi salah satu objek investigasi
aktif karena begitu banyak penyakit autoimun-vitiligo, dermatomiositis, dan
lupus, untuk memberi nama beberapa manifestasi pada kulit bahkan jika juga
terjadi sistemik.

IMUNOLOGI KANKER DAN MIKROBIOMA


Keganasan telah diduga sebagai hasil dari gangguan dalam surveilans
kekebalan dan dari mutagenik dan proliferasi lingkungan, seperti peradangan
kronis. Karena mikrobioma kulit penting untuk mengembangkan sistem
kekebalan tubuh yang berfungsi baik dan memodulasi peradangan, ini juga dapat
melindungi terhadap kanker. Untuk mendukung hipotesis ini, penelitian telah
menunjukkan bahwa para pekerja, seperti sebagai petani dan pekerja insinerator
sampah, yang terpapar banyak mikrobiota lingkungan memiliki tingkat kanker
yang rendah. Kanker dan peradangan terkait dalam beberapa cara. Penelitian telah
menunjukkan bahwa peradangan kronis dan cedera jaringan meningkatkan risiko
kanker, seperti dalam hubungan antara infeksi Helicobacter pylori dan kanker
lambung atau antara luka bakar dan karsinoma sel skuamosa. Di sisi lain,
peradangan akut dapat mengaktifkan tumor necrosis factor
dan aktivitas antitumor yang diinduksi IL-12, seperti dalam kasus Coley toksin
menyebabkan regresi sarkoma. Bakteri komensal kulit telah terbukti mengurangi
peradangan selama penyembuhan luka dan mengaktifkan kekebalan bawaan dan
sitokin inflamasi. Ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana bakteri komensal
mempengaruhi peradangan kulit dan hal ini berkontribusi atau melindungi
terhadap keganasan?
Bukti kini telah tersedia bahwa komponen mikroba sebenarnya memiliki
aktivitas antitumor terhadap kanker kandung kemih dan usus besar, setidaknya
dalam bagian peningkatan imunosurveilans. Sejauh ini, belum ada penelitian yang
diterbitkan pada bagaimana mikrobioma mempengaruhi genesis dan propagasi
kanker kulit. Penilaian metagenomik global perbedaan mikrobioma antara lokasi
tumor dan kulit yang sehat dapat membantu menjelaskan kecenderungan berbeda

19
untuk kanker antara individu dan habitat kulit meskipun pajanan matahari yang
sama dan dapat membuka pintu untuk terapi baru.
KESIMPULAN
Metagenomik telah merevolusi pandangan kami tentang mikrobioma kulit
dan interaksinya dengan sistem epitel dan kekebalan tubuh inang. Metagenomik
juga telah menghasilkan banyak pertanyaan baru mengenai faktor apa yang
mendorong komposisi dan fluktuasi dalam ekosistem kulit, bagaimana perubahan
dalam mikrobioma dapat berkontribusi terhadap penyakit, dan bagaimana
intervensi medis kita mempengaruhi mikrobioma. Untuk berbagai penyakit yang
berhubungan dengan gangguan dalam epidermis atau sistem kekebalan tubuh,
seperti melanoma, penyakit graft-versus host, dan penyakit autoimun,
mempelajari mikrobioma dapat memberikan perspektif baru untuk faktor patogen
dan target pengobatan baru.

Telah dibacakan tanggal 3 Juni 2013


Moderator

Prof. dr. Kabulrachman, SpKK (K)

20
21

Anda mungkin juga menyukai