Anda di halaman 1dari 4

1.

BERCAK COKELAT

Drechslera oryzae

Bercak cokelat (brown spot) umum terdapat di pertanaman padi Indonesia. Bahkan penyakit ini
terdapat di semua negara penanam padi, baik di tropik maupun di daerah beriklim sedang. Karena
sede-mikian umumnya, penyakit kurang menarik perhatian petani. Lebih-lebih lagi di sini belum
pernah dilakukan penelitian tentang besarnya kerugian yang disebabkannya. Namun karena penyakit
tersebar sede-mikian meluas, secara keseluruhan kerugian yang diakibatkannya akan besar juga.

Penyakit ini lebih banyak terdapat di pertanaman yang kurang baik keadaannya, antara lain yang
kekurangan air dan unsur hara, sehingga sering penyakit dianggap sebagai 'penyakit orang miskin'.
Johnston (1961) melukiskan bahwa di Irian Jaya padi tanah kering yang kurus mempunyai daun-daun
yang penuh bercak cokelat dan hampir semua biji pada setiap malai berubah warnanya.

Untuk pertama kali penyakit ini diuraikan oleh van Breda de Haan di Jawa pada tahun 1900, dan
jamur penyebab penyakitnya disebut Helminthosporium oryzae B. de Haan. Sejak dulu penyakit
sering dilaporkan timbul merata-meskipun kurang merugikan-di banyak tempat di Indonesia, antara
lain di Surabaya dan Madura (Rutgers, 1914a), Rembang (van Hall, 1920), dan Sumatra Barat (van
Hall, 1919, 1920, 1922). Penyakit ini juga umum terdapat di padi lebak di Palembang (Umayah dan
Salim, 1997).

Besarnya kerugian sukar diketahui secara tepat. Pada tahun 1978, 1979, dan 1980, luas penyakit
bercak cokelat di Indonesia ada-lah 14.486,4.164,dan 4.457 ha, dengan intensitas penyakit berturut-
turut 15,1,19,7, dan 12,7% (Anon., 1981).Sedang pada tahun 1977 dan 1978 di Sumatra Barat luas
penyakit adalah 500 dan 366 ha, dengan intensitas penyakit 2,7-52,0% (lihat Mardinus, 1983). Di
Delta Upang, Sumatra Selatan, intensitas penyakit sekitar 39% (Sutakaria dan Satari, 1976). Pada padi
sawah lebak intensitasnya 10-20% (Mulawarman,1993).

Di India dilaporkan bahwa pada tahun 1942 bercak cokelat merupakan faktor utama yang
menyebabkan terjadinya paceklik (bahaya kelaparan) yang berat di Benggala. Diberitakan bahwa
pada tahun 1942 dan 1943 kehilangan produksi di sana mencapai 50-91%.

Gejala.-Penyakit dapat timbul pada semai, daun, dan buah. Ini sering kali berturut-turut disebut
sebagai kerusakan fase 1, 2, dan 3. Semai yang sakit dapat mati. Kerusakan pada daun mempunyai
arti yang paling penting jika dibandingkan dengan kerusakan pada semai dan buah. Penyakit pada
buah dapat menurunkan mutu biji, dan dapat menyebabkan terbawanya penyakit ke semai yang
akan datang.

Parasit yang terbawa oleh biji dapat menyerang biji-biji yang akan dan yang sedang tumbuh. Semai
yang terserang koleoptil, batang, dan akar-akarnya busuk, dan dapat menyebabkan matinya semai
ini.

Pada daun tanaman yang sudah besar terjadi bercak-bercak cokelat memanjang. Bercak-bercak kecil
berwarna cokelat tua atau cokelat ungu. Bercak yang besar tepinya berwarna cokelat tua, tetapi
bagian tengahnya dapat berwarna kuning pucat, putih kotor, cokelat, atau kelabu (Gambar 6.1).
Kadang-kadang bercak mempunyai halo kekuningan. Daun yang sakit keras dapat menjadi kering.Jika
keadaan membantu, batang dan tangkai bulir dapat terjangkit. Infeksi ini dapat menyebabkan
patahnya bagian-bagian tadi dan menjadi keriputnya biji-biji.

Tanaman yang sakit keras mungkin tidak membentuk malai, atau malai tidak dapat keluar dari upih
daun. Serangan yang ringan pada biji-biji dapat menyebabkan terjadinya bercak-bercak cokelat kecil-
kecil. Pada keadaan ini biji tetap berisi dan dapat berkecambah. Biji yang terserang berat berwarna
cokelat seluruhnya. Dalam keadaan yang sesuai, biji yang sakit diliputi oleh beledu hitam,yang terdiri
atas konidiofor dan konidium jamur. Pada umumnya jamur hanya menye-rang sebagian dari biji-biji
pada malai.

Penyebab penyakit.-Jamur yang menyebabkan bercak coke-lat adalah Drechslera oryzae (B. de Haan)
Subram. et Jain, yang disebut juga sebagai Bipolaris oryzae (B. de Haan) Schoemaker. Namun pada
waktu ini jamur masih lebih dikenal dengan namanya yang lama, yaitu Helminthosporium oryzae B.
de Haan. Di daerah beriklim sedang jamur mempunyai teleomorf(stadium seksual),mem-bentuk
peritesium, dan dideterminasi sebagai Ophiobolus miyabeanus Ito et Kuribay. atau Cochliobolus
miyabeanus (Ito et Kuribay.) Dick-son.

D. oryzae membentuk miselium berwarna cokelat kelabu sam-pai cokelat tua di dalam dan di luar
jaringan tanaman sakit, dan juga di dalam biakan murni. Konidiofor berwarna cokelat muda sampai
cokelat kehijauan, makin ke ujung warna makin muda, mempunyai panjang dan lebar yang sangat
bervariasi, tergantung lingkungannya. Konidiofor mempunyai bengkokan seperti lutut yang khas,
yang merupakan titik melekatnya konidium. Konidium yang paling bawah adalah yang paling tua.
Konidium berwarna cokelat, berbentuk kum-paran,kebanyakan agak bengkok, berdinding tebal,
bersekat-palsu 5-10, dengan ukuran yang bervariasi, tergantung faktor lingkungan dan ras-fisiologi
jamur, dengan rata-rata 104x15,5 μm(Gambar 6.2). Konidium mempunyai hilum yang khas, kecil,
sering sedikit menon-jol, ber-papil, berkecambah dari kedua sel ujungnya yang mempunyai dinding
sel paling tipis dibandingkan dengan sel-sel yang lebih ke tengah (Holliday, 1980; Singh, 1969).

sel-sel kipas. Kalau infeksi terjadi melalui mulut kulit,apresorium tidak terbentuk. Pada umumnya
infeksi terjadi sekitar 4 jam setelah perkecambahan konidium. Gejala penyakit yang pertama terlihat
sekitar 24 jam setelah infeksi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit.-Tanaman padi mempunyai ketahanan yang berbeda-


beda terhadap D. oryzae. Dari Filipina diberitakan bahwa pada jenis-jenis yang rentan penyakit pada
semai yang berasal dari benih sakit dapat mencapai 10-58%.

Dari penelitian-penelitian di India dan Jepang diketahui bahwa ketahanan daun terhadap bercak
cokelat ditentukan oleh tebalnya sel-sel epidermal, tebalnya lapisan kutikula, dan banyaknya sel
epidermal yang mengandung silisium. Selain itu ketahanan berkorelasi dengan banyaknya fraksi alkan
pada lapisan lilin daun padi. Namun dewasa ini para ahli lebih banyak menghubungkan ketahanan
dengan faktor-faktor fisiologi. Ketahanan berkorelasi dengan kecepatan akumulasi polifenol dan
hasil-hasil oksidasinya. Pada tanaman yang tahan, jika sel-sel kipas terinfeksi, di dalamnya akan
terbentuk endapan berbutir. Makin tinggi ketahanannya, makin banyak terbentuk endapan berbutir
jika terjadi infeksi. Selain itu pada jaringan yang terinfeksi terdapat substansi yang mirip fitoaleksin
yang menyebabkan terjadinya ke-tahanan (lihat Ou, 1985).

Di Indonesia belum banyak dilakukan penelitian mengenai ketahanan jenis-jenis padi terhadap
bercak cokelat. Menurut Harahap (1976), Taichung Native/1,IRS,Dawn, dan SML242 tahan terhadap
penyakit ini, mėskipun jenis-jenis itu akan menjadi rentan bila terjadi perubahan ras jamur. Pada
pengujian Soepriaman et al. (1976) pada pembibitan di Rembang, Jawa Tengah, dari 74 jenis padi
hanya 9 yang tahan terhadap bercak cokelat [dan juga terhadap Alternaria (Tricho-conis) padwickii],
antara lain adalah Siam 1019, Balop Merah 910, dan Madura Samba. Pada pengujian 111 jenis lokal
Sumatra Barat yang dilakukan oleh Mardinus et al. (1978) diketahui bahwa hanya 3 jenis yang tahan,
yaitu Pulut Samek, Pulut Halus Merah, dan Silang Wangi. Seterusnya pada pengujian terhadap 153
jenis padi Sumatra Barat Mardinus et al. (1981) menemukan 4 jenis yang sangat tahan, yaitu Seratus
Malam, Bendang Halus, Riak Danau, dan Sipulut Am-bacang,sedang yang tahan adalah Serayu, PLS-
19,PLS-20, Randah Pianggu,Cinta Manis, dan Sasak. Di daerah pasang surut Kalimantan Selatan
menurut Hanafiah Aini (1989) di antara 27 jenis padi lokal dan unggul yang diuji yang terbukti tahan
adalah Puak, Adil, dan Randah Padang; yang agak tahan adalah Simun,Lemo Halus,Bayar Kuning,
Bayar Palas, Pandak, dan Gedabung. Di antara varietas unggul padi pasang surut, Banyuasin dan
Lalan tahan terhadap bercak daun, sedang di antara padi gogo Way Rarem (Sunihardi et al., 1999).

Tanaman padi bertambah rentan bersama-sama dengan tambah-an umur, dan menjadi paling rentan
pada waktu tanaman membentuk bunga dan buah. Kerentanan meningkat bersama-sama dengan
me-ningkatnya berat kering, nitrogen total, asam amino bebas,dan protein total.

Kelembapan tanah dapat mempengaruhi ketahanan tanaman. Padi yang ditanam dalam keadaan
kering, termasuk padi gogo, lebih rentan terhadap Drechslera. Selain itu kelembapan tanah mempe-
ngaruhi lamanya jamur bertahan dalam tanah. Makin tinggi kelem-bapan tanah, makin cepat
matinya jamur yang terdapat di dalamnya. Pada kelembapan tanah 20% dengan suhu 31°℃ jamur
masih hidup setelah 6 bulan. Pada kelembapan tanah 96% dengan suhu yang sama jamur sudah mati
dalam jangka waktu 1 bulan.

Kematian pada semai lebih banyak terjadi bila tanah bersuhu rendah. Hal ini juga terjadi jika benih
terpendam terlalu dalam, sehingga semai lambat muncul di permukaan tanah.

Suhu optimum untuk perkecambahan konidium adalah 25-30°C. Suhu minimum dan maksimum
masing-masing adalah 2 dan 41°C. Pembentukan konidium terjadi pada suhu 5 sampai 35-38°C.

Pada suhu 25°℃ untuk mengadakan infeksi diperlukan kelem-bapan udara paling rendah 92%. Infeksi
pada daun tidak'terjadi pada kelembapan 89%. Agar dapat terjadi infeksi berat pada suhu
22℃diperlukan masa lembap paling sedikit 10 jam.

Dalam keadaan teduh atau gelap bercak bertambah dengan cepat. Pertumbuhan jamur dalam biakan
murni juga terhambat oleh sinar matahari.

Pada umumnya kckurangan ataupun kelebihan pupuk nitrogen menambah kerentanan tanaman.
Serangan D. oryzae pada semai padi lebih banyak terjadi di tanah yang kurang mengandung kalium,
mangan, dan besi, dan di tanah yang banyak mengandung asam sulfida.

Pengelolaan.-1.Meningkatkan cara bertanam. Seperti yang diuraikan di muka, di tropik bercak cokelat
tidak menimbulkan keru-gian yang berarti pada pertanaman yang diusahakan dengan cara agro-nomi
yang baik. Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya kerugian karena penyakit tersebut tanaman
harus mendapat air yang cukup, pupuk yang seimbang, ditanam secara serentak, pada saat
penanaman yang tepat. Pemberian unsur hara yang tepat dianggap sebagai cara pengendalian
bercak cokelat yang paling baik.

Menurut Hanafiah Aini (1989), penyakit bercak cokelat di lahan pasang surut yang masam dapat
dikurangi dengan pemberian kapur sebanyak 4 ton per ha.

2.Sanitasi dan pergiliran tanaman. Karena D. oryzae dapat ber-tahan dalam tanah, jika di suatu lokasi
bercak cokelat selalu meru-gikan, sebaiknya dilakukan sanitasi dengan memotong jerami dan
memanfaatkannya untuk berbagai macam keperluan. Pergiliran tanam-an (rotasi) akan dapat
membunuh jamur yang bertahan dalam tanah.

3. Perawatan biji. Karena D. oryzae terutama mempertahankan diri dalam biji, untuk mematahkan
daurnya dapat dilakukan perawatan biji (seed treatment).
Perawatan dengan air panas (hot water treatment) lebih efektif jika dibandingkan dengan
pengobatan biji (seed dressing). Diduga ini disebabkan karena cara yang pertama dapat juga
membunuh jamur yang berada di dalam biji. Untuk keperluan ini benih direndam air dengan suhu
42°C selama 30 menit (Suskandini Ratih, 1997). Tetapi karena cara ini lebih sukar dilakukan, lebih-
lebih karena adanya risiko yang besar jika terjadi kesalahan, maka perawatan dengan air panas jarang
dilakukan secara besar-besaran.

Perawatan biji secara kimiawi dilakukan dengan formalin, se-nyawa tembaga, dan lain-lainnya.
Dahulu banyak dipakai senyawa air rasa untuk perawatan biji, tetapi sekarang pemakaian senyawa
inidilarang.

Diberitakan bahwa beberapa senyawa yang dipakai untuk mera-wat biji dapat meningkatkan
ketahanan tanaman terhadap bercak co-kelat, antara lain 4-naftakinon (vitamin K), Na-
pentaklorofenat, asam borat, α-indole acetic acid, sulfanilamid, dan griseofulvin (lihat Ou, 1985).

4. Penanaman jenis yang tahan. Jika usaha-usaha pencegahan tersebut di atas tidak dapat dilakukan,
dianjurkan untuk menanam jenis-jenis padi yang diketahui mempunyai ketahanan cukup terhadap
bercak cokelat seperti yang sudah diuraikan di muka. Sampai sekarang belum diketahui dengan pasti
produktivitas dari jenis-jenis lokal yang dinyatakan tahan terhadap bercak cokelat tersebut.

5. Penyemprotan pestisida. Di banyak negara telah dicoba pe-nyemprotan fungisida untuk


melindungi tanaman terhadap infeksi sekunder, meskipun nilai praktis dari usaha ini masih
diragukan. Diberitakan bahwa edifenfos, mankozeb, antibiotik, dan beberapa ba-han lain terbukti
efektif. Pada percobaan di rumah kaca yang dila-kukan oleh Irasakti dan Sukarsa (1985) di Lombok
diketahui bahwa propineb, karbendazim, mankozeb, dan klorotalonil sangat efektif untuk
mengurangi bercak cokelat.

Anda mungkin juga menyukai