Anda di halaman 1dari 14

ANCAMAN PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum

gloeosporioides) PADA TANAMAN KAKAO DAN


PENGENDALIANNYA
OLEH
Ir. Syahnen, MS dan Sry Ekanitha Br. Pinem,SP
Laboratorium Lapangan Balai Besar Perbenihan dan Proteksi
Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Medan
Jl. Asrama No. 124 Medan Kel. Cinta Damai Kec. Medan Helvetia 20126.
Telp. (061) 8470504, Fax. (061) 8466771, 8445794, 8458008, 8466787
http://ditjenbun.deptan.go.id/BBPPTPmed/

Penyakit antraknosa (mati ranting) yang menyerang pucuk dan ranting


tanaman kakao merupakan penyakit yang banyak menimbulkan kerugian.
Penyakit ini menyebabkan daun gugur, ranting meranggas dan mati. Akibat
serangan penyakit ini tanaman kakao menjadi kehilangan daun padahal daun
merupakan tempat untuk proses fotosintesis pada tanaman (Semangun, 2000).
Serangan penyakit semakin meningkat belakangan ini disebabkan
banyaknya pekebun yang menanam kakao tanpa naungan. Padahal untuk
tumbuh normal tanaman kakao adalah tanaman yang memerlukan naungan.
Menurut Sunanto (2002) intensitas sinar matahari yang diterima sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman kakao. Banyak ahli berpendapat
bahwa intensitas sinar matahari yang optimum adalah 50%, tetapi bila keadaan
tanah subur (tanaman yang dipupuk sesuai kebutuhan), intensitas cahaya dapat
dinaikan menjadi 70-80% dengan mengatur naungan. Disamping itu peningkatan
suhu udara akibat global warming di duga turut memperbesar serangan penyakit.
Untuk memahami lebih jauh mengenai penyakit Antraknosa, berikut ini
akan dijelaskan secara ringkas tentang gejala serangan, penyebab penyakit,
faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit, cara penyebaran penyakit,
intensitas serangan penyakit, dan cara pengendaliannya.
1. Gejala serangan penyakit antraknosa
a. Pada daun muda penyakit dapat menyebabkan matinya daun atau
sebagian dari helaian daun. Gejala ini yang sering disebut sebagai
hawar daun (leaf blight) (Semangun, 2000). Pada daun dewasa penyakit
dapat menyebabkan terjadinya bercak-bercak nekrosis (jaringan mati)
yang terbatas tidak teratur. Bercak-bercak ini kelak dapat menjadi

lubang. Daun-daun yang terserang berat akan mudah gugur, sehingga


ranting-ranting tanaman menjadi gundul (Sunanto,2002).

Gambar 1. Gejala serangan pada daun muda


Sumber: Foto Lab. Lapangan

b. Ranting yang daun-daunnya terserang dan gugur dapat mengalami mati


pucuk. Jika mempunyai banyak ranting, tanaman akan tampak seperti
sapu dan sering berlanjut dengan matinya ranting. Penyakit ini juga
dapat timbul pada buah, terutama buah yang masih pentil atau buah
muda (Semangun, 2000).

Gambar 2. Gejala serangan pada ranting, tanaman tampak seperti sapu


Sumber: Foto Lab. Lapangan

c. Pada buah muda bintik-bintik coklat berkembang menjadi bercak coklat


berlekuk. Selanjutnya buah akan layu, mengering dan mengeriput.
Serangan pada buah tua akan menyebabkan busuk kering pada ujung
buah (Semangun, 2000).
d. Buah muda (pentil) yang terserang menjadi keriput kering atau
menyebabkan gejala busuk kering. Busuk kering karena serangan
2

penyakit ini ditandai dengan terjadinya lingkaran berwarna kuning pada


batas jaringan yang busuk dan jaringan yang sehat (Sunanto, 2002).

Gambar 3. Gejala serangan pada buah


Sumber: Foto Lab. Lapangan

e. Ciri penting gejala serangan Colletotrichum pada tanaman kakao adalah


terbentuknya lingkaran berwarna kuning (halo) disekeliling jaringan yang
sakit, dan terjadinya jaringan mati yang melekuk (antraknosa). Halo dan
antraknosa dapat terjadi pada daun maupun pada buah. Tanaman yang
terserang berat oleh patogen ini berbuah sedikit sehingga daya hasilnya
sangat menurun (Mahneli, 2007).

Gambar 4. Gejala serangan antraknosa pada tanaman kakao


Sumber: Foto Lab. Lapangan

2. Penyebab penyakit
Penyakit yang disebabkan jamur Colletotrichum ini tersebar di semua
negara penghasil kakao, dan dikenal sebagai penyakit antraknosa. Di Asia
penyakit terdapat di Malaysia, Brunei, Filipina, Sri Lanka, dan India Selatan. Dan
pada tahun 1980-an di Jawa Timur serangan jamur ini tampak meningkat,
sehingga menarik cukup banyak perhatian. Sebenarnya penyakit ini sudah lama

dikenal di Jawa, tetapi kurang mendapat perhatian, karena tidak menimbulkan


kerugian yang berarti. Pada kebun yang terawat baik kerugian yang disebabkan
jamur ini tidak melebihi 5-10%. Penyakit ini mengurangi hasil kebun karena
mengurangi jumlah tongkol pertanaman dan jumlah biji pertongkol. Selain itu
penyakit ini mengurangi kandungan pati pada ranting (Semangun, 2000).

Gambar 5. Aservulus Colletotrichum


Sumber Barnett, 1972

Jamur ini mempunyai tubuh buah berupa aservulus yang menyembul


pada permukaan atas dan bawah daun. Aservulus membentuk banyak konidium
seperti masa lendir. Konidiumnya tidak berwarna, bersel 1, jorong memanjang,
terbentuk pada ujung konidiofor yang sederhana. Pada saat berkecambah
konidium yang bersel 1 tadi membentuk sekat. Pembuluh kecambah membentuk
apresorium sebelum mengadakan infeksi. Diantara konidiofor biasanya terdapat
rambut-rambut (seta) yang kaku dan berwarna cokelat tua (Semangun, 2000).
3. Faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit antraknosa
Spora tumbuh paling baik pada suhu 25-280C sedang di bawah 50C dan
di atas 400C tidak dapat berkecambah. Pada kondisi yang lembab, bercakbercak pada daun akan menghasilkan kumpulan konidia yang berwarna putih.
Faktor lingkungan yang kurang menguntungkan seperti peneduh yang kurang,
kesuburan tanah yang rendah, atau cabang yang menjadi lemah karena adanya
kanker batang. Jamur juga dapat mengadakan infeksi melalui bekas tusukan
atau gigitan serangga (Mahneli 2007).
Konidia dapat disebarkan oleh air hujan, angin, dan serangga. Konidia
yang jatuh pada permukaan daun atau buah akan segera berkecambah dan
mengadakan penetrasi. Di dalam air konidia sudah berkecambah dalam waktu 3
jam, sehingga hujan yang kecil pun dapat mendukung terjadinya infeksi. Junianto
4

dan Sri Sukamto (1987) dalam Semangun (2000) menyatakan bahwa disamping
curah hujan perkembangan penyakit dipengaruhi pula oleh suhu, untuk
perkecambahan, infeksi, dan sporulasi memerlukan suhu optimum 29,5 0C.
Patogen ini dapat bertahan pada ranting-ranting sakit atau pada daundaun sakit di pohon atau di permukaan tanah. Pada cuaca lembab atau berkabut
patogen membentuk spora (konidium). Infeksi pada buah dapat terjadi melalui inti
sel pada buah yang matang dan pori-pori pada buah yang masih hijau. Keadaan
cuaca yang sangat lembab sangat cocok untuk pembentukan spora dan
terjadinya infeksi. Patogen tidak tumbuh pada kelembapan kurang dari 95 %.
Pengaruh pohon pelindung terhadap penyakit ini sangat jelas. Jika
pohon pelindung kurang, daur hidup penyakit ini akan menjadi lebih pendek,
kakao membentuk flush lebih banyak dan sangat rentan. Di samping itu
pembentukan flush ini akan memperlemah tanaman (Junianto, 1993).
Flush ini terbentuk berulang-ulang yaitu 4-5 kali dalam satu tahun.
Pembentukan flush sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan. Faktorfaktor tersebut adalah temperatur, hujan dan penyinaran. Bila hujan tidak turun
banyak flush tidak terbentuk. Hujan juga mendorong pembentukan daun bila
flush sudah terbentuk. Pada tanaman kakao yang tidak mempunyai penaungan
atau intensitas sinar mataharinya relatif agak tinggi flush akan lebih sering
terbentuk dibandingkan tanaman kakao yang ternaungi atau intensitas sinar
mataharinya rendah. Itulah sebabnya pada tanaman yang tidak mempunyai
naungan kerusakan kelihatan lebih tinggi (Vedemecum Kakao, PTPN V).
Klon kakao mulia yang banyak diusahakan (DR2 dan DR38) rentan
terhadap Colletotrichum. DRC 16 agak rentan. Diantara kakao lindak yang tahan
adalah Sca 6 dan Sca 12 (Junianto, 1993) (Lihat Lampiran 2).
4. Penyebaran penyakit Antraknosa
Konidium jamur dipencarkan oleh percikan air, dan oleh angin. Jamur
tersebar luas diseluruh dunia, dan dapat bermacam-macam tumbuhan. Dengan
demikian sumber infeksi dapat dikatakan selalu ada (Junianto dan Sri Sukamto,
1992).
Di Sumatera Utara diduga bahwa infeksi pada semai kakao di
pembibitan berasal dari kebun karet yang ada didekatnya, yang sedang
terserang penyakit gugur daun Colletotrichum (Semangun, 2000).

C. gloeosporioides mempunyai misellium yang jumlahnya agak banyak,


hifa bersepta tipis, mula-mula terang kemudian gelap (Mehrotra, 1983 dalam
Mahneli 2007). Konidiofor pendek, tidak bercabang, tidak bersepta dengan
ukuran 7-8 x 3-4 m. Konidium jamur dipencarkan oleh percikan air, dan
mungkin juga oleh angin. Konidia terbentuk pada permukaan bercak pada daun
terinfeksi. Konidia tersebut mudah lepas bila ditiup angin atau bila terkena
percikan air hujan. Konidia sangat ringan dan dapat menyebar terbawa angin
sampai ratusan kilometer sehingga penyakit tersebar luas dalam waktu yang
singkat. Konidia mungkin juga dipencarkan oleh serangga.
5. Intensitas serangan
Di dalam pengamatan penyakit perlu diketahui intensitas serangan
penyakit. Intensitas serangan penyakit antraknosa ditentukan berdasarkan
persentase ranting terserang. Intensitas serangan penyakit dapat dibagi menjadi
4 kategori, yaitu:
Sehat

: tidak ada ranting terserang/ mati

Ringan

: < 15 % ranting terserang/ mati

Sedang

: 15-35 % ranting terserang/ mati

Berat

: > 35 % ranting terserang/ mati.

6. Metode pengendalian penyakit antraknosa


Pengendalian penyakit antraknosa secara langsung maupun tidak
langsung diharapkan dapat mengurangi perkembangan penyakit lain. Hal ini
karena

metode

pengendalian

suatu

penyakit

juga

merupakan

metode

pengendalian penyakit lain. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 1.
Menurut Sulistiowati, dkk, 2003 cara pengendalian penyakit ini dilakukan
dengan memadukan teknik pengendalian kultur teknis, mekanis, dan kimiawi.
Cara pengendalian tersebut berbeda untuk setiap intensitas serangan. Untuk
lebih jelas dapat di lihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Cara pengendalian penyakit Antraknose-Colletotrichum pada


beberapa intensitas serangan
Intensitas Serangan

Cara Pengendalian

Sangat ringan (< 5%)*

Perlu diwaspadai

Ringan (5-15%)*

Pupuk + Naungan + Sanitasi

Sedang (16-35%)*

Pupuk + Naungan + Sanitasi + Fungisida

Berat (36-75%)*

Pupuk + Naungan + Sanitasi + Fungisida

Sangat berat (> 75%)*

Eradikasi

*) Intensitas serangan ditentukan secara visual dengan menilai persentase


meranting dan persentase daun yang menunjukkan gejala.
Berikut ini akan dijelaskan masing-masing cara pengendalian dimaksud:
1. Pemupukan
Pemupukan adalah penambahan pupuk yang disesuaikan dengan umur
tanaman, kondisi tanah, dan cara bercocok tanam. Selain pemupukan lewat
tanah, khusus untuk serangan berat pemupukan perlu ditambah lewat daun.
Pemupukan dapat dilakukan dengan menggunakan pupuk anorganik maupun
pupuk organik (kompos). Pemupukan dengan kompos selain dapat
memberikan tambahan hara juga berfungsi menetralisir suhu tanah. Kompos
banyak mengandung air dan menahan air agar tidak cepat menguap ke
udara. Disamping itu kompos dapat berfungsi sebagai bumper panas karena
sinar matahari tidak langsung mengenai permukaan tanah dan menaikkan
suhu tanah.

Gambar 6. Pemupukan
Sumber: Foto Lab. Lapangan

2. Naungan
Naungan adalah pemberian pohon penaung yang cukup disesuaikan dengan
kondisi tanaman dan kondisi lingkungan setempat. Misalnya untuk tanaman
kakao yang sudah menghasilkan di daerah bertipe curah hujan C diberi
naungan 25 persen (1:4) dengan jenis pohon penaung lamtoro.
3. Sanitasi
Sanitasi dilakukan dengan cara pemangkasan ranting-ranting sakit dan
pemetikan buah-buah busuk kemudian di bakar atau dipendam dalam tanah.
Pangkasan sanitasi bertujuan menghilangkan ranting atau cabang sakit yang
terserang jamur dan untuk mengurangi kelembapan kebun agar tidak sesuai
untuk perkembangan penyakit.
Pemangkasan tunas air (mewiwil) pada batang atau cabang, karena bila
infeksi terjadi pada daun tunas air (wiwilan) cabang dan batang yang berada
dekat tunas air (wiwilan) juga akan terinfeksi dan mati lebih cepat.
4. Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati dilakukan dengan menggunakan agen hayati antara lain
dengan menggunakan larutan bakteri Pseudomonas flourescent (PF).
5. Penyemprotan Fungisida
Penyemprotan fungisida dilakukan untuk mencegah terjadinya serangan
(preventif) yang dilaksanakan pada saat pembentukan daun-daun baru
(flush) setelah mencapai 10 % dengan daun pertama kira-kira berumur satu
minggu (panjang daun 5 cm). Interval penyemprotan 7 hari atau disesuaikan
dengan munculnya daun-daun baru. Fungisida yang digunakan adalah yang
berbahan aktif prokloras dengan konsentrasi 0,1% formulasi atau fungisida
berbahan

aktif

karbendazim

dengan

konsentrasi

0,2%

formulasi.

Penyemprotan dimulai pada awal musim hujan menggunakan alat Knapsack


Sprayer atau Mist Blower dengan volume 200-300 liter per ha. Pada waktu
flush besar dilakukan 2 kali penyemprotan fungisida sistemik, misalnya
benomil, karbendazim, metil tiofanat, miklobutanil, atau prokloraz dengan
interval 10 hari. Pada waktu flush lainnya dilakukan 3 kali penyemprotan
dengan fungisida kontak, antara lain mankozeb atau oksiklorida tembaga,

dengan interval 7 hari. Penyemprotan dapat dilakukan dengan mist blower


atau power sprayer, dengan memakai air 200 liter/ha.

Gambar 8. Penyemprotan dengan menggunakan fungisida kimia


Sumber: Foto Lab. Lapangan

6. Melakukan Eradikasi
Eradikasi ini dilakukan dengan pembongkaran tanaman sakit.
7. Menanam tanaman tahan/toleran.
Menanam tanaman toleran atau tahan bertujuan untuk mengurangi
perkembangan penyakit antraknosa. Untuk penanaman baru dianjurkan
menggunakan klon tahan atau hibridanya seperti Sca 6, Sca 12, ICS 13 X
Sca 6, ICS 13 X Sca 12, ICS 60 X Sca 6, ICS 60 X Sca 12, GC 7 X Sca 6,
GC 7 X Sca 12, DR1 X Sca 6, DR1 X Sca 12, dan DR2 x Sca 12.
Selain pengendalian di atas dapat juga dilakukan dengan:
a.

Memperbaiki kultur teknis/sistem budidaya tanaman


Perbaikan kultur teknis dilakukan dengan perbaikan drainase pada lahan

datar yang sering tergenang, pembuatan terasering pada lahan miring,


pemangkasan pelindung yang terlalu lebat/rimbun, penggantian pelindung yang
tidak sesuai, penjarangan tanaman yang terlalu rapat.
b. Rehabilitasi tanaman
Untuk tanaman produktif yang telah terserang dapat dilakukan rehabilitas
tanaman dengan cara sambung samping/ sambung pucuk dengan entres dari
klon yang tahan. Setelah tunas sambung hidup, ranting dan cabang tanaman

yang disambung dipangkas secara bertahap hingga hanya tinggal bagian


tanaman yang berkembang dari klon yang tahan. Untuk mengetahui teknik
sambung samping atau sambung pucuk petani perlu segera dilatih.
Untuk tanaman yang sudah tua dan tidak produktif sebaiknya dilakukan
replanting dengan klon tahan.
Untuk mendapatkan entres klon yang tahan perlu dibangun kebun entres
klon tahan di beberapa lokasi sentra kakao sehingga petani mudah memperoleh
sumber mata entres.
c. Penanaman bibit sehat
Untuk areal penanaman baru, bibit yang ditanam haruslah betul-betul
sehat dan bukan berasal dari daerah terserang antraknosa. Bibit yang berasal
dari lokasi serangan antraknosa sebaiknya tidak digunakan lagi. Biji yang tidak
menularkan penyakit sehingga pengambilan biji dari daerah terserang untuk
dijadikan bibit di daerah tidak terserang tidak menjadi masalah.
d. Pengamatan (monitoring) serangan penyakit
Untuk mengetahui ada tidaknya serangan penyakit di dalam kebun perlu
dilakukan pengamatan serangan penyakit secara teratur. Interval pengamatan
yang dianjurkan adalah 1-2 minggu sekali. Pada areal yang telah terserang,
pengamatan dapat dilakukan bersamaan dengan saat panen buah dan mewiwil.
Bila ditemukan gejala serangan segera dilakukan pemangkasan sanitasi.

Gambar 9. Pengamatan/monitoring
Sumber: Foto Lab. Lapangan

10

e. Pelatihan petugas dan petani


Faktor tanaman yang peka, faktor lingkungan yang mendukung, dan
faktor

kultur

teknis/budidaya

tanaman

yang

kurang

baik

menentukan

keberadaan suatu penyakit. Upaya yang dapat dilakukan adalah pengelolaan ke


tiga faktor tersebut agar penyakit tiak berkembang dan meluas. Agar dapat
melakukan pengelolaan dengan baik maka SDM petani perlu segera dilatih.
Untuk dapat memberikan pelatihan yang baik kepada petani, petugas
pelatih perlu dilatih terlebih duhulu. Bentuk pelatihan yang dianjurkan adalah
SL-PHT, karena hingga saat ini, SL-PHT merupakan bentuk pelatihan terbaik
yang pernah dijalankan dan cukup berhasil dalam melatih petugas dan petani.

KESIMPULAN
1. Serangan penyakit antraknosa pada tanaman kakao dapat meningkat
disebabkan oleh kebun kakao tanpa penaung.
2. Pengendalian penyakit antraknosa dapat dilakukan dengan pemupukan
berimbang,

membuat

naungan,

sanitasi

kebun,

memperbaiki

kultur

teknis/sistem budidaya tanaman, pengendalian hayati, penyemprotan


fungisida, eradikasi dan menanam klon tahan/toleran

DAFTAR PUSTAKA
Barnett, H.L. and B.B. Hunter. 1972. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Third
Edition. Burgess Publishing Company. Minneapolis, Minnesota.
Junianto, 1993, Teknik Pengendalian Penyakit Utama pada Kakao Mulia
(Theobroma cacao L.)di Kaliwining. Pelita Perkebunan.
dan Sri-Sukamto, 1992, Colletotrichum outbreak on cocoa in East
Java. Dalam P.J. Keane and C.A.J.Putter (Ed.), Cocoa Pest and
Disease Management in Southeast Asia and Australia, FAO.
Mahneli, R, 2007. Pengaruh Pupuk Organik Cair dan Agensia Hayati Terhadap
Pencegahan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides
(Penz.)Sacc.) pada Pembibitan Tanaman Kakao (Theobromae
cacao L.)
http://repository.usu.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/7712/0
9E00239.pdf?sequence=1
Semangun, H. 2000. Penyakit-penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. UGM
Press. Yogyakarta.

11

Sulistiowati, E, Yohanes, D.J, Sri, S, Sukadar, W, Loso, W dan Nova, P. 2003.


Risalah Simposium Nasional Penelitian PHT Perkebunan Rakyat.
Analisis Status Penelitian dan Pengembangan PHT Pada Tanaman
Kakao. Bogor.
Sunanto, H 2002. Cokelat. Budidaya, Pengolahan Hasil, dan Aspek Ekonominya.
Kanisius. Yogyakarta.
Vedemecum Kakao PTPN V.

12

Lampiran 1. Pengendalian penyakit terpadu pada tanaman kakao.


Tindakan Pengendalian

1. Pemangkasan periodik tanaman


kakao dan penaung untuk tujuan
pertumbuhan tanaman (bentuk,
produksi dan pemeliharaan)
2. Khusus VSD pada intensitas
serangan ringan s/d sedang,
dilakukan pemangkasan
ranting/cabang terserang penyakit
hingga gejala coklat pada jaringan
kayu ditambah 30 cm kearah
pangkal ranting atau cabang.
Pemangkasan dilakukan interval 12 atau 2-4 minggu sekali
tergantung iklim setempat.
3. Khusus penyakit percabangan
pada intensitas serangan ringan
s/d sedang, dilakukan pengolesan
fungisida sistemik (formulasi pasta)
pada cabang terserang.
4. Pada serangan berat VSD,
antraknosa dan penyakit
percabangan dilakukan pangkas
eradikasi. Pemangkasan dilakukan
saat ditemukan ranting atau
cabang yang terserang berat.
5. Aplikasi agens hayati seperti
Pseudomonas fluorescens (Pf)
atau fungisida kimia ke bagian
tajuk yang terserang penyakit/tajuk.
6. Pemupukan N, P dan K yang
seimbang pemupukan K dapat
ditambahkan 50 % dari dosisi
normal pada tanaman terserang
penyakit.
7. Pembuatan dan perbaikan parit
drainase pada lahan yang sering
tergenang dan terasering pada
areal miring.
8. Rehabilitasi tanaman terserang
(sambung samping/pucuk dengan
klon tahan/agak tahan,
pemupukan, pemangkasan,
memperbaiki atau mengganti
naungan dan pengendalian OPT).
9. Penanaman klon kakao tahan/agak
tahan penyakit VSD, Antraknosa
dan busuk buah pada lokasi
penanaman baru.
10.Pada daerah penanaman baru
agar tidak menggunakan bibit dari
daerah serangan VSD

Penyakit
VSD

Gangguan OPT
Penyakit Busuk
Penyakit
Buah dan
Antraknosa
Kanker batang

Penyakit
percabangan

13

Lampiran 2. Kerentanan Klon terhadap Antraknosa dan Penyakit lain

Jenis klon kakao


1. DR 1
2. DR 2******
3. DR 38******
4. DRC 13 ***
5. DRC 15 ***
6. DRC 16 ***/******
7. ICCRI 01****
8. ICCRI 02****
9. GC 7 ***
10. GC 29**
11. ICS 60*****
12. UIT 1*
13. TSH 858*
14. Pa 48
15. Pa 191*
16. Pa 310*
17. Pa 300*
18. Ics 13*
19. NIC 7*****
20. NW 6261*****
21. RCC 70*
22. RCC 71*
23. RCC 72*
24. RCC 73*
25. ICCRI 03****
26. ICCRI 04****
27. Sca 6 ******
28. Sca 12 ******
29. ICS 6 x Sca 12***
30. ICS 13 x Sca 6/Sca 12***
31. ICS 60 x Sca 6/Sca 12***
32. GC 7 x Sca 6/Sca 12***
33. DR 1 X Sca 6/Sca 12***
34. DR 2 X Sca 12***
Keterangan :
`

Jenis
kakao/warna
biji

Ketahanan terhadap gangguan OPT


Penyakit
Penyakit
Penyakit
VSD
Antraknosa busuk buah

Mulia/putih

Rentan
Rentan
Rentan
Moderat
Rentan
Rentan
Rentan

Rentan
Rentan

Rentan

Rentan

Moderat
Rentan
Moderat

Rentan

Lindak/ungu

Agak Rentan
-

Moderat
Moderat

Hibrida

Tahan
Tahan
Moderat
Moderat
Moderat
Moderat
Moderat

Moderat
Moderat
Moderat
Moderat
Moderat
Moderat

PBK

Rentan
Tahan
Rentan

Tahan
Tahan
Tahan
Rentan
Tahan
Moderat
Moderat
Moderat
Tahan
Tahan
Tahan
Moderat
Moderat
Moderat
Moderat
Moderat
Moderat
Moderat
Moderat
Tahan
Tahan

Rentan
Rentan
Rentan

Rentan
Rentan

Rentan

Moderat = toleran
*

= Napitupulu, LA (Rispa, Medan) 1991 dan 1995

**

= PT.PP London Sumatera 1998 dan 2001

***

= Puslit Koka Jember (SK Mentan), Sulistiowaty (2006)

****

= Suhendi, D (Dilepas Mentan) 2004 dan 2005

*****

= Soenaryo dan Iswanto (1985)

******

= Semangun (2000)

14

Anda mungkin juga menyukai