Ketekese Rabu Abu 2023
Ketekese Rabu Abu 2023
2) Mengapa orang Katolik/Kristen membubuhi dahinya dengan tanda salib pada hari Rabu Abu?
Sebab menurut Injil, tanda di dahi adalah lambang kepemilikan seseorang. Dengan tanda salib di dahinya
melambangkan bahwa orang tersebut adalah milik Yesus Kristus, yang wafat di Kayu Salib. Tanda itu
serupa dengan tanda rohani atau meterai yang dimeteraikan dalam Baptisan Kristiani, yaitu ketika
manusia dibebaskan dari perbudakan dosa, serta dijadikan hamba kebenaran. (Roma 6:3-18). Tanda itu
juga serupa dengan gambaran orang-orang benar dalam Kitab Wahyu: “Janganlah merusakkan bumi atau
laut atau pohon-pohon sebelum kami memeteraikan hamba-hamba Allah kami pada dahi mereka!” (Why
7:3)
4) Berasal dari manakah abu yang digunakan pada Hari Rabu Abu?
Abu tersebut dibuat dengan membakar daun-daun palma yang berasal dari hari Minggu Palma tahun
sebelumnya. Daun-daun palma itu kemudian diberkati oleh imam – abu yang diberkati telah digunakan
dalam ritual keagamaan sejak jaman Musa (Bil 19:9-10,17).
5) Mengapa daun-daun palma yang berasal dari Hari Minggu Palma tahun sebelumnya yang
digunakan?
Sebab hari Minggu Palma adalah saat rakyat bersukacita menyambut Yesus yang memasuki Yerusalem
dengan jaya. Mereka menyambut kedatangan-Nya dengan melambai-lambaikan daun-daun palma, sedikit
di antara mereka yang menyadari bahwa Ia datang untuk wafat guna menebus dosa-dosa mereka. Dengan
menggunakan daun-daun Minggu Palma, Gereja hendak mengingatkan bahwa kita selayaknya tidak
hanya bersukacita atas kedatangan Yesus, tetapi juga menyesali kenyataan bahwa karena dosa-dosa
kitalah maka Ia harus wafat bagi kita guna menyelamatkan kita dari api neraka.
a. Dalam Kitab Ester: Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu ketika ia mendengar perintah Raja
Ahasyweros (485-464 SM) dari Persia untuk membunuh semua orang Yahudi dalam kerajaan Persia (Est
4:1).
b.Dalam Kitab Ayub: Ayub menyatakan sesalnya dengan duduk dalam debu dan abu (Ayb 42:6).
c. Dalam Kitab Daniel: Dalam nubuatnya tentang penawanan Yerusalem ke Babel, Daniel (sekitar 550
SM) menulis, “Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil
berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu.” (Dan 9:3).
d. Dalam Kitab Yunus: Pada abad kelima SM, sesudah Yunus menyerukan agar orang berbalik kepada
Tuhan dan bertobat, kota Niniwe memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja
menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu (Yun 3:5-6).
9) Bagaimana penggunaan abu dalam Gereja Perdana? Gereja Perdana mewariskan penggunaan abu
untuk alasan simbolik yang sama, yakni pertobatan dan sesal. Beberapa di antaranya:
Tertulianus (160-220): Dalam bukunya “De Poenitentia”, ia menulis bahwa pendosa yang bertobat
haruslah “hidup tanpa bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu.”
Eusebius (260-340): Sejarahwan Gereja perdana yang terkenal ini menceritakan dalam bukunya
“Sejarah Gereja” bagaimana seorang murtad bernama Natalis datang kepada Paus Zephyrinus dengan
mengenakan kain kabung dan abu untuk memohon pengampunan. Juga, dalam masa yang sama, bagi
mereka yang diwajibkan untuk menyatakan tobat di hadapan umum, imam akan mengenakan abu ke
kepala mereka setelah pengakuan.
12) Apa itu “trilogi prapaskah” yang identik dengan bacaan injil di Rabu Abu?
Sementara kita mencamkan makna abu ini dan berjuang untuk menghayatinya terutama sepanjang Masa
Prapaskah, patutlah kita mempersilahkan Roh Kudus untuk menggerakkan kita dalam melaksanakan
“trilogi prapaskah”, yakni: Puasa – Doa dan terlebih Amal belas kasihan terhadap sesama. Jelasnya,
dalam Masa Prapaskah ini, tindakan belas kasihan yang tulus, yang dinyatakan kepada mereka yang
berkekurangan, haruslah menjadi bagian dari silih kita, tobat kita, dan pembaharuan hidup kita, karena
tindakan-tindakan belas kasihan semacam itu mencerminkan kesetiakawanan dan keadilan yang teramat
penting bagi datangnya Kerajaan Allah di dunia ini.
Momen Rabu Abu dijalani bukan saja untuk mengingat kematian Yesus, namun juga untuk membawa
umat kepada kesadaran akan keberdosaan dirinya. Rabu Abu merupakan momen refleksi-introspeksi,
yang bernuansa gelap/berkabung, namun penting, untuk merenungkan hal-hal apa saja yang perlu
dipertobatkan dan diubah dalam kehidupan kita, demi menjadi Kristen yang sejati.
Warna liturgis Rabu Abu – sebagaimana warna liturgis untuk keseluruhan Masa Prapaskah – adalah
warna ungu atau ungu tua. Warna ini menyimbolkan penderitaan dan penyaliban Yesus, begitu pula
penderitaan manusia di dunia akibat kuasa dosa. Namun demikian, warna ungu juga menyimbolkan
keagungan, yang melambangkan bahwa melalui penderitaan dan kematian Yesus, akan datang keagungan
dan pengharapan pembaruan yang dirayakan dalam kebangkitan Yesus di hari raya Paskah.
Perjalanan iman menuju kemenangan Kristus perlu diawali dengan penghayatan akan kematian-Nya,
bahkan didahului dengan Masa Prapaskah, di mana umat menempatkan dirinya dalam kerendahan di
hadapan Allah. Rabu Abu merupakan momen yang tepat untuk mengakui ketidaklayakan diri di hadapan
Allah, saat untuk membuka diri di hadapan-Nya, dan mengingat, bahwa kita sesungguhnya hanyalah debu
dan abu. Firman Tuhan dalam II Tawarikh 7:14, “… dan umat-Ku, yang atasnya nama-Ku disebut,
merendahkan diri, berdoa dan mencari wajah-Ku, lalu berbalik dari jalan-jalannya yang jahat, maka Aku
akan mendengar dari sorga dan mengampuni dosa mereka, serta memulihkan negeri mereka.” Firman ini
kiranya menginspirasi kita untuk menggunakan momen Rabu Abu kali ini untuk merendahkan diri,
berdoa, berpuasa, mencari wajah Allah, dan mencari kehendak-Nya.
O Yesus, Engkau mengenakan pada keningku tanda saudari Kematian: “Ingatlah, engkau debu, dan akan
kembali menjadi debu.” Bagaimanakah aku tidak mendengarkan pesannya yang bijak? Suatu hari,
hidupku di dunia akan berakhir; batas-batas tahunku telah ditetapkan, sekali pun aku tidak tahu hari dan
waktunya. Akankah aku siap berjumpa dengan-Mu? Sudilah menjadikan prapaskah yang kudus ini
sebagai masa penuh rahmat bagiku dan bagi seluruh dunia. Ajarilah kami menghitung hari-hari kami
dengan benar, agar kami beroleh kebijakan hati. O Yesus, Engkau mengenakan pada keningku tanda
Bagaimana aku dapat berpaling dari dosa jika aku tidak berpaling kepada-Mu? Engkau berkata, Engkau
mengangkat tangan-Mu, Engkau menyentuh akal budiku dan menyebut namaku, “Berpalinglah kepada
Tuhan Allah-mu.”
Hari-hari yang Engkau anugerahkan limpahilah dengan berkat dan rahmat-MU bagiku dan bagi segenap
umat-Mu. Berpalinglah kepada kami, ya Tuhan Yesus, dan kami akan berpaling kepada-Mu.