Anda di halaman 1dari 4

PACUAN KUDA BIMA (NTB)

Yupian
yupianyupi@gmail.com
1. Pendahuluan
Pacoa Jara Sebagai Tradisi Masyarakat Bima Pacuan kuda atau yang
dikenal dengan pacoa jara oleh masyarakat Bima, Pulau Sumbawa adalah
suatu tradisi yang dipraktekkan dari generasi ke generasi. Kebertahanannya
sebagai tradisi tentu saja dikarenakan adanya makna, nilai, fungsi sosial-
budaya-politik tertentu yang dapat membantu penganutnya dalam
mengarungi eksistensi kehidupannya. Jika tidak demikian, maka sebelum
sempat diwariskan, tradisi tersebut akan ditinggalkan oleh penganutnya
(Wahid, 2011: ix). Kuda telah memiliki fungsi yang besar bagi kehidupan
masyaraka. Seperti halnya yang telah tercatat dalam sejarah, kuda telah
digunakan sebagai alat transportasi, alat pencari nafkah, alat hiburan dan
olahraga, serta alat pertahanan keamanan (Wahid, 2011: ix).
Sedangkan dalam kebudayaan masyarakat Bima, Pulau Sumbawa, kuda
memiliki arti penting bagi kehidupan masyarakatnya lebih dari sebagaimana
fungsinya. Kuda tidak hanya dilihat dari sisi pemanfaatannya baik sebagai
hewan piaraan ataupun sebagai hewan transportasi saja, lebih dari itu kuda
merupakan bagian kehidupan sosial masyarakatnya dan merupakan simbol
sosial dan budaya masyarakat tersebut (Dwikayana, 2015: 234).
Berbeda dengan pacuan kuda pada umumnya yang menggunakan joki
dewasa, olahragawan, berpakaian lengkap, bersepatu hak, berhelm, dan
memiliki pelana sebagai tunggangan. Joki cilik di Bima hanya seusia anak-
anak SD, dengan pakaian seadanya, berhelm kecil, tidak menggunakan
sepatu, berkaos kaki bola, dan tidak menggunakan pelana. Mereka hanya
mengandalkan kekuatan mengapit dengan paha ditopang oleh pegangan satu
tangan di tali kekang atau surai kuda dan aksesoris yang dikenakan di bagian
kepala kuda (Wahid, 2011: 55).
2. Pembahasan
Menurut sejarawan Bima, Siti Maryam Salahudin, pacoa jara sudah
dilangsungkan sejak zaman kesultanan (Wahid, 2011: 52). Kedatangan
orangorang Eropa semakin mempopulerkan kuda dan memperkenalkan seni
tunggangan kuda pacu dalam kehidupan masyarakat Bima. Menunggang
kuda kini telah bertransformasi menjadi tradisi dalam memenuhi hajat hidup
dan sebagai seni bagi masyarakat Bima, Pulau Sumbawa (Wahid, 2011: 52).
Dalam perkembangan selanjutnya, seni menunggang kuda seperti pacuan
sudah bukan hanya milik kalangan istana, tetapi merupakan budaya massa
pada saat itu. Arena pacuan kuda bertumbuhan hampir disetiap kecamatan
yang ada di Bima. Sampai sekarang, nama-nama arena pacuan kuda Sape,
Wera, Kempo, Kalampa, dan Dompu masih dikenang orang (Wahid, 2011:
52).
Pacoa jara selain sebagai tradisi, juga telah menjadi hiburan rakyat
paling populer bagi masyarakat Bima. Masyarakat menjadikan pacuan kuda
sebagai wahana hiburan yang dapat mereka ciptakan, sebagai pengganti atau
sepadan dengan mall, shoping, jogging, dan semacam gaya ala masyarakat
perkotaan pada umumnya. Sebagai budaya, pacoa jara dianggap mampu
mempresentasikan banyak hal dari masyarakatnya, termasuk aspek hiburan,
gaya hidup dan nilainilai tertentu yang menyertai di dalamnya (Wahid, 2011:
165).
Bagi masyarakatnya pacuan kuda dapat menjadi sebuah ruang publik
bagi bertemunya orang-orang dengan berbagai kepentingan. Pacuan kuda di
Bima bisa bertahan paling tidak karena dua hal. Pertama, pacuan kuda
merupakan budaya turun temurun yang telah mengakar di masyarakat.
Kedua, pacuan kuda sesungguhnya adalah “industri” yang dianggap dapat
menghidupi dirinya sendiri (Wahid, 2011: 165).
1. Jokinya Anak-Anak
Yap, betul sekali. Joki atau penunggang kuda dari buda pacuan kuda di
Nusa Tenggara Barat adalah anak-anak. Anak-anak ini akan dididik sejak
berumur 3 tahun dan akan menjadi joki di umur 6 hingga 7 tahun. Maksimal
usia joki hanya sampai 10 tahun. Ketika sudah di atas 10 tahun, maka tidak
boleh menjadi joki lagi.
Penggunaan anak-anak sebagai joki bukan tanpa alasan. Kuda yang
digunakan dalam budaya pacuan kuda di Nusa Tenggara Barat
berjenis sandalwood pony atau yang biasa disebut dengan kuda poni.
Berbeda dengan kuda jenis Amerika ataupun Eropa, kuda jenis ini memiliki
ciri fisik yang lebih pendek, yaitu sekitar 130-245 cm. Walaupun pendek,
kuda poni ini dapat berlari kencang, mempunyai leher besar, dan memiliki
kekuatan yang sesuai sehingga bisa dijadikan sebagai kuda pacuan.
Tidak mudah untuk menjadi joki dengan tubuh yang kecil. Apalagi
ketika berpacu kuda mereka tidak menggunakan pelana, sehingga menjadi
susah untuk duduk di atas punggung kuda. Kekuatan otot paha dan kaki joki
sangat diandalkan untuk mencengkram tubuh kuda. Jika tidak terlatih tentu
mereka akan dengan mudah terlempar dari kuda yang melaju kencang.
Namun, anak-anak di sana mampu melakukannya dengan baik.
Caranya, dengan satu tangan kecil joki cilik memeluk leher kuda serta
kendali, sedangkan tangan lainnya memegang pecut untuk mengendalikan
kuda.
Meski sudah berlatih, tak jarang joki mengalami insiden atau
kecelakaan, seperti jatuh dari kuda, atau terinjak kuda yang sedang melintas,
dan pengalaman-pengalaman pahit lainnya. Untuk itu panitia pelaksana
biasanya selalu menyiapkan mobil ambulans di pinggir arena sebagai
antisipasi jika ada kejadian-kejadian yang tidak diinginkan terjadi.
Sumber Gambar:
https://lombok.tribunnews.com/2022/03/13/potret-pacuan-kuda-di-
bima-antara-hobi-kalangan-elit-penjudi-dan-nyawa-joki-cilik
"Boe.. Boe.. Boe anaeeee... (Pukul... Pukul.... Pukul anak kuuuu...)." seru
penonton, meminta joki cilik memacu kudanya dan teriakan ini seolah
berlomba dengan suara derap sepatu pada kaki kuda pacuan yang melesat
cepat.
2. Hadiah yang Besar
Budaya pacuan kuda di Nusa Tenggara Barat diadakan setiap tahun.
Budaya yang disebut juga dengan main jaran (di Kabupaten Sumbawa) atau
pacoa jara (di Kabupaten Bima) ini diadakan setiap tahun dan berlangsung
selama 2 hingga 4 minggu. Pemerintah masing-masing daerah sudah
memiliki kalender rutin tersendiri untuk melaksanakannya. Jadi Anda jangan
khawatir jika tidak sempat menyaksikan karena setiap tahun budaya ini
selalu rutin diadakan.
Selain menjadi budaya yang mengakar di kalangan masyarakat, pacuan
kuda juga memberikan hadiah yang besar bagi para pemenangnya. Tidak
tanggung-tanggung, hadiah yang diperebutkan dapat mencapai total ratusan
juta rupiah. Terdapat pula hadiah-hadiah lain berupa barang seperti televisi,
motor, kulkas, kipas angin, dan lain sebagainya. Selain itu, kuda yang
memenangkan kejuaraan biasanya akan memiliki harga jual yang meningkat.
Hal ini membuat masyarakat begitu antusias dalam setiap pelaksanaannya.
Tidak hanya menguntungkan pemilik kuda, joki cilik yang menjadi
penunggang pun mendapatkan bayaran setiap kali mereka tampil. Mereka
dibayar berkisar antara Rp50.000 hingga Rp200.000 tergantung urutan
mereka di garis finish. Tak jarang joki-joki ini menjadi sumber pemasukan
bagi keluarganya. Bahkan, berkat mengikuti pacuan kuda, joki-joki ini dapat
membangun rumah dan membiayai kuliah kakak-kakaknya.

Sumber Gambar:
https://www.bimakini.com/2019/09/pacuan-kuda-kodim-1608-bima-
berhadiah-rp600-juta/

Anda mungkin juga menyukai