Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN TUTORIAL

BENGKAK PADA WAJAH DAN PERUT

OLEH KELOMPOK 7A :

RESKI AMALIA 1102080099

ISTIQAH FARADIYAH 1102090007

ADI DARADI 1102090046

JULEHA 1102090047

ANDI CAKRA IRWANSYAH 1102090048

MARIA ULFAH 1102090049

MUTHMAINNAH MUHAMMAD 1102090050

HARDI ASHARI MS 1102090051

AURORA PELANGI FAJRIANA 1102090052

KHUZAIMAH 1102090053

FITRIANI AL 1102090054

SITTI ROBIYA 1102090055

IRFAN THAMRIN 1102090056

JUWITA ALI 1102090057

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM

INDONESIA MAKASSAR

2011
Skenario

Seorang anak laki-laki 12 tahun, dibawa oleh ibunya ke puskesmas dengan wajah dan perut
bengkak pembengkakan terjadi sejak 3 minggu yang lalu yang makin lama semakin
bertambah. Tidak ada demam dan tanda-tanda infeksi lain.

Kata Kunci

 ♂ 12 tahun
 Wajah dan perut bengkak bengkak sejak 3 minggu lalu
 Tidak ada tanda-tanda demam dan infeksi
Pertanyaan
1. Fisiologi cairan tubuh
2. Etiologi bengkak pada wajah dan perut
3. Mekanisme bengkak pada wajah dan perut
4. Mengapa bengkak hanya pada wajah dan perut
5. Mengapa bengkak tidak disertai dengan tanda-tanda infeksi
6. Langkah-langkah diagnostic
7. Differential diagnosis
Pembahasan
1. Fisiologi Cairan tubuh
2. Etiologi bengkak

a. Penurunan tekanan osmotic koloid. Bila protein plasma di dalam darah menipis,
kekuatan ke dalam menurun, yang memungkinkan gerakan ke dalam jaringan. Ini
menimbulkan akumulasi cairan dalam jaringan dengan penurunan volume plasma
sentral. Ginjal berespons terhadap penurunan volume sirkulasi melalui aktivasi system
aldosteron-renin-angiotensin, yang mengakibatkan reabsorbsi tambahan terhadap
natrium dan air. Volume intravaskuler meningkat sementara. Namun, karena defidit
protein plasma belum diperbaiki, penurunan tekanan osmotic koloid tetap rendah dalam
proporsi terhadap tekanan hidrostatik kapiler. Akibatnya cairan intravaskuler bergerak
kedalam jaringan, memperburuk edema dan status sirkulasi.
b. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler. Penyebab paling umum dari peningkatan
tekanan kapiler adalah gagal jantung kongestif dimana peningkatan tekanan vena
sistemik dikombinasi dengan peningkatan volume darah. Manifestasi ini adalah
karakteristik untuk gagal ventrikel kanan, atau gagal jantung kanan. Bila tekanan ini
melebihi 30mmHg terjadi edema paru. Penyebab lain dari peningkatan tekanan
hidrostatik adalah gagal ginjal dengan peningkatan volume darah total, peningkatan
kekuatan gravitasi akibat dari berdiri lama, kerusakan sirkulasi vena, dan obstruksi hati.
Obstruksi vena biasanya menimbulkan edema local daripada edema umum karena
hanya satu vena atau kelompok vena yang terkena.
c. Peningkatan permeabilitas kapiler. Kerusakan langsung pada pembuluh darah, seperti
pada trauma luka bakar, dapat meyebabkan peningkatan permeabilitas hubungan
endothelium. Edema local dapat terjadi pada respons terhadap allergen, seperti
sengatan lebah. Pada individu tertentu, allergen ini dapat mencetuskan respons
anafilaktik dengan edema luas yang ditimbulkan oleh reaksi tipe histamine. Inflamasi
menyebabkan hyperemia dan vasodilatasi, yang menyebabkan akumulasi cairan,
protein, dan sel pada area yang sakit. Ini mengakibatkan pembengkakan edema
(eksudasi) area yang terkait.
d. Obstruksi limfatik. Penyebab paling umum dari obstruksi limfatik adalah pengangkatan
limfonodus dan pembuluh darah melalui pembedahan untuk mencegah penyebaran
keganasan. Terapi radiasi, trauma, metastasis keganasan, dan inflamasi dapat juga
menimbulkan obstruksi luas pada pembuluh darah. Obstruksi limfatik menimbulkan
retensi kelebihan cairan dan protein plasma dalam cairan interstisial. Pada saat protein
mengumpul dalam ruang interstisial, lebih banyak air bergerak ke dalam area. Edema
biasanya lokal.
e. Kelebihan air tubuh dan natrium. Pada gagal jantung kongestif, curah jantung menurun
pada saat kekuatan kontraksi menurun. Untuk mengkompensasi, peningkatan jumlah
aldosteron menyebabkan reytensi natrium dan air. Volume plasma meningkat, begitu
juga tekanan kapiler intervaskular vena. Jantung yang gagal ini tidak mampu memompa
peningkatan aliran balik vena ini, dan cairan dipaksa masuk ke dalam interstisial.

3. Mekanisme bengkak
Bengkak pada anak laki-laki ini dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill.
Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan factor kunci
terjadinya edema pada Sindrom Nefrotik. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan
tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke jaringan
interstisium dan terjadilah bengkak(edema). Akibat penurunan tekanan onkotik
plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan
kompensasi dengan meningkatkan retensi retensi natriumdan air. Mekanisme
kompensasi ini akan memperbaiki volume intravascular tetapi juga akan
mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalahdefek renal utama. Retensi
natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga terjadi
edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah
retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersama
pada pasien Sindrom Nefrotik. Factor seperti asupan natrium, efek diuretic atau terapi
steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus, dan keterkaitan dengan
penyakit jantung atau hati akan menetukan mekanisme mana yang lebih berperan.
4. Mengapa bengkak hanya pada wajah dan perut ?
Adannya factor gaya gravitasi yang menyebabkan cairan menuju ke tempat yang lebih
rendah yaitu pada wajah. Sehingga biasanya pada pagi hari bengkaknya pada wajah
lebih berat dan setelah melakukan aktivitas bengkaknya akan turun. Selain itu pada
daerah wajah terdiri atas jaringan ikat longgar sehingga memudahkan cairan ke wajah
5. Mengapa bengkak tidak disertai dengan tanda-tanda infeksi?
Karena pada kasus di atas tidak adanya antigen yang masuk ke dalam tubuh sehingga
tidak ada rangsangan pada termoreseptor dihipotalamus. Serta tidak adanya
pengeluaran sel-sel infalamasi (histamine) sehingga tidak ada tanda-tanda infeksi.

SINDROM NEFROTIK

Defenisi

Merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh injury glomerular yang terjadi pada anak
dengan karakteristik proteinuria, hipoproteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan
edema.

Etiologi

1. Sindrom nefrotik primer


Factor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena
sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerolus itu sendiri
tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk
dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik congenital, yaitu salah satu
jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia dibawah satu
tahun.
2. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagaia akibat dari penyakit sistemik atau sebagai
akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab
yang sering dijumpai adalah:
a. Penyakit metabolic atau congenital;DM ,Amiloidosis, Sindrom alport, miksedema
b. Infeksi : hepatitis B,malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptococcus, AIDS
c. Toksin dan allergen misalnya logam berat (Hg), penisilamin, probenesid, racun
serangga,bias ular
d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik ; lupus eritematosus sistemik,purpura
henoch-schonlein, sarkoidosis
e. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal

Gejala klinik

1. Edema biasanya dari ringan sampai berat (anasarka). Edema bias any lunak dan
cekung bila ditekan,biasanya disekitar mata (periorbita) dan berlanjut ke abdomen,
daerah genitalia, dan ekstremitas bawah
2. Penurunan jumlah urine ; urine gelap, berbusa
3. Pucat
4. Anoreksia
5. Diare disebabkan karena udem mukosa usus
6. Sakit kepala, malaise, nyeri abdomen
7. Gagal tumbuh dan pelisutan otot jangka panjang

Diagnose

Pemeriksaan laboratorium meliputi :

1. Pemeriksaan urine
a. Proteinuria : kualitatif dan kuantitatif jika sudah lebih dari 6 bulan maka
proteinuria persisten sehingga diperlukan biopsi ginjal.
b. Hematuria : warna urine penderita akan tampak berwarna merah/seperti air
daging bahkan berwarna seperti coca-cola.
2. Pemeriksaan darah
a. Reaksi serologi : anti streptolisin O meningkat
b. Aktivitas komplement : sistem komplemen tubuh ( C3 ) menurun
c. Laju endap darah : terjadi peningkatan pada fase akut dan
menurun setelah gejala klinik menghilang.
3. Bakteriologis
Pemeriksaan hapusan tenggorok dan hapusan kulit ditemukan bakteri
streptokokkus B hemolitikus grup A.
Glomerulonefritis pasca-infeksi dapat terjadi setelah dasarnya setiap infeksi, tetapi
klasik terjadi setelah infeksi Streptococcus pyogenes''''. Ini biasanya terjadi 10-14
hari setelah kulit atau infeksi faring dengan bakteri ini.
Pasien hadir dengan tanda-tanda dan gejala glomerulonefritis. Diagnosa dibuat
berdasarkan temuan dalam sebuah individu dengan riwayat infeksi streptokokus
baru. Titer streptococcus dalam darah (titer O antistreptolysin) dapat mendukung
diagnosis.
Mikroskop cahaya menunjukkan hypercellularity endocapillary menyebar karena
proliferasi sel endotel dan mesangial, serta masuknya neutrofil dan monosit.
Ruang Bowman dikompresi, dalam beberapa kasus sejauh ini menghasilkan
karakteristik bulan sabit glomerulonefritis pembentukan bulan sabit.
Biopsi jarang dilakukan sebagai penyakit biasanya regresi tanpa komplikasi.
Terapi bersifat suportif, dan penyakit umumnya sembuh dalam 2-4 minggu.

Pencegahan

Komplikasi

Keseimbangan nitrogen
Protenuria massif pada Sindrom Nefrotik akan menyebabkan keseimbangan nitrogen
menjadi negative. Penurunan massa otot sering ditemukan tetapi gejala ini tetutup
oleh gejala edema anasarka dan baru tampak setelah edema menghilang. Kehilangan
massa otot sebesar 10-2-% dari massa tubuh (learn body mass) tidak jarang dijumpai
pada Sindrom Nefrotik.
Hiperlipidemia dan lipiduria
Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai Sindrom Nefrotik. Kadar
kolestrol umumnya meningkat sedangkan trigliserida bervariasi dari normal sampai
sedikit meninggi. Peningkatan kadar kolestrol disebabkan meningkatnya LDL,
lipoprotein utama pengangkut kolestrol. Mekanisme hiperlipidemia
Hiperkoagulasi
Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat peningkatan koagulasi
intravascular. Pada SN akibat GNMN kecenderungan terjadinya thrombosis vena
renalis cukup tinggi sedangkan SN pada GNLM dan GNMP frekensinya kecil.
Emboli paru dan thrombosis vena dalam (deep vein thrombosis) sering dijumpai pada
SN. Kelainan tersebut disebabkan oleh perubahan tingkat dan aktivitas berbagai
factor koagulasi intrinsic dan ekstrinsik. Mekanisme hiperkoagulasi pada SN cukup
komplek meliputi peningkatan fibrinogen, hiperagregasi thrombosis dan penurunan
fibrinolisis. Gangguan koagulasi yang terjadi disebabkan peningkatan sintesis protein
oleh hati dan kehilangan protein melalui urin.
Metabolisme Kalsium dan Tulang
Vitamin D merupakan unsure penting dalam metabolism kalsium dan tulang pada
manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan melalui urin sehingga
menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar 25(OH)D dan 1,25(OH)2D plasma
juga ikut menurun sedangkan kadar vitamin D bebas tidak mengalami gangguan.
Karena fungsi ginjal pada SN umumnya normal maka osteomalasi atau
hiperparatiroidisme yang tak terkontrol jarang dijumpai. Pada SN juga terjadi
kehilangan hormone tiroid yang terikat protein (thyroid-binding protein) melalui urin
dan penurunan kadar tiroksin plasma. Tiroksin yang bebas dan hormone yang
menstimulasi toroksin (thyroxime-stimulating hormone) tetap normal sehingga
secara klinis tidak menimbulkan gangguan.
Infeksi
Sebelum era antibiotic, infeksi sering merupakan penyebab kematian pada SN
terutama oleh organisme berkapsul (encapsulated organisms). Infeksi pada SN
terjadi akibat defek imunitas humoral, selular dan gangguan system komplemen.
Penurunan IgG, IgA, dan gamma globulin sering ditemukan pada pasien SN oleh
karena sintesis yang menurun atau katabolisme yang meningkat dan bertambah
banyaknya yang terbuang melalui urin. Jumlah sel T dalam sirkulasi berkurang yang
menggambarkan gangguan imunitas selular. Hal ini dikaitkan dengan keluarnya
transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar dapat berfungsi dengan normal.
Gangguan Fungsi Ginjal
Pasien SN mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal akut melalui berbagai
mekanisme. Penurunan volume plasma dan atau sepsis sering menyebabkan
timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi
penyebab gagal ginjal akut adalah terjadinya edema intrarenal yang menyebabkan
kompresi pada tubulus ginjal.
Sindrom nefrotik dapat progresif dan berkembang menjadi PGTA. Proteinuria
merupakan factor resiko penentu terhadap progresivitas SN. Progresivitas kerusakan
glomerulus, perkembangan glomerulosklerosis, dan kerusakan tubulointerstisium
dikaitkan dengan proteinuria. Hiperlipidimia juga dihubungkan dengan mekanisme
terjadinya glomerulosklerosis dan fibrosis tubulointerstisium pada SN, walaupun
peran terhadap progresivitas penyakitnya belum diketahui dengan pasti.

GLOMERULONEFRITIS

Defenisi

Glomerulonefritis adalah suatu penyakit dimana terjadi peradangan pada glomerulus.

Etiologi
Penyebab utama adalah orang-orang yang intrinsik pada ginjal, sedangkan penyebab
sekunder berhubungan dengan infeksi tertentu (bakteri, virus atau parasit patogen), obat-
obatan, gangguan sistemik (SLE, vaskulitis) atau diabetes.
Biasanya disebabkan oleh streptokokkus B hemolitikus grup ( tipe M ) yang bersifat
Nefrogenik.

Klasifikasi berdasarkan perlangsungannya

 Glomerulonefritis Akut
Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara mendadak.
Peradangan akut glomerulus terjadi akibat pengendapan kompleks antigen-antibodi di
kapiler-kapiler glomerulus. Kompleks biasanya terbentuk 7-10 hari setelah terjadi
infeksi.
Pengendapan kompleks antigen-antibodi di glomerulus akan memacu suatu
reaksi peradangan. Reaksi peradangan di glomerulus menyebabkan pengaktifan
komplemen dan degranulasi selmast, sehingga terjadi peningkatan aliran darah,
peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus, dan peningkatan filtrasi glomerulus.
Protein plasma dan sel darah merah bocor melalui glomerulus. Akhirnya membrane
glomerulus rusak sehingga terjadi pembengkakan dan edema di ruang interstisum
Bowman. Hal ini meningkatkan tekanan cairan interstisium, yang dapat menyebabkan
kolapsnya setiap glomerulus di daerah tersebut. Akhirnya, peningkatan tekanan cairan
interstisium akan melawwan filtrasi glomerulus lebih lanjut.
Pengaktifan reaksi peradangan juga menarik sel-sel darah putih dan trombosit
ke daerah glomerulus. Pada peradangan, terjadi pengaktifan factor-faktor koagulasi,
yang dapat menyebabkan pengendapan fibrin, pembentukan jaringan parut, dan
hilangnya fungsi glomerulus. Membrane glomerulus menebal dan menyebabkan
penurunan GFR.
 Glomerulonefritis Progresif Cepat
Glomerulonefritis progresif cepat adalah peradangan glomerulus yang terjadi
sedemikian cepat sehinga terjadi penurunan GFR 50% dalam 3 bulan setelah awitan
penyakit. Glomerulonefritis progresif cepat dapat terjadi akibat perburukan
glomerulonefritis akut, suatu penyakit autoimun, atau sebabnya idiopatik.
Glomerulonefritis progresif cepat berkaitan dengan proliferasi difus sel-sel
glomerulus didalam ruang Bowman. Hal ini menimbulkan struktur yang berbentuk
mirip bulan sabit yang merusak ruang Bowman. GFR menurun sehingga terjadi gagal
ginjal.
Sindrom Goodpasture adalah suatu jenis glomerulonefritis progresif cepat yang
disebabkan oleh terbentuknya auto-antibodi yang melawan sel-sel glomerulus itu
sendiri. Kapiler paru juga terkena. Terjadi pembentukan jaringan parut luas di
glomerulus. Dalam beberapa minggu atau bulan sering timbul gagalginjal. Penyebab
sindrom Goodpasture tidak diketahui.
 Glomerulonefritis Kronik
Glomerulonefritis kronik adalah peradangan lama di sel-sel glomerulus. Kelainan ini
dapat terjadi akibat glomerulonefritis akut yang tidak membaik atau timbul secara
spontan. Glomerulonefritis kronis sering timbul beberapa tahun setelah cedera dan
peradangan glomerulus subklinis yang disertaioleh hematuria dan proteinuria.
Penyebabnya seringkali adalah diabetes mellitus dan hipertensi kronis. Kedua
penyakit ini berkaitan dengan cedera glomerulus yang bermakna dan berulang. Hasil
akhir dari peradangan tersebut adalah pembentukan jaringan parut dan menurunnya
fungsi glomerulus. Kerusakan glomerulus sering diikuti oleh atrofi tubulus. Para
pengidap glomerulonefritis kronis yang disertai diabetes atau yang mungkin
mengalami hipertensi ringan, memiliki prognosis fungsi ginjal jangka panjang yang
kurang baik. Glomerulonefritis kronis juga dapat menyertai lupus eritematosus
sistemik kronik.

Gejala Klinik
Sekitar 50% penderita tidak menunjukan gejala. Jika ada gejala yang pertama kali
muncul adalah penimbunan cairan disertai pembengkakan jaringan (edema),
berkurangnya volume urin, dan berwarna gelap karena mengandung darah.
Pada awalnya edema timbul sebagai pembengkakan di wajah dan kelopak mata,
tetapi selanjutnya lebih dominan ditungkai dan bias menjadi hebat.
Tekanan darah tinggi dan pembengkakan otak bias menimbulkan sakit kepala,
gangguan penglihatan, dan gangguan fungsi hati yang lebih serius.
Langkah-langkah diagnotik
Penatalaksanaan

Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi penyembuhan kelainan di


glomerulus.

1. Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan istirahat mutlah selama 6-8
minggu untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk menyembuh. Tetapi
penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa mobilisasi penderita sesudah 3-4 minggu
dari mulai timbulnya penyakit tidak berakibat buruk terhadap perjalanan penyakitnya.
2. Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak mempengaruhi
beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi menyebarnya infeksi
Streptococcus yang mungkin masih ada. Pemberian penisilin ini dianjurkan hanya
untuk 10 hari, sedangkan pemberian profilaksis yang lama sesudah nefritisnya
sembuh terhadap kuman penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang
menetap. Secara teoritis seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen
lain, tetapi kemungkinan ini sangat kecil sekali. Pemberian penisilin dapat
dikombinasi dengan amoksislin 50 mg/kg BB dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika
alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan eritromisin 30 mg/kg BB/hari
dibagi 3 dosis.
3. Makanan. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1 g/kgbb/hari) dan
rendah garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita dengan suhu tinggi
dan makanan biasa bila suhu telah normal kembali. Bila ada anuria atau muntah,
maka diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi
pemberian cairan disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi
seperti gagal jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang
diberikan harus dibatasi.
4. Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian sedativa
untuk menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat. Pada hipertensi
dengan gejala serebral diberikan reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan
reserpin sebanyak 0,07 mg/kgbb secara intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam
kemudian, maka selanjutnya reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03
mg/kgbb/hari. Magnesium sulfat parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi efek
toksis.
5. Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan dari dalam
darah dengan beberapa cara misalnya dialisis pertonium, hemodialisis, bilasan
lambung dan usus (tindakan ini kurang efektif, tranfusi tukar).

Bila prosedur di atas tidak dapat dilakukan oleh karena kesulitan teknis, maka
pengeluaran darah vena pun dapat dikerjakan dan adakalanya menolong juga.

1. Diurektikum dulu tidak diberikan pada glomerulonefritis akut, tetapi akhir-akhir ini
pemberian furosemid (Lasix) secara intravena (1 mg/kgbb/kali) dalam 5-10 menit
tidak berakibat buruk pada hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus.
2. Bila timbul gagal jantung, maka diberikan digitalis, sedativa dan oksigen.

Komplikasi
Komplikasi terutama terjadi dalam fase akut berupa edema paru akut, gagal ginjal
akut, ensefalopati hipertensi. Ensefalopati hipertensi sudah jarang ditemukan karena sudah
banyak obat-obat antihipertensi yang dapat menurunkan tekanan darah dalam waktu yang
singkat. Namun setiap hipertensi berat apalagi bila disertai muntah, sakit kepala, kejang-
kejang atau kesadaran menurun harus mendapat perhatian khusus dan pengobatan yang cepat
dan tepat.
Glomerulonefritis kronik sebagai komplikasi dipikirkan bila terdapat hipokomplemenemia
yang berlangsung lama, lebih dari 8 minggu, hematuria persisten, atau proteinuria persisten.

Prognosis

Sebagian besar pasien akan sembuh, tetapi 5% di antaranya mengalami perjalanan


penyakit yang memburuk dengan cepat pembentukan kresen pada epitel glomerulus. Diuresis
akan menjadi normal kembali pada hari ke 7-10 setelah awal penyakit, dengan
menghilangnya sembab dan secara bertahap tekanan darah menjadi normal kembali. Fungsi
ginjal (ureum, kreatinin) membaik dalam 1 minggu dan menjadi normal dalam waktu 3-4
minggu. Komplemen serum menjadi normal dalam waktu 6-8 minggu. Tetapi kelainan
sedimen urin akan tetap terlihat selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun pada sebagian
besar pasien.

Dalam suatu penelitian pada 36 pasien glomerulonefritis akut pascastreptokok yang


terbukti dari biopsi, diikuti selama 9,5 tahun. Prognosis untuk menjadi sembuh sempurna
sangat baik. Hipertensi ditemukan pada 1 pasien dan 2 pasien mengalami proteinuria ringan
yang persisten. Sebaliknya prognosis glomerulonefritis akut pascastreptokok pada dewasa
kurang baik.

Potter dkk menemukan kelainan sedimen urin yang menetap (proteinuria dan
hematuria) pada 3,5% dari 534 pasien yang diikuti selama 12-17 tahun di Trinidad.
Prevalensi hipertensi tidak berbeda dengan kontrol. Kesimpulannya adalah prognosis jangka
panjang glomerulonefritis akut pascastreptokok baik. Beberapa penelitian lain menunjukkan
adanya perubahan histologis penyakit ginjal yang secara cepat terjadi pada orang dewasa.
Selama komplemen C3 belum pulih dan hematuria mikroskopis belum menghilang, pasien
hendaknya diikuti secara seksama oleh karena masih ada kemungkinan terjadinya
pembentukan glomerulosklerosis kresentik ekstra-kapiler dan gagal ginjal kronik.

KWASHIOKOR

Defenisi

Kwashiorkor disebabkan protein yang memadai dalam diet meskipun asupan kalori
yang memadai. Gejala mungkin termasuk lekas marah dan kelelahan diikuti oleh
pertumbuhan melambat, penurunan berat badan, pengecilan otot, pembengkakan umum,
perubahan kulit, pembesaran hati dan perut, dan melemahnya sistem kekebalan
tubuh,sehingga dapat menyebabkan infeksi sering. Setelah kwashiorkor berkembang,
beberapa efek, seperti perawakan pendek dan cacat intelektual, tidak dapat dikoreksi.

Etiologi

Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein yang berlansung kronis.
Faktor yang dapat menyebabkan hal tersbut diatas antara lain :

1. Pola makan

Protein (dan asam amino) adalah zat yang sangat dibutuhkan anak untuk tumbuh dan
berkembang. Meskipun intake makanan mengandung kalori yang cukup, tidak semua
makanan mengandung protein/ asam amino yang memadai. Bayi yang masih menyusui
umumnya mendapatkan protein dari ASI yang diberikan ibunya, namun bagi yang tidak
memperoleh ASI protein adri sumber-sumber lain (susu, telur, keju, tahu dan lain-lain)
sangatlah dibutuhkan. Kurangnya pengetahuan ibu mengenai keseimbangan nutrisi anak
berperan penting terhadap terjadi kwashiorkhor, terutama pada masa peralihan ASI ke
makanan pengganti ASI.

2. Faktor sosial

Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, keadaan sosial dan
politik tidak stabil, ataupun adanya pantangan untuk menggunakan makanan tertentu dan
sudah berlansung turun-turun dapat menjadi hal yang menyebabkan terjadinya
kwashiorkor.

3. Faktor ekonomi

Kemiskinan keluarga/ penghasilan yang rendah yang tidak dapat memenuhi kebutuhan
berakibat pada keseimbangan nutrisi anak tidak terpenuhi, saat dimana ibunya pun tidak
dapat mencukupi kebutuhan proteinnya.

4. Faktor infeksi dan penyakit lain

Telah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis antara MEP dan infeksi. Infeksi
derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Dan sebaliknya MEP, walaupun dalam
derajat ringan akan menurunkan imunitas tubuh terhadap infeksi.

Patofisiologi

Pada defisiensi protein murni tidak terjadi katabolisme jaringan yang sangat
berlebihan karena persediaan energi dapat dipenuhi oleh jumlah kalori dalam dietnya.
Kelainan yang mencolok adalah gangguan metabolik dan perubahan sel yang disebabkan
edema dan perlemakan hati. Karena kekurangan protein dalam diet akan terjadi kekurangan
berbagai asam amino dalam serum yang jumlahnya yang sudah kurang tersebut akan
disalurkan ke jaringan otot, makin kurangnya asam amino dalam serum ini akan
menyebabkan kurangnya produksi albumin oleh hepar yang kemudian berakibat timbulnya
edema. Perlemakan hati terjadi karena gangguan pembentukan beta liprotein, sehingga
transport lemak dari hati ke depot terganggu dengan akibat terjadinya penimbunan lemak
dalam hati.

Peningkatan asupan karbohidrat dengan penurunan asupan protein menyebabkan


penurunan sintesis protein visceral. Hipoalbuminemia yang terjadi menyebabkan edema
dependen, dan gangguan sintesis β lipoprotein menyebabkan perlemakan hati. Insulin
distimulasi dan epinefrin seerta kortisol menurun. Mobilisasi lemak dan pelepasan asam
amino dari otot menurun. Pada defisiensi protein, perubahan enzim adaptif terjadi di hati,
sintesis asam amino meningkat, dan pembentukan urea menurun, jadi menghemat nitrogen
dan menurunkan pembuangannya melalui urin . mekanisme homeostatis awalnya bekerja
untuk mempertahankan kadar albumin dan protein transport lain dalam plasma. Kecepatan
sintesis dan katabolisme menurun dengan segera. Albumin bergeser dari kompartmen
ekstravaskuler ke dalam intravaskuler dan akhirnya kadar plasma menurun yang
menyebabkan penurunan tekanan onkontik dan edema. Pertumbuhan, respon imun, reparasi,
dan produksi enzim dan hormone semuanya terganggu pada defisiensi protein yang parah
akibat kadar protein yang menurun.

Gejala Klinik

 Pertumbuhan dan mental mundur, perkembangan mental apatis


 Edema
 Otot menyusut (hipotrofi)
 Depigmentasi rambut dan kulit
 Karakteristik di kulit : timbul sisik, gejala kulit itu disebut dengan flaky paint
dermatosis
 Hipoalbuminemia, infiltrasi lemak dalam hati yang reversible
 Atropi dari kelenjar Acini dari pancreas sehingga produksi enzim untuk
merangsang aktivitas enzim untuk mengeluarkan juice duodenum terhambat,
diare.
 Anemia moderat(selalu normokrom, tetapi seringkali makrositik)
 Masalah diare dan infeksi menjadi komponen gejla klinis
 Menderita kekurangan vitamin A, dihasilkan karena ketidakcukupan sintesis
plasma protein pengikat retinol sehingga seringkali timbul gejala kebutaan
yang tetap/permanen.
Diagnose

Diagnosis ditegakkan dengan anamesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.


1. Anamesis
Keluhan yanga sering ditemukan adalah pertumbuhan anak yang kurang, seperti berat badan
yang kurang dibandingkan anak lain (yang sehat). Bisa juga didapatkan keluhan anak yang
tidak mau makan (anoreksia), anak tampak lemas serta menjadi lebih pendiam, dan sering
menderita sakit yang berulang
2. Pemeriksaan Fisik
Yang dapat dijumpai pada pemeriksaan fisik antara lain:
* Perubahan mental sampai apatis
* Edema (terutama pada muka, punggung kaki dan perut)
* Atrofi otot
* Ganguan sistem gastrointestinal
* Perubahan rambut (warna menjadi kemerahan dan mudah dicabut)
* Perubahan kulit (perubahan pigmentasi kulit)
* Pembesaran hati
* Tanda-tanda anemia
3. Pemeriksaan penunjang
Darah lengkap, urin lengkap, feses lengkap, protein serum (albumin, globulin),
elektrolit serum, transferin, feritin, profil lemak. Foto thorak, dan EKG.
Biasanya pada pemeriksaan lab di dapatkan perubahan yang paling khas adalah penurunan
konsentrasi albumin dalam serum. Ketonuria lazim ditemukan pada tingkat awal karena
kekurangan makanan,tetapi sering kemudian hilang pada keadaan penyakit lebih lanjut.

Kadar glukosa darah yang rendah,pengeluaran hidrosiprolin melalui urin,kadar asam amino
dalam plasma dapat menurun,jika dibandingkan dengan asam-asam amino yang tidak
essensial dan dapat pula ditemukan aminoasiduria meningkat.

Kerap kali juga ditemukan kekurangan kalium dan magnesium.Terdapat juga penurunan
aktifitas enzim-enzim dari pancreas dan xantin oksidase,tetapi kadarnya akan kembali
menjadi normal segera setelah pongobatan dimulai.

Penatalaksanaan
Pengobatan tergantung pada beratnya kwashiorkor. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
mungkin perlu dikoreksi dengan cairan intravena, dan infeksi mungkin memerlukan
pengobatan antibiotic, meskipun tujuannya adalah untuk meningkatkan protein, namun
peningkatan pesat protein bisa berbahaya. Seringkali, kalori yang perlahan-lahan meningkat
oleh karbohidrat menambahkan, gula, dan lemak untuk diet. Selanjutnya, protein secara
bertahap ditambahkan. Orang yang memiliki kekurangan gizi mungkin kesulitan mencerna
laktosa dalam produk susu, sehingga enzim laktase dapat ditambahkan. Vitamin dan mineral
suplemen juga dapat digunakan.
Pengobatan umum untuk kwashiorkor meliputi:
 Antibiotik untuk mengobati infeksi
 Peningkatan kalori makanan dari karbohidrat, gula dan lemak secara bertahap
 Cairan intravena untuk memperbaiki ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
 Laktase untuk membantu dalam pencernaan produk susu
 Pemberian suplemen, vitamin dan mineral

Komplikasi
Pada beberapa orang, terutama bayi dan anak-anak, komplikasi yang tidak diobati
atau kwashiorkor kurang terkontrol bisa berakibat serius, bahkan mengancam nyawa dalam
beberapa kasus. Anda dapat membantu meminimalkan risiko komplikasi serius dengan
mengikuti rencana pengobatan Anda dan kesehatan Anda desain profesional khusus untuk
Anda. Komplikasi kwashiorkor meliputi:
• Anemia (rendah jumlah sel darah merah)
• Coma
• Infeksi yang berulang
• Cacat intelektual
• cacat fisik
• Syok hipovolemik
• perawakan pendek
•Perubahan pigmentasi kulit
• Steatohepatitis (hati berlemak)

Prognosis
Penanganan dini pada kasus-kasus kwashiorkor umumnya memberikan hasil yang
baik. Penanganan yang terlambat (late stages) mungkin dapat memperbaiki status kesehatan
anak secara umum, namun anak dapat mengalami gangguan fisik yang permanen dan
gangguan intelektualnya. Kasus-kasus kwashiorkor yang tidak dilakukan penanganan atau
penanganannya yang terlambat, akanmemberikan akibta yang fatal.

DAFTAR PUSTAKA

UI-FKM. Gizi dan Kesehatan Masyarakat, Rajawali Pers. Jakarta, 2009

Corwin. J. Elizabeth, Buku Saku Patofisiologi, EGC, Jakarta, 2009

Dr. dr. Syarifuddin Rauf, SpA (K), Catatan Kuliah Nefrologi Anak, Bagian Ilmu Kesehatan
FK-UH. Makassar, 2002

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V, Interna Publishing, Jakarta, 2009

http://penyakitdalam.wordpress.com

Anda mungkin juga menyukai