Anda di halaman 1dari 12

TUGAS INDIVIDU

NAMA : YULIANUS FREDERICK LALU


NIM : 052190072

HARD NEWS

Kemenkes Perkirakan Vaksin AstraZeneca Siap Didistribusikan 2-3 Pekan ke Depan

JAKARTA, KOMPAS.com - Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian


Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi memperkirakan, vaksin Covid-19 AstraZeneca
siap didistribusikan dalam waktu 2-3 pekan ke depan. Ia mengatakan, persiapan distribusi
tetap dilakukan sambil menunggu rekomendasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM). "Kalau kita melihat kurang lebih dua atau tiga minggu lagi semua proses quality
control kemudian pengepakan dan persiapan distribusi itu akan selesai," kata Nadia dalam
konferensi pers, Selasa (16/3/2021).

Adia meminta masyarakat tidak panik dengan adanya laporan pembekuan darah
setelah disuntik vaksin AstraZeneca. Selain itu, ia menyakini penyuntikan vaksin Covid-19
AstraZeneca dapat diselesaikan sebelum bulan Mei 2021. "Karena saat ini kan kemampuan
penyuntikan kita itu sudah 300.000 lebih per hari. Kalau kemudian kita mungkin pada
populasi tertentu kita anggap, misalnya 200.000 saja per hari akan selesai dalam 5 hari," ujar
dia. 

Padahal, ada 1.113.600 dosis vaksin yang didapatkan Indonesia melalui skema kerja
sama multilateral dengan Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi (GAVI) COVAX
Facility, pada 8 Maret lalu. "Sebenernya AstraZeneca karena sudah datang biasanya ada 6
bulan sampai satu tahun, kita baru tahu ini expired date akhir Mei. Padahal dia suntikannya
bedanya 9 sampai 12 minggu dan sampai sekarang juga masih menunggu lot rilis dari
BPOM," kata Budi dalam rapat Kerja Komisi IX, Senin.
Pernyataan Budi pun diinterupsi oleh anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PDI-P
Rahmad Handoyo. Ia mempertanyakan solusi yang akan dilakukan Kemenkes mengingat
penggunaan vaksin AstraZeneca ditunda sementara waktu. "Potensi kedaluwarsa sangat
tinggi. Solusinya seperti apa?" kata Rahmad. Menurut Budi, vakin AstraZeneca yang telah
didatangkan ke Indonesia akan digunakan sebagai vaksinasi tahap pertama. "Rencana kami
yang 1,1 juta ini (dosis vaksin AstraZeneca) akan kita gunakan sebagai vaksinasi pertama
karena berikutnya akan datang lagi sekitar 3 juta tanggal 22 Maret dan 7 juta di tanggal 22
April,"ujarnya.

SOFT NEWS

Cerita Kocak Tora Sudiro Ketika Beli Gitar di Singapura

Tora Sudiro saat Media visit film Mangga Muda di Kantor Redaski Kompas.com, Menara Kompas, Jakarta,
Kamis ( 9/1/2020). Tora Sudiro Berperan Sebagai Agil.(KOMPAS.com/DIENDRA THIFAL RAHMAH)
JAKARTA, KOMPAS.com - Aktor Tora Sudiro membagikan pengalaman kocak saat
membeli gitar di Singapura. Tora yang saat itu menjadi gitaris The Cash membeli gitar untuk
menunjang penampilannya. Merasa kemampuannya bermain gitar belum terlalu bagus, Tora
meminta bantuan Eross Candra, gitaris Sheila on 7. “Terus beli gitar, itu juga lucu sih. Gue
sempat beli gitar di Peninsula Singapura. Wah keren juga gitarnya, ‘coba dong lu’, ‘gue
enggak berani’” ucap Tora dikutip Kompas.com dalam YouTube Vincent and Desta, Selasa
(16/3/2021). “Terus nanya Eross ini gitar bagus enggak, ‘bagus’,” timpal Desta. Tora
akhirnya membeli gitar tersebut.

Namun saat hendak membayar, kartu-kartu milik Tora tak bisa digunakan. Hingga
akhirnya dia meminta bantuan kepada Eross lagi. “Nawar tuh, berapa, gue pakai kartu gue,
decline, pakai kartu yang lain decline. Terus Eross, pakai kartunya Eross, akhirnya beli,”
tutur Tora. Tora Sudiro, Desta, dan Eross pergi ke Singapura untuk menyaksikan konser band
Motley Crue. Saat di sana, Tora melihat-lihat gitar yang kemudian membuatnya tertarik
untuk membeli.

FEATURE

Sejarah Anomali dan Catatan Merah di Lantai Bursa Era Jokowi


BEI mencatat sejarah, yang juga menjadi anomali baru di pasar modal pada tahun ini.
Pemodal asing menarik dana, namun bursa saham tetap perkasa. (CNN Indonesia/Safir
Makki)

Jakarta, CNN Indonesia -- Winarto terdengar bahagia di ujung telepon. Ia mengatakan


portofolio sahamnya tumbuh positif sejak awal tahun ini, atau artinya terdapat cuan yang bisa
masuk kantong.
"Portofolio saya naik hampir 40 persen. Hehehe. Lumayan lah, padahal tahun ini saya banyak
main aman. Tidak terlalu agresif," ujar pria berusia 60 tahun ini kepada CNNIndonesia.com,
Selasa (17/10).

Apa yang disampaikan Winarto bukan pepesan kosong belaka. Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) baru saja mencatatkan rekor penutupan tertinggi sepanjang masa di angka
5.951 pada 4 Oktober lalu. Tak hanya itu, Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat sejarah lain,
yang juga menjadi anomali baru di pasar modal pada tahun ini.

Sejak berdiri pada 2007, baru kali ini Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu tumbuh
positif, kendati investor asing melakukan aksi jual bersih (net sell). Artinya bursa saham
Indonesia mampu menanjak, meski pemodal asing menarik dananya.

Hingga Rabu (18/10), IHSG mampu tumbuh hingga 11, 94 persen ke level 5.929, meski
pemodal asing menarik dananya hingga Rp18,47 triliun. Padahal, terakhir kali investor asing
mencatatkan net sell pada 2015, sebesar Rp22,58 triliun. Kala itu, IHSG melorot sampai
12,13 persen.
"Saya optimistis bakal naik sampai akhir tahun, level 6.000 pasti tembus lah. Portofolio
saham saya naik, main aman saja. Sebagian banyak di saham bank, seperti BRI, Bank
Mandiri dan BTN," ungkap Winarto. Benar saja, beberapa saham yang disebut Winarto itu
memang berkinerja moncer sejak awal tahun. Saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero)
Tbk atau BRI tercatat telah menanjak 31,9 persen sejak awal tahun. Yang menarik, saham
tersebut adalah pendorong terbesar kedua bagi kenaikan IHSG, karena kapitalisasinya yang
jumbo.

Sementara, saham PT Bank Mandiri (Persero) Tbk menduduki peringkat empat saham
pendorong terbesar bagi indeks, dengan kenaikan hingga 22,2 persen sejak awal tahun.
Namun, anomali peningkatan IHSG yang terjadi, bukan semata karena kenaikan beberapa
saham saja. Di bagian lain, porsi transaksi oleh investor lokal (domestik) yang meningkat,
membuat kaburnya dana pemodal asing tak lantas membuat indeks loyo.
"Sepanjang tahun ini, transaksi harian memang sangat didominasi oleh investor lokal.
Mendekati sekitar 70 persen, dibanding asing yang hanya 30 persen. Maka benar pemodal
asing melakukan net sell, namun indeks bertahan positif, bahkan lebih dari 10 persen. Tidak
pernah terjadi sebelumnya dalam 10 tahun terakhir," ungkap Direktur Pengembangan BEI,
Nicky Hogan. Kenaikan porsi transaksi oleh investor lokal tersebut terjadi sejak 2016 yang
saat itu menguasai 63 persen transaksi. Padahal, di tahun 2015, investor domestik masih
menggenggam 57 persen nilai transaksi.

Sejarah lain yang terjadi di tahun ketiga pemerintahan Jokowi adalah pertama kali tercatatnya
saham perusahaan rintisan (startup) di lantai bursa. PT Kioson Komersial Indonesia Tbk yang
dicatatkan dengan kode KIOS, menjadi pelopornya pada 5 Oktober lalu.

Dalam aksi korporasi itu, perseroan melepas 150 juta lembar saham ke publik, atau sekitar
23,07 persen dari total modal ditempatkan dan disetor penuh. Dengan harga penawaran
Rp300 per lembar, perseroan meraih dana sebesar Rp45 miliar.
Respons pelaku pasar pun terpantau baik. Pada perdagangan perdana di BEI, harga saham
perusahaan bergerak menguat 50 persen menjadi Rp450 per saham.
Hingga Rabu (18/10), saham perusahaan perdagangan dan jasa daring (e-commerce) itu
tercatat telah menjadi Rp2.650 per lembar, atau naik hingga 783,33 persen alias menjadi lebih
dari 8 kali lipat sejak perdagangan perdana.

Kioson nantinya tak akan sendirian sebagai startup di lantai bursa. Perusahaan startup e-
commerce lain, PT M Cash Integrasi Tbk (MCI), bakal ikut 'nyemplung' di bursa saham pada
31 Oktober mendatang. Ekonom Samuel Asset Management, Lana Soelistianingsih
mengatakan, pelaku pasar memang berharap banyak perusahaan baru lagi di lantai bursa, agar
produk investasi tidak terbatas.

"IPO (penawaran saham perdana) startup bisa membuat variasi produk di bursa efek. Saya
kira dari sisi stabilitas sistem keuangan baguslah. Yang penting, regulasi di startup harus
mulai dibenahi," katanya. Sementara itu, Analis Senior Mega Capital Indonesia Fikri
Syaryadi mengatakan, IPO startup bisa terjadi karena mendapat pondasi dari pemerintah,
yang melihat perusahaan finansial berbasis teknologi (fintech) sebagai potensi baru.

"Sebelumnya ada juga roadmap dari Bank Indonesia dan pemerintah untuk fintech. Industri


startup memang jadi salah satu fokus pemerintahan Jokowi," jelasnya.

Ilustrasi startup. (CNN Indonesia/Hani Nur Fajrina)

Catatan Merah

Kendati mengukir sejumlah sejarah, bursa saham di tahun ketiga pemerintahan Jokowi ini


mendapat catatan merah. Salah satunya adalah rencana didepaknya salah satu emiten dari
lantai bursa.
BEI bakal menghapus paksa (force delisting) PT Inovisi Infracom Tbk (INVS) pada 23
Oktober 2017 mendatang. Hal itu kukuh dilakukan, meski perusahaan menyadari
kesalahannya dan telah menyampaikan laporan keuangan semester I 2017 pada 13 Oktober
2017 lalu.

Sebelumnya, rencana mendepak Inovisi Infracom dilakukan setelah perusahaan tidak lagi
melaporkan laporan keuangannya sejak tahun 2015. Bahkan, laporan keuangan tahun 2014
baru disampaikannya pada Juni 2017 ini.

Direktur Penilaian Perusahaan Samsul Hidayat mengatakan, keputusan untuk force


delisting telah menghabiskan proses yang cukup panjang hingga lebih dari dua tahun. Maka
itu, pihaknya tidak bisa mengubah keputusan secara mendadak hanya karena perusahaan
telah menyerahkan laporan keuangan terbarunya.

"Kajian sudah dua tahun lebih, dua tahun lima bulan, per Mei 2015 mereka disuspensi," ucap
Samsul.

Terlebih lagi, BEI masih menemukan beberapa kewajiban utang yang harus dibayarkan oleh
Inovisi Infracom dari laporan keuangan yang dipublikasikan tersebut. Dalam hal ini, BEI
tetap akan mengkaji lebih lanjut isi dari laporan keuangan perusahaan.
"Kami belum ada keputusan lain selain force delisting kecuali nanti ditemukan hal-hal baru
yang bisa membuat kami mengubah keputusan," imbuh Samsul.

Sebelumnya, Inovisi Infracom telah meminta kepada BEI untuk menunggu perusahaan
menyelesaikan kewajibannya dengan mematangkan rencana aksi korporasi, seiring dengan
rencana restrukturisasi perusahaan. Ketua Masyarakat Investor Sekuritas Indonesia (MISSI)
Sanusi menyatakan, saham yang delisting menjadi contoh kurang baiknya pengawasan di
lantai bursa."Inovisi Infracom salah satunya. Ada investor yang masih pegang sahamnya.
Duitnya hilang dong. Terus bagaimana itu OJK [Otoritas Jasa Keuangan] dan BEI?" katanya.

Sanusi meminta fungsi pengawasan untuk perusahaan dan transaksi saham lebih diperketat.
Ia berharap Dewan Komisioner OJK yang baru dan BEI bisa memperbaiki hal tersebut, salah
satunya dengan memperketat dan mempertegas aturan.
"Jangan sampai ada delisting saham lagi, yang membuat investor rugi," tukasnya.

OPINI

Surga Itu Serupa Perpustakaan

PADA 14 Maret 1948, Presiden Soekarno mencanangkan pemberantasan buta huruf (PBH).
Padahal, Indonesia tengah menghadapi Belanda yang hendak kembali menjajah. Ibu kota
negara terpaksa pindah ke Jogjakarta. Para pendiri bangsa sebagian sengit bersitegang. 
Namun, Soekarno bukan saja berkeras mengatasi itu semua, tapi juga memacu rakyat
mewujudkan PBH. Pemerintahannya, misalnya, mengadakan kursus PBH yang melibatkan
17.822 guru dan 761.683 murid. Upaya ini bertemali dengan Soekarno sendiri.  Pereka
bangsa  Ben Anderson menulis, bangsa adalah komunitas rekaan. Bangsa Indonesia tak
terkeculi. Bangsa ini mula penjadiannya dipercepat kapitalisme cetak dan rute kereta api
baru. Koran dan novel menerbitkan rasa senasib sebagai kaum jajahan di kalangan rakyat.
Inilah embrio nasionalisme. Sejak kuliah di Technische Hooge Shool (kini Institut Teknologi
Bandung), Soekarno kerap mewarnai koran-koran. Daya pukau orasinya merupakan
pendorong kuat pilihan gerakan politiknya yang mengandalkan rapat-rapat umum. Pada 1928,
misalnya, sekali sepekan ia keliling Bandung berorasi. "Aku memekik-mekik kepada ratusan
rakyat yang menyemut di tanah lapang," ucapnya. Bagi Mohammad Hatta, yang ketika itu
tokoh Perhimpunan Indonesia di Belanda, hal itu malah masalah. Menurutnya, terus
mengandalkan gerakan massa bisa membuat pemerintah kolonial makin represif. Bahkan
orasi-orasi Soekarno cenderung cuma mengumpulkan kerumunan dengan dia di pusat. Hatta
ingin kesadaran nasional rakyat tumbuh melalui pendidikan politik yang diberikan partai
kader, sehingga dapat lahir 'beribu-ribu, bahkan berjuta-juta Soekarno'. Ia pun pecinta buku
dan caranya membaca sistematis dan disiplin. Tahun pertama di sekolah menengah Prins
Hendrik School, misalnya, Hatta sudah teratur membaca Socialisten HP Quack yang terdiri
dari enam jilid.  Namun, Soekarno bukan saja sumber berita. Ia juga rajin menulis artikel
yang referensial, menerangi dan memikat. Misalnya, pada 21 Januari 1921, artikelnya terbit
di halaman depan koran Oetoesan Hindia. Pada pertengahan 1926, terbit Nasionalisme,
Islam, dan Marxisme di Indonesia Muda. Saat diadili pada 1930, pledoinya orasi manifesto
politik Indonesia Menggugat selama dua hari berturut-turut. Daya pukau orasinya pun bukan
saja berkat latihan dengan model dalang wayang kulit dan pidato pendiri Muhammadiyah
Acmad Dahlan, tapi terilhami biografi George Washington, Garibaldi, dan Abraham Lincoln
yang dibacanya. Namun, Soekarno membaca bukan untuk mengakumulasi pengetahuan.
"Jangan sekali-sekali menyembah aksara!" ucapnya. Membaca, baginya, terutama agar
menjadikan dia dapat menyulut semangat kebangsaan dan menyatukan rakyat demi mencapai
Lautan yang Bebas, Lautan Indonesia Merdeka. Untuk itu juga, ia produktif menulis. Dalam
Bibliografi Sukarno (Yayasan Idayu, 1988), tercetak 1.196 tulisan Soekarno dalam bentuk
pidato, artikel, amanat, drama, dan karya tulis lain.   Publikasi kreatif Presiden Jokowi
tampak memahami itu, dan berusaha mewujudkannya sebagai bagian dari fokus
pemerintahannya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional IV periode 2020-2024, dinyatakan, sebagai lembaga negara yang
bergerak dalam upaya literasi bangsa, Perpustakaan Nasional (Perpusnas) ditugaskan
meningkatkan literasi untuk kesejahteraan. Peningkatan literasi diyakini kongruen dengan
peningkatan sumber daya manusia (SDM) berkualitas dan berdaya saing serta pembangunan
kebudayaan dan karakter bangsa. Tanggung jawab itu berat. Namun, SDM bermutu dan
berdaya saing, serta pembangunan budaya dan karakter bangsa memang bergantung pada
informasi yang penting dan relevan, kemampuan mengolahnya, dan pengetahuan yang luas
dan dalam, yang semua itu bisa dimungkinkan Perpusnas. 

Dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, Perpusnas berwenang


'menjalankan fungsi sebagai pembina seluruh jenis perpustakaan di seluruh Indonesia'.
Perpusnas menjadi bukan saja gedung di Jalan Medan Merdeka Selatan No.11, Jakarta,
tempat pemustaka mencari referensi, membaca, mencatat, dan sejenisnya, tapi pun bergerak
ke daerah-daerah. Sehingga memungkinkan  berkembangnya perpustakaan provinsi,
kabupaten, kota, kecamatan, kelurahan, desa, dan komunitas. Perpusnas menyambut itu
dengan mengembangkan Layanan Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial, yakni, seperti ditulis
Paul Sturges, "Layanan perpustakaan yang memfasilitasi masyarakat dalam mengembangkan
potensinya dengan memandang keragaman budaya, kehendak untuk menerima perubahan,
serta menawarkan kesempatan berusaha, melindungi dan memperjuangkan budaya dan Hak
Asasi Manusia."  Perpustakaan diintegrasikan dengan fasilitas umum di daerah. Termasuk di
dalamnya konektivitas internet permanen, data dalam skala besar, serta teknik penyimpanan
data di awan dalam satu wadah pusat kegiatan komunitas yang memaksimalkan peran serta
masyarakat. Gedung yang kini gedung perpustakaan tertinggi di dunia, dan hingga
pertengahan 2019 menyimpan 9.917.385 koleksi pustaka itu, memang bisa memungkinkan
seperti dilakoni Soekarno ketika belajar di Hogere Burger School di Surabaya. Ketika itu, ia
getol masuk Perpustakaan Teosofi yang baginya 'peti harta karun yang tidak mengenal
pembatasan seorang anak miskin'.  Dari sana ia bertualang ke 'dunia pemikiran', bercakap
dengan para pemikir dunia yang lalu menginspirasinya, seperti Thomas Jefferson, yang
berkata, "I cannot live without books." Pun ia penulis Declaration of Independence Amerika
Serikat (AS) dan pendiri The Library of Congress, perpustakaan nasional AS.   Namun,
Perpusnas bisa melampaui Perpustakaan Teosofi. Perpusnas punya wewenang, fasilitas, dan
cara untuk memungkinkan perpustakaan bermunculan dan berkembang di kota-kota besar
hingga kampung-kampung perbatasan. Perpusnas, misalnya, seperti telah dilakukannya, dapat
memberikan pelatihan mengelola perpustakaan, menyumbang buku dan komputer, serta
memberi hibah kuda, mobil, genset, dan kapal untuk perpustkaan keliling. Perpusnas,
meminjam perkataan Daoed Joesoef, "Telah berkembang menjadi suatu konservator
kekayaan intelektual dan kemanusiaan." Maka mungkin saja Perpusnas melahirkan jutaan,
bahkan puluhan juta anak muda Indonesia yang seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka,
dan para pendiri bangsa lainnya. Mereka mungkin pula lebih mampu bergotong-royong
menjadikan rakyat Indonesia sejahtera secara mental dan material.  Kesejahteraan mental dan
material ini merupakan pemungkin kesadaran kebangsaan mengakar, dan penjadian bangsa
adalah proses aktualisasi potensi-potensi setiap anak bangsa. Bangsa pun menjadi proses
yang hari ke hari semakin mendekati Lautan yang Bebas, Lautan Indonesia Merdeka.
Kemungkinan itu bisa lebih besar lagi jika layanan perpustakaan berbasis inklusi sosial itu
dipublikasi secara kreatif, sistematis, terstruktur, dan masif. Perpusnas memang sudah
mempublikasi itu. Namun, daya jangkau dan daya gugah publikasinya tampak masih kurang.
Mayoritas warga belum tahu bahwa Perpusnas, misalnya, dapat menyumbang 500 buku
untuk satu perpustakaan, serta memberi hibah komputer, mobil, dan genset, atau kuda untuk
perpustakaan keliling. Jika kekurangan seperti itu diatasi dengan kerja sama dengan seniman,
ahli komunikasi, dan media massa yang berlimpah di setiap daerah, hal yang sangat penting
dan relevan dari Perpusnas itu bisa dipastikan dapat menyebar, mengakar, dan menumbuhkan
perpustakaan-perpustakaan dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote. 
Perpustakaan-perpustakaan itu tak mustahil terus berkembang. Sehingga bisa jadi tak sedikit
warga negara ini yang akan berkata seperti sastrawan besar, dan pernah menjabat Direktur
Perpustakaan Nasional Argentina, Jorge Luis Borges, "Aku selalu membayangkan surga itu
serupa perpustakaan."

Anda mungkin juga menyukai