Anda di halaman 1dari 3

Nurse Day: Goresan Pena Seorang

Perawat di Rumah Sakit Jiwa

Dia Bukan Pemuda Putoh Kawat

Setiap hari, aku harus melewati koridor–koridor panjang yang mempertemukan aku
dengan ruangan tempatku bertugas di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Aceh. Hari ini,
seperti biasanya aku melewati koridor tersebut dengan langkah santai, maklum baru
pukul 07:45 WIB, jadi masih punya waktu sekitar 15 menit lagi untuk pergantian sif
dinas. Kebetulan, hari ini aku dinas pagi. Tadi, saat aku lewati koridor tersebut,
kulihat seisi bangsal di sana semua menatapku dengan muka penuh daki, kuku
hitam, rambut acak-acakan, gigi kuning, baju kotor, terkesan sangat sumbang
kelihatannya. Begitulah lukisan sebuah dunia tempat di mana orang-orang sakit jiwa
diobati.

Aku merasa berjalan di atas sebuah dunia yang beda, beda karena mereka tidak
seperti kita, mereka mengalami gangguan jiwa, masa depan mereka telah dirampas
oleh penyakit tersebut. Pernah aku mengkaji beberapa pasien gangguan jiwa di
ruangan salah satu bangsal tingkatan kedua setelah ruang akut di tempat
pengobatan orang sakit jiwa itu, Mawar. Masih segar dalam ingatanku pasien
tersebut berinisial SF, dia salah satu dari sekian banyak pasien di sana.

Kutanyakan padanya tentang awal mulanya dia mengalami gangguan jiwa, karena
menurutku dia sudah mulai menampakan perkembangan ketahap yang lebih baik,
dengan gaya bicara yang sangat kooperatif dia mulai bercerita tentang
kehidupannya sebelum dia terdampar di dibalik jeruji besi Rumah Sakit Jiwa. Seraya
mempermainkan sebatang rokok bintang abadi, rokok yang biasa dikonsumsi oleh
penderita gangguan jiwa, dia berkisah bahwa dulunya dia seorang perantauan,
jalanan yang sunyi membawanya ke pusat ibukota Jakarta. Di sana awalnya
hidupnya biasa-biasa saja, tapi setelah dia punya penghasilan yang mapan,
pergaulannya mulai tidak terkontrol lagi, hingga dia mulai mengembara ke dunia
hitam.

Ekstasi, sabu-sabu, menjadi santapannya tiap hari, efeknya dia mengalami


gangguan jiwa, dia melihat sesuatu hal yang sama sekali objeknya tidak ada. Dalam
medis keadaan tersebut dikenal dengan (halusinasi Penglihatan), bagian dari gejala
gangguan jiwa. Pembicaraanku dengan pasien SF membuatku membuka kembali
catatan tua di Akper Abulyatama yang masih kusimpan rapi. Dalam catatan tersebut
dijelaskan, beberapa faktor yang mengakibatkan gangguan jiwa, pintu masuknya
ada yang bermuara dari rasa frustasi, penggunaan obat penenang seperti, ekstasi
dan shabu-shabu, gangguan jiwa juga bisa bersifat heredeter atau keturunan, riset
kecilku hari ini membuktikan bahwa pernyataan dalam buku tersebut benar adanya.

Di hari yang berbeda, aku masih melalui koridor-koridor yang biasanya kulewati.
Jalanku hari ini sedikit lebih cepat dari biasanya karena aku bangun kesiangan pagi
ini, akhirya dengan langkah yang tergesa-gesa sampai juga di ruangan Mawar,
kulihat di sekelilingku masih seperti biasanya, berbagai aktivitas yang tidak terarah
terlihat di dalamnya, ada yang hanya mondar-mandir di ruangan, ada yang selalu
shalat, dan ada juga mulutnya komat kamit terus tanpa bahasa yang jelas dan tidak
jelas pembicaraannya selalu melonjat-lonjat dari satu topik ke topik yang lainnya
dalam medis dikenal dengan flight of idea dan masih banyak perilaku abnormal
lainnya semakin menambah goresan catatan pilu di Rumah Sakit Jiwa . Di sudut yang
lain, terdengar pasien-pasien di balik jeruji besi,berteriak “Toh peng siribe, rokok
sibak,” dengan nada penuh pinta dan memelas. Ingin rasanya aku melihat mereka
bisa pulih dan kembali produktif di tengah-tengah keluarga dan masyarakat.

“Alah hom hai aleh pajan pule’h jih (huff, entahlah, enatah kapan mereka sembuh),”
colotehku dalam hati di pagi itu seraya aku dan teman sejawatku yang lainnya,
mendamping para pasien untuk melakukan kebersihan diri ( personal hygiene). Para
pasien harus dibimbing mandi, menyikat gigi, dan hal lainnya.

Setelah itu, tiba saatnya aku untuk kembalai ke Nurse Station membuka status
pasien satu persatu, guna melanjutkan perawatan pasien yang masih bingung dan
agresif melalui pendekatan asuhan keperawatan jiwa, Metode tersebut dilakuakan
dalam upaya memotivasi pasien agar segera memperoleh kesembuhan.

Waktu untuk berinteraksi pasien kupadai sejenak, namun tiba-tiba ada pasien yang
berada diluar rungan bertanya mengenai kesembuhan bagi penderita gangguan
jiwa. Untuk mengisi kekosongan waktu tersebut, aku pun mencoba menjawab
pertanyaan tersebut, pasien tersebut mulai menyuguhkan pertanyaannya.

Dengan nada sopan dia bertanya “Pak Perawat, apakah ganguan jiwa yang saya
alami ini bisa sembuh seperti sedia kala?”

Maka, dengan gelagat bak seorang dosen aku mencoba untuk merecall memory ku
tentang masalah keperawatan jiwa untuk mendapatkan jawaban yang tepat dari
pertanyaan tersebut, akupun mulai menjelaskan dan terlihat mahasiswa tersebut
mendengarnya penuh khidmat.

Emm, begini dek “Kemungkinan sembuh bagi para pasien itu selalu ada, meskipun
dalam sebuah buku penelitian dikatakan, dari sekian banyak penderita scizofrenia di
seluruh dunia, hanya 30 persen yang bisa sembuh dengan keadaan seperti
sediakala.”

“ Ya, kita juga berharap bahwa pasien yang kita tangani, semuanya berada dalam
lingkaran 30% tersebut,” kataku.
“Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan, agar pasien yang telah sembuh, tidak
berulang lagi gangguan jiwanya, di antaranya adalah:Olah raga, Rekreasi, Kasih
sayang, Sosial ekonomi, Menghindari Rokok, Pergaulan/Silaturahmi, Tidur yang
cukup, Makanan yang seimbang dan teratur, Pengelolaan waktu yang baik, dan
mendekatkan diri kepada Allah, SWT. Itulah sepuluh cara untuk menjaga agar jiwa
tetap sehat dan tentram. Bukankah dalam Al-Quran surat Al-Rad (13:28) melalui
firmaNya, Allah mengingatkan kita. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati
mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram,” pungkas ku.

Dia hanya menganguk-anggu, isyarat bahwa dia telah paham dengan penjelasanku,
kuliat ia terdiam membisu, asumsiku berkata klau dia sedang mencoba
menaganalisa penjelasanku.

“Ada lagi, Dek, yang mau ditanyakan?”

“Oh, tidak, Pak Perawat! Sementara penjelasan Bapak sudah cukup,” jawabknya
sambil tersenyum.

“Kalau bagitu, saya mau kembali ke berinteraksi dengan pasien lainnya,” kata ku
seraya bangkit dan menemui pasien lainnya.

Namun ingatanku, masih terfokus pada pasien tadi, dengan penuh harap kupinta
pada Rabbi agar pasien tersebut lekas sembuh dan tidak berulang lagi sakitnya, saat
berdialog dengannya aku melihat di rona matanya terpancar semangat untuk
sembuh, kembali produktif dan diterima ditengah masyakarat tempat ia lahir dan
dibesarkan.

“Mereka akan mudah sembuh asalkan kita selalu berada dan memberikan pelayanan
terbaik kita,” bisiku dalam hati.

Ditulis Oleh: Moehibuddin Aifa,

Perawat Rumah Sakit Jiwa dan Ketua GNPHI Aceh

Anda mungkin juga menyukai